Pengaruh Ukuran Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Terhadap Proses Komposting Menggunakan Pupuk Organik Aktif (POA) di Dalam Komposter Menara

(1)

PENGARUH UKURAN TANDAN KOSONG KELAPA

SAWIT (TKKS) TERHADAP PROSES KOMPOSTING

MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK AKTIF (POA)

DI DALAM KOMPOSTER MENARA

SKRIPSI

Oleh

MUHAMAD RAHMAN

090405033

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

PENGARUH UKURAN TANDAN KOSONG KELAPA

SAWIT (TKKS) TERHADAP PROSES KOMPOSTING

MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK AKTIF (POA)

DI DALAM KOMPOSTER MENARA

SKRIPSI

Oleh

MUHAMAD RAHMAN

090405033

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN

PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(3)

(4)

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nyalah skripsi ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan Skripsi dengan judul “Pengaruh Ukuran Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Terhadap Proses Komposting Menggunakan Pupuk Organik Aktif (POA) Di Dalam Komposter Menara”, berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana teknik.

Adapun hal kebaruan dari hasil penelitian ini adalah kajian bagaimana pengaruh ukuran tandan kosong kelapa sawit (TKKS) terhadap proses komposting menggunakan pupuk organik aktif (POA). Hasil dari penelitian ini menunjukkan potensi ekonomi yang tinggi terutama dalam penanggulangan limbah TKKS menjadi kompos.

Selama melakukan penelitian sampai penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr.Eng. Ir. Irvan, Msi selaku Ketua Departemen Teknik Kimia sekaligus dosen pembimbing atas saran dan bimbingan yang telah diberikan

2. Ir. Renita Manurung, MT selaku dosen koordinator skripsi

3. Dr.Ir. Fatimah, MT selaku dosen penguji I atas kritik dan saran yang telah diberikan

4. Dr.Ir. Hamidah Harahap, M.Sc selaku dosen penguji II atas kritik dan saran yang telah diberikan

5. Ir. Bambang Trisakti, MT atas bimbingan, diskusi serta saran yang diberikan


(6)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, 19 Mei 2015 Penulis


(7)

DEDIKASI

Penulis mendedikasikan skripsi ini kepada:

1. Orang tua penulis, Azizul dan Herli S.Pd atas semua doa dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis.

2. Seluruh anggota keluarga penulis terutama untuk kakak dan abang penulis, Nia Juliza, S.Pd dan M.Hazri, S.Ab atas doa dan dukungan yang telah diberikan.

3. Seluruh sahabat serta teman sejawat penulis angkatan 2009 dan teman-teman di LPPM USU.

4. Staff pengajar dan seluruh jajaran keluarga besar Departemen Teknik Kimia FT USU.


(8)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama: Muhamad Rahman NIM: 090405033

Tempat/Tgl. Lahir: Pekanbaru (Riau), 12 Juli 1991

Nama orang tua: Azizul Alamat orang tua:

Jl. H. Imam Munandar, Gg. Ombak Indah No.8 Pekanbaru, Riau

Asal Sekolah

 TK Mesjid Raya Pekanbaru (1996-1997)

 SD Negeri 010 Pekanbaru (1997-1999)

 SD Negeri 012 Pekanbaru (1999-2003)

 SMP Negeri 4 Pekanbaru (2003-2006)

 SMA Negeri 8 Pekanbaru (2006-2009) Pengalaman Organisasi/Kerja:

1. Koordinator Bidang Bakat dan Minat HIMATEK Kepengurusan 2012/2013

2. Koordinator Bidang Kreativitas dan Minat Covalen Study Group (CSG) Kepengurusan 2011/2012

3. Kerja Praktek di PT. Lafarge Cement Indonesia, Lhoknga-Aceh tahun 2012


(9)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknik pengomposan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan untuk mendapatkan data degradasi pengomposan TKKS serta profil setiap ketinggian tumpukan sehingga dihasilkan kompos yang bermutu. Proses pengomposan dilakukan dengan memvariasikan ukuran TKKS, kemudian dimasukkan ke dalam komposter dan ditambahkan pupuk organik aktif (POA) hingga moisture content (MC) bahan mencapai 55-65%. Selama pengomposan MC dijaga pada kondisi 55-65% dengan penambahan POA. Variasi ukuran TKKS yang dilakukan adalah utuh dan dibelah 4. Komposter yang digunakan adalah komposter menara yang berdimensi p x l x t yaitu 0,4 x 0,4 x 3 m. Parameter yang dianalisa adalah temperatur, MC, berat kompos, pH, ratio C/N, bacterial count serta electrical conductivity. Waktu pengomposan dilakukan selama 40 hari. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa rata-rata kompos telah masak dalam waktu ±10 hari. Data yang diperoleh pada TKKS utuh adalah pH 8,15, MC 58,44 %, C 21,34 %, N 1,07 % dan C/N 19,94 sedangkan pada TKKS dibelah 4 dengan pH 8,1, MC 73,35 %, C 25,16%, N 1,20% dan C/N 20,97.

Kata kunci : tandan kosong kelapa sawit, pupuk organik aktif, komposter, moisture content, bacterial count, electrical conductivity


(10)

ABSTRACT

This research was to study the composting technique for Empty Fruit Brunch (EFB) and to collect the degration data and height profile during composting of EFB in order to get a high quality compost. The composting process was started with cutting the EFB into varies sizes before it was put into composter and then followed by the addition of Activated Organic Fertilizer (AOF) until the optimum moisture content of 55-65 % was reached. During composting, the MC was kept on the optimum condition by adding the POA. The sizes of EFB which were used are non-shredded and 4-cut EFB . The composter that was used is Tower Composter which its dimension is 0.4 x 0.4 x 3 m in l x w x h .The research was carried out within 40 days and the physicochemical parameters were also measured during composting. The degradation data during composting was obtained for non-shredded in which value of pH, MC, C, N, C/N ratio were 8,15, 58,44%, 21,34%, 1,07% , 19,94 and for 4-cut EFB were 8,1, 73,35%, 25,16%, 1,02%, and 20,97 respectively .

Keywords: Empty Fruit Brunch (EFB), Activated Organic Fertilizer (AOF), Tower Composter, moisture content, bacterial count, electrical conductivity


(11)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI i

PENGESAHAN ii

PRAKATA iii

DEDIKASI v

RIWAYAT HIDUP PENULIS vi

ABSTRAK vii

ABSTRACT viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

DAFTAR SINGKATAN xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 LATAR BELAKANG 1

1.2 PERUMUSAN MASALAH 3

1.3 TUJUAN PENELITIAN 3

1.4 MANFAAT PENELITIAN 3

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 POTENSI DAN KESINAMBUNGAN DARI LIMBAH

CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (TKKS) MENJADI KOMPOS 5

2.2 KARAKTERISTIK TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)

DAN PUPUK ORGANIK AKTIF (POA) 7

2.2.1 Karakteristik Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) 7 2.2.2 Karakteristik Pupuk Organik Aktif (POA) Dari Effluent

Biogas Pengolahan Lanjut Limbah Cair Kelapa Sawit (LCPKS) 9 2.3 PROSES PENGOMPOSAN DAN FAKTOR – FAKTOR

YANG MEMPENGARUHI PROSES PENGOMPOSAN 10

2.3.1 Kompos 10


(12)

2.3.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan 13 2.4 PENGGUNAAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)

SEBAGAI KOMPOS DENGAN PENAMBAHAN BAHAN

ORGANIK 16

2.5 STANDAR KUALITAS KOMPOS DI INDONESIA 19

2.6 KEMATANGAN KOMPOS 20

2.7 PEMANFAATAN KOMPOS 21

2.8 POTENSI EKONOMI 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 25

3.1 LOKASI PENELITIAN 25

3.2 BAHAN DAN PERALATAN PENELITIAN 25

3.2.1 Bahan Penelitian 25

3.2.2 Peralatan Penelitian 25

3.3 PROSEDUR PENELITIAN 26

3.3.1 Prosedur Pengomposan 26

3.4 PROSEDUR ANALISA 27

3.4.1 Prosedur Analisa Kadar Air 27

3.4.2 Prosedur Analisa pH 28

3.4.3 Prosedur Analisa Temperatur 28

3.4.3 Prosedur Analisa Water Holding Capacity 28 3.4.4 Prosedur Analisa Electrical Conductivity 29 3.4.5 Analisa Perbandingan C/N, Bacterial Count dan

Bahan Organik Lainya 29

3.5 FLOWCHART PENELITIAN 30

3.5.1 Flowchart Proses Pengomposan 30

3.5.2 Flowchart Kadar Air 31

3.5.3 Flowchart Analisa pH Kompos 32

3.5.4 Flowchart Analisa Temperatur 32

3.5.5 Flowchart Analisa Water Holding Capacity 33 3.7.4 Flowchart Analisa Electrical Conductivity 33


(13)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 35

4.1 KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 35

4.2 PENGARUH UKURAN TKKS PADA SETIAP KETINGGIAN

TUMPUKAN TERHADAP PROSES PENGOMPOSAN 36

4.2.1 Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap ketinggian Tumpukan

Terhadap Suhu rata-rata 36

4.2.2 Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap ketinggian Tumpukan

Terhadap Moisture Content (MC) rata-rata 37

4.2.3 Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap ketinggian Tumpukan

Terhadap pH rata-rata 39

4.2.4 Pengaruh Ukuran TKKS Terhadap Perubahan C/N Selama

Waktu Pengomposan 40

4.2.5 Pengaruh Ukuran TKKS Terhadap Total Penambahan

POA 41

4.3 ANALISIS KUALITAS KOMPOS HASIL PENGOMPOSAN TKKS

DENGAN POA 42

4.3.1 Profil dan Analisis Kompos Berdasarkan Suhu 43 4.3.2 Profil dan Analisis Kompos Berdasarkan Moisture Cotent 44

4.3.3 Analisis Kompos Berdasarkan pH 46

4.3.4 Analisis Kompos Berdasarkan Bacterial Count 47

4.3.5 Analisis Kompos Berdasarkan C/N 48

4.3.6 Analisis Kompos Berdasarkan Electrical Conductivity 49 4.4 PENYUSUTAN VOLUME MASING-MASING TUMPUKAN

KOMPOS SELAMA PROSES PENGOMPOSAN 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 52

5.1 KESIMPULAN 52

5.2 SARAN 52


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses Pengolahan Kelapa Sawit 6

Gambar 2.2 Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) 8

Gambar 2.3 Perubahan Suhu dan Pertumbuhan Mikroba Selama Proses

Pengomposan 11

Gambar 2.4 Skema Proses Pengomposan 12

Gambar 3.1 Design Komposter 26

Gambar 3.2 Flowchart Prosedur Pengomposan 30

Gambar 3.3 Flowchart Analisa Kadar Air 31

Gambar 3.4 Flowchart Analisa pH Kompos 32

Gambar 3.5 Flowchart Analisa Temperatur 32

Gambar 3.6 Flowchart Analisa Water Holding Capacity 33

Gambar 3.7 Flowchart Analisa Electrical Conductivity 33

Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap Ketinggian Tumpukan

Terhadap Suhu Rata-Rata 37

Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap Ketinggian Tumpukan

Terhadap Moisture Content Rata-Rata 38

Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap Ketinggian Tumpukan

Terhadap pH Rata-Rata 39

Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Ukuran TKKS Terhadap Perbandingan C/N 40

Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Total Penambah POA 41

Gambar 4.6 Profil Suhu Pengomposan TKKS Pada Komposter 1 43 Gambar 4.7 Profil Moisture Content Pengomposan TKKS Pada Komposter 1 45

Gambar 4.8 Grafik Perubahan pH Pada Komposter 1 46

Gambar 4.9 Grafik Bacterial Count dan Suhu pada Komposter 1 47

Gambar 4.10 Grafik Perubahan C/N pada Komposter 1 48

Gambar 4.11 Grafik Perubahan Nilai Electrical Conductivity Pada Komposter 1 49

Gambar 4.12 Grafik Penyusutan Volume Tumpukan 50

Gambar L3.1 Komposter 67


(15)

Gambar L3.4 TKKS yang Telah Dipotong 68

Gambar L3.5 Pengambilan Sampel 69

Gambar L3.6 Pengukuran pH 69

Gambar L3.7 Pengukuran Moisture Content 70

Gambar L3.8 Pengukuran Water Holding Capacity 70

Gambar L3.9 Kompos Komposter 1 dan Komposter 2 71

Gambar L4.1 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis Bacterial Count POA 72 Gambar L4.2 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis C, N, P dan K POA 73 Gambar L4.3 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis C dan N TKKS Awal 74 Gambar L4.4 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis C dan N Kompos Setelah

10 Hari Pengomposan 75

Gambar L4.5 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis C dan N Kompos Setelah

20 Hari Pengomposan 76

Gambar L4.6 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis C dan N Kompos Setelah

30 Hari Pengomposan 77

Gambar L4.7 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis C dan N Kompos Setelah

40 Hari Pengomposan 78

Gambar L4.8 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis Unsur Makro dan Mikro


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Rangkuman Hasil Penelitian Pembuatan Kompos dari Tandan Kosong

Kelapa Swit 4

Tabel 2.1 Data luas areal perkebunan kelapa sawit, produksi CPO dan kernel di

Indonesia dari tahun 2006-2010 5

Tabel 2.2 Standar Kualitas Kompos 20

Tabel 2.3 Parameter Kematangan Kompos 21

Tabel 2.4 Rincian Biaya Pembuatan Kompos 23

Tabel 4.1 Karakteristik TKKS PKS Mangke PTPN III 35

Tabel 4.2 Hasil Analisa Karakteristik POA 35

Tabel 4.3 Karakteristik Komposter yang Digunakan 36

Tabel 4.3 Karakteristik Kompos Pada Pada Hari Ke-40 42

Tabel L1.1.1 Karakteristik TKKS PKS Mangke PTPN III 57

Tabel L1.1.2 Hasil Analisa Karakteristik POA 57

Tabel L1.2.1 Data Suhu Untuk Ukuran TKKS Utuh 58

Tabel L1.2.2 Data Suhu Untuk Ukuran TKKS Dibelah 4 59

Tabel L1.3 Data MC Masing-Masing Komposter 60

Tabel L1.4 Data pH Masing-Masing Komposter 61

Tabel L1.5 Data Penambahan POA 62

Tabel L1.6 Data Penyusutan Volume 63

Tabel L1.7 Data WHC 64


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 DATA HASIL PENELITIAN 57

L1.1 KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 57

L1.1.1 Karakteristik TKKS 57

L1.1.2 Karakteristik POA 57

L1.2 DATA HASIL PENELITIAN SUHU 58

L1.2.1 Data Suhu Untuk Ukuran TKKS Utuh 58

L1.2.2 Data Suhu Untuk Ukuran TKKS Dibelah 4 59

L1.3 DATA HASIL PENELITIAN MC 60

L1.4 DATA HASIL PENELITIAN PH 61

L1.5 DATA HASIL PENELITIAN PENAMBAHAN POA 62

L1.6 DATA HASIL PENELITIAN PENYUSUTAN VOLUME 63

L1.7 DATA HASIL PENELITIAN WHC 64

LAMPIRAN 2 CONTOH PERHITUNGAN 65

L2.1 PERHITUNGAN PENAMBAHAN POA 65

L2.2 PERHITUNGAN WHC 65

L2.3 PERHITUNGAN STANDAR DEVIASI 66

LAMPIRAN 3 DOKUMENTASI 67


(18)

DAFTAR SINGKATAN

BPS Badan Pusat Statistik

C Karbon

Ca Kalsium

Cd Kadmium

Cu Tembaga

CPO Crude Palm Oil

C/N Karbon/Nitrogen

Fe Besi

K Kalium

MC Moisture Content

EC Electrical Conductivity

BC Bacterial Count

WHC Water Holding Capacity

Mg Magnesium

N Nitrogen

Na Natrium

P Fosfor

Pb Timbal

Zn Seng

PKS Pabrik Kelapa Sawit POA Pupuk Organik Aktif POME Palm Oil Mill Effluent TBS Tandan Buah Segar


(19)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknik pengomposan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan untuk mendapatkan data degradasi pengomposan TKKS serta profil setiap ketinggian tumpukan sehingga dihasilkan kompos yang bermutu. Proses pengomposan dilakukan dengan memvariasikan ukuran TKKS, kemudian dimasukkan ke dalam komposter dan ditambahkan pupuk organik aktif (POA) hingga moisture content (MC) bahan mencapai 55-65%. Selama pengomposan MC dijaga pada kondisi 55-65% dengan penambahan POA. Variasi ukuran TKKS yang dilakukan adalah utuh dan dibelah 4. Komposter yang digunakan adalah komposter menara yang berdimensi p x l x t yaitu 0,4 x 0,4 x 3 m. Parameter yang dianalisa adalah temperatur, MC, berat kompos, pH, ratio C/N, bacterial count serta electrical conductivity. Waktu pengomposan dilakukan selama 40 hari. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa rata-rata kompos telah masak dalam waktu ±10 hari. Data yang diperoleh pada TKKS utuh adalah pH 8,15, MC 58,44 %, C 21,34 %, N 1,07 % dan C/N 19,94 sedangkan pada TKKS dibelah 4 dengan pH 8,1, MC 73,35 %, C 25,16%, N 1,20% dan C/N 20,97.

Kata kunci : tandan kosong kelapa sawit, pupuk organik aktif, komposter, moisture content, bacterial count, electrical conductivity


(20)

ABSTRACT

This research was to study the composting technique for Empty Fruit Brunch (EFB) and to collect the degration data and height profile during composting of EFB in order to get a high quality compost. The composting process was started with cutting the EFB into varies sizes before it was put into composter and then followed by the addition of Activated Organic Fertilizer (AOF) until the optimum moisture content of 55-65 % was reached. During composting, the MC was kept on the optimum condition by adding the POA. The sizes of EFB which were used are non-shredded and 4-cut EFB . The composter that was used is Tower Composter which its dimension is 0.4 x 0.4 x 3 m in l x w x h .The research was carried out within 40 days and the physicochemical parameters were also measured during composting. The degradation data during composting was obtained for non-shredded in which value of pH, MC, C, N, C/N ratio were 8,15, 58,44%, 21,34%, 1,07% , 19,94 and for 4-cut EFB were 8,1, 73,35%, 25,16%, 1,02%, and 20,97 respectively .

Keywords: Empty Fruit Brunch (EFB), Activated Organic Fertilizer (AOF), Tower Composter, moisture content, bacterial count, electrical conductivity


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi Indonesia yang mengalami perkembangan yang paling pesat. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Pada awal tahun 2001, luas areal kelapa sawit dan produksi masing-masing tumbuh dengan laju 3.97% dan 7.25% per tahun, sedangkan ekspor meningkat 13.05% per tahun [1]. Tahun 2010 produksi Crude

Palm Oil (CPO) meningkat antara 5% – 6%, sedangkan untuk periode 2010 – 2020,

pertumbuhan produksi berkisar antara 2% – 4% [2]. Pada tahun 2010 total areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah seluas 8.774.694 ha dengan total produksi minyak mentah sawit (crude palm oil, CPO) sebesar 22.496.857 ton.

Laju produksi kelapa sawit yang semakin meningkat mengakibatkan kebun dan pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah padat dan cair dalam jumlah besar yang belum dimanfaatkan secara optimal [2]. Pada proses pengolahannya, selain menghasilkan CPO dan inti sawit, pabrik kelapa sawit (PKS) juga menghasilkan limbah, yaitu limbah cair (palm oil mill effluent, POME) dan limbah padat seperti tandan kosong kelapa sawit (TKKS), fiber, dan cangkang. Menurut Direktorat Jendral Perkebunan, setiap pengolahan 1 ton TBS (tandan buah segar) akan dihasilkan TKKS sebanyak 27% TKKS atau 270 kg. Sehingga diperkirakan pada tahun 2010 produksi TKKS di Indonesia ± 30.370.756 ton [3].

Sebelumnya, TKKS dibakar pada incinerator untuk dijadikan abu. Abu hasil pembakaran TKKS dapat digunakan sebagai pupuk, karena kandungan kaliumnya relatif tinggi yakni ± 30%. Namun, proses pembakaran ini sekarang dilarang berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 15 tahun 1996 tentang Program Langit Biru, untuk mencegah polusi udara. Sehingga TKKS kini kebanyakan digunakan sebagai mulsa (material penutup tanaman budidaya) dengan meletakkan TKKS di sekitar batang pohon kelapa sawit muda. Mulsa ini dapat berfungsi sebagai pengendali gulma, mencegah erosi, dan menjaga kelembaban tanah [4]. Didalam pengaplikasiannya, mulsa membutuhkan waktu yang lama agar terdekomposisi tergantung pada kondisi lingkungan, seperti temperatur, cahaya


(22)

matahari, curah hujan, organisme tanah dan kelembaban udara. Tidak semua mulsa akan terdekomposisi dengan baik, dimana mulsa yang terdekomposisi anaerobik akan menghasilkan bau tidak enak dan dapat menyebabkan munculnya senyawa fitotoksik yang berbahaya bagi tumbuhan. Sehingga untuk menghindarinya, sebaiknya TKKS dikomposkan terlebih dahulu sebelum disebarkan.

Aplikasi kompos TKKS untuk tanaman kehutanan belum banyak dilakukan, untuk itu pengaplikasian kompos ini terhadap tanaman kehutanan perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan pemanfaatannya. Pemanfaatan kompos ini diharapkan dapat mendukung terwujudnya pembangunan kehutanan yang berprinsip pada azas kelestarian ekologi, ekonomi dan produksi [5].

Banyak hal yang mempengaruhi proses pengomposan dan berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil kompos yang baik dari bahan baku TKKS, seperti melakukan berbagai perlakuan dalam proses pengomposan, salah satunya penambahan bahan organik lain. Beberapa studi telah dilakukan untuk pengolahan TKKS menjadi kompos diantaranya dengan menambahkan bahan tambahan seperti kotoran hewan [4], dan dengan pencampuran POME [6]. Rangkuman dari beberapa hasil penelitian lain disajikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Rangkuman Hasil Penelitian Pembuatan Kompos dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)[7][8][9]

Nama Peneliti (Tahun)

Metode Hasil Penelitian

Zahrim dan Asis Tanpa dicacah dengan penambahan POME dengan metode open turned windrow

Total waktu pengomposan dan termasuk waktu persiapan adalah sekitar 40-45 hari, pH kompos 7,9; rasio C/N 20 serta jumlah unsur yang lain seperti N 1,9%; P2O5 0,6

%, K2O 2,0%, MgO 0,8 %.

Hayawin et al. Dengan penambahan POME dan cacing tanah Eisinia fetida

Terjadi peningkatan pH dan penurunan rasio C/N selama proses composting, dan dihasilkan kualitas kompos terbaik dengan perbandingan komposisi 50% TKKS + 50 % POME

Samsu et al. Dengan penambahan

POME anaerobic sludge yang berasal dari 500 m3

closed anaerobic methane ddigested tank

Diperoleh waktu pengolahan pengomposan singkat 40 hari dengan rasio C/N akhir 12,4 dan pH pada tumpukan kompos 8,1 - 8,6.


(23)

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Pengomposan TKKS dengan mencampur pupuk organik aktif (POA), merupakan alternatif dalam pemanfaatan limbah padat yang dihasilkan dari pabrik kelapa sawit. Untuk menghasilkan kompos yang berkualitas dan waktu yang relatif singkat, perlu dipelajari beberapa variabel yang mempengaruhi proses pengomposan seperti perbandingan ukuran TKKS dan ketinggian tumpukan.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan utama dari penelitian ini adalah menemukan teknik pengomposan TKKS yang baik sehingga dihasilkan kompos bermutu baik. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pengaruh pada pengomposan TKKS dengan penambahan POA serta variasi ukuran TKKS pada ketinggian tumpukan kompos yang berbeda.

1.4MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Memperoleh informasi mengenai pengomposan menggunakan POA pada ukuran TKKS dan ketinggian yang berbeda.

b. Memperoleh data profil pengomposan pada setiap ketinggian tumpukan terhadap kualitas kompos.

c. Memberikan informasi mengenai manfaat tandan kosong kelapa sawit serta proses pengomposan yang baik kepada masyarakat dan dunia industri.

1.5RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian pembuatan kompos ini dilakukan di Pusdiklat LP2M USU. Bahan utama yang digunakan adalah TKKS yang diperoleh dari PKS Sei Mangke PTPN III dan POA yang diproduksi oleh unit Biogas USU. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah komposter menara, termometer, timbangan, pH meter, shaker, tabung plastik (botol kocok), neraca analitis, beaker glass, oven, cawan, kertas saring dan desikator.


(24)

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

 Variabel tidak tetap : Ukuran TKKS (TKKS utuh dan dan dibelah 4)

 Variabel tetap : Jumlah lubang asupan oksigen (5 lubang per sisi)

Adapun parameter-parameter yang akan diamati dan dianalisa pada penelitian ini antara lain:

 Temperatur

 Kadar Air

 Berat Kompos

 Ratio C/N

Bacterial Count

Electrical Conductivity

 pH

Water Holding Capacity


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 POTENSI DAN KESINAMBUNGAN DARI LIMBAH TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) MENJADI KOMPOS

Kelapa sawit adalah salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomis dan prospek yang cerah untuk dikembangkan secara luas yang mana data total areal perkebunan kelapa sawit dan produksinya dari tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Tabel 2.1. Pada tahun 2010, menurut BPS, total areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah seluas 8.548.828 ha dengan total produksi minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO) sebesar 22.496.857 ton. Sebanyak 16.291.856 ton dari produksi CPO ini diekspor ke beberapa negara Asia seperti Jepang, India, Vietnam, Malaysia, Pakistan, Arab Saudi dan beberapa negara lainya [3].

Tabel 2.1 Data luas areal perkebunan kelapa sawit, produksi CPO, dan Kernel di Indonesia dari tahun 2006-2010 [3]

Tahun Luas Areal (ha) Produksi CPO (ton) Produksi Kernel (ton)

2006 6.284.960 16.569.927 3.428.700

2007 6.853.916 17.796.374 4.017.477

2008 7.333.707 19.400.794 4.379.963

2009 8.548.828 21.390.326 4.829.123

2010 8.774.694 22.496.857 5.077.818

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa industri kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat, oleh karena itu dengan meningkatnya pertumbuhan produksi kelapa sawit maka jumlah limbah yang dihasilkan baik limbah padat dan cair juga semakin besar. Upaya untuk mengatasi limbah padat, Pusat Penelitian Kelapa sawit (PPKS) melakukan teknologi pengomposan dengan memanfaatkan hasil limbah pabrik menjadi kompos yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi. Bahan yang diperlukan untuk produksi kompos tersebut adalah Limbah TKKS dan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS). Sebagai gambaran, apabila sebuah pabrik kelapa sawit mengolah sekitar 100 ton dari tandan buah segar (TBS) setiap hari menjadi crude palm oil (CPO), selama proses berlangsung akan dihasilkan limbah (residu) baik dalam bentuk padat dan cair. Limbah padat, terutama dalam bentuk TKKS dihasilkan sebanyak 27% dari TBS yang diolah, sedangkan


(26)

limbah cair dalam bentuk LCPKS yang dihasilkan lebih dari 500 kg (sekitar 0,5 m3). Kebanyakan kedua limbah ini dibuang selama pengolahan, oleh karena itu dengan memanfaatkan teknologi pengomposan, suatu pabrik yang mengolah TBS 100 ton/hari dan limbah yang dihasilkan sebanyak 27 ton TKKS dan 50 m3 POME, maka akan menghasilkan produk kompos sebanyak 27 ton/hari [4]. Limbah sebanyak ini semuanya dapat diolah menjadi kompos hingga tidak menimbulkan masalah pencemaran, sekaligus mengurangi biaya pengolahan limbah yang cukup besar [8]. Gambar 2.1 memperlihatkan diagram alir proses pengolahan kelapa sawit dari aktivitas produksi pabrik kelapa sawit yang menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar.

Tandan Buah segar (TBS)

Steam Sterilization

Perontokan (Threser)

Proses pemisahan

Fiber dan cangkang

Buah inti sawit yang terpisah dari tandan

Tandan Kosong Kelapa sawit Limbah Cair

Fiber (serabut) Cangkang

Pemecahan (Cracking)

shell (kulit) Kernel

Kernel oil mill

PKO PKM

Minyak

Clarifier Effluent

Crude Palm Oil (CPO)

Gambar 2.1 Proses Pengolahan Kelapa Sawit [10]

Selama ini TKKS kebanyakan tidak dimanfaatkan dan biasanya hanya dibuang langsung ke tanah, padahal akan berpotensi menimbulkan dampak negatif


(27)

terhadap lingkungan, karena TKKS masih mengandung minyak yang dapat merusak kandungan hara dari tanah [11]. Menurut Hayawin et al, TKKS memiliki kandungan beberapa unsur dan mineral yang tinggi dan cocok diolah kembali menjadi suatu produk olahan yang baru. Oleh karena itu, maka TKKS dapat dimanfaatkan sebagai kompos. TKKS yang apabila dibuang ke tanah secara langsung akan mengalami proses terdekomposisi dalam waktu yang lama untuk menjadi kompos [8]. Pemanfaatan TKKS sebagai bahan baku pembuatan kompos akan memberi keuntungan selain dalam pengurangan jumlah limbah sebanyak 50 % dari volume, juga dapat membantu petani disekitar perkebunan untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian dengan menggunakan kompos TKKS [7].

2.2 KARAKTERISTIK TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) DAN PUPUK ORGANIK AKTIF (POA)

2.2.1 Karakteristik Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

TKKS terdiri dari 45 - 50 % selulosa dan memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. TKKS umumnya berbentuk serat, dan serat tersebut berbentuk seperti tongkat yang secara keseluruhan membentuk ikatan pembuluh [12]. TKKS merupakan sampah residu yang dihasilkan dari industri kelapa sawit. Tandan tersebut disterilkan dalam sterilisasi uap horizontal untuk menonaktifkan enzim yang ada. Tandan disterilkan dengan cara dimasukkan ke drum perontok rotary untuk melepaskan buah dari tandan. TKKS berwarna coklat kering dengan bentuk yang tidak seragam dan bobot rendah. Panjang dan lebar tergantung pada ukuran tandan buah segar dan dapat bervariasi dari panjang 17-30 cm dan lebar 25-35 cm. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan bahan organik yang mengandung ; 42,8 % C, 2,90 % K2O, 0,80% N, 0,22 % P2O5, 0,30% MgO dan unsur-unsur mikro antara

lain 10 ppm B, 23 ppm Cu dan 51 ppm Zn. Dalam setiap 1 ton Tandan Kosong sawit mengandung unsur hara yang setara dengan 3 Kg Urea, 0,6 kg RP, 12 kg MOP [15]. Pada gambar 2.2 memperlihatkan bentuk dari TKKS yang akan digunakan.


(28)

Gambar 2.2 Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) [10]

TKKS umunya dijadikan mulsa dengan cara penumpukkan di sekitar pohon kelapa sawit. Padahal cara ini tidak akan menciptakan produk kompos organik yang bermutu, karena nilai C/N masih tinggi. Pengomposan adalah penurunan rasio atau perbandingan antara karbon dan nitrogen dengan singkatan nilai C/N. Bahan organik dapat diserap tanah adalah mempunyai C/N yang sama dengan tanah ialah sekitar 10 – 12 oleh karena itu, limbah sawit (cair dan padat) yang mempunyai nilai C/N tinggi harus diturunkan [13].

Keunggulan tandan TKKS jika dijadikan kompos meliputi: kandungan kalium yang tinggi, tanpa penambahan starter dan bahan kimia, memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi. Selain itu kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain:

1. Memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan.

2. Membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.

3. Bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman. 4. Merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah.


(29)

2.2.2 Karakteristik Pupuk Organik Aktif (POA) Dari Effluent Biogas Pengolahan Lanjut Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)

Pupuk organik cair dapat dibuat dari bahan-bahan organik berbentuk cair dengan cara mengomposkan dan memberi aktivator pengomposan sehingga dapat dihasilkan pupuk organik cair yang stabil dan mengandung unsur hara lengkap. Pupuk cair dapat diproduksi dari limbah industri peternakan (limbah cair dan setengah padat atau slurry) yaitu melalui pengomposan dan aerasi. Pupuk organik cair dapat diklasifikasikan atas pupuk kandang cair, biogas, pupuk cair dari limbah organik, pupuk cair dari limbah kotoran manusia, dan mikroorganisme efektif [14].

Pupuk dalam bentuk cair ada yang bersifat organik dan ada pula yang bersifat anorganik. Kelebihan pupuk organik cair dibanding pupuk anorganik cair yaitu dapat secara cepat mengatasi defisiensi hara, tidak bermasalah dalam pencucian hara, dan mampu menyediakan hara secara cepat. Kendala yang dihadapi dalam penggunaan pupuk kimia anorganik cair antara lain kurang efisien, karena pupuk ini tidak memiliki bahan pengikat sehingga saat diaplikasikan di lapangan banyak yang terbuang. Larutan pupuk anorganik yang jatuh ke permukaan tanah akan larut dan tercuci saat hujan dan unsur N menguap pada suhu cukup tinggi [14].

Effluent biogas adalah keluaran dari instalasi biogas yang merupakan by

product dari sistem pengomposan anaerob yang bebas bakteri patogen dan dapat

digunakan sebagai pupuk untuk menjaga kesuburan tanah dan meningkatkan produksi tanaman. Effluent mengandung unsur makro yang penting untuk pertumbuhan tanaman seperti unsur N, P, K, dan unsur mikro yaitu Cu, Fe, Mg, S, dan Zn [14]. Effluent dari biogas jika dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman dapat meningkatkan hasil pertanian dan dapat memperbaiki kesuburan tanah.

Menurut Junus, effluent biogas yang keluar dari tangki pencerna (digester) terdiri dari dua komponen yaitu bagian padat dan cair. Limbah cair lebih banyak mengandung unsur N dan K sedangkan padatannya lebih banyak mengandung unsur P.


(30)

2.3 PROSES PENGOMPOSAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENGOMPOSAN

2.3.1 Kompos

Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan bantuan organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob (dengan udara) maupun anaerob (tanpa bantuan udara) [15]. Kompos dari limbah padat organik semakin penting di seluruh dunia, dalam kerangka terpadu manajemen limbah padat dan khususnya pengalihan biodegradables dari penimbunan [16].

Pengomposan merupakan sarana mengubah berbagai limbah organik menjadi produk yang dapat digunakan secara aman dan menguntungkan sebagai pupuk hayati [12]. Organisme yang bertanggung jawab untuk kompos memerlukan kondisi gizi dan lingkungan tertentu untuk bertahan hidup dan fungsi. Mereka membutuhkan jumlah yang cukup makro dan mikro-nutrisi, oksigen, dan air. Organisme ini mengalami tingkat pertumbuhan yang optimal hanya dalam suhu tertentu dan rentang pH [17].

Fungsi utama kompos adalah membantu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik kompos dapat menggemburkan tanah, aplikasi kompos pada tanah akan meningkatkan jumlah rongga sehingga tanah menjadi gembur. Sementara sifat kimia yang mampu dibenahi dengan aplikasi kompos adalah meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada tanah dan dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air (water holding capacity). Sedangkan untuk perbaikan sifat biologi, kompos dapat meningkatkan populasi mikroorganisme dalam tanah. Keunggulan kompos adalah kandungan unsur hara makro maupun mikronya yang lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K, Ca, Mg, dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na dan B.. Dalam proses pengomposan organisme pengurai mengambil sumber makanan dari sampah atau bahan organik yang diolah lalu mengeluarkan sisa metabolisme berupa karbon dioksida (CO), serta panas yang menghasilkan uap air (H2O). Oleh karena itu, kinerja organisme pengurai dapat dipantau dengan

pengamatan temperatur (suhu), tekstur, struktur dan perubahan warna serta bau. Peningkatan suhu, tekstur dan struktur tidak lengket dan remah serta warna manjadi


(31)

gelap mengkilat menandakan adanya kegiatan organisme pengurai yang berjalan dengan baik dan bau menyengat kompos yang semakin hari semakin hilang [18].

2.3.2 Proses Pengomposan

Pengomposan dapat terjadi secara alamiah maupun dengan bantuan manusia. Pengomposan secara alamiah yaitu dengan cara penumpukan sampah di alam, sedangkan pengomposan dengan bantuan manusia yaitu dengan cara menggunakan teknologi modern maupun dengan menggunakan bahan bioaktivator dan menciptakan kondisi ideal sehingga proses pengomposan dapat terjadi secara optimal dan menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik, diperlukan pemahaman proses pengomposan yang baik pula. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Pada gambar 2.3 menunjukan perubahan suhu yang terjadi akibat pertumbuhan mikroba selama berlangsungnya proses pengomposan.

Gambar 2.3 Perubahan Suhu dan Pertumbuhan Mikroba Selama Proses Pengomposan [18]

Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik yang kemudian akan digantikan oleh bakteri termofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat, kemudian akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga mencapai 70 oC. Suhu akan tetap tinggi selama fase pematangan. Mikroba

mesofilik kemudian tergantikan oleh mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif

pada suhu tinggi. Pada saat terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif, mikroba-mikroba yang ada di dalam kompos akan menguraikan bahan organik menjadi NH+, CO, uap air dan panas melalui sistem metabolisme dengan bantuan


(32)

oksigen. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah. Pada fase ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30-50 % dari bobot awal tergantung kadar air awal [18]. Skema sederhana dari proses pengomposan dapat dilihat pada gambar 2.4.

Karbon, Nitrogen, Inorganics, Air, Microorganisme, Pathogens, benih gulma , mikroba yang

menguntungkan Bahan Baku

Pencampuran Tumpukan Kompos

Uap Air, Panas, CO2, NO, gas lain

Curing Oxygen

Bahan – bahan organik, mikroorganisme

anorganik Produk Akhir

Gambar 2.4 Skema Proses Pengomposan [12]

Metode pengomposan yang umum digunakan seperti : pengomposan pasif, windrows, penumpukan aerasi, dan sekelompok metode yang umum dikenal sebagai pengomposan di wadah tertutup. Pengomposan pasif hanya terdiri dari penumpukan bahan baku dan meninggalkan bahan kompos untuk proses pengomposan selama jangka waktu yang panjang Pengomposan metode windrow adalah pembuatan kompos dengan menumpuk bahan organik atau limbah biodegradable, seperti kotoran hewan dan sisa tanaman, dalam tumpukan berbaris yang panjang, metode windrow merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengomposan skala pertanian. Pengomposan metode penumpukan aerasi menggunakan blower untuk memasok udara ke bahan kompos, blower ini dilengkapi pengontrolan langsung dari proses dan memungkinkan untuk pengomposan tumpukan yang lebih besar. Pengomposan di wadah tertutup merupakan bentuk industri kompos limbah biodegradable yang terjadi dalam reaktor tertutup. Umumnya proses ini menggunakan tangki logam atau bunker beton di mana aliran udara dan suhu dapat dikontrol [19].


(33)

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

Proses pengomposan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Faktor yang paling penting termasuk suhu, kadar air, karbon nitrogen rasio, tingkat laju aerasi, pH, dan fisik struktur bahan baku [20]

Menurut Tchobanoglous, Untuk menghasilkan produk kompos yang bermutu tinggi, maka dalam proses composting harus juga memperhatikan faktor nutrisi dan faktor lingkungan. Faktor nutrisi mencakup makronutrien, mikronutrien, sedangkan faktor lingkungan dibagi menjadi temperatur dan kadar air, sedangkan faktor lain seperti ukuran partikel, C/N, pencampuran dengan bahan lain, penambahan air, penambahan mikroorganisme, kadar air, pengadukan, temperatur, kontrol patogen, udara, pH, derajat dekomposisi, dan lahan pengomposan harus dikontrol. Berikut ini penjelasan bdari eberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan.

2.3.2.1 Nutrisi

Carbon (C), nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) adalah nutrisi utama yang dibutuhkan oleh mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan, serta nutrisi utama untuk tanaman dan akan mempengaruhi kualitas kompos. Hampir semua bahan organik yang digunakan untuk kompos mengandung semua nutrisi ini di berbagai tingkatan yang menggunakan mikroorganisme untuk energi dan pertumbuhan. Sebuah pasokan nutrisi tidak mencukupi atau berlebihan dapat menyebabkan kompos berkualitas rendah. Tirado, menjelaskan efek menguntungkan dari kompos terhadap pertumbuhan tanaman dikaitkan dengan peningkatan pasokan nutrisi bagi tanaman.

2.3.2.2 Rasio C/N

C/N adalah salah satu makronutrien dengan kebutuhan relatif dalam proses selulernya sebesar 25 : 1 [21]. Karbon dan nitrogen digunakan dalam metabolisme mikroorganisme dan sintesis membran sel. Pemakaian karbon di dalam pengomposan digunakan sebagai sumber energi. Karbon digunakan pada pembentukan membran, protoplasma dan dinding sel produk sintesis serta mengoksidanya menjadi karbon dioksida. Sedangkan nitrogen, menurut Insam dan Bertoldi pada tahun 2001, digunakan dalam sintesa protein. Nitrogen juga digunakan sebagai nutrien atau senyawa esensial pada protoplasma. Selain itu, bakteri mengandung 7-11% nitrogen dalam berat kering, sedangkan fungi mengandung


(34)

4-6% nitrogen dalam berat kering. Oleh karenanya, pebandingan pemakaian karbon akan lebih tinggi dibanding nitrogen sehingga kebutuhannya pun akan lebih banyak [22].

Saat proses pengomposan, perbandingan C/N dari waktu ke waktu pengomposan akan terus mengalami penurunan seiring dengan aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik yang ada dalam gundukan kompos. Pada awal pengomposan banyak nitrogen yang digunakan untuk sintesa protein sebagai bentuk aktifitas mikroorganisme dalam menguraikan material organik.

2.3.2.3 Ukuran Partikel

Ukuran partikel bahan kompos berkaitan dengan nutrien misalnya distribusi nutrien yang tergantung pada ukuran partikel sampah. Secara teoritis, laju dekomposisi akan meningkat dengan partikel organik yang semakin kecil [22]. Reduksi ukuran partikel dapat dilakukan dengan pencacahan. Ukuran partikel mempengaruhi drag force antara partikel sampah, internal friction, dan bulk density. Sebagian besar dari dekomposisi aerobik pengomposan terjadi pada permukaan partikel, karena oksigen bergerak mudah sebagai gas melalui ruang pori tapi jauh lebih lambat melalui bagian cair dan padat dari partikel. Partikel yang lebih kecil mengurangi porositas efektif. Kualitas kompos ynang baik biasnya diperoleh ketika ukuran partikel berkisar dari rata-rata diameter 1/8 - 2 inci [19].

2.3.2.4 Temperatur

Suhu adalah indikator proses yang baik. Pengomposan pada dasarnya berlangsung dalam dua rentang, dikenal sebagai mesofilik (10 - 40 0C) dan termofilik (di atas 40 0C) . Kebanyakan pengomposan berlangsung pada suhu antara 45 0C dan 65 0C. Suhu termofilik merupakan kondisi suhu yang menghasilkan dekomposisi yang lebih cepat [19].

Peningkatan temperatur disebabkan oleh reaksi eksoterm dan aktifitas metabolisme mikroorganisme. Pada metode windrow, temperatur akan naik karena pengadukan dan hanya dapat dikontrol secara tidak langsung dengan pengukuran setelah pengadukan. Setelah pengadukan, biasanya temperatur akan turun 5 – 10°C , namun akan kembali naik setelah beberapa jam. Temperatur pada windrow turun 10 – 15 hari setelah oksidasi organik, suhu akan dapat berhenti naik pada hari ke 9 atau ke 10 sehingga aktifitas mikroorganisme pun menurun [23].


(35)

2.3.2.5 pH

Pengontrolan pH sangat penting seperti temperatur dalam mengevaluasi aktifitas mikroorganisme dan kestabilan sampah. pH pengomposan awal sampah organik berkisar antara 5 -7. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5 atau kurang dari itu karena organik akan berada pada temperatur ambien dan aktifitas mikroorganisme mesofil akan meningkat dalam menduplikasi diri sehingga produksi asam organik akan meningkat dan pH akan turun. Pada saat termofilik, temperatur akan naik dan terjadi aerobik proses sehingga pH akan naik sampai 8 – 8,5. Setelah kompos matang, pH akan turun menjadi 7 – 8 [23]. Pada pengomposan bahan dengan kandungan lignin yang tinggi dengan lumpur biologis, pH cenderung rendah yakni sekitar 5,1-5,5 [15].

2.3.2.6 Kadar Air

Moisture diperlukan untuk mendukung proses metabolisme mikroba dan merupakan suatu paremeter penting untuk dikendalikan dalam pengomposan [19]. Kelembaban yang optimum berkisar antara 50 – 60%. Kadar air dapat juga ditambahkan dengan penambahan air. Apabila kelembaban kompos kurang dari 40% maka reaksi akan melambat [23].

Pada saat matang, kadar air yang disayaratan oleh SNI 19-7030-2004 adalah kurang dari 50%. Kadar air dalam kompos matang tidak baik apabila terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan karena kadar air secara langsung berhubungan dengan nilai water holding capacity, hal ini sesuai dengan pernyataan dari Agricultural Analytical Services Laboratory The Pennsylvania State University pada tahun 2008.

2.3.2.7 Penambahan Air, Mikroorganisme, dan Pencampuran Bahan Lain

Dua faktor desain yang menentukan penambahan air, mikroorganisme, dan pencampuran dengan bahan lain yang mengandung C/N yang tinggi adalah kelembaban dan nilai C/N. Untuk dapat mencapai C/N yang optimum, kompos dapat juga dicampurkan dengan bahan-bahan yang mengandung sumber karbon yang tinggi seperti kertas, daun, kotoran hewan, dan lumpur dari instalasi pengoahan air limbah. Pencampuran dengan bahan lain menyebakan pengontrolan terhadap kelembaban. Penambahan mikroorganisme juga dapat dilakukan untuk menghasilkan dekomposisi yang cepat.


(36)

2.3.2.8 Pengadukan

Pengadukan dilakukan untuk menambah atau mengurangi kelembaban pada kompos agar sampai pada kelembaban yang optimum. Pengadukan juga dapat dilakukan untuk meratakan distribusi nutrien untuk mikroorganisme. Pengadukan merupakan faktor yang penting dalam mengontrol kelembaban, kebutuhan udara atau oksigen untuk keadaan aerob. Untuk kompos dengan menggunakan sampah organik membutuhkan 15 hari periode pengomposan dengan kelembaban 50 - 60% dan pengadukan lebih baik dilakukan setelah hari ketiga dan dilakukan setelah hari itu sampai mendapatkan pengadukan 4 – 5 kali [23]. Menurut Schloss et al, pengadukan sangat berpengaruh pada pencapaian suhu yang maksimum dan memperpanjang periode pengambilan oksigen. Pengadukan yang dilakukan dalam penelitiannya adalah setiap hari, 4 hari sekali, dan 8 hari sekali dimana pengadukan yang dilakukan setiap hari akan lebih mengurangi panas dalam gundukan karena proses penguapan. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa pengadukan 4 hari sekali relatif efektif dalam pencapaian suhu maksimum dan pengurangan kadar air [24].

2.4 PENGGUNAAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) SEBAGAI KOMPOS DENGAN PENAMBAHAN BAHAN ORGANIK

Industri kelapa sawit memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia apabila mampu mampu menciptakan produk dari olahan limbahnya, seperti pembuatan produk kompos. Peningkatan proses pengomposan dapat dicapai dengan menambahkan bahan amandemen organik seperti kotoran hewan dan limbah pabrik kelapa sawit yang lain [7]. Menerapkan POME sebagai bahan amandemen dapat dianggap menguntungkan karena dapat mengurangi total aliran POME kepengolahan air limbah.

Banyak penelitian terdahulu dilakukan untuk pengolahan kompos dari TKKS. Zahrim dan Asis melakukan penelitian mengenai produksi semi-kompos tandan kosong kelapa sawit tanpa diparut dengan mencampurkan POME . Dimana penelitian ini dilakukan tanpa memotong TKKS karena dengan memotong dan merobek TKKS dapat menyulitkan, dan limbah cair yang disemprotkan mudah tercuci dari tumpukan. Prosesnya dilakukan dengan metode open turned windrow dengan dimensi area panjang 4 m, tinggi 1,5 m dan lebar 40 m. Setiap windrow berisi


(37)

sekitar 120 metrik ton TKKS dan 324 metrik ton POME. Setelah inokulasi dengan bakteri, TKKS disemprot dengan POME, proses pembalikan dilakukan dengan menggunakan traktor dilengkapi alat macerator untuk menghomogenkan kompos dan meningkatkan kemampuan aerasi. Proses pembalikan dilakukan pada hari ke- 10, 20, 30 dan 40 dan pengambilan sampel untuk analisa dilakukan di sembilan titik pada unit widrow. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa total waktu pengomposan termasuk persiapan adalah sekitar 40-45 hari, temperatur selama pengomposan mengalami fluktuasi dimana suhu awal pengomposan adalah 53 0C. Setelah dua hari, suhu turun di bawah 50 0C, setelah dilakukan pembalikan pertama, terjadi peningkatkan suhu lebih dari 50 0C. Pada hari 10 sampai hari 25, suhu dipertahankan pada sekitar 45 sampai 55 º C dengan bantuan putar yang kecil, namun pembalikan pada hari ke 40 tidak terjadi peningkatan suhu dan untuk kandungan oksigen dipertahankan di atas 10 % . Kompos yang dihasilkan memiliki kualitas pH 7,9 ; N 1,9%; P2O5 0,6 %; K2O 2,0%; MgO 0,8 % dan rasio C/N 20.

Penelitian yang dilakukan oleh Hayawin et al. mengenai vermicomposting dari TKKS dengan tambahan POME. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi kualitas nutrisi kompos yang dihasilkan dari TKKS dan POME dengan menggunakan epigeic cacing tanah Eisinia fetida. Vermicompos merupakan penguraian bahan organik menjadi kompos dengan bantuan cacing. Prosesnya TKKS diparut menjadi bahan berserat longgar (panjang ≈ 3,68 mm, lebar ≈ 165,45 μm) menggunakan mekanik thermo refiner, Pengomposan dilakukan pada enam unit vermicomposter dengan dimensi panjang 14 cm, lebar 12 cm dan tinggi 7 cm. Setiap vermicomposter diisi dengan komposisi TKKS dan POME yang berbeda. Setelah 15 hari TKKS dan POME dicampur pada masing – masing unit vermicomposter dengan komposisi yang telah ditentukan, lalu ditambahkan 5 gr Eisinia fetida pada masing vermicomposter dan kelembapan substrat dipertahankan sekitar 80 ± 10 dengan memercikan air ke bahan. Semua sampel dianalisa jumlah karbon organik (TOC), total kjeldhal nitrogen (TKN), jumlah kalium (TK), jumlah kalsium total (TCA), total potassium (TP), pH dan rasio C/N. Adapun hasil yang diperoleh setelah pengomposan yaitu rasio C/N dari enam buah vermicomposter mengalami penurunan disetiap waktunya, nilai pH meningkat secara bertahap selama proses


(38)

TK tertinggi dan perbandingan komposisi yang baik untuk pengomposan diperoleh pada rasio 50% TKKS + 50 % POME.

Penelitian yang dilakukan oleh Kananam et al. adalah untuk mengetahui perubahan biokimia pengomposan TKKS dengan lumpur decanter dan kotoran ayam sebagai sumber nitrogen. Pada penelitian ini juga dilakukan penambahan tanah merah yang mengandung Fe, berfungsi untuk acceptor elektron mikroorganisme dalam kondisi anaerobik, dan lumpur decanter yang digunakan berasal dari limbah pabrik kelapa sawit. Prosesnya divariasikan dalam kondisi aerobik dan anaerobik. Untuk kondisi aerobik pada penelitian ini ditambahkan benih mikroorganisme yang terdiri dari jamur (Corynascus sp., Scytalidium sp., Chaetomium sp., dan Scopulariopsis sp) dan bakteri (Bacillus sp), sedangkan untuk kondisi anaerobik benih mikroorganisme yang ditambahkan mengndung ragi (Saccharomyces sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), dan bakteri katabolisme protein (Bacillus sp). TKKS dipotong dengan ukuran 2-5 cm dengan mesin penggiling lalu dimasukkan ke dalam bak silinder, dimana untuk kondisi aerobik diberi lubang pada dinding untuk mengalirkan oksigen, selanjutnya setiap bak silender yang mengandung TKKS divariasikan komposisi penambahan lumpur decanter, kotoran ayam dan tanah merah. Benih mikroorganisme yang telah ditentukan, selanjutnya ditambahkan ke masing–masing komposter baik kondisi aerobik maupun anaerobik. Untuk kondisi aerobik tumpukan dibasahi dengan air dan kelembaban dipertahankan 50-70%, sedangkan tumpukan anaerobik juga dibasi dengan air dengan kelembaban dijaga lebih dari 80%. Hasil yang diperoleh penggunaan lumpur decanter dan kotoran ayam dalam kondisi aerob dapat diselesaikan dalam waktu 30 hari sedangkan pada kondisi anaerob waktu pengomposan gagal diselesaikan dalam waktu 90 hari. Suhu awal pengomposan semua tumpukan 28 0C dan mengalami peningkatan setelah 2 hari, pada kondisi aerobik berkisar 49-59 0C dan kondisi anaerobik berkisar 31-34 0C, pH yang diperoleh untuk kedua kondisi selama pengomposan adalah 7,50 – 8,60. Jumlah pertumbuhan mikroba untuk kondisi aerobik meningkat setelah 15 hari pengomposan dan kemudian secara bertahap menurun dan konstan sampai akhir pengomposan, sedangkan untuk kondisi anaerobik pertumbuhan mikroba tidak mengalami perubahan pada saat pengomposan sedangkan bahan organik, karbon


(39)

organik yang terkandung serta rasio C/N untuk semua tumpukan dan kondisi secara bertahap menurun selama waktu pengomposan.

Penelitian yang dilakukan oleh Samsu et al. mengenai pengaruh dari POME

anaerobic sludge yang berasal dari 500 m3closed anaerobic methane ddigested tank

dengan TKKS yang telah ditekan dan dirobek pada proses pengomposan. POME anaerobic sludge yang digunakan berasal dari pengolahan biogas, limbah ini memiliki nutrisi dan sumber mikroba yang tinggi dan cocok digunakan untuk bahan tambahan proses pengomposan. Proses dilakukan pada unit composter berbentuk blok yang disusun dari batu bata dengan dimensi panjang 2,1 m, lebar dan tinggi 1,5 m. Pada penelitian ini TKKS ditekan dan dirobek dengan ukuran panjang 15 sampai 20 cm, lalu dicampur di blok composter dengan POME anaerobic sludge, rasio penambahan TKKS : POME sebanyak 1:1. Untuk mempertahankan kadar air tumpukan kompos, POME ditambahkan setiap tiga hari dengan menggunkan pompa dan penambahan POME dihentikan seminggu sebelum dilakukan panen, sedangkan pengadukan dilakukan tiga kali seminggu. Hasil yang diperoleh waktu pengomposan singkat, yaitu 40 hari dengan rasio C/N akhir 12,4. Suhu pengomposan selama pengolahan terjadi pada fase termofilik yaitu 60-67 0C, sedangkan pH tumpukan kompos hampir konstan selama proses berkisar 8,1-8,6. Kadar air kompos mengalami penurunan dari awal sampai akhir composting yaitu dari 64,5 % menjadi 52 % dan banyaknya jumlah nutrisi serta rendahnya tingkat logam berat yang terdapat pada kompos.

2.5 STANDAR KUALITAS KOMPOS INDONESIA

Standar kualitas kompos di Indonesia merujuk pada SNI 19-7030-2004 tentang parameter kualitas kompos seperti yang ditampilkan pada tabel 2.2. Regulasi tersebut diperlukan sebagai pembatasan produk limbah (kompos) yang didesain sebagai perubah tanah organik atau pupuk. Standar kualitas kompos menurut SNI dapat dilihat pada tabel 2.2


(40)

Tabel 2.2. Standar Kualitas Kompos [25]

No Parameter Satuan Minimum Maksimum

1 Kadar Air % - 50

2 Temperatur ⁰C Temperatur air

tanah

3 Warna Kehitaman

4 Bau Berbau tanah

5 Ukuran partikel mm 0,55 25

6 Kemampuan ikat air

% 58

7 pH 6,8 7,49

8 Bahan asing % * 1,5

UnsurMakro

9 Bahan organik % 27 58

10 Nitrogen % 0,40 -

11 Karbon % 9,80 32

12 Pospor % 0,10 -

13 C/N rasio 10 20

14 Kalium % 0,20 *

UnsurMikro

15 Arsen mm/kg * 13

16 Kadmium mm/kg * 3

17 Kobal mm/kg * 34

18 Kromium mm/kg * 210

19 Tembaga mm/kg * 100

20 Merkuri mm/kg * 0,8

21 Nikel mm/kg * 62

22 Timbal mm/kg * 150

23 Selenium mm/kg * 2

24 Seng mm/kg * 500

Unsur lain

25 Kalsium % * 25,50

26 Magnesium % * 0,60

27 Besi % * 2,00

28 Alumunium % * 2,20

29 Mangan % * 0,10

Bakteri

30 Fecal Coli MPN/gr 1000

31 Salmonella sp MPN/4 gr 3

2.6 KEMTANGAN KOMPOS

Agar dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman, kompos yang digunakan harus benar-benar stabil (matang). Menurut Sekarsari, terdapat beberapa parameter yang digunakan sebagai indikator kematangan kompos yang terdapat pada tabel 2.3:


(41)

Tabel 2.3. Parameter Kematangan Kompos [26]

2.7 PEMANFAATAN KOMPOS

Pemanfaatan kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yaitu:

1. Aspek Bagi Tanah Dan Tanaman

a. Memperbaiki produktivitas dan kesuburan tanah

Pemakaian kompos dapat meningkatkan produktivitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah. Secara fisik, kompos dapat menggemburkan tanah, meningkatkan pengikatan antar partikel dan kapasitas mengikat air sehingga dapat mencegah erosi dan longsor serta dapat mengurangi tercucinya nitrogen terlalut dan memperbaiki daya olah tanah. Sedangkan secara kimia, kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), ketersediaan unsur hara dan ketersediaan asam humat. Asam humat akan membantu meningkatkan proses pelapukan bahan mineral. Secara biologi, kompos merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme tanah, sehingga mikroorganisem akan berkembang lebih cepat dan dapat menambah kesuburan tanah.

b. Menyediakan hormon,vitamin dan nutrisi bagi tanaman

Setiap tanaman membutuhkan nutrisi (makanan) untuk kelangsungan hidupnya. Tanah yang baik mempunyai unsur hara yang dapat mencukupi kebutuhan tanaman. Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan tanaman, unsure hara yang diperlukan tanaman dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

 Unsur hara primer, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg)

 Unsur hara mikro yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, seperti Tembaga (Cu), Seng (Zn), Klor (Cl), Boron (B), Mangan (Mn) dan Molibdenum (Mo)

Parameter Indikator

Suhu Stabil

Ph Alkalis

Perbandingan C/N <20

Laju Respirasi <10 mg g-1 kompos

Warna Coklat Tua


(42)

c. Memperbaiki struktur tanah

Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur terjadi karena butir-butir debu, pasir dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik dan oksida besi. Tanah tergolong jelek apabila butir-butir tanah tidak melekat satu sama lain atau saling merekat erat. Tanah yang baik adalah tanah yang remah dan granuler yang mempunyai tata udara yang baik sehingga aliran udara dan air dapat masuk dengan baik. Kompos merupakan perekat pada butir-butir tanah dan mampu menjadi penyeimbang tingkat kerekatan tanah. Selain itu, kehadiran kompos pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas pada tanah. Dengan demikian, tanah yang semula keras dan sulit ditembus air maupun udara, kini dapat menjadi gembur akibat aktivitas mikroorganisme. Struktur tanah yang gembur amat baik bagi tanaman.

d. Menambah kemampuan tanah untuk menahan air

Tanah yang bercampur dengan bahan organik seperti kompos mempunyai pori-pori dengan daya rekat yang lebih baik sehingga mampu mengikat serta menahan ketersediaan air di dalam tanah. Kompos dapat menahan erosi secara langsung. Hujan yang turun deras mengenai permukaan tanah akan mengikis tanah sehingga unsur hara terangkut habis oleh air hujan. Dengan adanya kompos, tanah terlapisi secara fisik sehingga tidak mudah terkikis dan akar tanaman terlindungi. Kemampuan tanah untuk menahan air ini (water holding capacity) berhubungan erat dengan besarnya kadar air dalam gundukan kompos

2. Aspek Ekonomi

a. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah b. Mengurangi volume/ukuran limbah

c. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya

d.Proses pengomposan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah.

3. Aspek Lingkungan


(43)

b. Tidak menimbulkan masalah lingkungan. Penggunaan pupuk kimia ternyata berpengaruh buruk, tidak hanya meracuni tanah dan air saja, tetapi juga meracuni produk yang dihasilkan. Sebagai contoh, pupuk urea terbuat dari senyawa hidrokarbon yang juga digunakan untuk kendaraan bermotor. [26].

2.8 POTENSI EKONOMI

Penelitian kompos ini dapat diterapkan dalam skala home industry ataupun dalam skala pabrik. Namun pada potensi ekonomi ini akan dihitung pada skala home industry

dengan pengolahan TKKS sebanyak 1.500 kg/hari. Dimana bahan baku TKKS yang digunakan berasal dari PKS Sei Mangke PTPN III dan POA yang berasal dari plant biogas LP2M Biogas USU, serta lokasi pembuatan kompos dilakukan pada LP2M USU. Rincian biaya ditunjukan dalam tabel 2.4 berikut

Tabel 2.4 Rincian Biaya Pembuatan Kompos

No Jenis Biaya Jumlah Satuan @Harga (Rp) Biaya (Rp)

1 TKKS 1500 Kg 200 300.000

2 Transportasi 1500 Kg 333 500.000

3 Pekerja 2 Orang Harian 50.000 100.000

Total 900.000

Dari rincian biaya pembuatan kompos diatas, maka total biaya pembuatan kompos kg/hari adalah :

Rp. 900.000 / 1.500 kg = Rp 600 /kg

Dari pengolahan 1 kg TKKS menghasilkan ± 0,8 kg kompos, sehingga dari pengolahan 1.500 kg TKKS akan menghasilkan kompos sebanyak

1.500 kg x 0,8 = 1.200 kg/hari

Harga 1 kg kompos TKKS yang dijual dipasaran adalah Rp 1.000/kg [2], maka dapat dihitung besar harga penjualan adalah sebagai berikut:


(44)

Sehingga keuntungan yang didapat perharinya adalah : Harga total penjualan Rp. 1.200.000

Biaya operasi Rp. 900.000 Rp. 300.000


(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Pusdiklat LPPM, Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.

3.2. BAHAN DAN PERALATAN PENELITIAN 3.2.1 Bahan Penelitian

1. Sampel TKKS dari PKS Sei Mangke

2. Sampel POA Effluent biogas hasil pengolahan LCPKS dari Pilot Plant Pembangkit Listrik Tenaga Biogas, Pusdiklat LPPM, USU, Medan

3.2.2 Peralatan Penelitian

3.2.2.1 Peralatan Utama (Komposter)

Komposter yang digunakan berbentuk kotak dengan tinggi 3 m dan alas berbentuk persegi dengan ukuran 0,4 x 0,4 m. Komposter ini diberi lubang untuk asupan oksigen sebanyak 20 lubang di setiap sisi 1 m2, dimana hanya 5 lubang yang terbuka sesuai dengan kondisi operasi penelitian dan lubang lainnya ditutup. Di setiap bagian 1 m2 diberi lubang untuk sampling.

3.2.2.2 Peralatan Pendukung / Analisa 1. Termometer

2. pH meter 3. Shaker

4. Tabung plastik (botol kocok) 5. Neraca analitis

6. Beaker glass 7. Komposter 8. Timbangan 9. Oven 10. Cawan


(46)

11. Kertas Saring 12. Desikator

Gambar 3.1 Design Komposter

3.3 PROSEDUR PENELITIAN 3.3.1 Proses Pengomposan

1. Komposter kosong disiapkan.

2. Disiapkan ukuran TKKS sesuai dengan variasi.

3. TKKS yang telah disiapkan dimasukan kedalam komposter hingga penuh.

Lubang asupan oksigen

Manhole


(47)

4. Dilakukan berbagai perlakuan antara lain :

a. Penambahan POA hingga mencapai kadar air yang ditetapkan. 6. Pengukuran temperatur dilakukan 1 kali dalam 3 hari sebelum

pengadukan

7. Dilakukan analisa pH setiap 3 hari 7. Dilakukan analisa kadar air setiap 3 hari

8. Setelah ± 2 bulan dilakukan analisa C/N serta bahan organik lainya.

3.4 PROSEDUR ANALISA

3.4.1 Prosedur Analisa Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu parameter pendahuluan yang harus dilakukan sebelum melakukan pengukuran kadar karbon dan nitrogen. Kadar air dinyatakan dalam satuan persen (%). Prosedur analisa kadar air dilakukan dengan menggunakan prosedur yang telah dilakukan Sekarsari [26]. Berikut ini adalah cara menganalisa kadar air kompos :

1. Sampel ditimbang sebanyak 10 gr 2. Cawan kosong ditimbang beratnya

3. Sampel yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam cawan 4. Cawan berisi ditimbang beratnya

5. Berat sampel di dalam cawan dihitung sebagai berat awal sampel 6. Dimasukkan ke dalam oven, suhunya diset 120 oC selama 4 jam 7. Didinginkan dalam desikator

8. Beratnya ditimbang kembali

Kadar airnya dihitung dengan rumus :


(48)

3.4.2 Prosedur Analisa pH

Pengukuran pH dilakukan pada sampel kompos dengan menggunakan pH meter digital. Prosedur analisa pH dilakukan dengan menggunakan prosedur yang telah dilakukan Sekarsari [26]. Berikut ini adalah cara menganalisa pH pada kompos:

1. Ditimbang kompos sebanyak 10 g dan ditempatkan di beaker glass 2. Ditambahkan aquades sebanyak 25 ml ke dalam tabung

3. Digoncang pada shaker selama 30 menit

4. Diukur pH suspensi kompos pada alat pH meter

3.4.3 Prosedur Analisa Temperatur

Prosedur analisa temperatur dilakukan dengan menggunakan prosedur yang telah dilakukan Sekarsari [26]. Pengukuran temperatur dilakukan di tiga tempat, yaitu di dasar tumpukan, di pusat atau tengah tumpukan dan di bagian permukaan tumpukan kompos dengan menggunakan termometer raksa dan dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari.

3.4.4 Prosedur Analisa Water Holding Capacity

Water Holding Capacity atau kemampuan ikat air dinyatakan dalam

satuan persen (%), sesuai dengan satuan SNI 19-7030-2004. Dasar penetapan Water

Holding Capacity merupakan kadar penguraian air yang ditambahkan dengan air

yang berhasil melewati kertas filter saringan dalam bucket analysys dalam 24 jam. Berikut ini adalah langkah – langkah menganalisa Water Holding Capacity :

1. Diayak kompos matang sebanyak 100 gram

2. Dimasukkan kompos yang telah diayak ke dalam bucket berlubang yang telah dilapisi dengan kertas filter

3. Kemudian ditambahkan air sebanyak 100 ml dan didiamkan selama 24 jam

4. Dihitung volume air yang berhasil melewati kertas saring dengan persamaan:

100% 100

Vb -Va (%)

WHC  


(49)

Keterangan :

Va : volume air yang ditambahkan (100 ml)

Vb : volume air yang lolos melaui kertas saring (ml)

3.4.5 Prosedur Analisa Electrical Conductivity

Daya hantar listrik merupakan angka yang menunjukkan kemampuan dari suatu larutan untuk menghantarkan arus listrik. Daya hantar listrik dinyatakan dalam satuan dS/m. Berikut ini adalah langkah – langkah menganalisa daya hantar listrik :

1. Diletakkan kompos sebanyak 10 gram kedalam beaker gelas. 2. Tambahkan 20 ml air.

3. Kemudian diaduk selama 15 menit.

4. Letakkan Electric Conductivity meter kedalam larutan 0,01 N KCl sebanyak 50 ml.

5. Atur instrument sampai menunjukkan angka 1,412 dS/m.

6. Letakkan Electric Conductivity meter kedalam sampel yang tersuspensi.

7. Catat hasil yang didapat.

3.4.5 Analisa Perbandingan C/N, Bacterial Count dan Bahan Organik Lainya

Rasio C/N merupakan parameter terpenting dalam parameter kimia kompos. Parameter ini dipengaruhi oleh proses degradasi biologis dalam kompos terhadap kandungan karbon dan nitrogen sehingga nilainya dipengaruhi oleh keberadaan mikroorganisme. Karbon dan nitrogen merupakan nutrisi terpenting yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam aktifitasnya menguraikan bahan organik, karbon dibutuhkan sebagai sumber energi dalam pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, karbon juga diubah menjadi dinding sel atau membran, protoplasma, dan produk sisa. Analisa C/N dan bahan organik lainya dilakukan di luar Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara yaitu di Lab Central, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.


(50)

3.5 FLOWCHART PENELITIAN 3.5.1 Flowchart Proses Pengomposan

Gambar 3.2 Flowchart Prosedur Pengomposan Mulai

Komposter diisi penuh dengan TKKS yang telah disiapkan Dipotong TKKS dengan variasi ukuran

Persiapan komposter kosong

Dilakukan pengukuran temperatur setiap hari pada pagi dan sore hari

Ditambahkan POA Effluent dari pengolahan LCPKS

Dilakukan analisa kadar air setiap hari

Dilakukan analisa pH setiap hari sekali

Dilakukan analisa C/N serat bahan organik lainya setelah pengomposan


(51)

3.5.2 Flowchart Analisa Kadar Air

Gambar 3.3 Flowchart Prosedur Analisa Kadar Air

Mulai

Dimasukkan sampel yang ditimbang ke dalam cawan Ditimbang Berat Cawan Kosong

Ditimbang Sampel Sebanyak 10 gram

Dihitung berat sampel di dalam cawan sebagai berat awal sampel

Selesai

Dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 120 oC selama 4 jam

Didinginkan di dalam desikator


(52)

3.5.3 Flowchart Analisa pH Kompos

Gambar 3.4 Flowchart Prosedur Analisa pH Kompos

3.5.4 Flowchart Analisa Temperatur

Gambar 3.5 Flowchart Prosedur Analisa Temperatur

Mulai

Digoncang dengan shaker selama 30 menit Ditambahkan air sebanyak 25 ml

Ditimbang Sampel kompos Sebanyak 10 gram dan diletakkan di beaker glass

Diukur pH suspensi kompos dengan menggunakan pH meter

Selesai

Mulai

Dicatat suhu masing – masing termometer

Dimasukkan termometer ke keranjang composter di masing- masing titik pensampelan

Disiapkan termemoter raksa


(53)

3.5.5 Flowchart Water Holding Capacity

Gambar 3.6 Flowchart Prosedur Analisa Water Holding Capacity

3.5.6 Flowchart Analisa Electrial Conductivity

Mulai

Ditambahkan air sebanyak 100 ml dan didiamkan selama 24 jam Dimasukkan kompos yang telah diayak ke dalam bucket berlubang

yang telah dilapisi dengan kertas filter Diayak kompos matang sebanyak 100 gram

Selesai

Dihitung volume air yang berhasil melewati kertas saring

Mulai

Tambahkan 20 ml air

Diletakkan kompos sebanyak 10 gram kedalam beaker gelas

Diaduk selama 15 menit

Letakkan Electric Conductivity meter kedalam larutan 0,01 N KCl sebanyak 50 ml


(54)

Gambar 3.7 Flowchart Prosedur Electrical Conductivity

Selesai

Letakkan Electric Conductivity meter kedalam sampel yang tersuspensi

Catat hasil yang didapat

A


(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KARAKTERISTIK BAHAN BAKU

Penelitian ini menggunakan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang berasal dari PKS Sei Mangke PTPN III sebagai bahan baku dan pupuk organik aktif (POA) yang berasal dari Biogas Plant LPPM USU. Karakteristik TKKS dan POA yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2. Sedangkan hasil uji laboratoriumnya disajikan pada lampiran 4.

Tabel 4.1 Karakteristik TKKS PKS Sei Mangke PTPN III

Tabel 4.2 Hasil Analisa Karakteristik POA

Parameter Satuan Nilai Metode Pengukuran

C (%) 0,58 Metode Walkley & Black

N (%) 0,10 Metode Kjeldahl

C/N 5,8 Pembagian kadar C/N

P2O5 (%) 0,016

K2O (%) 0,167

pH 8,09 Menggunakan pH meter

dengan metode Potensiometri

COD mg/l 1.580

Microbial Count Mikroba/ml 4,5 x 106

Berdasarkan Tabel 4.1 dan Tabel 4.2, dapat dilihat bahwa TKKS dan POA memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dijadikan kompos. TKKS mengandung sumber karbon yang tinggi dan POA sebagai sumber mikroorganisme dan nutrisi tambahan. Apabila keduanya dicampur, diharapkan kandungan nutrisi telah cukup untuk mikroorganisme dapat tumbuh dan mendegradasi TKKS menjadi kompos

Parameter Satuan Nilai Metode Pengukuran

Moisture (%) 43,8286 SNI 03-1971-1990

pH 9,1 Menggunakan pH meter dengan

metode Potensiometri

C (%) 37,89 Metode Walkley & Black

N (%) 1,22 Metode Kjeldahl

C/N 31,06 Pembagian kadar C/N


(56)

dengan pH keduanya bersifat basa sehingga kompos yang dihasilkan memiliki pH yang sesuai dengan pH tanah.

4.2. PENGARUH UKURAN TKKS PADA SETIAP KETINGGIAN TUMPUKAN TERHADAP PROSES PENGOMPOSAN

Pada pembahasan berikut, perngaruh ukuran TKKS dan tinggi tumpukan dilihat dari kualitas kompos yang dihasilkan komposter 1 dan komposter 2, dimana karakteristik masing-masing komposter yang digunakan disajikan pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Karakterisktik komposter yang digunakan

No Karakteristik Komposter 1 Komposter 2

1 Ukuran TKKS Utuh Dibelah 4

2 Jumlah lubang aerasi 5 lubang per sisi 5 lubang per sisi

3 Volume 0,480 m3 0,476 m3

4 Bulk Density awal 441,67 kgm-3 417,02 m-3

5 Pengadukan Tanpa Pengadukan Tanpa Pengadukan

6 Bahan Konstruksi Beton Drum

Pengaruh ukuran TKKS dan ketinggian tumpukan terhadap kualitas kompos terlihat pada hasil analisa dari beberapa parameter penting dalam proses pengomposan yaitu suhu, moisture content, pH, dan C/N yang akan dibahas pada sub bab berikut.

4.2.1 Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap Ketinggian Tumpukan Kompos Terhadap Suhu Rata-Rata

Variasi ukuran TKKS dapat mempengaruhi proses pengomposan, hal itu ditunjukkan dari suhu rata-rata dari masing-masing komposter selama pengomposan. Dimana komposter 1 dengan ukuran TKKS utuh dan komposter 2 dengan ukuran TKKS dibelah 4. Profil perubahan suhu ditunjukkan pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 menunjukkan pengaruh ukuran TKKS terhadap suhu rata-rata selama proses pengomposan. Suhu rata-rata komposter 1 dan 2 pada setiap ketinggian 1,2 dan 3 m secara berturut-turut adalah 46,75; 44,9; 43,64 oC dan 46,63; 42,96; 45,73 oC.


(57)

30 35 40 45 50 55 60

1 2 3

Su

h

u

(

oC)

Ketinggian Tumpukan (m)

Komposter 1 (TKKS Utuh) Komposter 2 (TKKS Dibelah 4)

Pada grafik 4.1 terlihat perubahan suhu pada komposter 1 dan komposter 2. Pada komposter 1 grafik cenderung menurun dari ketinggian 1 hingga 3 m, sedangkan pada komposter 2 suhu menurun dari 1 ke 2 m namun meningkat pada ketinggian 3 m. Dari grafik tersebut terlihat semakin dalam tumpukan maka suhu akan semakin tinggi dan juga suhu antara komposter 1 dan 2 terlihat tidak jauh berbeda. Penyimpangan terlihat pada suhu ketinggian 3 m pada komposter 2.

Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap Ketinggian Tumpukan Terhadap Suhu Rata-Rata

Peningkatan suhu dengan semakin dalamnya tumpukan kompos diakibatkan oleh porositas pada tumpukan, hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Van Ginkel et al (1999), perpindahan massa dan panas pada tumpukan kompos secara signifikan dipengaruhi oleh geometri dan distribusi ukuran pori-pori dan komposisi bahan kompos [27]. Dengan semakin dalamnya tumpukan, porositas pada tumpukan akan semakin kecil sehingga menyebabkan banyaknya panas yang dihasilkan selama proses dekomposisi terperangkap didalam tumpukan.

4.2.2 Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap Ketinggian Tumpukan Terhadap

Moisture Content (MC) Rata-Rata

Variasi ukuran TKKS dapat mempengaruhi proses pengomposan. Hal itu dapat ditunjukkan MC rata-rata pada masing-masing komposter selama pengomposan. Dimana komposter 1 dengan ukuran TKKS utuh dan komposter 2


(58)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1 2 3

Mo is tu re Con ten t (% )

Ketinggian Tumpukan (m)

Komposter 1 (TKKS Utuh) Komposter 2 (TKKS Dibelah 4)

dengan ukuran TKKS dibelah 4. Profil perubahan MC yang disajikan pada Gambar 4.2

MC rata-rata komposter 1 dan 2 pada setiap ketinggian 1,2 dan 3 secara berturut-turut adalah 67,39; 52,7; 63,22 % dan 72,87; 71,77; 73,1 %.

Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap Ketinggian Tumpukan Terhadap moisture content Rata-Rata

Pada grafik terlihat MC rata-rata pada komposter 2 hampir sama di setiap ketinggiannya, sehingga dapat dikatakan pada komposter 2 distribusi POA jauh lebih merata dibanding komposter 1. Hal ini mungkin disebabkan pada komposter 2 dengan kondisi TKKS yang dibelah 4, ruang kosong yang terbentuk pada tumpukan akan semakin kecil sehingga distribusi POA akan lebih merata. Pada komposter 1 MC terlihat rendah pada ketinggian 2 m, sehingga dapat dikatakan distribusi POA tidak merata karena pada ketinggian 1 dan 3 m MC terlihat jauh lebih tinggi. Penurunan nilai MC rata-rata pada tumpukan juga disebabkan oleh penguapan air yang disebabkan oleh panas dari tumpukan sebagaimana yang dilaporkan oleh Tiquia et al (2001) bahwa tingginya suhu diiringi dengan proses pengadukan dalam pengomposan bisa menyebabkan hilangnya air terus-menerus dalam bentuk penguapan [28].


(59)

7 7.2 7.4 7.6 7.8 8 8.2 8.4 8.6 8.8 9

1 2 3

pH

Ketinggian Tumpukan (m)

Komposter 1 (TKKS Utuh) Komposter 2 (TKKS Dibelah 4)

4.2.3 Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap Ketinggian Tumpukan Terhadap pH Rata-Rata

Selama proses pengomposan, pH masing-masing komposter menunjukkan perubahan yang berbeda. Untuk melihat pengaruh ukuran terhadap pH, maka perlu dibuat grafik pengaruh ukuran terhadap pH rata-rata selama proses pengomposan yang disajikan pada Gambar 4.3.

Grafik 4.3 Grafik Pengaruh Ukuran TKKS Pada Setiap Ketinggian Tumpukan Terhadap pH Rata-Rata

Dari Gambar 4.3, terlihat pH rata-rata antara komposter 1 dan 2 tidak jauh berbeda, dimana pH rata-rata komposter 1 dan 2 pada setiap ketinggian 1, 2, dan 3 m secara berturut-turut adalah 7,92; 8,1; 7,88 dan 8; 7,89; 7,94. Adanya perubahan pH selama proses pengomposan disebabkan oleh aktivitas mikroba [11,29].

pH rata-rata antara komposter 1 dan 2 terlihat tidak jauh berbeda, namun pH tertinggi terlihat pada komposter 1 di ketinggian 2 m yaitu 8,1. Hal ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan Bueno et al (2007), bahwa semakin besar ukuran partikel maka semakin banyak unsur N akan berkurang [30]. Berkurangnya N dalam pengomposan terjadi karena N berubah menjadi NH3 atau NH4+ dalam proses

amonifikasi, sehingga pH meningkat [11].

pH akhir pada hari ke-40 rata-rata komposter 1 adalah 8,15, sedangkan komposter 2 adalah 8,1. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Hongyu Zhang et al


(60)

0 5 10 15 20 25 30 35

0 5 10 15 20 25 30 35 40

C/

N

Waktu Pengomposan (Hari)

Komposter 1 (TKKS Utuh) Komposter 2 (TKKS Dibelah 4)

4.2.4 Pengaruh Ukuran TKKS Terhadap Perubahan C/N Selama Waktu Pengomposan

Nilai perbandingan C/N menunjukkan kematangan dan kualitas kompos yang dihasilkan. Untuk melihat pengaruh ukuran potongan terhadap perbandingan C/N, perlu dibuat grafik C/N variasi ukuran TKKS selama waktu pengomposan yang disajikan pada gambar 4.4.

Gambar 4.4 menunjukan perubahan C/N selama waktu pengomposan. Analisa C/N dilakukan pada hari ke-0, hari ke-10, ke-20, ke-30 dan ke-40. Pada awal atau hari ke-0 C/N masing-masing komposter adalah 31,06. Pada hari ke-10, terjadi penurunan drastis nilai C/N pada komposter 1 dan 2 yaitu 18,64 dan 20,99. Pada hari ke-20, 30 dan 40, C/N masing-masing komposter cenderung konstan dengan tetap berada pada range 19,87 hingga 21,47.

Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Ukuran TKKS Terhadap Perubahan C/N Selama Waktu Pengomposan

Gambar 4.4 menunjukan pada hari ke-10 terlihat penurun nilai C/N komposter 1 lebih besar dibanding komposter 2, namun pada analisa berikutnya terlihat adanya sedikiti peningkatan nilai C/N, sedangkan nilai C/N komposter 2 cenderung lebih konstan. Sehingga dapat dikatakan kematangan komposter 2 terlihat lebih merata dibanding komposter 1. Jadi dapat disimpulkan dengan ukuran TKKS yang lebih kecil akan didapat hasil yang lebih baik, hal ini disebabkan karena mikroba bekerja pada permukaan partikel, dan semakin ukuran partikel akan


(61)

0 10 20 30 40 50 60

Ju

m

lah

POA

(L)

Komposter 1 (TKKS Utuh) Komposter 2 (TKKS Dibelah 4)

semakin meningkatkan luas permukaan sehingga meningkatkan proses dekomposisi [32].

4.2.5 Pengaruh Ukuran TKKS Terhadap Total Penambahan POA

Selama proses pengomposan, penambahan POA untuk setiap komposter dilakukan berdasarkan nilai MC kompos, yang mana dijaga pada range 55%-65%. Sehingga pada akhir pengomposan total POA yang ditambahkan untuk setiap komposter berbeda jumlahnya. Grafik pengaruh ukuran potongan terhadap total penambahan POA yang disajikan pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Grafik Total Penambahan POA

Gambar 4.5 menunjukkan pengaruh ukuran terhadap total penambahan POA. Untuk setiap komposter masing-masing total penambahan POA adalah 50 L dan 30 L. Penambahan POA dilakukan dengan tujuan sebagai sumber mikroba, sumber nutrisi dan untuk menjaga MC tumpukan kompos.

Penambahan POA tertinggi terlihat pada komposter 1. Perbedaan yang besar pada total penambahan POA ini disebabkan oleh kemampuan daya serap bahan pada tumpukan serta banyaknya penambahan POA yang disebakan oleh air yang hilanng karena penguapan selama terjadinya peningkatan suhu. Perbedaan bahan konstruksi dari masing-masing komposter yang digunakan juga berpengaruh pada total penambahan POA. Pada komposter 1 menggunakan dinding beton, sehingga banyak terdapat pori-pori yang menyebabkan banyaknya cairan yang hilang atau


(62)

terserap selama penyiraman POA. Hal ini menyebabkan tingginya total penambahan POA pada komposter 1.

Berikut pada tabel 4.4 dapat dilihat kualitas TKKS awal dan produk kompos yang dihasilkan pada hari ke-40.

Tabel 4.4 Karakteristik Kompos Pada Hari ke-40

Parameter /

Komposisi Satuan

TKKS AWAL Akhir Komposter 1 Komposter 2

Moisture Content % 43,8286 58,44 79,14

pH 9,1 8,15 8,1

Water Holding Capacity

%

62 64 60

C % 37,89 21,34 25,16

N % 1,22 1,07 1,20

C/N 31,06 19,94 20,97

Bacterial Count SPC x

106 60 17 1,20

Electrical Conductivity

dS.m-1

6,719 3,735 20,97

P2O5 % 0,201 0,091 0,091

K2O % 0,157 0,951 0,951

Na2O % 0,102 0,059 0,059

CaO % 1,759 2,043 2,043

MgO % 0,537 0,527 0,527

Cd ppm 0,894 0,437 0,437

Cu ppm 0,673 0,078 0,078

Fe ppm 1,073 0,051 0,051

Pb ppm 1,246 0,080 0,080

Zn ppm 2,370 0,052 0,052

Lemak % 2,15 1,43 1,43

4.3 ANALISIS KUALITAS KOMPOS HASIL PENGOMPOSAN TKKS DENGAN POA

Kualitas kompos yang dibahas pada sub bab ini berdasarkan parameter-parameter yang dianalisis yakni suhu, moisture content, pH, C/N, bacterial count serta electrical conductivity. Pada pembahasan ini, pengomposan dilakukan pada


(63)

0 10 20 30 40 50 60 70

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Su

h

u

(

oC)

Waktu Pengomposan (Hari)

Ketinggian 1 m Ketinggian 2 m Ketinggian 3 m

0 10 20 30 40 50 60 70

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Su

h

u

(

oC)

Waktu Pengomposan (Hari)

Ketinggian 1 m Ketinggian 2 m Ketinggian 3 m

volume komposter sebesar 0,48 m3, lubang aerasi sebanyak 20 pada setiap ketinggian 1,2 dan 3 m dengan diameter lubang 2 cm, serta tanpa pengadukan.

4.3.1 Profil dan Analisis Kompos Berdasarkan Suhu

Keberlangsungan proses pengomposan pada komposter 1 dengan ukuran TKKS utuh dapat dilihat dari perubahan suhu dan MC selama proses pengomposan. Pengukuran suhu kompos setiap hari dilaksanakan pada pagi dan sore. Pada setiap pengukuran, dibaca suhu pada ketinggian 1, 2 dan 3 meter. Profil hasil pengukuran suhu pada komposter 1 disajikan pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Profil suhu pengomposan TKKS pada komposter 1, (a) Suhu pagi, (b) Suhu Sore.


(1)

L4.3 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS C DAN N TKKS AWAL


(2)

L4.4 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS C DAN N KOMPOS SETELAH 10 HARI PENGOMPOSAN

Gambar L4.4 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis C dan N Kompos Setelah 10 Hari Pengomposan


(3)

L4.5 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS C, DAN N KOMPOS SETELAH 20 HARI PENGOMPOSAN

Gambar L4.5 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis C Dan N Kompos Setelah 20 Hari Pengomposan


(4)

L4.6 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS C, DAN N KOMPOS SETELAH 30 HARI PENGOMPOSAN

Gambar L4.6 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis C Dan N Kompos Setelah 30 Hari Pengomposan


(5)

L4.7 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS C, DAN N KOMPOS SETELAH 40 HARI PENGOMPOSAN

Gambar L4.7 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis C Dan N Kompos Setelah 40 Hari Pengomposan


(6)

L4.8 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS UNSUR MAKRO DAN MIKRO KOMPOS SETELAH 40 HARI PENGOMPOSAN

Gambar L4.8 Hasil Uji Laboratorium Untuk Analisis Unsur Makro dan Mikro Kompos Setelah 40 Hari Pengomposan


Dokumen yang terkait

Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pupuk Organik Aktif Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit : Pengaruh Lubang Asupan Udara

11 89 124

Composting Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Dengan POA : Pengaruh Sirkulasi Tumpukan TKKS

1 63 112

Pengomposan Shredded Tandan Kosong Kelapa Sawit (Tkks) Dengan Aktivator Pupuk Organik Aktif (Poa) Di Dalam Menara Composter: Pengaruh Sirkulasi Tumpukan Tkks

1 31 69

Pengomposan Shredded Tandan Kosong Kelapa Sawit (Tkks) Dengan Aktivator Pupuk Organik Aktif (Poa) Di Dalam Menara Composter: Pengaruh Sirkulasi Tumpukan Tkks

0 0 16

Pengomposan Shredded Tandan Kosong Kelapa Sawit (Tkks) Dengan Aktivator Pupuk Organik Aktif (Poa) Di Dalam Menara Composter: Pengaruh Sirkulasi Tumpukan Tkks

0 0 2

Pengomposan Shredded Tandan Kosong Kelapa Sawit (Tkks) Dengan Aktivator Pupuk Organik Aktif (Poa) Di Dalam Menara Composter: Pengaruh Sirkulasi Tumpukan Tkks

0 0 4

Pengomposan Shredded Tandan Kosong Kelapa Sawit (Tkks) Dengan Aktivator Pupuk Organik Aktif (Poa) Di Dalam Menara Composter: Pengaruh Sirkulasi Tumpukan Tkks

0 0 15

Pengomposan Shredded Tandan Kosong Kelapa Sawit (Tkks) Dengan Aktivator Pupuk Organik Aktif (Poa) Di Dalam Menara Composter: Pengaruh Sirkulasi Tumpukan Tkks

0 0 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Ukuran Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Terhadap Proses Komposting Menggunakan Pupuk Organik Aktif (POA) di Dalam Komposter Menara

0 0 20

PENGARUH UKURAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) TERHADAP PROSES KOMPOSTING MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK AKTIF (POA) DI DALAM KOMPOSTER MENARA SKRIPSI

0 0 18