Perbandingan Nilai Visual Analogue Scale dan Efek Samping dari Gabapentin 900 Mg dengan Gabapentin 1200 Mg per Oral sebagai Preemptif Analgesia Pascabedah dengan Spinal Anestesi

(1)

PERBANDINGAN NILAI

VISUAL ANALOGUE SCALE

DAN

EFEK SAMPING DARI GABAPENTIN 900 MG DENGAN

GABAPENTIN 1200 MG PER ORAL SEBAGAI PREEMPTIF

ANALGESIA PASCABEDAH DENGAN SPINAL ANESTESI

TESIS

Oleh : KIKI PRAYOGI

097114015

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI

INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA / RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN


(2)

PERBANDINGAN NILAI

VISUAL ANALOGUE SCALE

DAN

EFEK SAMPING DARI GABAPENTIN 900 MG DENGAN

GABAPENTIN 1200 MG PER ORAL SEBAGAI PREEMPTIF

ANALGESIA PASCABEDAH DENGAN SPINAL ANESTESI

TESIS

Kiki Prayogi 097114015

Pembimbing I : dr. CHAIRUL M. MURSIN, SpAn. KAO Pembimbing II : dr. YUTU SOLIHAT, SpAn, KAKV

Penelitian ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Klinik – Spesialis Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI

INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA/RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : PERBANDINGAN NILAI VISUAL ANALOGUE SCALE DAN EFEK SAMPING DARI GABAPENTIN 900 MG DENGAN GABAPENTIN 1200 MG PER ORAL SEBAGAI PREEMPTIF ANALGESIA PASCABEDAH DENGAN SPINAL ANESTESI

Nama Mahasiswa : Kiki Prayogi

NIM : 097114015

Program : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Anestesiologi dan Terapi Intensif

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing I

dr. Chairul M Mursin, SpAn. KAO

Pembimbing II

dr. Yutu Solihat, SpAn, KAKV NIP: 1958081119871001

Sekretaris Program Magister, Program Magister Kedokteran Klinik

Dekan Fakultas Kedokteran USU

Ketua Program Studi

Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU

dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC NIP. 19510423 197902 1 003


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 10 Januari 2015 PengujiTesis :

Penguji I Penguji II

dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn, KAP, KMN dr. Hasanul Arifin, SpAn.KAP. KIC NIP: 19530121 197902 1 001 NIP. 19510423 197902 1 003

Penguji III

Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn, KIC, KAO NIP. 19520826 198102 1 001

Ketua Departemen/SMF Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU-RSUP. H. Adam Malik Medan FK USU-RSUP. H. Adam Malik Medan

Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn, KIC, KAO dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC NIP. 19520826 198102 1 001 NIP. 19510423 197902 1 003


(5)

Telah diuji pada tanggal : 10 Januari 2015

PENGUJI TESIS

1.

Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn, KIC, KAO

NIP. 19520826 198102 1 001

2.

dr. AsminLubis, DAF, SpAn, KAP, KMN

NIP. 19530121 197902 1 001

3.

dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC

NIP. 19510423 197902 1 003


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya berkesempatan membuat penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh tanda keahlian dalam bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi– tingginya kepada yang terhormat :dr. Chairul M Mursin Sp.An, KAO dan dr. Yutu Solihat Sp.An,KAKV atas kesediaannya sebagai pembimbing penelitian saya, serta dr. Taufik Ashar, MKM sebagai pembimbing statistik penelitian saya, yang walaupun di tengah kesibukan masih dapat meluangkan waktu.

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. dr. H. Syahril Pasaribu DTM & H, Msc (CTM), Sp.A(K). Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar Sp. PD (KGEH) atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Prof. dr. H. Achsanuddin Hanafie Sp.An, KIC, KAO sebagai Kepala Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Hasanul Arifin Sp.An, KAP, KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Dr. dr. Nazaruddin Umar Sp.An, KNA sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif dr. Akhyar H. Nasution Sp.An, KAKV sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan serta nasehat dan mendidik selama saya menjalani penelitian ini.

Yang terhormat guru saya di jajaran Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. A. Sani P. Nasution Sp.An, KIC, dr. Chairul Mursin Sp.An, KAO, dr. Asmin Lubis DAF, Sp.An, KAP, KMN, (alm) dr. Nadi Zaini Bakri SpAn, (alm) dr. Muhammad A. R SpAn, KNA,


(7)

SpAn, KIC, dr. Syamsul Bahri Siregar SpAn, dr. Walman Sitohang SpAn, dr. Tumbur SpAn, Letkol. dr. Nugroho Kunto Subagio SpAn., dr. Dadik Wahyu Wijaya SpAn, dr. M. Ihsan SpAn, KMN, dr. Guido M Solihin SpAn, KAKV, dr. Qadri F. Tanjung SpAn, KAKV, dr. RR Shinta Irina SpAn, yang telah banyak memberikan bimbingan dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, baik secara teori maupun keterampilan sehingga menimbulkan rasa percaya diri baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Bapak Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit Tk. II Putri Hijau Medan, Direktur RS Haji Medan, dan Direktur RSUD IDI Rayeuk – Aceh Timur yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan kepada saya untuk belajar menambah keterampilan.

Kepada para perawat/para medis dan seluruh Karyawan/Karyawati RSUP H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, RS Haji Medan, dan Rumkit Tk. II Putri Hijau Medan yang telah banyak membantu dan bekerja sama dengan baik selama ini dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta kesempatan yang diberikan sehingga saya dapat melaksanakan penelitian ini, saya juga mengucapkan terima kasih yang setulusnya.

Sembah sujud dan rasa syukur saya persembahkan kepada yang tercinta kedua orang tua saya, ayahanda; Ir. H. Rusdi Rani dan ibunda; Hj. Rosma Nasution. Saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih saya yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa dan perjuangannya yang tiada henti serta dengan siraman kasih sayang yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya.

Kepada kedua saudara kandung saya, yaitu abangda saya drg. Hendry Rusdy Sp.BM, dan adinda drg. Putri Emilia terima kasih tak terhingga dan setulusnya atas dorongan dan inspirasinya selama saya menjalani masa pendidikan spesialis ini. Walau pun jarak, tempat dan waktu memisahkan kita namun kenangan bersama sedari kecil hingga dibesarkan tetap tersimpan di dalam


(8)

Yang saya hormati dan cintai Bapak mertua Syamsir Tampubolon dan Ibu mertua (alm) Zahara Harahap yang juga telah mendukung dan memberikan doa dan restu untuk saya agar dapat menuntut ilmu dan mengejar cita-cita saya. Juga kepada ipar saya, Tunggul Tampubolon, SH dan Roumauli Tampubolon,S.Kom atas semua pertolongan dan dorongan semangat yang diberikan selama masa pendidikan saya ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya.

Kepada Istri yang sangat saya cintai dan kasihi, dr. Henny Nawati Tampubolon yang selalu menyayangi saya, dengan cinta kasihnya yang luar biasa selalu memberikan dorongan, dan tidak pernah bosan selalu memberikan waktu dan tenaganya untuk mendengarkan keluh kesah saya dengan penuh perhatian. Tiada kata yang dapat mengungkapkan perasaan bersyukur atas apa yang kita miliki dan perbuatan yang cukup untuk menunjukkan perasaan cinta dan kasih untuk istri tersayang, Kepada buah hatiku tercinta, Shafira Niki Prayogi kehadirannya sebagai penyemangat dan pendorong saya untuk memberikan yang terbaik baginya, sebagai motivator dan pemberi inspirasi saya dalam melakukan segala hal. Terima kasih yang tak terhingga atas kesabaran dan keikhlasan selama saya menjalani pendidikan ini, semoga usaha saya ini juga dapat menjadi dasar dalam setiap aspek kehidupan kedepannya.

Kepada seluruh kerabat dan handaitaulan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan, yang selalu memberikan dorongan dan dukungan moral maupun materil, serta doanya yang tulus sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini, saya mengucapkan terima kasih.

Kepada yang tercinta teman-teman satu angkatan saya dalam penerimaan Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran USU yaitu: dr. Eko Waskito Wibowo M.Ked.(An),SpAn, dr. Heru Kurniawan M.Ked.(An), SpAn, dr. Wulan Fadinie M.Ked.(An),SpAn, dr. Olivia Des Vinca Albahana Napitupulu M.Ked.(An),SpAn, dr.Junita Henriette Silaban M.Ked.(An),SpAn, dr. Rusdian Nurmadi, dr. Andri Yunafri, dan dr. Ahmad Yafiz Hasby, yang telah bersama-sama sejak mulai penerimaan masuk, berbagi dalam suka maupun duka, tak lupa saya haturkan terima kasih.


(9)

Dan juga kepada teman-teman saya tercinta, baik di tingkat senior maupun junior yang terlibat langsung dalam membantu dan menginspirasi saya selama saya mengerjakan penelitian ini baik dari departemen anestesiologi dan terapi intensif maupun dari departemen lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu disini, terima kasih saya ucapkan atas bantuan dan kerja samanya baik secara moril, tenaga, pikiran, dan perhatiannya selama saya menjalankan penelitian ini.

Dan akhirnya izinkan dan perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai.

Medan, 10 Januari 2014 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR……….. ii

DAFTAR ISI……… vi

DAFTAR GAMBAR……….……….. x

DAFTAR TABEL………..……….. xii

DAFTAR LAMPIRAN……… xiii

DAFTAR SINGKATAN………. xiv

ABSTRAK……… xv

1. BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang……… 1

1.2.Rumusan masalah……… 7

1.3. Hipotesa……….. 7

1.4.Tujuan Penelitian……… 8

1.4.1.Tujuan Umum………. 8

1.4.2.Tujuan Khusus……… 8

1.5.Manfaat Penelitian…….……….. 8

1.5.1.Manfaat dalam bidang akademi…….………. 8

1.5.2.Manfaat dalam bidang pelayanan masyarakat…….……… 9

1.5.3.Manfaat dalam bidang penelitian………..………..… 9

2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Fisiologi Nyeri……… 10

2.2.Mekanisme Nyeri……… 11

2.2.1.Sensitisasi Perifer………..………. 12

2.2.2.Sensitisasi Sentral……….. 13


(11)

2.4.Perjalanan Nyeri……….. 15

2.4.1. Proses Transduksi……….. 15

2.4.2. Proses Transmisi……….… 15

2.4.3. Proses Modulasi……….. 16

2.4.4. Persepsi………..…. 16

2.5.Mekanisme Kerja Obat Analgetik…………..………..…... 17

2.6.Klasifikasi Nyeri………..……… 18

2.6.1.Nyeri Akut dan Kronik……… 18

2.6.2.Nosiseptif dan NyeriNeuropatik………. 19

2.6.3.Nyeri Viseral………..………. 19

2.6.4.Nyeri Somatik……….. 20

2.7.Penilaian Nyeri………. 21

2.8.Penanganan Nyeri………. 23

2.8.1.Farmakologis………..… 24

2.8.2.Multimodal Analgesia………..………….. 25

2.8.3.Preemptif Analgesia……….………..……. 26

2.8.4. Non Farmakologis……….. 28

2.8.5.Voltage-Gated Ca2+ Channels (VGCCs)………..… 28

2.9. Gabapentin……….. 31

2.9.1.Kimia dan Farmakokinetika………..……….. 31

2.9.2.Mekanisme Kerja………. 33

2.9.3.Farmakodinamik………. 35

2.9.4.Penggunaan Dan DosisTerapeutik………. 35

2.9.5.Efek Samping Dan Kontraindikasi………. 37

2.10.Kerangka teori……… 38

2.11.Kerangka Konsep……….……….. 39

3. BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Desain………..……….……… 40


(12)

3.3.Populasi dan Sampel……….. 40

3.4.Kriteria Inklusi dan Eklusi ………...………. 41

3.5. Informed Consent……….. 42

3.6. Alat, Bahan dan Cara Kerja……….. 42

3.6.1. Alat ……….………. 42

3.6.2. Bahan………..…. 42

3.7.Estimasi Besar Sampel……….. 43

3.8. Cara Kerja………. 44

3.9. Identifikasi Variabel………..….. 48

3.10.Rencana manjemen dan analisa data…….………. 48

3.11.Definisi operasional……… 49

3.12.Masalah Etika……….. 51

3.13.Prosedur Kerja... 52

4. BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik Dasar Penelitian……. ... ... 53

4.2. Nilai VAS Pascabedah pada Kelompok A dan B………. 55

4.3. Perbandingan Waktu yang Dibutuhkan untuk Rescue Analgesi Pada Kelompok A dan B.………... 56

4.4. Perbedaan Jumlah Total Rescue Analgesia pada Kelompok A dan B…..…...……… 58

4.5. Perbedaan ada tidaknya Efek Samping pada Pengamatan T2, T4, T8, T12, dan T24 pada Kelompok A dan B ………..………. 60

. 4.5.1.SakitKepala ... … 60

4.5.2. Dizziness………………... 62

4.5.3. Mengantuk, dan Anti Emetik ……….... 63


(13)

6. BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... … 71 6.2 Saran ... … 72


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2.1. Mekanisme sensitisasi perifer ……….……….. 13

Gambar 2.4.4. Pain Pathway……….. 16

Gambar 2.7.1. Wong Baker Faces Pain Rating Scale ……...……… 21

Gambar 2.7.2. Verbal Rating Scale……….……… 22

Gambar 2.7.3. Numerical Rating Scale………..……… 22

Gambar 2.7.4. Visual Analogue Scale………...……… 23

Gambar 2.8.3. Perbandingan cara pemberian analgesia………. 27

Gambar 2.8.5. The binding site dari gabapentinoid……… 30

Gambar 2.9.1. Rumus bangun gabapentin……….………. 31

Gambar 2.9.2. MekanismeKerja Gabapentin…….……… 34

Gambar 2.10. Kerangka Teori……….……….. 38

Gambar 2.11. Kerangka Konsep…..………. 39

Gambar 3.13. Prosedur Kerja……..………..……… 52

Gambar 4.2. Perbedaan Rerata VAS pada Kelompok Pasien yang Mendapat Gabapentin 1200 mg dan Gabapentin 900 mg …………... 56

Gambar 4.3. Perbedaan Waktu Pemberian Rescue Analgesia Pertama pada Kelompok Pasien yang Mendapat Gabapentin 1200 mg dan Gabapentin 900 mg ………..……. 57

Gambar 4.4. Perbedaan Jumlah Total Pemberian Rescue Analgesia Pertama antara Kelompok Pasien yang Mendapat Gabapentin 1200 mg dan Gabapentin 900 mg…….………….………..…...…. 59

Gambar 4.5.1. Proporsi Pasien yang Mengalami Sakit Kepala pada kelompok Pasien yang Mendapat Gabapentin 1200 mg dan Gabapentin 900 mg………..………….… 61


(15)

Gambar 4.5.2. Proporsi Pasien yang Mengalami Dizziness pada Kelompok Pasien yang Mendapat Gabapentin 1200 mg dan Gabapentin 900 mg…. 63


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.8.1.1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri…….……… 24 Tabel 2.8.1.2. Pilihan terapi untuk penanganan nyeri berdasarkan jenis operasi. 25 Tabel 3.8. Kriteria Aldrette………..………..….….….….. 48 Tabel 4.1. Karakteristik Responden Penelitian…….………..………..…. 54 Tabel 4.2. Nilai VAS Pascabedah pada Jam Pengamatan T2.T4. T8.

T12.T24. pada Kelompok A dan B ……….….... 55 Tabel 4.3. Perbandingan waktu yang dibutuhkan untuk rescue analgesia

Pertama setelah pemberian gabapentin dan pada Kelompok A

dan B……… 57

Tabel 4.4. Perbedaan jumlah total rescue analgesia pada Kelompok

A dan B……….. 58

Tabel 4.5.1. Perbedaan ada tidaknya efek samping sakit kepala pada

Kelompok A danB …….…..……….………….… 61 Tabel 4.5.2. Perbedaan ada tidaknya efek samping dizziness pada

Kelompok A dan B…..……….….. 62 Tabel 4.5.3. Perbedaan ada tidaknya efek samping mengantuk (skor Ramsay), mual dan muntah pada Kelompok A dan B…..……….… 64


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Riwayat Hidup Peneliti ……… 81

Lampiran 2 : Jadwal Penelitian ………. 82

Lampiran 3 : Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian ………….. 83

Lampiran 4 : Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan……….…. 86

Lampiran 5 : Lembar Observasi Pasien ……….. 87

Lampiran 6 : Lembar Persetujuan Komite Etik FK-USU ………. 91

Lampiran 7 : Tabel Angka Random ……… 92

Lampiran 8 : Daftar Pasien ……….. 93


(18)

DAFTAR SINGKATAN

VAS : Visual Analog Score

NSAID : Non Steroid Anti Inflamation Drugs

SSP : Susunan Saraf Pusat

NMDA : N-Methyl-D-Aspartat CNS : Central Nervus System

COX : Cyclo-Oxygenase

VRS : Verbal Rating Scale NRS : Numerical Rating Scale

VGCCs : Voltage-Gated Ca2+ Channels HVA : High Voltage Activated

LVA : Low Voltage Activated PANs : Primary Afferent Neurons

FDA : Food Drugs Administration

GABA : Gamma Amino Butyric Acic

CRPS : Complex Regional Pain Syndromes

BMI : Body Mass Index

MAP : Mean Arterial Pressure

SD : Standart Deviasi

EKG : Elektro Kardio Grafi ETT : Endo Tracheal Tube


(19)

ABSTRAK

Latar Belakang: Nyeri masih menjadi masalah pascabedah. Nyeri yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan nyeri kronik yang justru nyeri ini akan sulit ditangani. Gabapentin adalah analog dari GABA mempunyai efek antihiperalgesia, antialodinia, dan antinosiseptif, dan sekarang berkembang untuk penanganan nyeri akut pascabedah. Pemberian dosis gabapentin yang lebih besar dapat meningkatkan efikasinya, tetapi efek samping yang kemungkinan timbul juga menjadi meningkat, sehingga diperlukan penyesuaian dosis untuk pencegahannya.

Tujuan: Untuk menilai efek gabapentin 1.200 mg dan 900 mg per oral 1-2 jam sebelum operasi sebagai preemptif analgesia terhadap nilai visual analogue scale (VAS), efek samping, serta pengurangan kebutuhan petidin selama 24 jam pascabedah dengan spinal anestesi.

Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji klinis acak tersamar ganda. Setelah diperoleh persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Medan, dikumpulkan 60 sampel penelitian, usia 18-60 tahun, PS-ASA I-II yang akan dilakukan bedah elektif dengan menggunakan teknik spinal anestesi. Setelah dihitung secara statistik, seluruh sampel dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok A mendapat gabapentin 1.200 mg per oral dan kelompok B mendapat gabapentin 900 mg per oral. Data hasil penelitian diuji dengan uji Mann Whitney, Chi-kuadrat, dengan tingkat kemaknaan 95% (p < 0,05, dikatakan bermakna secara statistik).

Hasil: Kami menjumpai adanya perbedaan tidak bermakna secara statistik terhadap nilai VAS (p > 0,05), dan pemberian analgesik tambahan pada kedua kelompok (73,3% vs 70%). Efek samping sakit kepala, dizziness, dan mengantuk dijumpai pada kelompok A lebih besar dibandingkan kelompok B, tetapi perbedaan itu tidak bermakna secara statistik (p > 0,05).

Kesimpulan: Efek gabapentin 900 mg/oral sebagai preemptif analgesia tidak berbeda efektivitasnya dalam mengurangi nilai VAS dan kebutuhan petidin sebagai analgesik tambahan pascabedah pada operasi dibawah pengaruh spinal anestesi. Sedangkan efek samping pada gabapentin 900 mg/oral lebih kecil, walaupun secara statistik dijumpai perbedaan tidak bermaka dibandingkan dengan gabapentin1.200 mg/oral.


(20)

ABSTRACT

Background: Pain is still a problem after surgery. Pain that is not handled properly will cause chronic pain that is difficult to treat. Gabapentin is an analogue of GABA that have antihiperalgesia, antiallodynia, and antinociceptive effect, and it is now developed for the treatment of acute post- surgical pain. Larger dose of gabapentin can improve it’s efficacy, but the side effects that may occur also increased, so dose adjustment is necessary for the prevention of side effect.

Purpose: This research was conducted in order to assess the effect of gabapentin 1200 mg and 900 mg orally given as preemptive analgesia towards the visual analogue scale ( VAS ), side effects, and the reduction of pethidine requirement for 24 hours post- surgery with spinal anesthesia.

Methods: This study was done by conducting a double-blind randomized controlled clinical trial. 100 patients were enrolled for the study, aged 18-60 years, PS-ASA I-II, that will undergo elective surgery using spinal anesthesia technique. all patients randomized into 2 groups. Group A given gabapentin 1.200 mg and group B gabapentin 900 mg orally 1-2 hours preoperatively. The result is tested by Mann Whitney test, Chi-square, with significance value 95% (p < 0.05, statistically significant).

Result: From the result, we see the difference was not statistically significant for VAS score (p > 0.05), and the total of rescue analgesics in both groups (73.3 % vs 70 %) was also not significantly different (p = 0.774). The side effects of headache, dizziness, and drowsiness found larger in group A than group B, although the difference is not statistically significant (p > 0.05).

Conclusion: Effect of gabapentin 900 mg or 1200 mg orally as preemptive analgesia was not significantly different in reducing the value of VAS, and pethidine as rescue analgesic in the post-surgical under spinal anesthesia. While the side effects in the gabapentin 900 mg group is smaller compared with gabapentin1.200 mg, the difference was not statistically significant.

Keywords: Preemptive gabapentin, post operative pethidine requirement, visual analog scale, side effects .


(21)

ABSTRAK

Latar Belakang: Nyeri masih menjadi masalah pascabedah. Nyeri yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan nyeri kronik yang justru nyeri ini akan sulit ditangani. Gabapentin adalah analog dari GABA mempunyai efek antihiperalgesia, antialodinia, dan antinosiseptif, dan sekarang berkembang untuk penanganan nyeri akut pascabedah. Pemberian dosis gabapentin yang lebih besar dapat meningkatkan efikasinya, tetapi efek samping yang kemungkinan timbul juga menjadi meningkat, sehingga diperlukan penyesuaian dosis untuk pencegahannya.

Tujuan: Untuk menilai efek gabapentin 1.200 mg dan 900 mg per oral 1-2 jam sebelum operasi sebagai preemptif analgesia terhadap nilai visual analogue scale (VAS), efek samping, serta pengurangan kebutuhan petidin selama 24 jam pascabedah dengan spinal anestesi.

Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji klinis acak tersamar ganda. Setelah diperoleh persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Medan, dikumpulkan 60 sampel penelitian, usia 18-60 tahun, PS-ASA I-II yang akan dilakukan bedah elektif dengan menggunakan teknik spinal anestesi. Setelah dihitung secara statistik, seluruh sampel dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok A mendapat gabapentin 1.200 mg per oral dan kelompok B mendapat gabapentin 900 mg per oral. Data hasil penelitian diuji dengan uji Mann Whitney, Chi-kuadrat, dengan tingkat kemaknaan 95% (p < 0,05, dikatakan bermakna secara statistik).

Hasil: Kami menjumpai adanya perbedaan tidak bermakna secara statistik terhadap nilai VAS (p > 0,05), dan pemberian analgesik tambahan pada kedua kelompok (73,3% vs 70%). Efek samping sakit kepala, dizziness, dan mengantuk dijumpai pada kelompok A lebih besar dibandingkan kelompok B, tetapi perbedaan itu tidak bermakna secara statistik (p > 0,05).

Kesimpulan: Efek gabapentin 900 mg/oral sebagai preemptif analgesia tidak berbeda efektivitasnya dalam mengurangi nilai VAS dan kebutuhan petidin sebagai analgesik tambahan pascabedah pada operasi dibawah pengaruh spinal anestesi. Sedangkan efek samping pada gabapentin 900 mg/oral lebih kecil, walaupun secara statistik dijumpai perbedaan tidak bermaka dibandingkan dengan gabapentin1.200 mg/oral.


(22)

ABSTRACT

Background: Pain is still a problem after surgery. Pain that is not handled properly will cause chronic pain that is difficult to treat. Gabapentin is an analogue of GABA that have antihiperalgesia, antiallodynia, and antinociceptive effect, and it is now developed for the treatment of acute post- surgical pain. Larger dose of gabapentin can improve it’s efficacy, but the side effects that may occur also increased, so dose adjustment is necessary for the prevention of side effect.

Purpose: This research was conducted in order to assess the effect of gabapentin 1200 mg and 900 mg orally given as preemptive analgesia towards the visual analogue scale ( VAS ), side effects, and the reduction of pethidine requirement for 24 hours post- surgery with spinal anesthesia.

Methods: This study was done by conducting a double-blind randomized controlled clinical trial. 100 patients were enrolled for the study, aged 18-60 years, PS-ASA I-II, that will undergo elective surgery using spinal anesthesia technique. all patients randomized into 2 groups. Group A given gabapentin 1.200 mg and group B gabapentin 900 mg orally 1-2 hours preoperatively. The result is tested by Mann Whitney test, Chi-square, with significance value 95% (p < 0.05, statistically significant).

Result: From the result, we see the difference was not statistically significant for VAS score (p > 0.05), and the total of rescue analgesics in both groups (73.3 % vs 70 %) was also not significantly different (p = 0.774). The side effects of headache, dizziness, and drowsiness found larger in group A than group B, although the difference is not statistically significant (p > 0.05).

Conclusion: Effect of gabapentin 900 mg or 1200 mg orally as preemptive analgesia was not significantly different in reducing the value of VAS, and pethidine as rescue analgesic in the post-surgical under spinal anesthesia. While the side effects in the gabapentin 900 mg group is smaller compared with gabapentin1.200 mg, the difference was not statistically significant.

Keywords: Preemptive gabapentin, post operative pethidine requirement, visual analog scale, side effects .


(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Saat ini nyeri masih menjadi masalah pascabedah. Nyeri yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan nyeri kronik yang justru nyeri ini akan sulit ditangani. Nyeri bersifat subjektif, derajat dan kualitas nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsang yang sama akan berbeda antara satu penderita dengan penderita lainnya. Kurangnya perhatian, pengetahuan dan keterampilan tenaga medik merupakan hambatan utama pengelolaan nyeri pascabedah yang tepat, dosis analgesik sering tidak tepat dan masih ditambah rasa ketakutan terjadinya depresi pernafasan pada pemberian analgesik opioid. Di Amerika lebih dari 73 juta pasien telah dioperasi setiap tahunnya dan lebih dari 75% pasien tersebut mengalami nyeri pascabedah.Dari data tersebut terlihat bahwa nyeri masih menjadi masalah bahkan dinegara maju sekalipun seperti Amerika.1,2

Nyeri adalah suatu rasa yang tidak menyenangkan yang melibatkan emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan. Nyeri akut dapat merupakan bagian dari kerusakan jaringan atau inflamasi yang dapat disebabkan oleh operasi, luka bakar, ataupun trauma.1 Penanganan nyeri pascabedah yang efektif sangatlah penting.

Penanganan nyeri yang efektif dengan sedikit efek samping akan mempercepat pemulihan dan kepulangan pasien dari rumah sakit. Pemberian analgesik pascabedah yang adekuat menjadi prioritas, dan masih menjadi tantangan besar bagi dokter anestesiologi.3

Terdapat beberapa golongan obat yang sering digunakan untuk mengatasi nyeri pascabedah seperti Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID), opioid (morfin, pethidin, tramadol), dan adjuvant (ketamin dan klonidin). Analgesik setelah pembedahan dapat dicapai dengan menggunakan beragam opioid. Efektifitas pemakaian opioid sebagai analgesik pascabedah sudah diakui namun memiliki efek


(24)

samping. Efek samping yang ditimbulkan oleh opioid seperti depresi pernafasan, sedasi, mual muntah, dan pruritus.3

Saat ini banyak digunakan obat-obatan non-opioid seperti obat anti inflamasi nonsteroid sebagai pengganti opioid, karena memiliki efek analgesik yang kuat dan mempunyai efek anti inflamasi. Namun pemberian obat kelompok anti inflamasi non steroid juga harus berhati-hati karena berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan daerah operasi akibat waktu perdarahan yang memanjang, luka pada organ gastrointestinal, dispepsia dan menyebabkan gangguan ginjal. Sedangkan penggunaan tramadol sebagai analgesik golongan opioid mempunyai efek samping yang sering dijumpai antara lain mual dan muntah.3

Preemptif analgesia adalah pengobatan antinosiseptif yang ditargetkan untuk menghambat hipersensitifitas SSP, dan pada akhirnya mengurangi nyeri pascabedah. Preemptif analgesia mencegah kaskade neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan luka. Dengan cara demikian keluhan nyeri pascabedah akan sangat menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri pascabedah tanpa memakai cara preemptif analgesia.1,4,5

Konsep dari pada preventif analgesia sebenarnya adalah mencegah terjadinya nyeri pascabedah, dimana nyeri kronik yang persisten bisa terjadi pada 10-50% kasus yang tidak mendapat adekuat analgesik pascabedah. Sehingga preventif analgesia ini berdasarkan pada asumsi bahwa satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya sensitisasi sentral adalah dengan secara lengkap memblokade sinyal nyeri apapun dari luka operasi, mulai dari saat insisi hingga penyembuhan luka sempurna. Diharapkan melalui pemberian analgesik secara menyeluruh sebelum nyeri timbul dan sesudah operasi, maka dapat mengurangi intensitas dan durasi nyeri pada nyeri akut pascabedah, yang pada akhirnya mencegah timbulnya nyeri persisten.6 Sedangkan

konsep preemptif analgesia yaitu memulai pemberian analgesik sebelum timbulnya stimulus nyeri untuk mencegah sensitisasi sentral dan mengurangi pengalaman nyeri berikutnya.6,7 Preemptif analgesia memiliki efek ‘pelindung’ pada jalur nosiseptif


(25)

sehingga memiliki potensi untuk menjadi lebih efektif daripada analgesik serupa pada pemberian setelah pembedahan. Akibatnya, nyeri pascabedah segera dapat dikurangi dan dapat dicegah berkembang menjadi nyeri kronis.6 Berdasarkan data laboratorium

dan beberapa studi klinis, Wall menyebutkan pentingnya preemptif analgesia dalam sebuah editorial tahun 1988 dikarenakan, pertama, penurunan masukan rangsangan

small-fiber ke dalam SSP selama operasi akan mencegah sensitisasi sentral, dan kedua, analgesik yang diberikan sebelum operasi memiliki potensi menghasilkan efek berkepanjangan.5

Banyak obat yang telah menunjukkan manfaat dari analgesia preemptif, suatu penelitian meta-analisis yang dilakukan Ong dkk tahun 2005, dengan melihat kemampuan preemptif analgesia dalam menurunkan skor nyeri pascabedah, mengurangi jumlah penggunaan analgesik, dan memperpanjang waktu permintaan analgesik pertama atau rescue analgetic pascabedah. Penilaian hasil preemptif analgesik pada teknik epidural analgesik, infiltrasi anestesi lokal, obat sistemik NSAID dan non-kompetitif N-Methyl D-Aspartat (NMDA). Ong dkk mengatakan teknik epidural analgesik paling baik sebagai preemptif analgesia dikarenakan menghambat transmisi afferen di medula spinalis dan mengurangi sensitisasi nyeri susunan saraf pusat dibandingkan teknik lain tetapi memiliki kelemahan dari segi ekonomis yaitu biaya yang lebih mahal. Infiltrasi anestesi lokal di daerah insisi dan pemberian obat NSAID sebagai preemptif analgesia hanya mampu memperlama waktu permintaan analgesia pertama paska bedah tetapi tidak dalam mengurangi skor nyeri pascaoperasi, dan penggunaan NSAID juga dapat meningkatkan kejadian perdarahan pascabedah.6

Gabapentin telah menunjukkan efek analgesia dalam uji klinis sebagai preemptif analgesia dan penatalaksanaan nyeri akut pascabedah, tetapi pengalaman penggunaan obat ini masih terbatas. 8Di Indonesia sendiri masih sedikit penelitian yang menggunakan gabapentin dalam tatalaksana nyeri akut pascabedah, khususnya di RS. H. Adam Malik Medan Sumatera Utara. Gabapentin terbukti efektif dalam mengurangi nyeri pascabedah, mengurangi rescue analgetic dan rasa sakit, pencegahan mual dan


(26)

muntah, delirium pascaoperasi, anxiolysis praoperasi dan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi. Sensitisasi neuron di dorsal horn juga telah dibuktikan dalam penanganan nyeri akut pascabedah dan ini menjadi pemicu timbulnya nyeri pascabedah.9,10,11

Bioavailabilitas gabapentin berbanding terbalik dengan dosis yang diberikan. Semakin besar dosis obat maka bioavailabilitas semakin kecil. Perbedaan farmakokinetik pada gabapentin tersebut dapat terjadi karena mekanisme absorbsi aktif gabapentin melalui sistem transportasi dengan kapasitas terbatas. Sistem pengangkut yang bertanggung jawab terhadap absorbsi gabapentin adalah L-α-amino acid transporter yang terdapat di mukosa intestinal. Bila transporter tersebut telah jenuh, maka transporter tersebut tidak dapat mengikat gabapentin lebih banyak lagi sehingga obat yang dapat diabsorbsi juga akan mengalami penurunan, demikian pula dengan jumlah gabapentin dalam plasma yang tidak lagi akan meningkat sesuai dengan besar dosis pemberian. Absorbsi serta bioavailabilitas gabapentin 600 mg akan menghasilkan konsentrasi maksimal di dalam plasma sebesar 21,6 µMol, sedangkan ambang terapeutik plasma gabapentin pada manusia adalah ≥12 µMol. Berdasarkan hal ini, maka pemberian gabapentin dosis 600 mg sudah cukup untuk memberikan kadar terapeutik plasma yang efektif. Tetapi penelitian yang membandingkan antara dosis gabapentin 600 mg dengan 1.200 mg, dapat dipastikan absorbsi dan juga bioavailabilitas gabapentin 1.200 mg tetap lebih besar bila dibandingkan gabapentin 600 mg, namun hasil penelitian membuktikan bahwa dosis yang lebih besar (1.200 mg) dapat menurunkan nilai VAS dengan perbedaan yang bermakna secara statistik.12

Meskipun gabapentin secara umum hanya sedikit saja memiliki interaksi dengan beberapa obat, gabapentin terkadang dapat menyebabkan sakit kepala,

dizziness, mulut kering dan mengantuk yang dapat dikurangi dengan memberikan dosis yang lebih kecil dan titrasi secara perlahan-lahan. Dapat juga dijumpai efek samping berupa mulut kering, serta gangguan kognitif dan cara berjalan pada pasien-pasien usia tua.13


(27)

Salah satu penilaian terhadap nyeri adalah Visual Analogue Scale (VAS) yang terdiri dari skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang ringan dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesik penyelamat (rescue analgetic).2,14

Telah banyak dilakukan penelitian mengenai efektivitas dan efek samping dari gabapentin sebagai preemptif analgesia yang dibandingkan dalam dosis yang berbeda dalam penanganan nyeri setelah tindakan operasi dan mengurangi efek samping yang dapat terjadi.

Penelitian yang dilakukan oleh Anil Verma, dkk tahun 2008 dengan melakukan penelitian pada 50 pasien yang menjalani operasi total abdominal histerektomi dengan epidural anestesi, dibagi menjadi dua grup gabapentin 300 mg diberikan dua jam sebelum operasi (25 pasien) dan plasebo 25 pasien. Dari hasil penelitian didapati hasil VAS selama 24 jam pascabedah lebih rendah dibandingkan dengan grup plasebo dengan p value < 0,05 serta gabapentin juga mengurangi epidural bolus bupivakain 0,125% dibandingkan dengan grup plasebo dengan pvalue

< 0,05. Kejadian efek samping di grup gabapentin dan grup plasebo (mual 5 : 4, muntah 3 : 4, kelelahan 1 : 0, pusing ringan 1 : 0 dan pusing 1 : 0) secara statistik tidak berbeda bermakna.15

Penelitian yang dilakukan oleh Harshel, dkk tahun 2010. Penelitian dilakukan 60 pasien dan dibagi menjadi dua grup yaitu grup gabapentin (30 pasien) 600 mg yang diberikan 1 jam sebelum operasi serta grup plasebo (30 pasien). Pasien akan menjalani operasi daerah abdomen dengan anestesi umum. Dari hasil penelitian didapati VAS skor grup gabapentin lebih rendah dengan p value < 0,05 selama 24 jam. Pada penelitian ini tidak mengamati efek samping yang berhubungan dengan dosis tunggal gabapentin.16


(28)

Penelitian Raghove P, dkk tahun 2010 melakukan penelitian pada 90 pasien ASA I dan II yang akan menjalani operasi tungkai bawah dengan spinal anestesi yang membandingkan efektifitas dari grup gabapentin 1.200 mg per oral, gabapentin 6oo mg per oral 1 jam sebelum operasi, serta grup plasebo. Dari hasil penelitian didapati VAS skor pada grup gabapentin 1.200 mg menurunkan skor nyeri setelah operasi dan pemberian rescue analgesia selama 24 jam dibandingkan dengan grup yang lain. Efek samping sedasi lebih besar pada grup gabapentin 1.200 mg dibanding dengan kedua grup, sedangkan efek samping yang lain dijumpai tidak berbeda bermakna secara statistik.17

Penelitian yang dilakukan oleh Panah Khahi M, dkk tahun 2011 melakukan penelitian pada 64 pasien ASA I dan II yang akan menjalani internal fiksasi tibia dengan spinal anestesi yang diberikan gabapentin 300 mg dua jam sebelum operasi. Dari hasil penelitian didapati adanya pengurangan skor nyeri pada grup gabapentin dua jam pascabedah dengan p value 0,004 tetapi untuk VAS 12 jam dan 24 jam pascabedah dijumpai perbedaan tidak bermakna secara statistik. Tidak ada pengamatan efek samping khusus dari pemberian gabapentin. 8

Penelitian yang dilakukan Yavuz, dkk tahun 2013 melakukan penelitian dengan 60 pasien ASA I-III pada pasien operasi ekstremitas bawah dengan spinal-epidural anestesi. Pasien dibagi menjadi dua grup, grup P (30 pasien) levobupivakain 0,5% 10-15 mg dan fentanyl 25 µg yang diberikan melalui spinal dan morfin 3 mg melalui epidural. Grup G (30 pasien) diberikan 600 mg gabapentin satu sampai dua jam sebelum operasi. Dari hasil penelitian grup G memiliki VAS skor yang lebih rendah pada menit ke-30 dan ke-60 serta 18 dan 24 jam pascabedah dengan pvalue < 0,05. Efek samping dari analgesik gabapentin pada penelitian ini berupa sedasi dan

dizziness yang dilaporkan 23%.18

Penelitian yang dilakukan oleh Mardani-Kivi M, dkk tahun 2013 melakukan penelitian pada 114 pasien yang menjalani operasi anterior cruciate ligament

rekontruksi dengan arthroskopi dengan anestesi umum. Pasien dibagi menjadi dua grup; gabapentin 600 mg dan plasebo. Dari hasil penelitian pada jam ke-6 dan 24


(29)

nilai VAS lebih rendah dibandingkan dengan plasebo dengan p value 0,0001 serta konsumsi opioid pascabedah jauh lebih sedikit dibandingkan grup plasebo dengan p value < 0,001. Efek samping gabapentin yang tersering pada penelitian ini adalah kejadian mengantuk dan sakit kepala.19

Penelitian yang dilakukan Ardi Zulfariansyah, dkk tahun 2013 terhadap 38 orang pasien di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung yang menjalani operasi mastektomi radikal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yaitu gabapentin 600 mg dan gabapentin 1.200 mg. Hasil penelitian dijumpai nilai VAS saat diam dan saat mobilisasi berbeda bermakna secara statistik (p<0,05). Kelompok gabapentin 1.200 mg lebih sedikit diberikan analgesik petidin tambahan (10,5% vs 15,8%), tetapi tidak berbeda bermakna (p=0,631). Simpulan penelitian ini adalah gabapentin 1.200 mg per oral preoperatif lebih baik dibandingkan 600 mg dalam mengurangi nilai VAS pascabedah, namun tidak mengurangi kebutuhan petidin. Kelompok gabapentin 1.200 mg mengalami efek samping yang lebih besar dibandingkan gabapentin 600 mg.12

Dari latar belakang diatas, peneliti berkeinginan meneliti apakah pemberian gabapentin 900 mg per oral sebagai preemptif analgesia dapat mengurangi VAS dan efek samping pascabedah dibandingkan dengan gabapentin 1.200 mg per oral.

1.2. Rumusan masalah

Apakah ada perbedaan pemberian gabapentin 900 mg per oral sebagai preemptif analgesia dapat mengurangi VAS dan efek samping pascabedah dibandingkan dengan gabapentin 1.200 mg per oral dengan spinal anestesi ?

1.3. Hipotesa

Ada perbedaan nilai Visual Aanalogue Scale dan efek samping gabapentin 900 mg dengan gabapentin 1.200 mg per oral sebagai preemptif analgesia pascabedah dengan spinal anestesi.


(30)

1.4.1. Tujuan Umum

Dengan melakukan penelitian ini diharapkan peneliti mendapatkan obat alternatif analgesik pascabedah dengan efek samping minimal.

1.4.2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui efek klinis penggunaan oral gabapentin dosis 900 mg dalam mengurangi nyeri pascabedah.

2. Untuk mengetahui efek klinis penggunaan oral gabapentin dosis 1200 mg dalam mengurangi nyeri pascabedah.

3. Mengukur kebutuhan analgesik pascabedah antara pasien yang mendapat preemptif gabapentin dosis 900 mg per oral dan dosis 1.200 mg per oral. 4. Untuk mendapatkan nilai perbandingan efek samping pascabedah setelah

pemberian gabapentin 900 mg dengan gabapentin 1200 mg per oral sebagai analgesik pascabedah.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat dalam bidang akademi

a. Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan

untuk pemilihan obat alternatif yang bisa mengurangi nyeri pascabedah dengan spinal anestesi.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan terutama ilmu anestesi.

1.5.2. Manfaat dalam bidang pelayanan masyarakat

- Memberikan beberapa pilihan cara pemberian analgesik pascabedah. - Untuk mendapatkan keadaan pasien yang bebas nyeri setelah pembedahan. - Mengurangi kerugian yang ditimbulkan dari efek samping pemberian opiod


(31)

- Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat mengurangi efek samping risk benefit.

1.5.3. Manfaat dalam bidang penelitian


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. FISIOLOGI NYERI

Nyeri dapat didefenisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang jelas, atau sesuatu yang tergambarkan seperti yang dialami (International Association for the Study of Pain tahun 1979). Dari defenisi di atas dapat diketahui adanya hubungan pengaruh obyektif (aspek fisiologi dari nyeri) dan subyektif (aspek komponen emosi dan kejiwaan). Pengaruh subyektif erat kaitannya dengan pendidikan, budaya, makna situasi dan aktifitas kognitif, sehingga nyeri merupakan hasil belajar serta pengalaman sejak dimulainya kehidupan. Individualisme rasa nyeri ini sulit dinilai secara obyektif, walaupun dokter telah melakukan observasi atau menggunakan alat monitor. Baku emas untuk mengetahui seseorang berada dalam kondisi nyeri ataupun tidak adalah dengan menanyakannya langsung.1,21

Kata nosisepsi berasal dari kata “noci” dari bahasa Latin yang artinya harm

atau injury dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Kata ini digunakan untuk menggambarkan respon neural hanya pada traumatik atau stimulus noksius. Banyak pasien merasakan nyeri meskipun tidak ada stimulus noksius. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi ataupun sensitisasi dari nosiseptor perifer, reseptor khusus yang mentransduksi stimulus noksius.22-24

Dalam keadaan fisiologis, stimulus dengan intensitas rendah menimbulkan sensasi rasa yang diaktifkan oleh serabut saraf A beta, sedang stimulus dengan intensitas tinggi menimbulkan sensasi rasa nyeri yang diaktifkan oleh serabut A delta dan serabut saraf C. Pada keadaan paska bedah, sistem saraf sensorik ini mengalami hipersensitifitas yang akan menyebabkan juga perubahan fungsi di kornu dorsalis medula spinalis sehingga dengan stimulus yang rendah menyebabkan rasa nyeri yang nyata.1


(33)

Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrien) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan ini berperan pada proses transduksi dari nyeri.25

Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau pascabedah harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak nyeri akan menimbulkan respon stress metabolik yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasien, sehingga akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti :2,22,26

• Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus

asa.

• Perubahan neurohormonal : hiperalgesia perifer, peningkatan sensitifitas luka. • Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme. • Peningkatan aktivitas simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi,

takikardi.

2.2. MEKANISME NYERI

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. 27,28

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri.


(34)

Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif namun demikian pada kasus-kasus cidera elektif (misalnya : pembedahan), cidera karena trauma, dan perlunya penatalaksanaa aktif harus dilakukan. Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri.24,27,28

Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksius atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistem saraf (nyeri fungsional).

2.2.1. Sensitisasi Perifer

Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, sel inflamasi akan menghasilkan

sitokin, chemokin dan growth faktor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).28

Sensitivitas daripada terminal nosiseptor perifer tidaklah tetap, dan aktivasinya dapat dilakukan baik melalui stimulasi perifer berulang atau melalui perubahan komposisi kimia dari terminal dapat mensensitisasi neuron sensor primer. Fenomena ini dikatakan sebagai sensitisasi perifer.2,22-24

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang

aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cidera atau inflamasi.28


(35)

Peripheral Sensitisation

Tissue damage Inflamation Sympathetic terminalis

Sensitising ‘Soup’

Hydrogen ion Histamin Purines Leucotrienes Noradrenaline Potassium ions Cytokines Nerve growth factor Bradykinin Prostaglandin 5-HT Neoropeptides

High threshold nociceptor Tranduction sensitivity

Low threshold nociceptor

Gambar 2.2.1. Mekanisme sensitisasi perifer. 29

2.2.2. Sensitisasi Sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent).28

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang massif kedalam medulla spinalis, ini akan menjadi jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini menyebabkan munculnya nyeri akibat stimulus non noksius dan daerah yang jauh dari jaringan cedera juga menjadi sensitif rangsangan nyeri.28


(36)

2.3. NOSISEPTOR

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vascular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noxious yang berasal dari kimia, suhu, atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke CNS untuk interpretasi nyeri.24,27

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf proyeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap waspada pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemi kulit 20 sampai 30 menit.24,27

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat–serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta. 24.27

Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didisain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ internal jarang terpapar pada keadaan yang merusak. Banyak stimulus yang merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu, inflamasi,


(37)

iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.24.27

2.4. PERJALANAN NYERI

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan 4 proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).

1,24

2.4.1. Proses Transduksi

Merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf . Rangsang ini dapat berupa stimuli fisik, kimia ataupun panas.1,24

2.4.2. Proses Transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan visceral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.1,24


(38)

2.4.3. Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.1,24

2.4.4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.1,24


(39)

2.5. MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK

Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat anti inflamasi non steroid bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.1

Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap rangsangan nyeri (nosiseptif). 1,24

Enzim Cyclo-Oxygenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. NSAID memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan 2 isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral.1,24


(40)

2.6. KLASIFIKASI NYERI

Kejadian nyeri unik pada setiap individual bahkan jika cedera fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah, kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan. Subjektivitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri. Salah satu pendekatan dengan mengklasifikasi nyeri berdasarkan durasi (akut, kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan, kanker).31

2.6.1. Nyeri Akut dan Kronik

Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat. Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai 7 hari, 2 Sedangkan nyeri kronik bisa

dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1–6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction atau infeksi HIV. Nyeri kronik mungkin mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) membuat pengobatan menjadi lebih sulit.24

Pasien dengan nyeri akut dapat memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul tetapi nyeri kronik bisa tanpa disertai adanya respon otonom.4 Nyeri

kronik dapat berupa hiperalgesia dan allodynia yang pengobatan untuk nyeri ini sangat sulit sehingga, penanganan untuk nyeri akut harus baik untuk mencegah timbulnya nyeri kronik. 24


(41)

2.6.2. Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik

Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktivasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap analgesik opioid atau non opioid.1,32

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer dan biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik opioid. 24

2.6.3. Nyeri Viseral

Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureter, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan. Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena (Ashburn dan Lipman, 1993).33,34

Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah karena distensi berlebih dari jaringan. Impuls nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana impuls


(42)

dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard. Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat sensitif pada nyeri.29

2.6.4. Nyeri Somatik

Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membrane mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. 30,31 Penyakit yang menyebar

pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak.35

Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh, impuls nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat–serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan, impuls nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, impuls–impluls ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah. 21,24,25


(43)

2.7. PENILAIAN NYERI

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini. 29

1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale ,2,29,36,37

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 2.7.1. Wong Baker Faces Pain Rating Scale. 2

2. Verbal Rating Scale (VRS) 2,34,37,38

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.


(44)

Gambar 2.7.2. Verbal Rating Scale. 2

3. Numerical Rating Scale (NRS) 2,36,37,38

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.7.3. Numerical Rating Scale. 2

4. Visual Analogue Scale (VAS) 29,36

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan.


(45)

Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya mudah hanya menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyaajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesik tambahan (rescue analgetic). 36

Gambar 2.7.4. Visual Analogue Scale. 29

2.8. PENANGANAN NYERI

Penanganan nyeri paskabedah yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, juga terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi). 2,26


(46)

2.8.1. Farmakologis

Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid intraspinal.1

Pemilihan teknik analgesik secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgesik yang digunakan untuk penanganan nyeri pascabedah. 1,2

Tabel 2.8.1.1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri. 2 Non-opioid analgesics Paracetamol

NSAIDs, including COX-2 inhibitors*

Gabapentin, pregabalin2

Weak opioids Codeine Tramadol

Paracetamol combined with codein or tramadol

Strong opioids Morphine Diamorphine Pethidine Piritramide Oxycodone Adjuvants** Ketamin


(47)

Tabel 2.8.1.2. Pilihan terapi untuk penanganan nyeri berdasarkan jenis operasi. 2 Mild Intensity pain For example: Inguinal hernia Varices Laparoscopy Moderate Intensity pain For example: Hip replacement Histerectomy Jaw surgery Severe Intensity pain For example: Thoracotomy

Upper abdominal surgery Aortic surgery

Knee replacement

(i) Paracetamol and wound infiltration with local anaesthetic (ii) NSAIDs (unless contraindicated) and

(iii) Epidural local analgesia or mayor pheriperal nertve block or opioid injection (IV PCA)

(i) Paracetamol and wound infiltration with local anaesthetic (ii) NSAIDs (unless contraindicated) and

(iii) Pheriperal nertve block (single shot or continuous infusion) or opioid injection (IV PCA)

(i) Paracetamol and wound infiltration with local anaesthetic (ii) NSAIDs (unless contraindicated) and

(iii) Regional block analgesia

Add weak opioid or rescue analgesia with small increments or intravenous strong opioid if necessary

2.8.2. Multimodal Analgesia

Multimodal analgesia menggunakan dua atau lebih obat analgesik yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek analgesik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Dimana multimodal analgesia melakukan intervensi nyeri secara berkelanjutan pada ketiga proses perjalanan nyeri, yakni:24,26,29

• Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan NSAID • Penekanan pada proses transmisi dengan anestesik lokal (regional) • Peningkatan proses modulasi dengan opioid

Multimodal analgesia merupakan suatu pilihan yang dimungkinkan dengan penggunaan parasetamol dan NSAID sebagai kombinasi dengan opioid atau anestesi lokal untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang mengalami


(48)

nyeri pascabedah ditingkat sedang sampai berat.2 Multimodal analgesia selain harus

diberikan secepatnya (early analgesia), juga harus disertai dengan inforced mobilization (early ambulation) disertai dengan pemberian nutrisi nutrisi oral secepatnya (early alimentation). 38

2.8.3. Preemptif Analgesia

Preemptif analgesia adalah pengobatan antinociceptive yang ditargetkan untuk memblokir hyperexcitation SSP, dan pada akhirnya mengurangi nyeri pascabedah. Meskipun banyak penelitian, relevansi klinis dari pengobatan tersebut saat ini masih kontroversi. Preemptif analgesia artinya mengobati nyeri sebelum terjadi, terutama ditujukan pada pasien sebelum dilakukan tindakan operasi (pre-operasi). Pemberian analgesia sebelum onset dari rangsangan melukai untuk mencegah sensistisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri selanjutnya. Preemptif analgesia mencegah kaskade neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan luka. Dengan cara demikian keluhan nyeri pascabedah akan sangat menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri pascabedah tanpa memakai cara preemptif analgesia. Bisa diberikan obat tunggal, misalnya opioid, ketorolak, maupun dikombinasikan dengan opioid atau NSAID lainnya, dilakukan 20 – 30 menit sebelum tindakan operasi. 1.4,5,39-41

Konsep preemptif analgesia pertama kali didalilkan oleh George Washington Crile pada tahun 1900. Crile menyatakan bahwa trauma yang disebabkan oleh operasi menyebabkan ‘shock & exhaustion’ pada SSP. Dia menganjurkan untuk melakukan pre-insisi dan infiltasi anestesi lokal intraoperatif pada anestesi umum. Dengan cara ini stimulus noksius dapat dicegah mencapai otak. Dan ide tentang ini kembali muncul tahun 1980.5,6

Berdasarkan data laboratorium dan beberapa studi klinis, Wall menyebutkan dalam sebuah editorial tahun 1988 bahwa, (1) penurunan masukan rangsangan small-fiber ke dalam SSP selama operasi akan mencegah sensitisasi sentral, dan (2) analgesik yang diberikan sebelum operasi memiliki potensi menghasilkan efek


(49)

berkepanjangan. Wall dan Woolf menunjukkan bahwa dosis rendah opioid yang diberikan sebelum stimulus nyeri secara efektif dapat mencegah sensitisasi. Sebaliknya diperlukan dosis opioid yang lebih besar untuk menekan spinal cord yang sudah peka.5

Percobaan pada hewan memperlihatkan keuntungan dari pencegahan sensitisasi sentral dengan infiltrasi lokal anestesi, suatu pendekatan yang secara khusus efektif pada nyeri yang berhubungan dengan diferensiasi, seperti yang terjadi pada amputasi. Secara umum, hasil dari percobaan tadi menjadikan konsep preemptif analgesia dimulai dengan analgesik sebelum onset dari rangsangan melukai untuk mencegah sensitisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri selanjutnya. Pembedahan mungkin merupakan aplikasi klinis dimana teknik preemptif analgesia menjadi sangat efektif karena onset rangsangan yang kuat dapat diketahui (gambar 7).29

Gambar 2.8.3. Perbandingan cara pemberian analgesik. 31

Pada gambar diatas, skematik preemptif analgesia dengan penekanan pada pencegahan sensitisasi sistem saraf selama perioperatif. Tipe nyeri tanpa intervensi ditunjukkan pada gambar A, dimana tergambar nyeri saat awal pembedahan dan selanjutnya berkembang menjadi hipersensitifiti. Gambar B, analgesik diberikan


(50)

setelah sensitisasi dapat menurunkan nyeri sedikit tetapi tidak memiliki keuntungan jangka panjang. Pada gambar C, analgesik diberikan sebelum pembedahan membatasi nyeri mulai rangsangan dan menurunkan hipersensitifiti selanjutnya. Yang paling efektif adalah pada gambar D di mana analgesik diberikan sebelum pembedahan dan dilanjutkan selama masa perioperatif.29

Konsep preemptif analgesia yaitu dimulai pemberian analgesik sebelum timbulnya stimulus nyeri untuk mencegah sensitisasi sentral dan mengurangi pengalaman nyeri berikutnya.2,3 Preemptif analgesia memiliki efek ‘pelindung’ pada

jalur nociceptive sehingga memiliki potensi untuk menjadi lebih efektif daripada analgesik serupa pada pemberian setelah pembedahan. Akibatnya, nyeri pascabedah segera dapat dikurangi dan dapat dicegah berkembang menjadi nyeri kronis.6,7

2.8.4. Non-Farmakologis

Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk memantu penanganan nyeri pascabedah, seperti menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk nyeri kronik (gangguan musculoskletal, nyeri kepala), terapi psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada system saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation).1,2

2.8.5. Voltage-Gated Ca2+ Channels (VGCCs).

Setiap sel yang aktif memiliki aktivitas dari voltage-gated Ca2+ channels (VGCCs). Chanel ini banyak berperan pada aktivitas sinyal listrik dan biokimia pada beberapa reaksi tubuh termasuk melepaskan neurotransmitter nyeri seperti glutamat. Depolarisasi membran sel menyebabkan canel ini terbuka dan menyebabkan influks kalsium ekstraseluler ke intraseluler, sehingga terjandinya reaksi sinyal listrik dan biokimia dalam intraseluler meliputi pelepasan neurotransmitter, neuropeptid, aktivitas saraf, ekspresi gen, refleks pertahanan tubuh sampai kematian.42,43


(51)

VGCCs merupakan susunan yang kompleks terdiri dari multi-protein dengan subunit α1 pori pembentuk bagian pusat yang dikelilingi oleh α2δ, β, γ sebagai

subunit pembantu.44 VGCCs dibagi menjadi dua ketegori yaitu :

- High-Voltage-Activated (HVA) yang terdiri dari tipe L-,N-, P/Q- dan R-type

Ca2+ yang semua canel ini membutuhkan depolarisasi atau rangsangan yang

cukup kuat untuk teraktivasi.

- Low-Voltage-Activated (LVA) yang terdiri dari canel T-type Ca2+ dapat

teraktivasi oleh rangsangan atau depolarisasi yang ringan.

Canel tipe L-,N-, P/Q- dan R-type Ca2+ adalah canel yang bekerja dibantu oleh α2δ subunit yang paling banyak dipelajari karena terlibat dalam proses nyeri.43-45 Tipe

dari N-type Ca2+ teridiri dari pori subunit α1β. Subunit ini bekerja di terminal dari

neuron aferen primer atau Primary Afferent Neurons (PANs) yang menyampaikan sinyal ke superfisial lamina di dorsal horn dari medulla spinalis. Penting untuk diketahui adalah subunit ini akan meningkat jumlah dan kerjanya jika terjadi yaitu inflamasi saraf dan jaringan. Penelitian yang pernah dilakukan pada hewan coba pada

canel tipe ini menunjukkan bahwa suatu zat yang dapat memblokade canel ini (toxin diberikan pada canel ini) ternyata zat tersebut dapat mencegah letupan-letupan sinyal listrik yang dapat menimbulkan sensasi nyeri berupa hyperlagesia ataupun

allodyania, sehingga canel N-type Ca2+ menjadi modal selanjutnya cara kerja obat

penghilang rasa sakit.43,45

N-, P/Q- dan R-type Ca2+ secara bersama-sama bekerja, dan saling bersinaps,

serta berperan dalam banyak pelepasan neurotransmitter. Tetapi, hanya canel P/Q- type Ca2+ yang terlibat dalam kondisi penyakit tertentu seperti epilepsi, ataksia dan

migraine. Mutasi pada subunit α1A dari P/Q- type Ca2+ canel ini menurut beberapa penelitian dipercaya sebagai penyebab timbulnya migrain. Canel ini terutama terletak di medulla spinalis di lamina II sampai VI di spinal cord yang berperan sebagai inhibisi sinyal saraf di medulla spinalis. Sehingga canel ini terlibat dalam


(52)

menghalangi sinyal nyeri, mencegah hyperlagesia melalui sifatnya yang

neurotransmission inhibition dengan mencegah influks kalsium ektraseluler.43,45

T-type Ca2+ banyak berkonsentrasi di badan sel saraf dan dendrite yang

berperan sebagai modulasi sinyal rangsang saraf. Penelitian terhadap subtipe canel ini bertindak sebagai antinosiseptif di supraspinal. Sehingga T-type Ca2+ ini dapat

bertindak dalam menghambat sinyal nyeri. Suatu penelitian tingkat hewan berhasil melakukan pengaktifan canel ini dan didapati hasil berupa penghambatan nyeri kronik yang diberikan pada hewan percobaan. 46

Mungkin pengembangan terbesar dalam penelitian tentang canel kalsium adalah dalam pengembangan obat baru yang menargetkan subunit bantu VGCCs atau

α2δ auxiliary subunits. Cidera saraf perifer menginduksi secara signifikan protein α2δ

di dorsal horn, menekan relevansi dengan nyeri saraf yang disebabkan cedera saraf, dengan manfaatkan penggunaan secara klinis α2δ dalam nyeri neuropatik.

Gabapentin dan pregabalin mengikat α2δ subunit, sebagian mengurangi aktivitas VGCCs dan mengurangi hiperaktivitas neuron dorsal horn serta hiperalgesia dan allodynia yang ditimbulkan oleh cedera saraf (Taylor, 2004). Kedua obat telah disetujui untuk mengobati beberapa nyeri neuropatik dan yang terpenting kedua obat ini tidak menunjukkan toleransi dengan penggunaan jangka panjang (Taylor, 2004). Bahkan, penambahan gabapentin dapat meningkatkan efektivitas analgesik morfin dalam pengobatan cedera saraf (Matthews dan Dickenson, 2002).43,45


(1)

89 4. Pemakaian rescue analgesic

Pemakaian opioid petidin 0,5 mg/kg BB pascabedah: Ada/ tidak ada Petidin 0.5mg/kg BB Frekuensi (x/mnt)

Total:

5. Skor Mual Muntah Waktu

(jam)

0 2 8 12 24

Skor Skor

0 : Tidak mual dan tidak muntah

1 : Mual

2 : Muntah

3 : Mual dalam 30 menit atau muntah lebih dari 2 kali

6. Efek samping a. Sakit kepala Waktu

(jam)

0 2 4 8 12 24

Ada/ tidak ada

b. Sedasi Waktu

(jam)

2 4 8 12 24

Skor


(2)

Penilaian tingkat sedasi berdasarkan skala Ramsay :

Skor Defenisi

1 Pasien sadar dan cemas, agitasi, atau keduanya

2 Pasien sadar, kooperatif, bernafas adekuat, berorientasi, dan tenang 3 Pasien sadar, hanya menanggapi perintah

4 Pasien tertidur, respon cepat terhadap sentuhan ringan pada glabellar atau suara keras

5 Pasien tertidur, respon lambat terhadap sentuhan ringan pada glabellar atau rangsangan suara keras

6 Pasien tertidur, tidak ada respon terhadap sentuhan ringan glabellar atau suara keras

7. Penilaian blokade motorik dengan skala Bromage

Waktu (jam) 2 4 8 12 24

Skala Bromage

Skala Bromage Grade Definisi

0 Gerak tungkai bawah bebas

1 Tidak mau angkat tungkai bawah, lutut dapat diangkat 2 Tidak mampu angkat lutut, hanya dapat menggerakkan kaki 3 Tidak mampu bergerak sama sekali


(3)

91 6. Lembar Persetujuan Komite Etik FK-USU


(4)

7. Tabel Angka Random

Kelompok A : Gabapentin 1.200 mg per oral. Kelompok B : Gabapentin 900 mg per oral. Nomor Sekuens

00-04 AAABBB

05-09 AABABB

10-14 AABBAB

15-19 AABBBA

20-24 ABAABB

25-29 ABABAB

30-34 ABABBA

35-39 ABBAAB

40-44 ABBABA

45-49 ABBBAA

50-54 BAAABB

55-59 BAABAB

60-64 BAABBB

65-69 BABAAB

70-74 BABABA

75-79 BABBAA

80-84 BBAAAB

85-89 BBAABA

90-94 BBABAA

95-99 BBBAAA

Ujung pena dimulai dari nomer : 55 Selanjutnya berurut ke samping disusun berurut hingga berjumlah 60.


(5)

93 8. Daftar Pasien

No Kelompok Nama No Kelompok Nama

1 B Mansyur 31 A M. Fahrul Rozi

2 A Muntar Lumban Gaol 32 A Ismail

3 A Kasih Tridito Sardin 33 B Yusma

4 B Bobby Tri Aditiagustra 34 A Jefri Andri Barus

5 A M. Ugeng Pramana 35 B Yunior Putra Utama

6 B BungaIntan Silalahi 36 B Ali Z

7 B Hotbin Simamora 37 B M. Rizki Gifori

8 A Andika Pratama 38 A Vinnisia

9 A Sumarlin 39 B Azwarman

10 B Rizwan 40 B Elfrida S

11 A Septian Ainenta Mendrofa 41 A Nurhuda

12 B Agung Setiawan 42 A Nagimin

13 A Jamiati Br Bangun 43 A Surya Yusuf

14 B Trigunawan 44 B Andri Mulia

15 B Siswanda Bangun 45 B Sustiono

16 A Ami Prayatna 46 B Ahmad Harahap

17 A Bayu M. Syafir 47 A Merisna S

18 B Kelvin 48 A Rafina

19 B Mesdiana Manihuruk 49 A Edi K. Simbolon

20 A Nikson Lumbantoruan 50 B Jarman

21 B Ismail Lubis 51 B Asmaria Harahap

22 B Fitri 52 B Samsir

23 A Esra Junius Siahaan 53 A Nur Sahara

24 A Tomi 54 A Zainal Abidin

25 A Boby T 55 B Hasan Basri

26 B Safarieli S 56 B Akbar Abdia

27 A Idhamsyah 57 B Syafrizal

28 A Mulyono 58 A Dahlia

29 B Pandu Prasetyo 59 A Dwi Satria

30 B Syarifah Fatimah 60 A Sri Suseno Syaputra


(6)

9. Rencana Anggaran Penelitian

Taksasi dana yang diperlukan selama penelitian 1. Bahan dan peralatan penelitian

Gabapentin 300 mg (Neurontin®) 30 x Rp160.000,- = Rp. 4.800.000,- Spinocan 25 60 x Rp 50.000,- = Rp 3.000.000,- Bupivacain (Marcain@) 60 x Rp 80.000,- = Rp 4.800.000,-

Ondansetron (Vometraz®) 60 x Rp 50.000,- = Rp. 3.000.000,- Meperidin (Petidin@) 60 x Rp 17.000,- = Rp 1.020.000,-

Ephedrine HCl 60 x Rp 20.000,- = Rp. 1.200.000,- Sulfas Atropin 60 x Rp. 1.000,- = Rp. 60.000,- Timbangan badan (Tanita®) 1 x Rp. 150.000,- = Rp. 150.000,- Meteran tinggi badan (OneMed®) 4 x Rp. 15.000,- = Rp. 60.000,- Spuit 5 cc (Terumo®) 60 x Rp. 5.000,- = Rp. 300.000,- Spuit 1 cc (Terumo®) 60 x Rp. 5.000,- = Rp. 300.000,-

Pengadaan literatur = Rp. 1.000.000,-

2. Seminar usulan penelitian

Pengadaan bahan untuk diskusi sebelum seminar = Rp. 100.000,- Pengadaan bahan seminar 40 x Rp 25.000,- = Rp. 1.000.000,-

3. Penyusunan dan presentasi hasil penelitian = Rp. 1.000.000,- 4. Cetak tesis 20 x Rp. 50.000,- = Rp. 1.000.000,- 5. Biaya Komite Etik Penelitian = Rp. 500.000,-

Subtotal = Rp.23.290.000,-

5. Biaya tak terduga (10% subtotal) = Rp. 2.329.000,-

Total Biaya = Rp.25.619.000-

(Dua Puluh Lima Juta Enam Ratus Sembilan Belas Ribu) *Seluruh biaya penelitian ditanggung sendiri oleh peneliti


Dokumen yang terkait

Perbandingan Efek Analgesia Parecoxib Dengan Ketorolak Sebagai Preemptif Analgesia Pada Anestesi Umum

0 51 66

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

0 0 15

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

1 1 2

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

0 0 7

Perbandingan Efektivitas antara Gabapentin 600 mg dan Gabapentin 900 mg Kombinasi dengan Ketorolak 30 mg 8 Jam sebagai Analgesia Pascabedah pada Total Abdominal Histerektomi dengan Anestesi Umum | Camary | Jurnal Anestesi Perioperatif 898 3274 1 PB

0 0 7

Perbandingan Gabapentin 600 mg dengan 1.200 mg per Oral Preoperatif terhadap Nilai Visual Analogue Scale dan Pengurangan Kebutuhan Petidin Pascaoperasi pada Modifikasi Mastektomi Radikal | Zulfariansyah | Jurnal Anestesi Perioperatif 196 685 1 PB

0 0 9

Perbandingan Nilai Visual Analogue Scale dan Efek Samping dari Gabapentin 900 Mg dengan Gabapentin 1200 Mg per Oral sebagai Preemptif Analgesia Pascabedah dengan Spinal Anestesi

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. FISIOLOGI NYERI - Perbandingan Nilai Visual Analogue Scale dan Efek Samping dari Gabapentin 900 Mg dengan Gabapentin 1200 Mg per Oral sebagai Preemptif Analgesia Pascabedah dengan Spinal Anestesi

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Perbandingan Nilai Visual Analogue Scale dan Efek Samping dari Gabapentin 900 Mg dengan Gabapentin 1200 Mg per Oral sebagai Preemptif Analgesia Pascabedah dengan Spinal Anestesi

0 0 9

PERBANDINGAN NILAI VISUAL ANALOGUE SCALE DAN EFEK SAMPING DARI GABAPENTIN 900 MG DENGAN GABAPENTIN 1200 MG PER ORAL SEBAGAI PREEMPTIF ANALGESIA PASCABEDAH DENGAN SPINAL ANESTESI

0 0 20