BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Frekuensi Pengadukan Pada Pembuatan Kompos Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit Dan Pupuk Organik Aktif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  

2.1 POTENSI DAN KESINAMBUNGAN DARI LIMBAH TANDAN

KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) MENJADI KOMPOS

  Sejarah kelapa sawit di Indonesia berawal ketika Belanda mengimpor pohon sawit pada tahun 1848. Pohon ini kemudiannya ditanam sebagai tanaman hias di sepanjang jalan di Deli, Sumatera Utara dan sebagian benihnya ditanam di Kebun Raya, Bogor. Pada tahun 1911, penanaman kelapa sawit di Indonesia secara komersial dimulai ketika seorang warganegara Belgia, Adriaen Hallet, yang kemudiannya diikuti oleh K. Schadt mengembangkan perkebunan di pantai timur Sumatera. Pada masa itu, area perkebunan sawit adalah seluas 5,123 ha. Namun begitu, pada waktu penjajahan Jepang terjadi penurunan produksi minyak sawit yang sangat drastis terutama sekali pada masa Perang Dunia ke-2. Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, bisnis kelapa sawit ini mulai memulih dan masih bertahan sekarang [9].

  Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 total areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah seluas 8.548.828 ha dengan total produksi minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO) sebesar 22.496.857 ton [1]. Sebanyak 16.291.856 ton dari produksi CPO ini diekspor ke beberapa negara Asia seperti Jepang, India, Vietnam, Malaysia, Pakistan, Arab Saudi dan beberapa negara lainya [1].

  Indonesia dari tahun 2006-2010 [1] Luas Areal Produksi CPO Produksi Kernel

  Tahun (ha) (ton) (ton) 2006 6.284.960 16.569.927 3.428.700

  2007 6.853.916 17.796.374 4.017.477 2008 7.333.707 19.400.794 4.379.963 2009 8.548.828 21.390.326 4.829.123 2010 8.774.694 22.496.857 5.077.818

  Kelapa sawit adalah salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomis dan prospek yang cerah untuk dikembangkan secara luas berikut ini diagram alir proses pengolahan kelapa sawit dari aktivitas produksi pabrik kelapa sawit.

Gambar 2.1 Proses Pengolahan Kelapa Sawit [10]

  Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Produktivitas TBS bila menggunakan bibit unggul akan menghasilkan TBS mencapai 20-25 ton TBS/ha/tahun [11] dan menurut Baharuddin et al. setiap satu ton total limbah TBS terdiri dari 23% TKKS, daging sabut buah 12%, cangkang 5% dan POME 60% [2]. Sehingga dari data luas areal perkebunan kelapa sawit BPS 2011 dapat dikalkulasikan jumlah TBS dan TKKS pertahun [1].

Tabel 2.2 Data Jumlah Kalkulasi TBS dan TKKS di Indonesia dari 2006-2010

  Produksi TKKS Tahun Luas Areal (ha) Produksi TBS (ton)

  (ton) 2006 6.284.960 141.411.600 32.524.668 2007 6.853.916 154.213.110 35.469.015 2008 7.333.707 165.008.408 37.951.934 2009 8.548.828 192.348.630 44.240.185 2010 8.774.694 197.430.615 45.409.041 Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa industri kelapa sawit di indonesia semakin meningkat, oleh karena itu dengan meningkatnya pertumbuhan produksi kelapa sawit maka jumlah limbah yang dihasilkan baik limbah padat dan cair juga semakin besar. Upaya untuk mengatasi limbah padat,dilakukan teknologi pengomposan dengan memanfaatkan hasil limbah pabrik menjadi kompos yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi.

  

2.2 KARAKTERISTIK TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)

DAN PUPUK ORGANIK AKTIF (POA)

2.2.1 Karakteristik Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

  TKKS terdiri dari 45 - 50 % selulosa dan memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. TKKS umumnya berbentuk serat, dan serat tersebut berbentuk seperti tongkat yang secara keseluruhan membentuk ikatan pembuluh [12]. TKKS merupakan sampah residu yang dihasilkan dari industri kelapa sawit. Tandan tersebut disterilkan dalam sterilisasi uap horizontal untuk menonaktifkan enzim yang ada. Tandan disterilkan dengan cara dimasukkan ke drum perontok rotary untuk melepaskan buah dari tandan. TKKS berwarna coklat kering dengan bentuk yang tidak seragam dan bobot rendah. Panjang dan lebar tergantung pada ukuran tandan buah segar dan dapat bervariasi dari panjang 17-30 cm dan lebar 25-35 cm [10].

Gambar 2.2 Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) [10]Tabel 2.3 Komposisi TKKS [13]

  Basis Bahan Kering Basis Bahan Parameter

  Basah Rentang Rata-rata

  • Abu (%) 4,8-8,7 6,3 2,52 Minyak (%) 8,2-9,4 8,9 3,56 C (%) 42-43 42,8 17,12 N (%) 0,65-0,94 0,8 0,32 P2O5 (%) 0,18-0,27 0,22 0,09

  K2O (%) 2-3,9 2,9 1,16 MgO (%) 0,25-0,4 0,3 0,12 CaO (%) 0,15-0,48 0,25 0,1 B (mg/liter) 0-11

  10

  4 Cu (mg/liter) 22-25

  23

  9 Zn (mg/liter) 49-55

  51

  20 Fe (mg/liter) 310-595 473 189 Mn (mg/liter) 26-71

  48

  19 Rasio C/N 45-64

  54

  54 Keterangan: * Moisture content 60%-65%

  

2.2.2 Karakteristik Pupuk Organik Aktif (POA) Dari Effluent Pengolahan

Lanjut Limbah Cair Kelapa Sawit (LCPKS)

  Pupuk organik cair dapat dibuat dari bahan-bahan organik berbentuk cair dengan cara mengomposkan dan memberi aktivator pengomposan sehingga dapat dihasilkan pupuk organik cair yang stabil dan mengandung unsur hara lengkap. Pupuk cair dapat diproduksi dari limbah industri peternakan (limbah cair dan setengah padat atau slurry) yaitu melalui pengomposan dan aerasi. Pupuk organik cair dapat diklasifikasikan atas pupuk kandang cair, biogas, pupuk cair dari limbah organik, pupuk cair dari limbah kotoran manusia, dan mikroorganisme efektif [14].

  Pupuk dalam bentuk cair ada yang bersifat organik dan ada pula yang bersifat anorganik. Kelebihan pupuk organik cair dibanding pupuk anorganik cair yaitu dapat secara cepat mengatasi defisiensi hara, tidak bermasalah dalam pencucian hara, dan mampu menyediakan hara secara cepat. Kendala yang dihadapi dalam penggunaan pupuk kimia anorganik cair antara lain kurang efisien, karena pupuk ini tidak memiliki bahan pengikat sehingga saat diaplikasikan di lapangan banyak yang terbuang. Larutan pupuk anorganik yang jatuh ke permukaan tanah akan larut dan tercuci saat hujan dan unsur N menguap pada suhu cukup tinggi [14].

  POA yang digunakan sebagai sumber nutrisi, sumber mikroba dan sebagai sumber Moisture Content (MC) pada pembuatan kompos bersumber dari pengolahan lanjutan konversi LCPKS menjadi biogas. Effluent yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik aktif sudah melewati proses degradasi anaerob di tangki fermentor pengolahan biogas. Effluent dari fermentor biogas masih mengandung bakteri pendegradasi metana dan pendegradasi karbondioksida, yang ternyata merupakan salah satu bakteri penambat nitrogen [15]. Effluent juga mengandung unsur makro yang penting untuk pertumbuhan tanaman seperti unsur N, P, K, dan unsur mikro yaitu Cu, Fe, Mg, S, dan Zn [16].

  

Effluent dari biogas jika dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman dapat

  meningkatkan hasil pertanian dan dapat memperbaiki kesuburan tanah. Menurut Junus, effluent biogas yang keluar dari tangki pencerna (digester) terdiri dari dua komponen yaitu bagian padat dan cair. Limbah cair lebih banyak mengandung unsur N dan K sedangkan padatannya lebih banyak mengandung unsur P [17].

  Berikut ini data POA dari effluent dari pengolahan LCPKS LP3M-Biogas USU yang akan digunakan sebagai bahan tambahan proses pengomposan TKKS :

Tabel 2.4 Data POA effluent dari pengolahan LCPKS LP3M-Biogas USU [15]

  No Parameter Satuan Kandungan

  1. Nitrogen % 0,14

  2. P O total % 0,05

  2

  5

  3. K

2 O % 0,07

  4. MgO % 0,1

  5. CaO mg/l ≤ 0,001 6.

  C- Organik % 0,12

  • 7. pH

  8,09

  • 8. Ratio C/N

  0,86

  9. COD Mg/l 1580

  

2.3 PROSES PENGOMPOSAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI PROSES PENGOMPOSAN

2.3.1 Kompos

  Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan bantuan organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob (dengan udara) maupun anaerob (tanpa bantuan udara) [18]. Kompos dari limbah padat organik semakin penting di seluruh dunia, dalam kerangka terpadu manajemen limbah padat dan khususnya pengalihan biodegradables dari penimbunan [19].

  Pengomposan merupakan sarana mengubah berbagai limbah organik menjadi produk yang dapat digunakan secara aman dan menguntungkan sebagai pupuk hayati [12]. Organisme yang bertanggung jawab untuk kompos memerlukan kondisi gizi dan lingkungan tertentu untuk bertahan hidup dan fungsi. Mereka membutuhkan jumlah yang cukup makro dan mikro-nutrisi, oksigen, dan air. Organisme ini mengalami tingkat pertumbuhan yang optimal hanya dalam suhu tertentu dan rentang pH [20].

  Fungsi utama kompos adalah membantu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik kompos dapat menggemburkan tanah, aplikasi kompos pada tanah akan meningkatkan jumlah rongga sehingga tanah menjadi gembur. Sementara sifat kimia yang mampu dibenahi dengan aplikasi kompos adalah meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada tanah dan dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air (water holding capacity). Sedangkan untuk perbaikan sifat biologi, kompos dapat meningkatkan populasi mikroorganisme dalam tanah. Keunggulan kompos adalah kandungan unsur hara makro maupun mikronya yang lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K, Ca, Mg, dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na dan B.. Dalam proses pengomposan organisme pengurai mengambil sumber makanan dari sampah atau bahan organik yang diolah lalu mengeluarkan sisa metabolisme berupa karbon dioksida (CO), serta panas yang menghasilkan uap air (H

  2 O). Oleh karena itu, kinerja organisme

  dan perubahan warna serta bau. Peningkatan suhu, tekstur dan struktur tidak lengket dan remah serta warna manjadi gelap mengkilat menandakan adanya kegiatan organisme pengurai yang berjalan dengan baik dan bau menyengat kompos yang semakin hari semakin hilang [21].

2.3.2 Proses Pengomposan

  Proses pengomposan dimulai setelah bahan baku sampah organik tercampur. Bahan organik yang bersifat heterogen bercampur dengan mineral dan kumpulan mikroorganisme yang berasal dari udara, tanah, air, dan sumber lainnya, lalu di dalamnya terjadi proses dekomposisi dengan bantuan oksigen [22]. Proses pengomposan bahan organik dapat terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.3 Sekema Proses Pengomposan [12]

  Proses dekomposisi akan berjalan dalam empat fase, yaitu mesofilik, termofilik, pendinginan, dan masak. Hubungan diantara keempat fase tersebut sebagai berikut:

  a. Pada proses permulaan, media mempunyai nilai pH dan temperatur sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada, yaitu pH + 6.0 dan temperatur antara 18- 22°C.

  b. Sejalan dengan adanya aktivitas mikroba di dalam bahan, maka temperatur mulai naik, dan akhirnya akan dihasilkan asam organik c. Pada kenaikan temperatur diatas 40°C, aktivitas bakteri mesofilik akan terhenti, kemudian diganti oleh kelompok termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini, amoniak dan gas nitrogen akan dihasilkan, sehingga nilai pH akan berubah kembali menjadi basa d. Kelompok jamur termofilik, yang terdapat selama proses, akan mati akibat kenaikan temperatur diatas 60°C. Selanjutnya akan diganti oleh kelompok bakteri dan actinomycetes termofilik sampai batas temperatur ± 86°C.

  e. Jika temperatur maksimum sudah tercapai serta hampir seluruh kehidupan di dalamnya mengalami kematian, maka temperatur akan turun kembali hingga mencapai kisaran temperatur asal. Fase ini disebut fase pendinginan dan akhirnya terbentuklah kompos yang siap digunakan.

  Sedangkan menurut Sekarsari, proses pengomposan dibagi dalam tiga fase yaitu lag phase, active phase dan curing phase atau maturation phase [22].

Gambar 2.4 Grafik Perbandingan Suhu Terhadap Tahapan Proses Pengomposan

  [22] Berikut adalah penjelasan untuk masing- masing fase :

  a. Lag Phase Fase ini dimulai saat pertama kali kompos dibuat. Dalam fase ini mikroba yang terdapat dalam limbah padat atau bahan baku kompos beradaptasi. Mikroba mulai berkembang biak, dengan menggunakan glukosa, pati, selulosa sederhana, dan asam amino yang terdapat dalam limbah padat.

  b. Active Phase Perpindahan dari lag phase menuju active phase ditandai dengan peningkatan eksponensial dalam jumlah mikroba dan intensifikasi sesuai aktivitas mikroba.

  Tahap ini ditandai dengan kenaikan suhu kompos yang signifikan. Suhu akan terus meningkat sampai konsentrasi limbah padat yang mudah diuraikan habis akibat dekomposisi mikroba. Pada Negara tertentu, suhu mencapai 70°C atau lebih tinggi. c. Curing Phase atau Maturation Phase Pada fase ini pasokan bahan yang mudah terurai habis dan tahap pematangan dimulai. Pada tahap pematangan, bahan organik dan mikroba mengalami penurunan jumlah dan suhu akan turun mendekati suhu ruangan [22].

  Metode pengomposan yang umum digunakan seperti : pengomposan pasif, windrows, penumpukan aerasi, dan sekelompok metode yang umum dikenal sebagai pengomposan di wadah tertutup. Pengomposan pasif hanya terdiri dari penumpukan bahan baku dan meninggalkan bahan kompos untuk proses pengomposan selama jangka waktu yang panjang. Pengomposan metode windrow adalah pembuatan kompos dengan menumpuk bahan organik atau limbah

  

biodegradable , seperti kotoran hewan dan sisa tanaman, dalam tumpukan berbaris

  yang panjang, metode windrow merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengomposan skala pertanian. Pengomposan metode penumpukan aerasi menggunakan blower untuk memasok udara ke bahan kompos, blower ini dilengkapi pengontrolan langsung dari proses dan memungkinkan untuk pengomposan tumpukan yang lebih besar. Pengomposan di wadah tertutup merupakan bentuk industri kompos limbah biodegradable yang terjadi dalam reaktor tertutup. Umumnya proses ini menggunakan tangki logam atau bunker beton di mana aliran udara dan suhu dapat dikontrol [23].

2.3.3 Faktor-fakror yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

  Proses pengomposan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Faktor yang paling penting termasuk suhu, kadar air, karbon nitrogen rasio, tingkat laju aerasi, pH, Menurut Tchobanoglous untuk menghasilkan produk kompos yang bermutu tinggi, maka dalam proses composting harus juga memperhatikan faktor nutrisi dan faktor lingkungan. Faktor nutrisi mencakup makronutrien, mikronutrien, sedangkan faktor lingkungan dibagi menjadi temperatur dan kadar air, sedangkan faktor lain seperti ukuran partikel, C/N, pencampuran dengan bahan lain, penambahan air, penambahan mikroorganisme, kadar air, pengadukan, temperatur, kontrol patogen, udara, pH, derajat dekomposisi, dan lahan pengomposan harus dikontrol. Berikut ini penjelasan dari beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan [24].

  2.3.3.1 Nutrisi Carbon ( C ), nitrogen ( N ), fosfor ( P ) dan kalium ( K ) adalah nutrisi utama yang dibutuhkan oleh mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan, serta nutrisi utama untuk tanaman dan akan mempengaruhi kualitas kompos. Hampir semua bahan organik yang digunakan untuk kompos mengandung semua nutrisi ini di berbagai tingkatan yang menggunakan mikroorganisme untuk energi dan pertumbuhan. Sebuah pasokan nutrisi tidak mencukupi atau berlebihan dapat menyebabkan kompos berkualitas rendah. Tirado menjelaskan efek menguntungkan dari kompos terhadap pertumbuhan tanaman dikaitkan dengan peningkatan pasokan nutrisi bagi tanaman [23].

  2.3.3.2 Rasio C/N C/N adalah salah satu makronutrien dengan kebutuhan relatif dalam proses selulernya sebesar 25 : 1 [25]. Karbon dan nitrogen digunakan dalam metabolisme mikroorganisme dan sintesis membran sel. Pemakaian karbon di dalam pengomposan digunakan sebagai sumber energi. Karbon digunakan pada pembentukan membran, protoplasma dan dinding sel produk sintesis serta mengoksidanya menjadi karbon dioksida. Sedangkan nitrogen, menurut Baharuddin et al., digunakan dalam sintesa protein [5]. Nitrogen juga digunakan sebagai nutrien atau senyawa esensial pada protoplasma. Selain itu, bakteri 6% nitrogen dalam berat kering. Oleh karenanya, pebandingan pemakaian karbon akan lebih tinggi dibanding nitrogen sehingga kebutuhannya pun akan lebih banyak [26].

  Saat proses pengomposan, perbandingan C/N dari waktu ke waktu pengomposan akan terus mengalami penurunan seiring dengan aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik yang ada dalam gundukan kompos. Pada awal pengomposan banyak nitrogen yang digunakan untuk sintesa protein sebagai bentuk aktifitas mikroorganisme dalam menguraikan material organik.

  2.3.3.3 Ukuran Bahan Kompos Ukuran bahan kompos berkaitan dengan nutrien misalnya distribusi nutrien yang tergantung pada ukuran bahan sampah. Secara teoritis, laju dekomposisi akan meningkat dengan partikel organik yang semakin kecil [26]. Reduksi ukuran bahan dapat dilakukan dengan pencacahan. Ukuran bahan mempengaruhi drag force antara bahan sampah, internal friction, dan bulk

  density .

  Sebagian besar dari dekomposisi aerobik pengomposan terjadi pada permukaan bahan, karena oksigen bergerak mudah sebagai gas melalui ruang pori tapi jauh lebih lambat melalui bagian cair dan padat dari bahan. Bahan yang lebih kecil mengurangi porositas efektif. Kualitas kompos ynang baik biasanya diperoleh ketika ukuran bahan berkisar dari rata-rata diameter 1/8 - 2 inci [23].

  2.3.3.4 Temperatur Suhu adalah salah satu parameter penting untuk mengamati efesiensi proses pengomposan, tidak hanya pengaruh laju reaksi biologi dan perubahan populasi mikroba, tetapi juga bentuk fisik dan kimia kompos [5,27]. Pengomposan pada dasarnya berlangsung dalam dua rentang, dikenal sebagai mesofilik (10 - 40

  C) dan termofilik (di atas 40

  C) . Kebanyakan pengomposan berlangsung pada suhu antara 45 C dan 65 C. Suhu termofilik merupakan kondisi suhu yang menghasilkan dekomposisi yang lebih cepat [23].

  Peningkatan temperatur disebabkan oleh reaksi eksoterm dan aktifitas metabolisme mikroorganisme. Pada metode windrow, temperatur akan naik pengukuran setelah pengadukan. Setelah pengadukan, biasanya temperatur akan turun 5 – 10°C , namun akan kembali naik setelah beberapa jam. Temperatur pada

  

windrow turun 10 – 15 hari setelah oksidasi organik, suhu akan dapat berhenti

  naik pada hari ke 9 atau ke 10 sehingga aktifitas mikroorganisme pun menurun [24].

  2.3.3.5 pH Pengontrolan pH sangat penting seperti temperatur dalam mengevaluasi aktifitas mikroorganisme dan kestabilan sampah. pH pengomposan awal sampah organik berkisar antara 5 -7. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5 atau kurang dari itu karena organik akan berada pada temperatur ambien dan aktifitas mikroorganisme mesofil akan meningkat dalam menduplikasi diri sehingga produksi asam organik akan meningkat dan pH akan turun. Pada saat termofilik, temperatur akan naik dan terjadi aerobik proses sehingga pH akan naik sampai 8 – 8,5. Setelah kompos matang, pH akan turun menjadi 7 – 8 [24]. Pada pengomposan bahan dengan kandungan lignin yang tinggi dengan lumpur biologis, pH cenderung rendah yakni sekitar 5,1-5,5 [18].

  2.3.3.6 Kadar Air Moisture diperlukan untuk mendukung proses metabolisme mikroba dan merupakan suatu paremeter penting untuk dikendalikan dalam pengomposan

  [23,5,2,4,27]. Kelembaban yang optimum berkisar antara 50 – 60%. Kadar air dapat juga ditambahkan dengan penambahan air. Apabila kelembaban kompos kurang dari 40% maka reaksi akan melambat [24].

  Pada saat matang, kadar air yang disayaratan oleh SNI 19-7030-2004 adalah kurang dari 50% [28]. Kadar air dalam kompos matang tidak baik apabila terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan karena kadar air secara langsung berhubungan dengan nilai water holding.

  Faktor lain yang menentukan adalah penambahan air, mikroorganisme, dan pencampuran dengan bahan lain yang mengandung C/N yang tinggi. Untuk dapat mencapai C/N yang optimum, kompos dapat juga dicampurkan dengan bahan-bahan yang mengandung sumber karbon yang tinggi seperti kertas, daun, kotoran hewan, dan lumpur dari instalasi pengoahan air limbah. Pencampuran dengan bahan lain menyebakan pengontrolan terhadap kelembaban. Penambahan mikroorganisme juga dapat dilakukan untuk menghasilkan dekomposisi yang cepat [29].

  2.3.3.8 Pengadukan Pengadukan dilakukan untuk menambah atau mengurangi kelembaban pada kompos agar sampai pada kelembaban yang optimum. Pengadukan juga dapat dilakukan untuk meratakan distribusi nutrien untuk mikroorganisme. Pengadukan merupakan faktor yang penting dalam mengontrol kelembaban, kebutuhan udara atau oksigen untuk keadaan aerob. Untuk kompos dengan menggunakan sampah organik membutuhkan 15 hari periode pengomposan dengan kelembaban 50-60% dan pengadukan lebih baik dilakukan setelah hari ketiga dan dilakukan setelah hari itu sampai mendapatkan pengadukan 4–5 kali [24]. Menurut Amanah, pengadukan sangat berpengaruh pada pencapaian suhu yang maksimum dan memperpanjang periode pengambilan oksigen. Pengadukan yang dilakukan oleh Amanah adalah setiap hari, 4 hari sekali, dan 8 hari sekali dimana pengadukan yang dilakukan setiap hari akan lebih mengurangi panas dalam gundukan karena proses penguapan. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa pengadukan 4 hari sekali relatif efektif dalam pencapaian suhu maksimum dan pengurangan kadar air [29].

  

2.4 PENGGUNAAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)

SEBAGAI KOMPOS DENGAN PENAMBAHAN BAHAN ORGANIK

  Industri kelapa sawit memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia apabila mampu mampu menciptakan produk dari olahan limbahnya, seperti pembuatan produk kompos. Peningkatan proses pengomposan dapat dicapai dengan menambahkan bahan amandemen organik seperti kotoran hewan dan limbah pabrik kelapa sawit yang lain [6]. Menerapkan POME sebagai bahan amandemen dapat dianggap menguntungkan karena dapat mengurangi total aliran POME kepengolahan air limbah.

  Banyak penelitian terdahulu dilakukan untuk pengolahan kompos dari TKKS. Zahrim dan Asis melakukan penelitian mengenai produksi semi-kompos tandan kosong kelapa sawit tanpa diparut dengan mencampurkan POME [6].

  Dimana penelitian ini dilakukan tanpa memotong TKKS karena dengan memotong dan merobek TKKS dapat menyulitkan, dan limbah cair yang disemprotkan mudah tercuci dari tumpukan. Prosesnya dilakukan dengan metode

  

open turned windrow dengan dimensi area panjang 4 m, tinggi 1,5 m dan lebar 40

m. Setiap windrow berisi sekitar 120 metrik ton TKKS dan 324 metrik ton POME.

  Setelah inokulasi dengan bakteri, TKKS disemprot dengan POME, proses pembalikan dilakukan dengan menggunakan traktor dilengkapi alat macerator untuk menghomogenkan kompos dan meningkatkan kemampuan aerasi. Proses pembalikan dilakukan pada hari ke- 10, 20, 30 dan 40 dan pengambilan sampel untuk analisa dilakukan di sembilan titik pada unit widrow. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa total waktu pengomposan termasuk persiapan adalah sekitar 40-45 hari, temperatur selama pengomposan mengalami fluktuasi dimana suhu awal pengomposan adalah 53

  C. Setelah dua hari, suhu turun di bawah 50

  C, setelah dilakukan pembalikan pertama, terjadi peningkatkan suhu lebih dari 50 C. Pada hari 10 sampai hari 25, suhu dipertahankan pada sekitar 45 sampai 55 º C dengan bantuan putar yang kecil, namun pembalikan pada hari ke 40 tidak terjadi peningkatan suhu dan untuk kandungan oksigen dipertahankan di atas 10 % . Kompos yang dihasilkan memiliki kualitas pH 7,9 ; N 1,9%; P

  2 O 5 0,6 %; K

  2 O 2,0%; MgO 0,8 % dan rasio C/N 20 [6].

  Penelitian yang dilakukan Nutongkaew et al., pengomposan TKKS dengan campuran Palm Oil Mill Biogas Sludge (POMS) dan Decanter Cake (DC) menggunakan variasi perbandingan berat dan menggunakan penambahan 7 gram bakteri Super LD1 yang dinokulasikan. Dilakukan penambahan Biogas Effluent (BE) setiap setelah pengadukan untuk menjaga kadar air 60-70%, serta penambahan Palm Oil Fuel Ash (POFA) untuk menjaga kondisi pH pada kisaran 7-7,5. Penambahan Biogas Effluent (BE) dihentikan pada waktu 1-2 minggu dengan ukuran dimensi 0,6 m W x 1 m L x 0,6 m H, dengan berat awal reaktor adalah 50 kg. Ukuran potongan TKKS adalah 1-4 cm dan pengadukan dilakukan setiap 10 hari sekali. Kadar air dan pH diukur setiap 5 hari sekali, dan C/N dianalisa setiap 10 hari sekali dengan menggambil sampel sebanyak 10 gr pada bagian tengah setiap sisi reaktor. Hasil yang didapatkan, kompos matang dalam waktu 60 hari dan kompos terbaik adalah variasi perbandingan POMS:PEFB:DC yaitu 0,5:0,25:0,25, dengan kadar C/N adalah 13,47 dan kondisi pH basah yaitu 7,79 [7].

  Penelitian yang dilakukan oleh Kananam et al., adalah untuk mengetahui perubahan biokimia pengomposan TKKS dengan lumpur decanter dan kotoran ayam sebagai sumber nitrogen. Pada penelitian ini juga dilakukan penambahan tanah merah yang mengandung Fe, berfungsi untuk acceptor elektron mikroorganisme dalam kondisi anaerobik, dan lumpur decanter yang digunakan berasal dari limbah pabrik kelapa sawit. Prosesnya divariasikan dalam kondisi aerobik dan anaerobik. Untuk kondisi aerobik pada penelitian ini ditambahkan benih mikroorganisme yang terdiri dari jamur (Corynascus sp., Scytalidium sp.,

  

Chaetomium sp., dan Scopulariopsis sp) dan bakteri (Bacillus sp), sedangkan

  untuk kondisi anaerobik benih mikroorganisme yang ditambahkan mengndung ragi (Saccharomyces sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), dan bakteri katabolisme protein (Bacillus sp). TKKS dipotong dengan ukuran 2-5 cm dengan mesin penggiling lalu dimasukkan ke dalam bak silender, dimana untuk kondisi aerobik diberi lubang pada dinding untuk mengalirkan oksigen, selanjutnya setiap bak silender yang mengandung TKKS divariasikan komposisi penambahan lumpur decanter, kotoran ayam dan tanah merah. Benih mikroorganisme yang telah ditentukan, selanjutnya ditambahkan ke masing–masing komposter baik kondisi aerobik maupun anaerobik. Untuk kondisi aerobik tumpukan dibasahi dengan air dan kelembaban dipertahankan 50-70%, sedangkan tumpukan anaerobik juga dibasi dengan air dengan kelembaban dijaga lebih dari 80%. Hasil yang diperoleh penggunaan lumpur decanter dan kotoran ayam dalam kondisi aerob dapat diselesaikan dalam waktu 30 hari sedangkan pada kondisi anaerob waktu pengomposan gagal diselesaikan dalam waktu 90 hari. Suhu awal pada kondisi aerobik berkisar 49-59 C dan kondisi anaerobik berkisar 31-34

  C, pH yang diperoleh untuk kedua kondisi selama pengomposan adalah 7,50 – 8,60. Jumlah pertumbuhan mikroba untuk kondisi aerobik meningkat setelah 15 hari pengomposan dan kemudian secara bertahap menurun dan konstan sampai akhir pengomposan, sedangkan untuk kondisi anaerobik pertumbuhan mikroba tidak mengalami perubahan pada saat pengomposan sedangkan bahan organik, karbon organik yang terkandung serta rasio C/N untuk semua tumpukan dan kondisi secara bertahap menurun selama waktu pengomposan [8]. Penelitian yang dilakukan oleh Baharuddin et al., mengenai pengaruh dari

  3 POME anaerobic sludge yang berasal dari 500 m closed anaerobic methane

ddigested tank dengan TKKS yang telah ditekan dan dirobek pada proses

  pengomposan. POME anaerobic sludge yang digunakan berasal dari pengolahan biogas, limbah ini memiliki nutrisi dan sumber mikroba yang tinggi dan cocok digunakan untuk bahan tambahan proses pengomposan. Proses dilakukan pada unit composter berbentuk blok yang disusun dari batu bata dengan dimensi panjang 2,1 m, lebar dan tinggi 1,5 m. Pada penelitian ini TKKS ditekan dan dirobek dengan ukuran panjang 15 sampai 20 cm, lalu dicampur di blok

  

composter dengan POME anaerobic sludge, rasio penambahan TKKS:POME

  sebanyak 1:1. Untuk mempertahankan kadar air tumpukan kompos, POME ditambahkan setiap tiga hari dengan menggunkan pompa dan penambahan POME dihentikan seminggu sebelum dilakukan panen, sedangkan pengadukan dilakukan tiga kali seminggu. Hasil yang diperoleh waktu pengomposan singkat, yaitu 40 hari dengan rasio C/N akhir 12,4. Suhu pengomposan selama pengolahan terjadi pada fase termofilik yaitu 60-67

  C, sedangkan pH tumpukan kompos hampir konstan selama proses berkisar 8,1-8,6. Kadar air kompos mengalami penurunan dari awal sampai akhir composting yaitu dari 64,5 % menjadi 52 % dan banyaknya jumlah nutrisi serta rendahnya tingkat logam berat yang terdapat pada kompos [2].

2.5 KOMPOSTER TAKAKURA

  Takakura Home Method (THM) adalah metode pengomposan yang Ltd untuk memecahkan masalah pengelolaan sampah di Surabaya. Hal ini dilaksanakan pada tahun 2004 sebagai metode pengomposan yang bertujuan untuk memecahkan masalah pengolahan limbah padat masyarakat, terutama dalam mengelola masalah limbah kota. Pengomposan dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi timbunan sampah sekitar 30 % dalam empat tahun melalui kerjasama antara Internasional Environment Cooperation (Kitakyushu International Techno- Coopertive Association, KITA dan Institute Environment Strategies, IGES) dan kota madya Surabaya [30].

  Takakura adalah sebuah komposter yang terbuat dari keranjang yang dilapisi dengan karpet pada bagian dalamnya, yang bertujuan untuk mencegah masuknya serangga. Metode pengomposan dengan Takakura ini memungkinkan untuk pembuatan kompos yang mudah, higienis dan berkualitas baik dalam waktu yang singkat [31]. Adapun gambar takakura dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Komposter Takakura [31]

  

2.6 PENGARUH PENCAMPURAN BAHAN KOMPOS DAN

PENGADUKAN

2.6.1 Pengaruh Pencampuran Bahan Kompos

  Salah satu parameter kimia kompos yang harus diperhatikan dalam membuat kompos adalah kadar karbon dan nitrogen. Untuk mendapatkan kadar karbon dan nitrogen yang sesuai dengan standar kompos, maka diperlukan informasi mengenai kandungan karbon dan nitrogen awal.

  Kadar karbon dan nitrogen dapat diatur dengan melakukan pencampuran bahan-bahan kompos. Sebelumnya, bahan-bahan kompos ini telah diketahui kadar karbon dan nitrogen. Kemudian dilakukan perhitungan sebagai berikut :

  C C bahan 1  x (C bahan 2) yang diinginkan  (2.1)

  N N bahan 1  x (N bahan 2) Dimana x adalah perbandingan atau rasio jumlah banyaknya bahan 2 dan bahan 1. Kandungan karbon dan nitrogen ini dihitung berdasarkan kadar kedua unsur tersebut dalam jumlah kering [29].

2.6.2 Pengaruh Pengadukan

  Menurut Tirado sistem pengomposan yang efisien sangat berkorelasi dari pengaruh pengadukan [23]. Oksigen sangat dibutuhkan dalam proses pengomposan aerob. Oksigen dapat diberikan dari proses pengadukan atau suplai oksigen secara langsung melalui diffuser. Pemberian oksigen dilakukan untuk mencapai tiga tujuan yakni :

  1. Penguraian bahan organik (stoichiometric demands) Oksigen dibutuhkan oleh bahan organik dalam proses dekomposisi (stoichiometric demands). Penguraian bahan organik tersebut tergantung jenis bahan organik dalam bahan kompos. Kebutuhan oksigen tersebut dapat dihitung dengan menggunakan perhitungan stoikiometri.

  2. Pengurangan kadar air dalam kompos (drying demands) Pengurangan kadar air dalam kompos sangat penting terutama pada jenis pengomposan dengan bahan kompos basah seperti lumpur. Udara dapat dipanaskan oleh bahan kompos dan mengambil kandungan kadar air sehingga terjadi proses pengeringan.

  3. Pengurangan panas yang dihasilkan oleh proses degradasi bahan organic (heat

  demands )

  Pengurangan panas pada proses pengomposan akibat proses degradasi sangat penting dalam mengatur temperatur kompos. Pada temperatur yang tinggi, mikroorganisme mesofilik akan mati sehingga dapat mempengaruhi proses pengomposan. Oleh karenanya, suplai oksigen sangat penting dalam pengomposan [29].

2.7 STANDAR KUALITAS KOMPOS DI INDONESIA

  Standar kualitas kompos di Indonesia merujuk pada SNI 19-7030-2004 tentang parameter kualitas kompos seperti yang ditampilkan pada tabel 2.5 [28]. Regulasi tersebut diperlukan sebagai pembatasan produk limbah (kompos) yang didesain sebagai perubah tanah organik atau pupuk dimana fokus utamanya adalah terletak pada pembatasan penggunaan dalam pertimbangan aspek konservasi lingkungan tanah.

Tabel 2.5 Standar Kualitas Kompos [28]

  No Parameter Satuan Minimum Maksimum

  • 1 Kadar Air %

  50

  2 Temperatur Temperatur ⁰C air tanah

  3 Warna Kehitaman

  4 Bau Berbau tanah

  5 Ukuran partikel mm 0,55

  25

  6 Kemampuan ikat %

  58 air 7 pH 6,8 7,49

  • 8 Bahan asing % 1,5

  UnsurMakro

  9 Bahan organik %

  27

  58

  10 Nitrogen % 0,40 -

  11 Karbon % 9,80

  32

  12 Pospor % 0,10 -

  13 C/N rasio

  10

  20

  • 14 Kalium % 0,20

  UnsurMikro

  • 15 Arsen mm/kg

  13

  • 16 Kadmium mm/kg

  3

  • 17 Kobal mm/kg

  34

  • 18 Kromium mm/kg 210

  19

  • Tembaga mm/kg 100
  • 20 Merkuri mm/kg 0,8

  21

  • Nikel mm/kg

  62

  • 22 Timbal mm/kg 150

  23 Selenium * mm/kg

  2

  24 Seng mm/kg 500 * Unsur lain

  25

  • Kalsium % 25,50
  • 26 Magnesium % 0,60

  27 Besi * % 2,00

  • 28 Alumunium % 2,20

  29 Mangan * % 0,10 Bakteri

  30 Fecal Coli MPN/gr 1000

  31 Salmonella sp MPN/4 gr

  3

2.8 KEMATANGAN KOMPOS

  Agar dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman, kompos yang digunakan harus benar-benar stabil (matang). Menurut Sekarsari terdapat beberapa parameter yang digunakan sebagai indikator kematangan kompos yang terdapat pada tabel 2.6 [22].

Tabel 2.6 Parameter Kematangan Kompos [22]

  Parameter Indikator Suhu Stabil pH Alkalis

  Perbandingan C/N <20

  • 1

  Laju Respirasi <10 mg g kompos Warna Coklat Tua

  Bau Earthy (bau tanah)

  • 1

  Kemampuan Tukar Kation >60 me 100g abu

2.9 PEMANFAATAN KOMPOS

  Pemanfaatan kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yaitu:

  1. Aspek Bagi Tanah Dan Tanaman

  a. Memperbaiki produktivitas dan kesuburan tanah Pemakaian kompos dapat meningkatkan produktivitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah. Secara fisik, kompos dapat menggemburkan tanah, meningkatkan pengikatan antar partikel dan kapasitas mengikat air sehingga dapat mencegah erosi dan longsor serta dapat mengurangi tercucinya nitrogen terlalut dan memperbaiki daya olah tanah. Sedangkan secara kimia, kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), ketersediaan unsur hara dan ketersediaan asam humat. Asam humat akan membantu meningkatkan proses pelapukan bahan mineral.

  Secara biologi, kompos merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme tanah, sehingga mikroorganisem akan berkembang lebih cepat dan dapat menambah kesuburan tanah. Tanaman membutuhkan nutrisi (makanan) untuk kelangsungan hidupnya. Tanah yang baik mempunyai unsur hara yang dapat mencukupi kebutuhan tanaman. Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan tanaman, unsure hara yang diperlukan tanaman dibagi menjadi 2 golongan yaitu :  Unsur hara primer, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg)

   Unsur hara mikro yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, seperti Tembaga (Cu), Seng (Zn), Klor (Cl), Boron (B), Mangan (Mn) dan Molibdenum (Mo)

  c. Memperbaiki struktur tanah Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur terjadi karena butir-butir debu, pasir dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik dan oksida besi. Tanah tergolong jelek apabila butir-butir tanah tidak melekat satu sama lain atau saling merekat erat. Tanah yang baik adalah tanah yang remah dan granuler yang mempunyai tata udara yang baik sehingga aliran udara dan air dapat masuk dengan baik. Kompos merupakan perekat pada butir-butir tanah dan mampu menjadi penyeimbang tingkat kerekatan tanah. Selain itu, kehadiran kompos pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas pada tanah. Dengan demikian, tanah yang semula keras dan sulit ditembus air maupun udara, kini dapat menjadi gembur akibat aktivitas mikroorganisme. Struktur tanah yang gembur amat baik bagi tanaman.

  d. Menambah kemampuan tanah untuk menahan air Tanah yang bercampur dengan bahan organik seperti kompos mempunyai pori-pori dengan daya rekat yang lebih baik sehingga mampu mengikat serta menahan ketersediaan air di dalam tanah. Kompos dapat menahan erosi secara langsung. Hujan yang turun deras mengenai permukaan tanah akan mengikis tanah sehingga unsur hara terangkut habis oleh air hujan. Dengan adanya kompos, tanah terlapisi secara fisik sehingga tidak mudah terkikis dan akar tanaman terlindungi. Kemampuan tanah untuk menahan air ini (water holding capacity) berhubungan erat dengan besarnya kadar air dalam gundukan kompos

  2. Aspek Ekonomi

  a. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah

  b. Mengurangi volume/ukuran limbah

  c. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya d.Proses pengomposan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah.

  3. Aspek Lingkungan

  a. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah

  b. Tidak menimbulkan masalah lingkungan. Penggunaan pupuk kimia ternyata berpengaruh buruk, tidak hanya meracuni tanah dan air saja, tetapi juga meracuni produk yang dihasilkan. Sebagai contoh, pupuk urea terbuat dari senyawa hidrokarbon yang juga digunakan untuk kendaraan bermotor. Senyawa ini akan berubah jadi Nitrit. Senyawa inilah yang kemudian menimbulkan efek jangka panjang berupa kanker atau keracunan langsung [22].

2.10 POTENSI EKONOMI

  Penelitian kompos ini dapat diterapkan dalam skala home industry ataupun dalam skala pabrik. Namun pada potensi ekonomi ini akan dihitung pada skala

  

home industri dengan pengolahan TKKS sebanyak 1.500 kg/hari. Dimana bahan

  baku TKKS yang digunakan berasal dari PKS Rambutan PTPN III Tebing Tinggi dan POA yang berasal dari LP2M Biogas USU, serta lokasi pembuatan kompos dilakukan pada LP2M USU. Rincian biaya ditunjukkan dalam tabel 2.7 berikut.

Tabel 2.7 Rincian Biaya Pembuatan Kompos

  NO Jenis Biaya Jumlah Satuan @ Harga (Rp) Biaya (Rp)

  1 TKKS 1500 kg 200 300.000

  2 Transportasi 1500 kg 333 500.000

  3 Pekerja

  2 Orang harian 50.000 100.000 Total

  900.000 Dari rincian biaya pembuatan kompos di atas, maka total biaya pembuatan kompos kg/hari adalah:

  Rp 900.000,-/1500kg = Rp 600,-/kg Dari pengolahan 1 kg TKKS menghasilkan ±0,8 kg kompos, sehingga dari pengolahan 1.500 kg TKKS akan menghasilkan kompos sebanyak: 1.500 kg x 0,8 = 1.200 kg/hari Harga 1 kg kompos TKKS yang dijual dipasaran adalah Rp 1.000,-/kg[32], maka dapat dihitung besar harga penjualan perhari adalah sebagai berikut:

  1.200 kg x Rp 1.000,- = Rp 1.200.000 Sehingga keuntungan yang didapatkan perharinya adalah: Harga total penjualan Rp 1.200.000,- Biaya Operasi Rp 900.000,-

  Rp 300.000,- Maka total keuntungan penjualankompos perhari adalah Rp 300.000,-