Indeks dan arah Perkembangan Wilayah
TUGAS METODE DAN TEKNIK ANALISIS SOSIAL
EKONOMI
LAPORAN TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DI
KABUPATEN GUNUNG KIDUL TAHUN 1990
Dosen : Luthfi Muta’ali, S.Si. MSP. Dr.
DISUSUN OLEH:
Nama
: Reza Kamarullah
NIM
: 13/348125/GE/07582
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan wilayah biasanya merupakan wujud dari keinginan masyarakat di suatu
daerah untuk tumbuh dan berkembang dari segi ekonomi, politik, sosial, budaya dan
keamanan dalam dimensi geografis. Dari perkembangan wilayah inilah yang nantinya
menunjukkan tingkat keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah
dengan suatu indikator-indikator dan variable pembangunan. Karena perkembangan
wilayah berasal dari wujud keinginan masyarakat, maka antara satu daerah dengan
daerah lain tentunya memiliki indikator dan variable pembangunan yang berbeda
tergantung dari tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat itu sendiri. Pemahaman
yang memadai tentang indikator pembangunan daerah ini akan berimplikasi pada
semakin terarahnya pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan dan semakin tingginya
responsi masyarakat dalam menyukseskan dan mencapai sasaran atau target dari
perkembangan wilayah.
Secara umum, tingkat perkembangan wilayah dapat dilihat dari rasio luas wilayah
terbangun (buily-up area) terhadap total luas wilayah. Semakin luas wilayah
terbangunnya dapat diartikan semakin tinggi aktivitas ekonomi masyarakatnya. Kondisi
tersebut dapat dilihat dari semakin padatnya jaringan jalan, semakin meluasnya wilayah
perkantoran dan perdagangan, semakin menyebarnya wilayah permukiman dengan
kepadatan penduduk
yang tinggi dan tingginya peluang kerja. Disamping
itu,
perkembangan wilayah juga diketahui dari semakin meningkatnya kegiatan ekonomi
mulai dari pusat-pusat bisnis (central business district atau CBD) yang cenderung
berkembang ke arah luar, baik secara difusif maupun secara leaf frog atau lompatan
katak, mengakibatkan tumbuhnya kota satelit. Proses inilah yang kemudian
menyebabkan wilayah administratif tetangganya memperoleh manfaat dengan semakin
berkembangnya daerah perbatasan Berkembangnya wilayah administratif yang
berbatasan dengan kota besar inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya daerah
otonom baru dari pemekaran daerah induknya. Proses seperti inilah yang menjadi
acuan dasar dalam melahirkan daerah otonom baru di Indonesia.
Daerah otonom nantinya akan melahirkan suatu kebijakan otonomi daerah yang
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari kebijakan otonomi inilah suatu
daerah diberi tantangan dan dipacu untuk tumbuh dan berkembang secara mandiri
sesuai kewenangan untuk mengelola potensi daerah masing-masing dan mengembangkan
wilayahnya.
Secara singkat, indikator pengembangan wilayah tiap daerah berbeda-beda sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan dari target atau sasaran yang akan dicapai daerah itu
sendiri. Asalkan kajian pengembangan wilayah mencakup aspek ekonomi, organisasi
keruangan, politik, menejemen sumber daya serta sosial dan budaya, yang secara
keseluruhan dilakukan dengan baik maka juga akan selaras dengan perkembangan
wilayahnya. Hal yang tak kalah pentingnya juga adalah jangan sampai melupakan
prinsip pengembangan wilayah yang meliputi Growth (tumbuh berkembang), Equity
(merata dan adil), Welfare and prospherity (sejahtera dan makmur), serta Sustainability
(berkelanjutan).
BAB II
DASAR TEORI
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah
adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait
kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan
atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan
sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen
wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan
wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.
Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan
(infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget,
Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2011) mengenai tipologi wilayah,
mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen
(uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah
perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi
tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2010) berdasarkan fase kemajuan perekonomian
mengklasifikasikan region/wilayah menjadi: 1) fase pertama yaitu wilayah formal yang
berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah
geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi,
ekonomi, sosial dan politik. 2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan
dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian
dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan
terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional
saling berkaitan. 3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan
koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Pengembangan
wilayah
merupakan
strategi
memanfaatkan
dan
mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan
tantangan) yang ada sebagai potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan produksi wilayah akan barang dan jasa yang merupakan fungsi dari
kebutuhan baik secara internal maupun eksternal wilayah. Faktor internal ini berupa
sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya teknologi, sedangkan faktor
eksternal dapat berupa peluang dan ancaman yang muncul seiring dengan interaksinya
dengan wilayah lain.
Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk
menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi
pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Dalam artian lain
pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang
mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi
lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian
pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai
dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian
pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada
kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan
pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat
beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan
wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan administrasi pembangunan.
Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan
akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003).
Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan
membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran
penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).
Menurut Alkadri (2001) pengembangan adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa
yang dapat dilakukan dengan apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup.
Kata pengembangan identik dengan keinginan menuju perbaikan kondisi disertai
kemampuan untuk mewujudkannya. Pendapat lain bahwa pengembangan adalah suatu
proses untuk mengubah potensi yang terbatas sehingga mempengaruhi timbulnya potensi
yang baru, dalam hal ini termasuk mencari peluang yang ada dalam kelompok-kelompok
yang berbeda yang tidak semuanya mempunyai potensi yang sama (Budiharsono, 2002).
Prod’homme dalam Alkadri (2001) mendefinisikan pengembangan wilayah
sebagai program yang menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan
memperhitungkan sumber daya yang ada dan kontribusinya pada pembangunan suatu
wilayah. Pendapat lain menyebutkan pengembangan wilayah adalah upaya untuk
memacu perkembangan social ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan
menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat
diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis yang berbeda antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. HASIL
Data Variabel Urban Kabupaten Gunung Kidul tahun 1990
(terlampir)
3.2. PEMBAHASAN
Pembangunan wilayah berarti melakukan suatu kegiatan sehingga adanya
perkembangan yang terjadi pada suatu wilayah tersebut. Pembangunan yang baik adalah
pembangunan yang mencakup 4 aspek, yakni tumbuh, merata, sejahtera dan makmur serta
berkelanjutan. Demi mencapainya keempat aspek pembangunan tersebut ada beberapa
variable yang dapat dijadikan indikator atau tolak ukur dalam tingkat perkembangan suatu
wilayah. Indikator-indikator tersebut tentu saja bersifat subjektif tergantung dari wilayah
tersebut atau masyarakat di wilayah itu.
Perkembangan wilayah umumnya dilihat dari dua hal yakni proses dan output.
Perkembangan wilayah dilihat dari prosesnya berarti adanya suatu perkembangan indikator
dari waktu ke waktu atau bisa dikatakan perkembangan wilayah terjadi antara dua dimensi
waktu. Perkembangan wilayah dengan aspek proses biasanya diukur dengan kelas naik,
turun, stabil dan dinyatakan dalam % (persen). Sedangkan perkembangan wilayah dilihat dari
output (keluaran) maka perkembangan wilayah dinilai pada satu waktu tertentu misalnya
pada akhir tahun atau dengan indikator pendapatan perkapita.
Indikator yang digunakan dalam tingkat perkembangan wilayah pada kota/kabupaten
di Gunung Kidul ini menggunakan indikator indeks perkembangan wilayah, dengan memilih
Kota Gunung Kidul sebagai objek analisis.
Berhasil atau tidaknya perkembangan suatu wilayah dilihat dari indeks kekotaannya.
Indeks kekotaan ditinjau dari ciri kekotaan dimana semakin tinggi ciri kekotaan suatu
wilayah maka perkembangan wilayah pun juga semakin tinggi. Ciri kekotaan meliputi aspekaspek yang berkaitan dengan tingkat kepadatan, presentase lahan terbangun, presentase
rumah tangga non pertanian (RTNP), pertumbuhan penduduk (r), fasilitas sosial, fasilitas
ekonomi, dan fasilitas sosial ekonomi. Adapun aspek-aspek tersebut merupakan variabel
yang digunakan dalam indikator perkembangan wilayah kelurahan-kelurahan di Kota
Gunung Kidul.
Pada tahun 1990, Gununung Kidul memiliki kecamatan-kecamatan dengan klasifikasi
kecamatan dengan indeks pembangunan wilayah yang rendah, sedang ataupun tinggi. Untuk
kelas rendah, indeks pembangunan wilayahnya berada di bawah atau kurang dari angka 2.14. Kelas sedang berada diantara nilai -2,14 dan 2,14. Dan kelas tertinggi memiliki nilai
indeks pembangunan wilayah yang berada di atas atau lebih dari 2,14.
Kecamatan yang berada di kelas dengan indeks pembangunan yang rendah salah
satunya adalah Kecamatan Pringombo. Karena kecamatan ini memiliki nilai indeks sebesar ,33, dimana nilai itu merupakan nilai terendah diantara data-data yang sudah dikumpulkan.
Hal itu dapat terjadi, karena Kecamatan Pringombo memiliki sarana dan prasarana serta
infrastruktur yang minim diantara kecamatan-kecamatan lain yang terdapat di Kabupaten
Gunung Kidul.
Kecamatan dengan nilai indeks yang tertinggi adalah Kecamatan Wonosari. Hal ini
dapat terjadi karena dari segi pembangunan fasilitas public yang berupa sarana dan prasarana
serta infrastruktur fisik wilayahnya sudah seperti kota. Hal ini karena Wonosari dijadikan
sebagai wilayah pusat perekonomian dan pemerintahan Kabupaten Gunung Kidul. Sehingga
Wonosari menjadi kecamatan dengan indeks pembangunan yang tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Harmantyo, Djoko. 2011. Desentralisasi, Otonomi, Pemekaran Daerah dan Pola
Perkembangan Wilayah di Indonesia. http://geografi.ui.ac.id/portal/sivitasgeografi/dosen/makalah-seminar/496-2/ Makalah ini disampaikan dalam seminar
nasional dan PIT-IGI , 21-23 Oktober 2011 di Bali. Diakses oleh Lusia Chrisma pada
17 Nov 2013, 23.59
MY, Rahmaddin. 2009. Indikator Pembangunan Daerah.
http://ovalhanif.wordpress.com/2009/04/21/indikator-pembangunan-daerah/. Diakses
oleh Lusia Chrisma pada 18 Nov 2013 , 00.02
LAMPIRAN
EKONOMI
LAPORAN TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DI
KABUPATEN GUNUNG KIDUL TAHUN 1990
Dosen : Luthfi Muta’ali, S.Si. MSP. Dr.
DISUSUN OLEH:
Nama
: Reza Kamarullah
NIM
: 13/348125/GE/07582
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan wilayah biasanya merupakan wujud dari keinginan masyarakat di suatu
daerah untuk tumbuh dan berkembang dari segi ekonomi, politik, sosial, budaya dan
keamanan dalam dimensi geografis. Dari perkembangan wilayah inilah yang nantinya
menunjukkan tingkat keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah
dengan suatu indikator-indikator dan variable pembangunan. Karena perkembangan
wilayah berasal dari wujud keinginan masyarakat, maka antara satu daerah dengan
daerah lain tentunya memiliki indikator dan variable pembangunan yang berbeda
tergantung dari tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat itu sendiri. Pemahaman
yang memadai tentang indikator pembangunan daerah ini akan berimplikasi pada
semakin terarahnya pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan dan semakin tingginya
responsi masyarakat dalam menyukseskan dan mencapai sasaran atau target dari
perkembangan wilayah.
Secara umum, tingkat perkembangan wilayah dapat dilihat dari rasio luas wilayah
terbangun (buily-up area) terhadap total luas wilayah. Semakin luas wilayah
terbangunnya dapat diartikan semakin tinggi aktivitas ekonomi masyarakatnya. Kondisi
tersebut dapat dilihat dari semakin padatnya jaringan jalan, semakin meluasnya wilayah
perkantoran dan perdagangan, semakin menyebarnya wilayah permukiman dengan
kepadatan penduduk
yang tinggi dan tingginya peluang kerja. Disamping
itu,
perkembangan wilayah juga diketahui dari semakin meningkatnya kegiatan ekonomi
mulai dari pusat-pusat bisnis (central business district atau CBD) yang cenderung
berkembang ke arah luar, baik secara difusif maupun secara leaf frog atau lompatan
katak, mengakibatkan tumbuhnya kota satelit. Proses inilah yang kemudian
menyebabkan wilayah administratif tetangganya memperoleh manfaat dengan semakin
berkembangnya daerah perbatasan Berkembangnya wilayah administratif yang
berbatasan dengan kota besar inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya daerah
otonom baru dari pemekaran daerah induknya. Proses seperti inilah yang menjadi
acuan dasar dalam melahirkan daerah otonom baru di Indonesia.
Daerah otonom nantinya akan melahirkan suatu kebijakan otonomi daerah yang
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari kebijakan otonomi inilah suatu
daerah diberi tantangan dan dipacu untuk tumbuh dan berkembang secara mandiri
sesuai kewenangan untuk mengelola potensi daerah masing-masing dan mengembangkan
wilayahnya.
Secara singkat, indikator pengembangan wilayah tiap daerah berbeda-beda sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan dari target atau sasaran yang akan dicapai daerah itu
sendiri. Asalkan kajian pengembangan wilayah mencakup aspek ekonomi, organisasi
keruangan, politik, menejemen sumber daya serta sosial dan budaya, yang secara
keseluruhan dilakukan dengan baik maka juga akan selaras dengan perkembangan
wilayahnya. Hal yang tak kalah pentingnya juga adalah jangan sampai melupakan
prinsip pengembangan wilayah yang meliputi Growth (tumbuh berkembang), Equity
(merata dan adil), Welfare and prospherity (sejahtera dan makmur), serta Sustainability
(berkelanjutan).
BAB II
DASAR TEORI
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah
adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait
kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan
atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan
sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen
wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan
wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.
Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan
(infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget,
Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2011) mengenai tipologi wilayah,
mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen
(uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah
perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi
tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2010) berdasarkan fase kemajuan perekonomian
mengklasifikasikan region/wilayah menjadi: 1) fase pertama yaitu wilayah formal yang
berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah
geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi,
ekonomi, sosial dan politik. 2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan
dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian
dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan
terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional
saling berkaitan. 3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan
koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Pengembangan
wilayah
merupakan
strategi
memanfaatkan
dan
mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan
tantangan) yang ada sebagai potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan produksi wilayah akan barang dan jasa yang merupakan fungsi dari
kebutuhan baik secara internal maupun eksternal wilayah. Faktor internal ini berupa
sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya teknologi, sedangkan faktor
eksternal dapat berupa peluang dan ancaman yang muncul seiring dengan interaksinya
dengan wilayah lain.
Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk
menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi
pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Dalam artian lain
pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang
mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi
lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian
pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai
dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian
pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada
kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan
pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat
beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan
wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan administrasi pembangunan.
Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan
akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003).
Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan
membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran
penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).
Menurut Alkadri (2001) pengembangan adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa
yang dapat dilakukan dengan apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup.
Kata pengembangan identik dengan keinginan menuju perbaikan kondisi disertai
kemampuan untuk mewujudkannya. Pendapat lain bahwa pengembangan adalah suatu
proses untuk mengubah potensi yang terbatas sehingga mempengaruhi timbulnya potensi
yang baru, dalam hal ini termasuk mencari peluang yang ada dalam kelompok-kelompok
yang berbeda yang tidak semuanya mempunyai potensi yang sama (Budiharsono, 2002).
Prod’homme dalam Alkadri (2001) mendefinisikan pengembangan wilayah
sebagai program yang menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan
memperhitungkan sumber daya yang ada dan kontribusinya pada pembangunan suatu
wilayah. Pendapat lain menyebutkan pengembangan wilayah adalah upaya untuk
memacu perkembangan social ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan
menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat
diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis yang berbeda antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. HASIL
Data Variabel Urban Kabupaten Gunung Kidul tahun 1990
(terlampir)
3.2. PEMBAHASAN
Pembangunan wilayah berarti melakukan suatu kegiatan sehingga adanya
perkembangan yang terjadi pada suatu wilayah tersebut. Pembangunan yang baik adalah
pembangunan yang mencakup 4 aspek, yakni tumbuh, merata, sejahtera dan makmur serta
berkelanjutan. Demi mencapainya keempat aspek pembangunan tersebut ada beberapa
variable yang dapat dijadikan indikator atau tolak ukur dalam tingkat perkembangan suatu
wilayah. Indikator-indikator tersebut tentu saja bersifat subjektif tergantung dari wilayah
tersebut atau masyarakat di wilayah itu.
Perkembangan wilayah umumnya dilihat dari dua hal yakni proses dan output.
Perkembangan wilayah dilihat dari prosesnya berarti adanya suatu perkembangan indikator
dari waktu ke waktu atau bisa dikatakan perkembangan wilayah terjadi antara dua dimensi
waktu. Perkembangan wilayah dengan aspek proses biasanya diukur dengan kelas naik,
turun, stabil dan dinyatakan dalam % (persen). Sedangkan perkembangan wilayah dilihat dari
output (keluaran) maka perkembangan wilayah dinilai pada satu waktu tertentu misalnya
pada akhir tahun atau dengan indikator pendapatan perkapita.
Indikator yang digunakan dalam tingkat perkembangan wilayah pada kota/kabupaten
di Gunung Kidul ini menggunakan indikator indeks perkembangan wilayah, dengan memilih
Kota Gunung Kidul sebagai objek analisis.
Berhasil atau tidaknya perkembangan suatu wilayah dilihat dari indeks kekotaannya.
Indeks kekotaan ditinjau dari ciri kekotaan dimana semakin tinggi ciri kekotaan suatu
wilayah maka perkembangan wilayah pun juga semakin tinggi. Ciri kekotaan meliputi aspekaspek yang berkaitan dengan tingkat kepadatan, presentase lahan terbangun, presentase
rumah tangga non pertanian (RTNP), pertumbuhan penduduk (r), fasilitas sosial, fasilitas
ekonomi, dan fasilitas sosial ekonomi. Adapun aspek-aspek tersebut merupakan variabel
yang digunakan dalam indikator perkembangan wilayah kelurahan-kelurahan di Kota
Gunung Kidul.
Pada tahun 1990, Gununung Kidul memiliki kecamatan-kecamatan dengan klasifikasi
kecamatan dengan indeks pembangunan wilayah yang rendah, sedang ataupun tinggi. Untuk
kelas rendah, indeks pembangunan wilayahnya berada di bawah atau kurang dari angka 2.14. Kelas sedang berada diantara nilai -2,14 dan 2,14. Dan kelas tertinggi memiliki nilai
indeks pembangunan wilayah yang berada di atas atau lebih dari 2,14.
Kecamatan yang berada di kelas dengan indeks pembangunan yang rendah salah
satunya adalah Kecamatan Pringombo. Karena kecamatan ini memiliki nilai indeks sebesar ,33, dimana nilai itu merupakan nilai terendah diantara data-data yang sudah dikumpulkan.
Hal itu dapat terjadi, karena Kecamatan Pringombo memiliki sarana dan prasarana serta
infrastruktur yang minim diantara kecamatan-kecamatan lain yang terdapat di Kabupaten
Gunung Kidul.
Kecamatan dengan nilai indeks yang tertinggi adalah Kecamatan Wonosari. Hal ini
dapat terjadi karena dari segi pembangunan fasilitas public yang berupa sarana dan prasarana
serta infrastruktur fisik wilayahnya sudah seperti kota. Hal ini karena Wonosari dijadikan
sebagai wilayah pusat perekonomian dan pemerintahan Kabupaten Gunung Kidul. Sehingga
Wonosari menjadi kecamatan dengan indeks pembangunan yang tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Harmantyo, Djoko. 2011. Desentralisasi, Otonomi, Pemekaran Daerah dan Pola
Perkembangan Wilayah di Indonesia. http://geografi.ui.ac.id/portal/sivitasgeografi/dosen/makalah-seminar/496-2/ Makalah ini disampaikan dalam seminar
nasional dan PIT-IGI , 21-23 Oktober 2011 di Bali. Diakses oleh Lusia Chrisma pada
17 Nov 2013, 23.59
MY, Rahmaddin. 2009. Indikator Pembangunan Daerah.
http://ovalhanif.wordpress.com/2009/04/21/indikator-pembangunan-daerah/. Diakses
oleh Lusia Chrisma pada 18 Nov 2013 , 00.02
LAMPIRAN