Efek Ketorolak 30 Mg Intravena Sebagai Preemptive Analgesia Pada Operasi

EFEK KETOROLAK 30 MG INTRAVENA SEBAGAI PREEMPTIVE ANALGESIA PADA OPERASI SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Ali Ma’ruf G0008050

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 2011

Ali Ma’ruf NIM G0008050

Ali Ma’ruf. G0008050. Efek Ketorolak 30 mg Intravena sebagai Preemptive Analgesia pada Operasi. Program Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tujuan Penelitian : penelitian ini untuk mengetahui apakah pemberian ketorolak

30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi.

Metode Penelitian : Penelitian ini bersifat eksperimental dengan desain penelitian “randomized control two group design”. Besar sampel sebanyak 30 pasien, status fisik ASA I-II, usia 18 - 60 tahun, BMI kurang dari 30, menjalani prosedur operasi elektif dengan anestesi umum. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara randomisasi sederhana untuk 2 kelompok, Kelompok A(n = 15) mendapatkan ketorolak 30 mg IV 15 menit sebelum insisi pertama dan kelompok B(n = 15) mendapatkan ketorolak 30 mg IV 10 menit sebelum menutup kulit. Dilakukan pengamatan skor nyeri pada jam ke 1 dan jam ke 6 pasca operasi. Pengukuran dengan Visual Analog Scales (VAS) dan penambahan rescue analgetik sesuai kebutuhan pasien. Data didapatkan dengan cara pengisian kuesioner dan pemeriksaan fisik. Kemudian data dianalisis menggunakan program SPSS 16,0.

Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna secara statistik rerata skor VAS kelompok A(preemptive analgesia) dan kelompok B(menutup kulit) pada jam ke 1 pasca operasi(p = 0,033).

Simpulan Penelitian : Pemberian ketorolak 30 mg IV sebelum operasi mempunyai efek sebagai preemptive analgesia yaitu dengan menurunkan nilai VAS pada jam ke 1 pasca operasi.

Kata Kunci : Ketorolak, preemptive analgesia, VAS

ABSTRACT

Ali Ma’ruf. G0008050. The Effects of Intravenous Ketorolac 30 mg as Preemptive Analgesia on Surgery. Medical Faculty of Sebelas Maret University.

Objective: This study aims to know the effects of intravenous Ketorolac 30 mg as preemptive analgesia on surgery.

Method: This study was an analytical experimental using “randomized control two group design” approach. Subject were 30 patients between 18 to 60 years old with ASA I-II physical status and IMT score less than 30 who were going to schedule for elective surgery using general anesthesia. These samples were taken by using simple randomisation for 2 groups. Group A (n = 15) received intravenous ketorolac 30 mg 15 minutes before first skin incision, group B (n =

15) received intravenous ketorolac 30 mg 10 minutes before skin closing. Pain scales were observed at the 1st and 6th hours post-surgery. Measurement was by using Visual Analog Scales (VAS) and the addition of appropriate rescue analgesic as patients’ need. Data was obtained by filling a questionnaire and physical examination. Then it was analyzed by using SPSS 16,0.

Results: This study shows there was a significant mean difference of VAS score between group A(preemptive analgesia) and group B(skinclosing) at the first hour post-surgery (p = 0,033).

Conclusion: From this study it can be concluded that the giving of intravenous Ketorolac 30 mg pre-surgery has preemptive analgesia effect which is to reduce the value of VAS score on the first hour post-surgery.

Keywords: Ketorolac, preemptive analgesia, VAS

Segala puji bagi Alloh subhanahu wata’ala Tuhan seluruh alam atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Ketorolak 30 mg Intravena sebagai Preemptive Analgesia pada Operasi”. Penulis memuji, memohon pertolongan, dan meminta ampun kepada- Nya.

Atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga dapat terselesaikan penulisan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Purwoko, dr., Sp. An.KAKV selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, saran, dan motivasi bagi penulis.

4. Heri Dwi Purnomo, dr., M. Kes. Sp. An selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, saran, dan motivasi bagi penulis.

5. H. Marthunus Judin, dr.,Sp. An selaku Penguji Utama yang telah memberikan waktu, saran, nasehat, dan melengkapi kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

6. Soemartanto, dr., Sp. An.KIC selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan waktu, saran, nasehat, dan melengkapi kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh staf bagian anestesi dan terapi intensif yang telah banyak membantu dalam pengambilan data.

8. Bagian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, Bu Eny dan Mas Nardi yang telah berkenan memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Bapak ibu dan keluargaku tercinta yang telah memberikan begitu banyak dukungan dari semua sisi.

10. Teman-teman fakultas kedokteran 08, khususnya yang sudah membantu banyak dalam penyusunan skripsi ini serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran di masa mendatang untuk peningkatan karya ini. Semoga karya sederhana ini bermanfaat.

Surakarta, 2011

Ali Ma’ruf

I. Cara Kerja..................................................................................... 25 J. Analisis Data................................................................................. 26 BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Karakteristik Subjek Penelitian........................................................... 28

B. Efek Ketorolak sebagai Preemptive Analgesia.................................... 30 BAB V PEMBAHASAN .......................................................................... 32 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan............................................................. ..........................

37

B. Saran ............................................................................................

37

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

38 LAMPIRAN

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian ............................................................ 28 Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik, Diastolik dan Nadi ........................................ 29 Tabel 3. Status Fisik dan Jenis Kelamin ............................................................. 29 Tabel 4. Distribusi Tingkat Pendidikan .............................................................. 30 Tabel 5. Jenis Operasi ........................................................................................ 31 Tabel 6. Skor VAS ............................................................................................. 31

Gambar 1. Empat Langkah Jalur Sensorik Nyeri .............................................. 8 Gambar 2. Sensitasi Nyeri ................................................................................. 10 Gambar 3. Skema Preemptive Analgesia .......................................................... 14 Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran ............................................................ 19 Gambar 5. Visual Analog Scale ......................................................................... 23 Gambar 6. Skema Rancangan Penelitian ........................................................... 24

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Responden Penelitian

Lampiran 2. Hasil Pengolahan Data SPSS Lampiran 3. Lembar Informed Consent

Lampiran 4. Lembar Penelitian

Lampiran 5. Surat Bukti Penelitian dan Pengambilan Sampel

Lampiran 6. Surat Keterangan Ethical Clearance

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah :

Insiden nyeri pasca operasi terjadi masih cukup tinggi. Meskipun pengetahuan tentang mekanisme nyeri pasca operasi sudah mengalami banyak kemajuan, namun pengelolaan nyeri pasca operasi belum optimal dan masih sering terabaikan. Penderita yang telah menjalani operasi masih mengalami nyeri pasca operasi mulai dari nyeri ringan sampai nyeri berat (Tanra, 2005). International Association for the Study of Pain (IASP), mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan (Kelly et al., 2001a). Nyeri ditimbulkan oleh karena adanya kerusakan jaringan yang merangsang sensitisasi perifer dan sentral (Dahl and Mainiche, 2004). Pengelolaan nyeri yang tidak efektif akan berlanjut menjadi nyeri kronik serta dapat menimbulkan dampak perubahan fisiologis yang membahayakan karena adanya respon dari endokrin, metabolik, dan inflamasi. Respon stres ini mengaktifkan sistem otonom yang dapat mengakibatkan berbagai kegagalan fungsi organ. Secara psikologis akan berdampak pada kecemasan, depresi, perasaan tidak puas, serta memberikan pengalaman yang mengerikan bagi pasien. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan nyeri pasca operasi yang efektif sehingga dapat mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas serta masa

Ogunnaike, 2005). Konsep terapi nyeri sebelum terjadi yang disebut preemptive analgesia diperkenalkan pertama kali oleh Crile pada tahun 1913 (Dahl and Mainiche, 2004). Awalnya teknik ini digunakan untuk mencegah syok pasca operasi namun kemudian diketahui juga menurunkan intensitas dan durasi nyeri pasca operasi (Kelly et al., 2001a). Menurut Kissin (1994), preemptive analgesia didefinisikan sebagai terapi antinosiseptif yang mulai diberikan sebelum operasi untuk mencegah sensitasi sentral sebagai respon terhadap rangsangan dari trauma (Kelly et al., 2001b). Karena adanya efek ‘pelindung’ pada sistem nosiseptif, preemptive analgesia memiliki potensi yang lebih efektif daripada terapi analgesik serupa yang diberikan pasca operasi. Sehingga secara teoritis, nyeri pasca operasi dapat dikurangi dan timbulnya nyeri kronis bisa dicegah (Dahl and Mainiche, 2004).

Penggunaan opioid masih merupakan gold standard pada pengelolaan nyeri berat. Namun penggunaannya dihubungkan dengan efek samping mual muntah, terlambatnya asupan (intake) oral karena motilitas lambung yang terganggu, pruritus, depresi respirasi, retensi urine, konstipasi dan sedasi (Walder et al., 2001; White, 2005). Karena itu penggunaan analgesik NSAID, mulai banyak dipakai untuk pengelolaan nyeri. NSAID merupakan obat-obatan yang sering dipakai dalam teknik preemptive analgesia (Venkateswaran and Prasad, 2006). Penggunaan NSAID sebagai preemptive analgesia dilaporkan

pasca operasi (Shahraki et al., 2009; Ghandi and Viscusi, 2009). Ketorolak merupakan salah satu obat preemptive analgesia golongan NSAID dari group pyrrole (Gillis, 1997; Forrest, 1997). Seperti NSAID lain, ketorolak mempunyai efek analgesik/antinosiseptif, antipiretik, dan antiinflamasi. Efek antinosiseptif ketorolak terjadi melalui hambatan cyclooxygenase yang merupakan enzim penting pada metabolisme asam arakidonat untuk sintesis prostaglandin. Terhambatnya sintesa prostaglandin di sekitar jaringan luka mengakibatkan turunnya rangsangan nosiseptif di ujung saraf perifer sensoris atau nosiseptor (Abajo, 1998).

Hasil penelitian mengenai efek preemptive analgesia berbeda-beda. Aida et al . (1999) melakukan penelitian efek preemptive analgesia pada berbagai operasi menyimpulkan bahwa preemptive analgesia sangat efektif untuk jenis operasi tertentu. Norman et al. (2001) menyatakan ketorolak 30 mg intravena sebelum tourniquet pada fraktur pergelangan kaki berefek menurunkan nyeri pasca bedah. Ong et al. (2005) melakukan metaanalisis efikasi preemptive analgesia atas dasar nyeri pasca operasi, total konsumsi analgesik, dan waktu penambahan analgesik menyatakan bahwa preemptive analgesia mempunyai efikasi sebagai managemen nyeri akut pasca bedah untuk regimen analgesik tertentu. Penelitian Yantoro (2009) menunjukkan bahwa pemberian ketorolak

30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi bedah ortopedi dengan tindakan removal implant. Cabell (2000) meneliti bahwa ketorolak 30 mg intravena pada operasi laparoskopi tidak mempunyai 30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi bedah ortopedi dengan tindakan removal implant. Cabell (2000) meneliti bahwa ketorolak 30 mg intravena pada operasi laparoskopi tidak mempunyai

Berdasarkan pertimbangan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui efek pemberian ketorolak 30 mg intravena sebagai preemptive analgesia pada operasi.

B. Perumusan Masalah

Apakah pemberian ketorolak 30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah pemberian ketorolak 30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive analgesia pada operasi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti-bukti secara empiris mengenai pemberian ketorolak 30 mg intravena sebagai preemptive analgesia pada operasi.

2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini bila terbukti diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para ahli anestesi dalam mengurangi rasa nyeri pasca operasi.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Nyeri

a. Definisi dan klasifkasi

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan (Kelly et al ., 2001a). Nyeri bersifat subjektif, derajat dan kualitas nyeri yang ditimbulkan oleh rangsang yang sama akan berbeda antara satu penderita dengan penderita lain. Nyeri juga berbeda antara satu periode waktu dengan periode lainnya. Nyeri bervariasi dalam intensitas (ringan, sedang, berat), kualitas (tajam, terbakar, tumpul), durasi (mendadak, hilang-timbul, menetap), dan referral (superfisial atau dalam, lokal atau difus) (Woolf, 2004).

Secara umum ada dua jenis nyeri yang berbeda secara signifikan, yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut disebabkan karena kerusakan jaringan dan derajatnya akan berkurang sejalan dengan penyembuhan. Nyeri dapat berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari serta dapat disertai tanda-tanda fisik seperti takikardi, berkeringat, pucat, dan tidak dapat tidur. Salah satu contoh nyeri akut adalah nyeri karena tindakan operasi. Nyeri kronis akan berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Biasanya nyeri Secara umum ada dua jenis nyeri yang berbeda secara signifikan, yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut disebabkan karena kerusakan jaringan dan derajatnya akan berkurang sejalan dengan penyembuhan. Nyeri dapat berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari serta dapat disertai tanda-tanda fisik seperti takikardi, berkeringat, pucat, dan tidak dapat tidur. Salah satu contoh nyeri akut adalah nyeri karena tindakan operasi. Nyeri kronis akan berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Biasanya nyeri

b. Proses fisiologi nyeri

Kerusakan jaringan merupakan sumber rangsang nyeri (stimulus noksious). Rangsang nyeri akan diterima oleh reseptor nyeri (nosiseptor) yang ditemukan hampir diseluruh bagian tubuh, kemudian melalui serabut saraf delta-A (myelinated and fast conduction) dan serabut saraf C (unmyelinated and slow condustion) akan diteruskan melalui traktus spinotalamikus ke thalamus dan korteks cerebri sehingga akan disadari sebagai suatu nyeri. Proses dari sumber rangsang nyeri sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian elektrofisiologi yang disebut nosiseptif sensoris (Dahl and Mainiche, 2004; Kelly et al., 2001a; Gottschalk and Smith, 2001). Proses fisiologis tersebut meliputi:

1) Transduksi

Yaitu proses di mana suatu rangsang nyeri (stimulus noksious) dapat berupa kerusakan jaringan, rangsang fisik (tekanan), suhu yang ekstrim, atau substansi kimia yang iritatif diubah menjadi impuls listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf sensoris (Dahl and Mainiche, 2004; Kelly et al., 2001a).

Merupakan transmisi impuls melalui serabut saraf sensoris delta-A dan C dari perifer ke medula spinalis sebagai kelanjutan dari proses transduksi. Serabut saraf A-delta menghantar “nyeri pertama” sebagai respon terhadap stimulus noksious yang biasanya muncul sebagai sensasi yang jelas dan terlokalisasi. Nyeri ini sering dideskripsikan sebagai nyeri yang tajam, menyengat atau menusuk, dan berlangsung hanya ketika stimulus mengakibatkan kerusakan jaringan. sedangkan serabut saraf C bertanggung jawab pada “nyeri kedua” yang sifatnya tumpul, sensasi menyebar, dan perlahan (Kelly et al., 2001a; Dahl and Mainiche, 2004; Rospond, 2008).

3) Modulasi

Merupakan proses interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medula spinalis (Tanra, 2005). Substansi yang dapat bekerja sebagai modulator nyeri di medula spinalis yaitu dinorfin, serotonin, enkefalin, norepinefrin, dopamin, dan Gama Amino Buteric Acid (GABA) akan mengurangi nyeri, sedangkan substansi P, Adenosine Tri Phosphate (ATP), exitatory amino acid meningkatkan nyeri (Kelly et al., 2001a). Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam Merupakan proses interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medula spinalis (Tanra, 2005). Substansi yang dapat bekerja sebagai modulator nyeri di medula spinalis yaitu dinorfin, serotonin, enkefalin, norepinefrin, dopamin, dan Gama Amino Buteric Acid (GABA) akan mengurangi nyeri, sedangkan substansi P, Adenosine Tri Phosphate (ATP), exitatory amino acid meningkatkan nyeri (Kelly et al., 2001a). Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam

4) Persepsi

Merupakan hasil akhir proses interaksi yang kompleks dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang diterjemahkan oleh daerah somatosensorik korteks serebri menghasilkan suatu perasaan subjektif sebagai persepsi nyeri (Tanra, 2005).

Gambar 1. Empat langkah jalur sensorik nyeri : transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi. Tampak agen- agen yang dapat memodifikasi input sensori pada masing-masing proses (Kehlet and Dahl, 1993; Kelly et al., 2001a).

c. Sensitasi perifer

Kerusakan jaringan dan inflamasi menyebabkan perubahan lingkungan kimiawi pada reseptor nyeri (nosiseptor). Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraseluler seperti: ATP, ion K+, H+, serta beberapa substansi kimia dan mediator inflamasi (sitokin, cimokin, faktor pertumbuhan) (woolf, C.J. 2004). Prostanoid (prostaglandin, leukotrien dan hydroxyacids) merupakan produk utama jalur asam arakidonat dan mediator utama terjadinya

Transduksi ฀ NSAID

฀ Antihistamin ฀ Agen stabiliser membran ฀ Krim anastesi lokal ฀ Opioid

Transmisi: ฀ Anestesi lokal ฀ Blok saraf tepi ฀ Bblok epidural

Modulasi: ฀ Opioid spinal ฀ α2 antagonis ฀ antagonis reseptor NMDA ฀ antikolinesterase, NSAID

Persepsi ฀ Opioid

฀ α2 antagonis ฀ anestasi umum

akan meningkatkan inflamasi dengan memicu dilepaskannya prostaglandin (PG), sitokin, histamin, serotonin, degranulasi sel mast, dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Komponen-komponen tersebut akan mengaktifkan nosiseptor (nociceptor activators) sehingga akan menjadi lebih sensitif (hipersensitif) terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizer). Sensitisasi perifer menurunkan ambang rangsang, dan berperan besar dalam meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi (Kelly et al., 2001a; Woolf, 2004). Neuron nosiseptif yang tersensitasi akan melepaskan beberapa neurotransmiter seperti substansi P dan neurokinin. Substansi P kemudian menginduksi pelepasan Excitatory Amino Acids (EAAs) seperti aspartat dan glutamat yang beraksi pada reseptor 2-Amino-3-hydroxy-5-Methyl-4- isoxazole-Propionic Acid ) (AMPA) dan N-Methyl-D-aspartate (NMDA ) (Kelly et al., 2001a; Dahl and Mainiche, 2004).

Gambar 2. Sensitisasi yang menyebabkan hiperalgesia dan

allodinia.

Stimulus noksious dapat menyebabkan sensitisasi respon sistem saraf terhadap stimulus berikutnya. Respon nyeri yang normal ditunjukkan oleh kurva sebelah kanan. Pada cedera jaringan, kurva tersebut akan bergeser ke kiri, sehingga stimulus noksious dirasakan lebih nyeri (hiperalgesia), dan stimulus non noksious juga dirasakan sebagai nyeri (allodinia) (Gottschalk and Smith, 2001).

d. Sensitasi sentral

Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik dari nosiseptor ke neuron kornu posterior medula spinalis. Input sensoris yang masif akibat kerusakan jaringan hebat menyebabkan neuron di medulla spinalis menjadi hipersensitif (hiperalgesia primer). Reaksi ini juga menyebabkan nyeri akibat stimulus non noksius dan terjadinya hiperalgesia sekunder. Sensitisasi sentral merupakan kejadian di kornu dorsalis yang diawali dengan pelepasan neurotransmiter dari nosiseptor, perubahan

akhirnya meningkatkan transmisi nyeri. Salah satu reseptor yang berperan dalam perubahan ini adalah reseptor N-Methyl-Daspartate (NMDA) , selama proses sensitisasi sentral reseptor mengalami fosforilasi dan lebih peka terhadap glutamat. Eksitabilitas membran dapat diaktifkan baik oleh rangsang di bawah ambang (subthreshold) dan respon berlebih pada rangsang di atas ambang (suprathreshold). Fenomena ini menyebabkan munculnya nyeri pada rangsang yang di bawah ambang (allodinia), dan respon nyeri berlebih akibat rangsang nyeri (hiperalgesia), serta perluasan sensitivitas area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder) (Woolf, 2004).

e. Dampak nyeri pasca operasi

Penatalaksanaan nyeri pasca operasi yang tidak efektif akan berlanjut menjadi nyeri kronik serta dapat menimbulkan dampak perubahan fisiologis dan psikologis yang membahayakan karena adanya respon dari endokrin, metabolik, dan inflamsi. Respon stres ini mengaktifkan sistem otonom yang dapat mengakibatkan berbagai kegagalan fungsi organ:

1) Kardiovaskuler: meningkatkan denyut jantung, tahanan perifer, tekanan darah, iskemia miokardial, infark dan komplikasi lain

2) Pulmonal: spasme otot pernafasan, kegagalan diafragma,

menurunnya kapasitas vital paru menurunnya kapasitas vital paru

4) Renal: oligouria, retensi urin

5) Koagulasi: peningkatan koagulasi trombosit, tromboemboli

6) Imunologi: sistem imunitas terganggu, mudah infeksi

7) Muskular: kelemahan otot, keterbatasan gerak, atrofi otot Secara psikologis akan berdampak pada kecemasan, depresi, perasaan tidak puas, serta memberikan pengalaman yang mengerikan bagi pasien. Semua dampak yang terjadi akan memperpanjang masa pemulihan, meningkatkan kebutuhan perawatan rumah sakit maupun biaya perawatan (Joshi and Ogunna, 2005).

2. Preemptive analgesia

Preemptive analgesia merupakan teknik penatalaksanaan nyeri yang sudah umum dilakukan. Pemberian obat dimulai sebelum operasi kemudian dilanjutkan sampai periode pasca operasi, yang dapat menurunkan nyeri insisi dan inflamasi dengan jalan menurunkan sensitisasi perifer dan sentral (Dahl and Mainiche, 2004). Operasi merupakan target yang ideal untuk preemptive analgesia karena sumber stimulus nyeri diketahui (gambar 2). Efektivitas preemptive analgesia ditentukan oleh dua aspek. Pertama, antinosiseptif adekuat yang diberikan sebelum operasi. Kedua, mediator inflamasi dihambat atau input nosiseptif diblok sampai periode pasca bedah (periode inflamasi pasca bedah). Apabila pemberian obat dihentikan selama fase inflamasi

Karena adanya efek ‘pelindung’ pada sistem nosiseptif, preemptive analgesia memiliki potensi yang lebih efektif daripada terapi analgesik serupa yang diberikan pasca operasi. Sehingga secara teoritis, nyeri pasca operasi dapat dikurangi dan timbulnya nyeri kronis bisa dicegah (Dahl and Mainiche, 2004).

Opioid, NSAID, anestesi lokal, alpha-2 agonis, dan antagonis reseptor NMDA merupakan analgesik yang bisa dipakai sebagai preemptive analgesia (Kelly et al., 2001b). Pemberian analgesik dapat tunggal atau dikombinasikan berdasarkan modalitas nyeri, seperti:

1) Transduksi: NSAID, opioid

2) Transmisi: infiltrasi lokal anestesi perifer,

3) Modulasi: ketamin, α2 antagonis, NSAID,

4) Persepsi: opioid premedikasi (oral, IM, IV), opio id pasca bedah, α2

antagonis premedikasi, atau induksi (Kelly et al., 2001b).

Gambar 3. Skema preemptive analgesia yang ditekankan pada pencegahan sensitisasi sistem saraf selama periode perioperatif. Gambar A: pengalaman tanpa intervensi yang menggambarkan nyeri dari awal operasi dan yang kemudian berkembang menjadi hipersensitivitas. Gambar B: analgesia (A) diberikan sebelum sensitisasi mungkin sedikit menurunkan nyeri tetapi mempunyai keuntungan jangka panjang yang sedikit. Gambar C: analgesi diberikan sebelum operasi yang membatasi nyeri dari stimulus tersebut dan menurunkan hipersensitivitas sesudahnya. Gambar D: regimen preemptive analgesia yang paling efektif adalah inisiasi sebelum operasi dan dilanjutkan sepanjang periode operasi. Waktu intervensi sangat penting, dapat mencegah sensitisasi sistem saraf (Woolf and Chong, 1993).

3. Ketorolak

Mekanisme nyeri akut diawali oleh transduksi yang mengubah sinyal-sinyal noksious kimiawi menjadi potensial aksi. Obat-obat anti Mekanisme nyeri akut diawali oleh transduksi yang mengubah sinyal-sinyal noksious kimiawi menjadi potensial aksi. Obat-obat anti

Ketorolak merupakan salah satu obat preemptive analgesia golongan NSAID dari group pyrrole, dengan nama kimia (±)-5-benzoyl- 2,3-dihidro-lH-pyrrolizine-lcarboxylic acid, yang tersusun oleh 2-amino- 2-(hydroxymethiyl)-l,3-propanediol (Gillis, 1997; Forrest, 1997).

a. Farmakodinamik

Seperti NSAID lain, Ketorolak mempunyai efek analgetik/ antinosiseptif, antipiretik dan antiinflamasi. Mempunyai 3 aksi: menghambat cyclooxygenase (COX) (enzim penting pada metabolisme asam arakidonat untuk sintesis prostagalandin) prostasiklin, dan tromboksan. Efek antinosiseptif ketorolak terjadi melalui hambatan biosintesis prostaglandin di sekitar jaringan luka. Turunnya kadar prostaglandin lokal ini mengakibatkan turunnya rangsangan nosiseptif di ujung saraf perifer sensoris (nosiseptor) (Abajo, 1998). Selain mempengaruhi sensitisasi perifer, ketorolak juga mempunyai efek pada mekanisme sentral. Efek sentral ketorolak secara klinis sangat penting karena mengurangi plastisitas sentral dan dapat mengurangi nyeri berat akibat operasi. Aktivitas analgesik ketorolak merupakan kombinasi antara efek perifer dan

opioid, ketorolak 10 – 30 mg IM mempunyai efikasi sama dengan morfin 6 – 12 mg dan pethidine 50 – 100 mg IM. Tidak seperti opioid, ketorolak tidak mempunyai efek depresan pada susunan saraf pusat dan tidak menghambat kontrol ventilasi, tidak mempengaruhi variabel hemodinamik, motilitas saluran cerna, tidak berefek pada dinamika saluran bilier, juga tidak menyebabkan efek ketergantungan (Gillis, 1997; Shyun et al., 2005; Stoelting, 1999). Sama halnya NSAID yang mempunyai sifat antiplatelet, ketorolak secara signifikan meningkatkan waktu pendarahan, menghambat agregasi trombosit, dan produksi tromboksan. Lamanya waktu pendarahan masih dalam kisaran normal dan tidak memberikan efek klinis secara nyata. Namun, karena sifat antiplateletnya, ketorolak harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang mempunyai gangguan hemostatis (Greer, 1990). Efek samping lain penggunaan ketorolak yang perlu diperhatikan adalah pengaruhnya pada sistem pencernaan dan ginjal, tetapi efek samping tersebut biasanya berhubungan dengan penggunaan pada pasien tua, dosis yang tinggi, dan penggunaan lebih dari lima hari (Gillis, 1997; Stoelting, 1999).

b. Farmakokinetik

Absorbsi ketorolak dapat diberikan secara oral, intramuskuler, dan intravena. Diabsorbsi cepat dengan konsentrasi plasma maksimum tercapai 30 - 40 menit setelah pemberian oral dan

intravena (Gillis, 1997). Pada orang dewasa sehat dosis lazim pemberian parenteral adalah 10 - 30 mg setiap 4 sampai 6 jam, total dosis harian hendaknya jangan melebihi 120 mg dan lama penggunaanya tidak melebihi 5 hari. Ketorolak ditemukan dalam air susu ibu menyusui dan sirkulasi fetus dalam jumlah kecil (Gillis, 1997). Metabolisme ketorolak terutama terjadi di hati dalam bentuk terkonjugasi dan terhidroksilasi, sedangkan ekskresinya melalui ginjal. Sekitar 92 % dari dosis yang diberikan, dapat ditemukan di dalam urin, dalam bentuk metabolitnya sebesar 40 % dan dalam bentuk utuh sebesar 60 %. Pada pasien dengan gangguan fungsi hati akibat sirosis secara klinis tidak mengalami perubahan penting pada bersihan ketorolak atau waktu paruh terminal. Waktu paruh eliminasi ketorolak pada orang sehat rata-rata 5 sampai 6 jam (Gillis, 1997). Pada usia tua dan pasien dengan gangguan ginjal terjadi penurunan bersihan ketorolak, sehingga dosis seharusnya lebih rendah (Stoelting, 1999).

4. Pengukuran Nyeri

Nyeri merupakan persepsi pengalaman yang kompleks, ada beberapa cara pengukuran nyeri antara lain:

1) Self report (deskripsi subyektif/personal) Merupakan baku emas pengukuran nyeri. Dianggap merupakan pengukuran nyeri paling valid. Visual Analog Scale (VAS), Numerical 1) Self report (deskripsi subyektif/personal) Merupakan baku emas pengukuran nyeri. Dianggap merupakan pengukuran nyeri paling valid. Visual Analog Scale (VAS), Numerical

2) Behavioral Meliputi pengukuran menangis, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerakan, rutinitas harian, dan kombinasi item tersebut.

3) Fisiologi Meliputi: denyut jantung, tonus vagal, tekanan darah, angka respirasi (frekuensi napas), saturasi oksigen, dan respon neuroendokrin (kadar catecholamine, corticosteroid, growth hormone, glucagon, cortisol ).

4) Kombinasi fisiologi, behavioral, atau self-report (O’Rourke, 2004; Jaywant and Pai, 2003).

Visual Analog Scale (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap centimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau peryataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. Manfaat utama VAS adalah penggunaannya yang sangat mudah dan sederhana (Rospond, 2008).

Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran

C. Hipotesis

Ketorolak 30 mg intravena mempunyai efek sebagai preemptive

Stimulus nyeri

Tindakan operasi

Kerusakan jaringan

Suhu ekstrim Kimia iritatif

Tekanan

Transmisi

Transduksi Sensitasi perifer

Persepsi nyeri

Modulasi Sensitasi sentral

Preemptive analgesia: ketorolak

Nosiseptor di perifer

Jenis kelamin Umur Pendidikan Jenis operasi Faktor psikologis

Hiperalgsia

Nyeri pasca operasi ↓/(-)

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk studi eksperimental dengan desain penelitian “The randomized control two group design”.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral dan Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi.

C. Subjek Penelitian

Populasi penelitian mencakup seluruh pasien yang menjalani operasi elektif menggunakan teknik anestesi umum di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Sampel penelitian diambil dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian.

1. Kriteria inklusi

1) Pasien dewasa laki-laki atau perempuan usia 18 - 60 tahun

2) Status fisik ASA I-II

3) Dilakukan anestesi umum

4) Body Mass Index (BMI) <30

5) Bersedia mengikuti prosedur penelitian

2. Kriteria eksklusi

1) Pasien dengan riwayat alergi NSAID 1) Pasien dengan riwayat alergi NSAID

3) Wanita hamil

4) Nilai VAS >3 sebelum operasi

3. Kriteria drop out

1) Pasien alergi selama menjalani operasi

2) Syok selama menjalani operasi dan pasca operasi

3) Operasi > 2 jam

D. Teknik Sampling

Mengingat keterbatasan waktu dan jumlah populasi serta tidak memungkinkan populasi tersebut tersedia dalam waktu yang bersamaan, maka sampel diambil secara consecutive sampling. Dengan cara ini, setiap pasien yang datang dan memenuhi kriteria akan dimasukkan dalam sampel penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2002).

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara randomisasi sederhana untuk 2 kelompok perlakuan. Kelompok A (preemptive analgesia) adalah kelompok perlakuan yang mendapatkan ketorolak 30 mg intravena 15 menit sebelum insisi pertama dan kelompok B (menutup kulit) adalah kelompok yang mendapatkan ketorolak 30 mg intravena 10 menit sebelum menutup kulit. Randomisasi dilakukan dengan tujuan setiap subjek mempunyai kesempatan yang sama dalam menerima salah satu jenis intervensi (Sastroasmoro, 2002). Besarnya sampel yang diambil sebanyak 30 pasien Pengambilan sampel dilakukan dengan cara randomisasi sederhana untuk 2 kelompok perlakuan. Kelompok A (preemptive analgesia) adalah kelompok perlakuan yang mendapatkan ketorolak 30 mg intravena 15 menit sebelum insisi pertama dan kelompok B (menutup kulit) adalah kelompok yang mendapatkan ketorolak 30 mg intravena 10 menit sebelum menutup kulit. Randomisasi dilakukan dengan tujuan setiap subjek mempunyai kesempatan yang sama dalam menerima salah satu jenis intervensi (Sastroasmoro, 2002). Besarnya sampel yang diambil sebanyak 30 pasien

E. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas Ketorolak 30 mg intravena

2. Variabel terikat Nyeri pasca operasi dan rescue analgetik

3. Variabel luar terkendali Umur, berat badan, BMI, jenis operasi, status fisik ASA, lama operasi

4. Variable luar tidak terkendali Jenis kelamin, emosi, status hemodinamika (tekanan darah dan laju nadi), psikologi pasien

F. Definisi operasional variabel

1. Variabel bebas Preemptive analgesia adalah pemberian ketorolak 30 mg intravena 15 menit sebelum insisi kulit.

2. Variabel terikat Efek preemptive analgesia pada penelitian ini berdasarkan penilaian nyeri dan tambahan rescue analgetik.

a. Nyeri diukur menggunakan Visual Analog Scale (VAS). VAS adalah sebuah garis lurus dari angka 0 sampai 10 cm (100 mm) yang menerangkan nyeri yang dirasakan oleh pasien. Angka 0 mengambarkan pasien tidak nyeri, angka 10 menggambarkan nyeri a. Nyeri diukur menggunakan Visual Analog Scale (VAS). VAS adalah sebuah garis lurus dari angka 0 sampai 10 cm (100 mm) yang menerangkan nyeri yang dirasakan oleh pasien. Angka 0 mengambarkan pasien tidak nyeri, angka 10 menggambarkan nyeri

Gambar 5. Visual Analog Scale (Jaywant and Pai, 2003).

b. Rescue analgetik adalah pemberian analgetik fentanil 1 μg/kg BB jika pasien merasakan nyeri pasca operasi dengan VAS ≥3. Pengukuran menggunakan skala variabel kategorikal.

3. Variabel luar terkendali adalah variabel yang dikendalikan pengaruhnya: umur, berat badan, BMI, jenis operasi, status fisik ASA, dan lama operasi.

4. Variabel luar tidak terkendali: jenis kelamin, emosi, status hemodinamika (tekanan darah dan laju nadi), dan psikologi pasien.

Gambar 6. Skema Rancangan Penelitian

H. Alat dan bahan penelitian

1. Alat penelitian

a. Mesin anestesi

Informed consent

Populasi

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Kelompok A Ketorolak 15 mg IV

15 menit sebelum insisi

Kelompok B Tidak mendapatkan perlakuan

Randomisasi

Sampel

Analisis data

Prosedur anestesi umum yang sama dan tindakan operasi

Pasca operasi kelompok A: ketorolak 30 mg IV jam ke 6 setelah operasi VAS pada jam ke 1 dan 6 rescue analgetik bila VAS ≥3

Kelompok A Tidak mendapatkan perlakuan

Kelompok B Ketorolak 30 mg IV

10 menit sebelum menutup kulit

Pasca operasi kelompok B: ketorolak 30 mg IV jam ke 6 setelah operasi VAS pada jam ke 1 dan 6 rescue analgetik bila VAS ≥3 Pasca operasi kelompok B: ketorolak 30 mg IV jam ke 6 setelah operasi VAS pada jam ke 1 dan 6 rescue analgetik bila VAS ≥3

d. VAS

e. Disposible syringe 3 cc

2. Bahan penelitian

a. Ketorolak 30 mg intravena

b. midazolam 0,05 mg/kg BB

c. propofol 2 mg /kg BB

d. Atracurium 0,5 mg/kg BB

e. Sevofluran, O2 : N2O = 2 : 2

f. Ondansetron 4 mg

g. Fentanil 1 μg/kg BB

I. Cara kerja

1) Setelah mendapat persetujuan penelitian, pasien terpilih diberikan penjelasan tentang maksud dan prosedur penelitian. Bila setuju pasien menandatangani lembar persetujuan tindakan (informed consent).

2) Sebelum menjalani operasi pasien dipersiapkan sesuai prosedur rutin. Semua pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi.

3) Di ruang persiapan dipasang infus dengan kateter IV 18G. Kemudian dilakukan penilaian VAS sebagai data dasar.

4) Pasien dipersiapkan di ruang operasi kemudian dilakukan pengukuran tekanan darah dan laju nadi dengan menggunakan monitor elektrik sebagai data dasar.

kelompok 15 pasien. Kelompok A diberikan ketorolak 30 mg intravena 15 menit sebelum insisi pertama sedangkan kelompok B diberikan ketorolak

30 mg intravena kira - kira 10 menit sebelum menutup kulit. Volume obat antara kelompok A dan B sama menggunakan disposible syringe 3 cc.

6) Pasien menjalani prosedur anestesi umum yang sama dan tindakan operasi. Premedikasi diberikan midazolam 0,05 mg/kg BB dan fentanil 1 μg/kg BB. Pasien diinduksi dengan propofol 2 mg /kg BB. Fasilitas intubasi dengan atracurium 0,5 mg/kg BB. Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan sevofluran, O2 : N2O = 2 : 2.

7) Kelompok A dan kelompok B diberikan ondansetron 4 mg kira - kira 10 menit sebelum menutup kulit. Catat waktu yang dibutuhkan untuk menjalani operasi hingga selesai.

8) Setelah pasien dipindah ke bangsal, kelompok A dan kelompok B diberikan lagi ketorolak 30 mg intravena pada jam ke 6 pasca operasi.

9) Kemudian diamati nyeri dengan penilaian skor nyeri VAS, tekanan darah, nadi, pada jam ke 1 dan ke 6.

10) Jika pasien merasakan nyeri pasca operasi dengan VAS ≥ 3 setelah pengukuran tersebut, diberikan rescue analgetik fentanil 1 μg/kg BB.

J. Analisis data

Hasil pengamatan dicatat pada formulir yang sudah disediakan. Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan bantuan program komputer SPSS 16,0. Untuk menguji perbedaan rerata skala variabel numerik antara Hasil pengamatan dicatat pada formulir yang sudah disediakan. Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan bantuan program komputer SPSS 16,0. Untuk menguji perbedaan rerata skala variabel numerik antara

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang dilalukan di Instalasi Bedah Sentral dan Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama bulan Juli 2011- Oktober 2011, didapatkan subjek sejumlah 30 pasien yang dibagi dalam dua kelompok, yaitu 15 pasien masuk kelompok yang mendapat preemptive analgesia dan 15 pasien masuk kelompok yang mendapat ketorolak di akhir operasi. Semua subjek penelitian memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan tidak ada yang mengalami drop out.

A. Karakteristik subjek penelitian Hasil uji statistik karakteristik subjek penelitian dengan Mann-Whitney terhadap kedua kelompok menurut umur, BMI, dan lama operasi tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05) (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel Kelompok Rerata Standar Deviasi p

Umur (tahun) preemptive analgesia 43,67 10,79 0,868

menutup kulit 42,67 14,59 BMI (kg/m²)

preemptive analgesia 19,71

menutup kulit 20,96

2,46 Lama operasi (menit) preemptive analgesia 66,67

menutup kulit

Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik, Diastolik dan Nadi

Waktu Kelompok pre op post op - Tekanan darah sistolik

Preemptive analagesia 128,67 ± 15,98 119,33 ± 16,68 Menutup kulit

Nilai p

- Tekanan darah diastolik

Preemptive analagesia 79,33 ± 8,84 77,33 ± 10,33

Menutup kulit 78,00 ± 8,62 76,67 ± 7,24

Nilai p 0,641 0,790 - Frekuensi nadi

Preemptive analagesia

Menutup kulit 85,07 ± 7,36 86,67 ± 5,94

Nilai p 0,916 0,518 Nilai adalah rerata ± standar deviasi Uji statistik Chi-Square terhadap kedua kelompok menurut status fisik

(ASA) dan jenis kelamin tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05) (Tabel 3). Tabel 3. Status Fisik dan Jenis Kelamin

Kelompok Variable preemptive analgesia menutup kulit p

- ASA I

8 53,33 % 0,715 ASA II

7 46,67 % - Laki - laki

Tingkat pendidikan pada kelompok preemptive analgesia sebagai berikut: SD (6), SMP (4), SMA (4), dan S1 (1). Tingkat pendidikan pada kelompok menutup kulit, SD (5), SMP (3), SMA (5), dan S1 (2). Hasil uji statistik dengan Chi-Square terhadap kedua kelompok menurut tingkat pendidikan tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05) (Tabel 4).

Tabel 4. Distribusi Tingkat Pendidikan

Kelompok Pendidikan preemptive analgesia menutup kulit total p

- SD 6 40% 5 33,33% 11 36,67% 0,878 - SMP 4 26,67% 3 20%

7 23,33% - SMA 4 26,67% 5 33,33% 9

30% - S1 1 6,66% 2 14,27% 3 10%

Jenis operasi pada kelompok preemptive analgesia adalah sebagai berikut : Eksisi limfadenopati colli (2), Tiroidektomi (2), Eksisi tumor mamae (2), Eksisi soft tissue tumor (4), Mastektomi (3), dan isthmolobektomi (2). Pada kelompok menutup kulit didapatkan jenis operasi sebagai berikut : Eksisi limfadenopati colli (2), Tiroidektomi (2), Eksisi tumor mamae (4), Eksisi soft tissue tumor (5), Mastektomi (1), dan isthmolobektomi (1). Hasil uji statistik dengan Chi-Square terhadap kedua kelompok menurut jenis operasi tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05) (Tabel 5).

Kelompok

Jenis operasi preemptive analgesia menutup kulit total p n % n % n %

Eksisi limfadenopati colli 2 14,26 % 2 14,26 % 4 13,33 % 0,834 Tiroidektomi 2 14,26 % 2 14,26 % 4 13,33 % Eksisi tumor mamae 2 14,26 % 4 26,66 % 6 20 % Eksisi soft tissue tumor 4 26,66 % 5 33,32 % 9 30 % Mastektomi 3 20 % 1 6,65 % 4 13,33 % isthmolobektomi 2 14,26 % 1 6,65 % 3 10 %

A. Efek ketorolak sebagai preemptive analgesia Efek ketorolak sebagai preemptive analgesia diukur berdasarkan skor VAS dan rescue analgetika pada jam ke 1 dan jam ke 6 pasca operasi. Hasil uji statistik Mann-Whitney terhadap kedua kelompok menurut skor VAS didapatkan perbedaan bermakna pada jam ke 1 pasca operasi (p = 0,033). Nilai VAS sebelum operasi dan pada jam ke 6 antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Kebutuhan tambahan fentanil 1 μg/kg BB selama periode 1 jam atau 6 jam pasca operasi pada kedua kelompok tidak ditemukan dan secara statistik tidak terdapat perbedaan (p > 0,05) (Tabel 6).

Tabel 6. Skor VAS

Kelompok Waktu pre op 1 jam post op 6 jam post op

Preemptive analagesia 0,00 ± 0,00 0,67 ± 0,62 0,60 ± 0,51 Menutup kulit 0,00 ± 0,00 1,13 ± 0,52

0,67 ± 0,49 Nilai p 1,000 0,033*

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini terdapat keterbatasan waktu dan tempat sehingga jumlah total subjek penelitian yang didapat sejumlah 30 pasien. Subjek dibagi dalam dua kelompok, 15 pasien kelompok yang mendapat preemptive analgesia dan 15 pasien kelompok yang mendapat ketorolak ketika menutup kulit. Semua subjek penelitian memenuhi kriteria inklusi, eksklusi, dan tidak ada yang mengalami drop out. Hasil uji statistik mengenai karakteristik subjek penelitian kedua kelompok tidak ada perbedaan yang bermakna (p > 0,05). Hal ini menunjukan subjek kedua kelompok homogen dan layak untuk dibandingkan.

Subjek penelitian dibatasi antara umur 18 - 60 tahun. Setelah umur 60 tahun pasien mengalami penurunan sensitivitas terhadap nyeri dan terjadi peningkatan respon terhadap obat analgesia. Selain itu pada usia tua terjadi penurunan bersihan ketorolak (Stoelting, 1999). Pada penelitian ini didapatkan umur rerata pada kelompok Preemptive analgesia 43,67 tahun sedangkan pada kelompok menutup kulit 42,67 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan keduanya tidak ada perbedaan bermakna (p = 0,833).

BMI berhubungan dengan volume distribusi obat (Stoelting, 1999), sehingga BMI antara kedua kelompok sebaiknya tidak berbeda. Pada penelitian ini rerata BMI kelompok Preemptive analgesia adalah 19,71 (kg/m²) dan menutup kulit 20,96 (kg/m²). Secara statistik kedua kelompok tidak ada perbedaan bermakna (p = 0,220).

jaringan. Pada akhirnya hal ini berkaitan dengan tingkatan nyeri yang akan terjadi pasca operasi (Ready, 2000). Lama operasi juga berpengaruh pada konsentrasi obat dalam darah, konsentrasi plasma maksimal ketorolak pada pemberian secara

IV adalah 10 - 15 menit (Gillis, 1997). Rerata lama operasi pada kelompok Preemptive analgesia adalah 66,67 menit dan kelompok menutup kulit 63,67 menit. Pada kedua kelompok secara statistik tidak ada perbedaan bermakna (p = 0,560).

Tingkat pendidikan berhubungan dengan persepsi nyeri seseorang. Makin tinggi pendidikan makin tinggi harapannya terhadap penanganan nyeri yang diberikan, sehingga ketika harapannya tidak dapat terpenuhi akan lebih mudah timbul kekecewaan yang nantinya akan berpengaruh pada pain behaviours (Kidd and Urban, 2001). Tingkat pendidikan pada penelitian ini hampir merata pada tingkat SD (11 orang) SMP (7 orang), dan SMA (9 orang). Hasil uji statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok Preemptive analgesia dan kelompok menutup kulit (p = 0,878).

Jenis operasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkatan nyeri pasca operasi (Stoelting, 1999; Millen and Sheikh, 2003; Rahman and Beattie, 2005), karena jenis operasi akan menentukan luasnya manipulasi pembedahan serta kerusakan jaringan yang akan terjadi. Lokasi dan ukuran insisi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada nyeri pasca operasi. Incisi yang panjang lebih nyeri dibandingkan insisi yang pendek (Rahman and Beattie, 2005). Jenis operasi pada penelitian ini diatur untuk jenis operasi tertentu, supaya Jenis operasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkatan nyeri pasca operasi (Stoelting, 1999; Millen and Sheikh, 2003; Rahman and Beattie, 2005), karena jenis operasi akan menentukan luasnya manipulasi pembedahan serta kerusakan jaringan yang akan terjadi. Lokasi dan ukuran insisi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada nyeri pasca operasi. Incisi yang panjang lebih nyeri dibandingkan insisi yang pendek (Rahman and Beattie, 2005). Jenis operasi pada penelitian ini diatur untuk jenis operasi tertentu, supaya

Efek preemptive analgesia pada penelitian ini berdasarkan penilaian VAS dan penambahan rescue analgetik fentanil 1 μg/kg BB pada jam ke 1 dan ke 6 jam pasca operasi. VAS adalah teknik pengukuran nyeri yang reliabel, valid, dan sensitif untuk anak-anak ataupun dewasa. Pengukuran VAS cepat, mudah, dan umum digunakan dalam penelititan maupun studi klinis. Skor VAS merupakan perasaan subjektif pasien dengan menganalogkan ke dalam angka-angka dari 0-10 (cm). Pada penelitian ini faktor-faktor yang berpengaruh dalam penilaian VAS diusahakan untuk dikendalikan seperti faktor pendidikan, jenis kelamin, dan rasa nyeri sebelum operasi. Secara statistik faktor-faktor tersebut tidak berbeda bermakna(p > 0,05) sehingga diharapkan tidak mempengaruhi hasil akhir. Pengukuran persentase pasien yang memerlukan rescue analgetika merupakan endpoint untuk penelitian klinik analgesia (Jaywant & Pai, 2003; Sheffield et al., 2000; Sunshine, 1998).

Hasil penelitian nilai VAS antara kedua kelompok terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada jam ke 1 pasca operasi (p = 0,033). Nilai rerata VAS pada kelompok preemptive analgesia memiliki skor nilai lebih rendah Hasil penelitian nilai VAS antara kedua kelompok terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada jam ke 1 pasca operasi (p = 0,033). Nilai rerata VAS pada kelompok preemptive analgesia memiliki skor nilai lebih rendah