Kemiskinan dan Pembangunan ekonomi kemiskinan

PROGRAM STUDI
PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

“Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia”

Mata Kuliah : Ekonomi Pembangunan
Dosen : Dr.Ir. Faidil Tanjung, M.Si

Oleh: Jeffri Argon, SE
BP: 1221202020

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS

Daftar Isi

Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia....................................................................................3
1.


Pendahuluan..........................................................................................................................4

1.

Kategori Kemiskinan............................................................................................................5

3.

Kemiskinan dan Bencana Alam............................................................................................7

3.

Jurang Kemiskinan dan Ketimpangan..................................................................................8

4.

Pengentasan kemiskinan demi Pemerataan Kemakmuran...................................................9

Daftar Pustaka............................................................................................................................11


Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia

“Sesuatu kaum tidak akan berubah nasibnya hingga kaum itu sendiri merubahnya” (Qur’an
Surat Ar’Rad: 11)
“Tak ada masyarakat yang benar-benar merasa makmur dan bahagia, kalau sebagian besar
penduduknya hidup miskin dan sengsara (Adam Smith, 1776)”
“Kemiskinan adalah bentuk terburuk dari kejahatan (Gandhi)”
“Kapabilitas untuk berfungsi adalah yang paling menentukan status miskin atau tidaknya
seseorang, pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan akhir, selanjutnya harus memperhatikan
peningkatan kualitas kehidupan dan kebebasan yang kita jalani (Amartya Sen)”

1. Pendahuluan
Saat ini ketika kondisi krisis global sedang terjadi, kita sebagai bangsa Indonesia boleh
berbangga, karena Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di
Dunia sebesar 6,5% ( McKinsey 2012 dalam artikel Sunarsip). Pertumbuhan ini didorong oleh
permintaan domestik, kemudian banyak lahirnya daerah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan.
Namun pertumbuhan ini juga diimbangi dengan meningkatnya kesenjangan ekonomi,
seprti yang ditunjukkan oleh meningkatnya angka indeks Gini, angka ini merupakan indikator
standar dalam menghitung pemerataan ekonomi, jika angkanya mendekati 1 maka semakin
timpang pendapatan, jika mendekati 0, berarti pendapatan masyarakat semakin merata. Dalam


periode 2011-2012 angka indeks Gini Indonesia mencapai 0.41, indeks Gini yang menembus
angka 0.4 ini baru kali ini terjadi dalam sejarah perekonomian Indonesia.
Memang indeks Gini ini sering dipertanyakan sebagai indikator pemerataan pendapatan,
di beberapa negara yang mirip karakteristiknya baik dari segi sumber daya manusia maupun
sumber daya alamnya, namun perhitungan pada waktu yang bersamaan dalam indeks Gini nya
bisa jauh berbeda.
Lalu mengenai kritik bahwa indeks Gini Indonesia yang beberapa tahun terakhir ini
meningkat, menurut para ekonom pada umumnya sebuah negara yang baru mengalami akselerasi
pertumbuhan seperti Indonesia, memang lazim menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang
melebar di tahap awal, yang ditandai oleh naiknya indeks Gini. Baiklah tulisan ini bukanlah
ditujukan untuk memperdebatkan soal indeks Gini ini, namun seperti kita lihat di adalam
kehidupan sehari-hari, ditengah-tengah makmurnya beberapa penduduk Indonesia bisa dilihat
kemiskinan – terlepas dari ini kemiskinan absolut, relatif, kultural atau struktural - juga
merajalela, pengemis, anak jalanan, pak ogah, dan pekerja sektor informal lainnya di perkotaan,
dan terdapat hubungan nyata bahwa kemiskinan di desa mendorong urbanisasi.
Harus diakui dari tahun ke tahun, orde ke orde pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu
diiiringi dengan banyaknya penduduk miskin dan kesenjangan, menurut data dari BPS (2010,
dalam buku Nugroho-Dahuri, “Pembangunan Wilayah”), sejak tahun 1976 penduduk miskin
Indonesia berjumlah 52,2 juta, setelah itu dalam 20 tahun jumlahnya menurun yaitu 22,5 juta,

namun tahun 1996 itu di awal krisis moneter yang melanda Indonesia angka itu tereduksi
menjadi 34, 01 juta, lalu hingga tahun 2010 angka itu menjadi 31,02 juta, bukanlah prestasi yang
membanggakan apalagi diiringi dengan indeks Gini yang tinggi antara 0.31 – 0.41 (1999-2012) ,
serta indeks Jurang Kemiskinan (P1) sebesar 2,50 (2009) ( Nugroho-Dahuri).
Pertumbuhan ekonomi tinggi tapi tanpa adanya pemerataan ibarat kita punya supercar
(mobil supercepat), namun tidak mampu beli bahan bakar minyak yang memadai. karena
sejatinya, bahan bakar ekonomi indonesia kita lebih banyak tenaga kerja manusia dibanding
non-manusia, jika banyak tenaga kerja yang tidak sejahtera maka, lama-lama kelamaan
kinerjanya mandek.
Menurut ekonom dari

Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa,

ketidakmerataan tersebut akan berkurang jika tingkat pengangguran dan kemiskinan dapat
diturunkan. “Itu sebabnya, Pemerintah memang sebaiknya fokus kepada pertumbuhan ekonomi
dan penciptaan lapangan kerja,”. Namun tidak cukup itu saja, penyerasian dan transparansi
dalam pembangunan, kesempatan berusaha yang seadil-adilnya, serta pengurangan korupsi,

kolusi dan nepotisme juga diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan dan pemerataan
kemakmuran.

Sesuai dengan tujuan tulisan ini, yaitu mengulas kemiskinan dan kesenjangan
kemakmuran di Indonesia, mari kita mulai dengan membahas kategori kemiskinan

2. Kategori Kemiskinan
Kemiskinan dapat dipahami sebagai suatu kondisi yang bersifat absolut bila kondisi
seseorang atau suatu rumah tangga diperbandingkan dengan suatu standar tertentu, - apakah itu
standar pendapatan, pendikikan, kesehatan dan lain-lain - tanpa memperhitungkan kondisi
masyarakat secara umum. Pada kemiskinan relatif orang yang sudah memiliki tingkat
pendapatan dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti tidak miskin, ada ahli
yang berpendapat bahwa walaupun sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi
masih jauh lebih rendah di bandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya, maka orang
tersebut masih berada dalam keadaan miskin, ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak di
tentukan oleh keadaan sekitarnya, daripada lingkungan orang yang bersangkutan (Miller,1971).
Kemiskinan juga bersifat relatif bila kondisi seseorang atau suatu rumah tangga
diperbandingkan dengan taraf hidup masyarakat sekitarnya.Jika menggunakan standar relatif,
standar kemiskinan akan dihitung berdasarkan tingkat kemakmuran masyarakat secara umum.
Tentunya standar ini akan berubah antar-waktu dan antar-tempat. Kemiskinan relatif ini sangat
relevan khususnya apabila Pemerintah dihadapkan pada keterbatasan sumber daya dan program
penanggulangan kemiskinan hanya difokuskan pada segmen termiskin tertentu, misalnya pada
10% atau 20% termiskin dari populasi. Pada saat inilah pendekatan kemiskinan relatif lebih tepat

untuk digunakan. Berbeda tujuan dengan kemiskinan absolut yang digunakan untuk evaluasi
naik-turunnya tingkat kemiskinan,pendekatan kemiskinan relatif ditujukan sebagai dasar
perhitungan atau pertimbangan dalam mendesain program yang ditargetkan untuk membantu
masyarakat miskin. Pada taraf yang lebih luas tujuan segmentasi kemiskinan dalam pendekatan
relatif adalah untuk menyediakan informasi yang lebih akurat mengenai kondisi distribusi
kemiskinan saat ini agar dapat digunakan oleh program penargetan kemiskinan dalam menyusun
strategi dan jumlah target yang sesuai antara anggaran dan kebutuhan tiap tingkatan masyarakat
atau dapat juga dimanfaatkan untuk menyusun strategi pembangunan pada setiap level
pemerintahan, dari pusat hingga daerah.
Selain sifat kemiskinan di atas, kita melihat kategori kemiskinan dari
penyebabnya yaitu secara:

segi yang

1. Alami: yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kekurangan dan ketidakberdayaan
sumberdaya alam maupun manusia, sehingga sistem produksi tidak optimal tidak bisa
mengangkat perekonomian ke tingkat lebih tinggi. Contohnya petani yang tinggal di
lahan kering, akses yang jauh, tidak terjangkau.
2. Struktural: yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh secara langsung atau tidak
langsung oleh berbagai kebijakan, strategi, peraturan-peraturan dalam pembangunan.

Kemiskinan

ini

umumnya

ditandai

ketimpangan-ketimpangan

antara

lain:

kepemilikan sumber daya, kesempatan berusaha.
3. Kultural: yaitu kemiskinan yang lebih banyak disebabkan oleh sikap dalam
masyarakat mencerminkan gaya hidup yang menjebak dirinya dalam kemiskinan,
hanya mengharapkan uluran tangan oarang lain, self achievement dan need of
achievement yang rendah, gaya hidup yang boros. Sehingga kalau menurut piramida
Maslow,


tingkat kehidupan orang tersebut hanya bertahan pada pemenuhan

kebutuhan dasar saja (Level 1 Piramida).
Juga seperti dikutip oleh Ir. H. Alala (1985) “sesuatu kaum tidak akan berubah nasibnya
hingga kaum itu sendiri merubahnya” (Qur’an Surat Ar’Rad: 11) , sehingga kalau tidak
mau mengubah nasib hanya menggantungkan pada uluran tangan orang. Ada satu bahasan
pengalaman menarik yang diceritakan oleh seorang dosen Universitas Andalas Padang kepada
penulis mengenai kemiskinan kultural ini, yaitu ketika salah seorang Bupati di suatu daerah
bercerita kepada sang dosen, begini beliau berkata “Saya senang pak, jumlah sumbangan
raskin di daerah saya mengalami peningkatan setiap tahunnya”. Bisa ditarik kesimpulan
bahwa sang Bupati senang karena dengan bertambahnya raskin, masyarakatnya menganggapnya
sebagai penolong dan dermawan yang bisa menyalurkan bantuan yang banyak. Demikianlah
kenyataan yang terjadi dalam masyarakat kita.
Sebelum kita melanjutkan ke masalah ketimpangan kemakmuran, ada baiknya juga kita
membahas tentang hal khusus yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh bencana alam.
3. Kemiskinan dan Bencana Alam
Bencana alam telah menjadi perhatian banyak akhir-akhir ini, kerugian bencana alam
telah sangat merusak kehidupan bagi masyarakata terutama rakyat miskin. Tak seorang pun akan
luput dari bencana alam, namun berbagai pengaruhnya dapat dirasakan lebih parah oleh

masyarakat yang paling miskin, mereka yang hidup di wilayah paling pinggiran yang, antara
lain, rentan terhadap banjir, atau gempa dan longsor. Oleh karena mereka kebanyakan mencari

nafkah dengan bertani dan menjadi nelayan, sumber nafkah mereka juga amat rentan terhadap
bencana alam. Mereka juga hanya memiliki sumber daya terbatas untuk menanggung bencana
alam sehingga bencana apapun yang menimpa, akan membuat mereka mesti kehilangan harta
benda yang seadanya. Pada masa-masa sulit mereka mungkin terpaksa menjual misalnya, tanah
mereka, sepeda, atau peralatan pertanian, yang akan membuat mereka makin kesulitan untuk
mempertahankan sumber penghidupan mereka.
“Masyarakat miskin karenanya adalah yang akan paling menderita oleh bencana alam,
berbagai dampak ini juga akan menambah berbagai kesengsaraan yang sudah mereka alami.
Beban kesengsaraan itu antara lain: Yang miskin makin miskin bagi rakyat yang hidupnya sudah
sengsara, berbagai tambahan beban dari bencana alam akan makin menyengsarakan dan makin
menuntut biaya. Kebanyakan petani padi, misalnya, saat ini menggunakan varietas hibrid yang
menuntut ketersediaan air yang cukup. Ketika hujan tidak turun pada waktunya, sebagian mereka
sudah harus berhutang untuk membeli bahan bakar untuk memompa air tanah. Dengan begitu
meski sawah mereka akhirnya dapat menghasilkan panen, sebagian besar hasil panen itu akan
digunakan untuk membayar hutang” (UNDP- Sisi Lain Perubahan Iklim, 2007)
Sudah selayaknya rakyat miskin itu dilindungi dari berbagai bencana alam tersebut, juga
seharusnya masyarakat perlu dimotivasi agar bisa


bersikap waspada dan tanggap terhadap

bencana, sehingga dampak yang diakibatkan bencana bisa diminimalisir.

4. Jurang Kemiskinan dan Ketimpangan
Jurang kemiskinan atau poverty

gap

merupakan ukuran rata-rata kesenjangan

pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Ukuran ini
memperlihatkan jurang (gap) antara pendapatan rata-rata yang diterima penduduk miskin dengan
garis kemiskinan. Semakin kecil angka ini menunjukkan secara rata-rata pendapatan penduduk
miskin sudah semakin mendekati garis kemiskinan. Semakin tinggi angka ini maka semakin
besar kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata
lain semakin tinggi nilai indeks menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin
terpuruk.
Terlepas dari banyaknya kendaraan mewah, gedung-gedung bagus di negara ini

Indonesia masih lah merupakan negara miskin karena tidak adanya pemerataan dalam
kemakmuran. Merunut pada pendapat Paul Hoffman (Todaro 2009) ini "negara terbelakang
umumnya mempunyai ciri-ciri yang sebagai berikut: kemiskinan, kota yang dipadati oleh
pengemis dan penduduk desa yang susah mencari nafkah di kampung halamannya sendiri.

jarang memiliki industri, pengadaan listrik tidak memadai, tidak memiliki jalan raya dan
kereta api yang cukup, pelayanan pemerintah yang belum memadai dan sarana
komunikasi yang buruk”. Kecuali komunikasi yang sudah baik..semua ciri-ciri yang
disebutkan Hoffman ada di negara kita umumnya
Kalau bicara pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang mencapai 7 %, itu tidak
inklusif, artinya tidak melibatkan banyak orang karena ekonomi dikuasai oleh segelintir orang
kaya di Indonesia dengan teori trickle down effect yang tidak terbukti kebenarannya. Salah satu
langkah yang perlu didukung bersama adalah kenaikan UMR seperti DKI dan Jatim, sehingga
keuntungan konglomerat (pengusaha) berkurang, taraf hidup pekerja meningkat, sehingga daya
beli barang-barang kebutuhan primer akan meningkat akibatnya adanya tuntutan pelayanan
publik yang lebih baik, seperti transportasi umum yang nyaman. Kita ingat bahwa bahwa MPC
masyarakat miskin adalah 1 yang artinya mereka akan tingkatkan konsumsi secara otomatis
ketika pendapatan meningkat. Ini tentu baik bagi perekonomian, dibandingkan peningkatan
konsumsi barang-barang tersier yang notabene banyak yg impor seperti mobil mewah dan
sebagainya, jadi sudah seharusnya kita fokus dalam pengentasan kemiskinan.

5. Pengentasan kemiskinan demi Pemerataan Kemakmuran
Strategi pengentasan kemiskinan, upaya penanggulangan kemiskinan menurut Undang
Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas ditempuh melalui dua strategi utama. Pertama,
melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara. Kedua,
membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan kronis dengan memberdayakan dan
mencegah terjadinya kemiskinan baru. Strategi tersebut selanjutnya dituangkan dalam tiga
program yang langsung diarahkan pada penduduk miskin yaitu:
1) Penyediaan Kebutuhan Pokok;
2) Pengembangan Sistem Jaminan Sosial; dan
3) Pengembangan Budaya Usaha Masyarakat Miskin.
Kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia yang terbaru tertuang dalam Peraturan Presiden
Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, yang
menyatakan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan meliputi: kebijakan pemenuhan hakhak dasar dan kebijakan pembangunan wilayah untuk mendukung pemenuhan hak dasar.
Sepanjang kebijakan pemerintah belum dapat mengatasi kemiskinan,masyarakat miskin
mempunyai strategi sendiri untuk mengatasi kemiskinannya dengan cara: berhutang pada
berbagai sumber pinjaman informal, bekerja serabutan, istri dan anak turut bekerja,

memanfaatkan sumber daya alam di sekelilingnya, bekerja di luar daerah, dan berhemat melalui
mengurangi atau mengganti jenis makanan dan mengatur keuangan.
Strategi pengentasan kemiskinan haruslah memperhatikan aspek dari kebutuhan manusia,
yang bisa diindikasikan secara Indeks kebutuhan hidup secara fisik atau

PQLI (Physical

Quality of Life), indeks ini mengukur kualitas manusia dari segi “Pendapatan per Kapita”,
kemudian “Akses untuk Pendidikan” serta “Tingkat Harapan Hidup” (Arief Budiman, Teori
Pembangunan Dunia Ketiga), atau yang disebutkan dalam United Nation Development
Programme Report sebagai HDI/IPM. Jika pemenuhan kebutuhan dasar di manusia tidak dapat
terpenuhi maka kejadiannya masyarakat miskin akan mempunyai strategi sendiri untuk
mengatasi kemiskinannya dengan cara: berhutang pada berbagai sumber pinjaman informal,
bekerja serabutan, istri dan anak turut bekerja, memanfaatkan sumber daya alam di
sekelilingnya, bekerja di luar daerah, dan berhemat melalui mengurangi atau mengganti jenis
makanan dan mengatur keuangan, semakin lama jurang kemiskinan akan semakin dalam.
Dalam penerapan strategi ”Pendapatan per Kapita”, maka akses untuk usaha,

serta

pemberian pinjaman modal secara formal perlu dilakukan, selain pemberian bantuan langsung
secara tunai, namun hanya untuk inisiasi strategi awal. Kita ibaratkan jika bantuan tunai adalah
ikan supaya si miskin tidak kelaparan dan bangkit dari keterpurukan, akses usaha dan modal itu
adalah pancing supaya si miskin bisa berusaha secara berkesinambungan.
Lalu untuk ”Akses untuk Pendidikan”, mungkin sudah tepat strategi pemerintah dalam
menaikkan anggaran pendidikan, kesejahteraan guru diperhatikan, gedung-gedung sekolah dan
fasilitas lain yang memadai. Pendirian banyak taman-taman bacaan, perpustakaan, warung
informasi teknologi, dll. Untuk pemenuhan ”Tingkat Harapan Hidup” dalam hal ini sektor
kesehatan harus mempunyai anggaran besar bahkan kalau bisa melebihi anggaran pendidikan
yang 20% itu, ilustrasi nya begini - ”kalau orang memang punya keinginan untuk belajar dan
sadar akan pentingnya sekolah, tentunya mereka juga akan mengeluarkan uang yang mereka
punya selain bantuan dari pemerintah, sementara pada sisi lain mana ada orang ingin sakit?” sehingga sudah sepatutnya kita membebaskan atau menurunkan biaya rumah sakit dan fasilitas
kesehatan lain, dan perlu juga diingat peningkatan kualitas dokter dan perawat sehingga mereka
menyadari arti ”hospitality/keramahtamahan” dalam melayani pasiennya, karena kadang
sentuhan psikologis tersebut yang membuat orang bisa cepat sembuh, sehingga si sakit pun
dapat menjadi produktif dan kapabel kembali. Seperti disebutkan oleh Amartya Sen di atas
“kapabilitas untuk berfungsi adalah yang paling menentukan status miskin atau tidaknya

seseorang,

pertumbuhan

ekonomi

bukanlah

tujuan

akhir,

selanjutnya

harus

memperhatikan peningkatan kualitas kehidupan dan kebebasan yang kita jalani”.
Dengan diberdayakannya masyarakat miskin tersebut, nantinya mereka bisa merubah
nasib mereka menjadi lebih baik, pemerintah bersama rakyat harus bisa mengatasi masalah
kemiskinan tersebut, merubah sekali lagi nasib bangsa harus dilakukan oleh bangsa itu sendiri.
Dalam pengentasan rakyat miskin di perdesaan, pemerintah sebagai “orang luar” (orang
kota) untuk membuat kebijakan,

sudah seharusnya menurut Robert Chambers (2000)

melakukan turba (turun ke bawah), atau wisata ke perdesaan sehingga orang luar itu mengerti
secara menyeluruh tentang permasalahan di desa. Dan dalam buku KH. Abdullah Zaky Al Kaaf
(2002), juga disebutkan para pembuat kebijakan hendaknya jangan terlalu terbawa arus
industrialisasi dan kapitalisme dalam pembangunan, karena kapitalisme berupa penumpukan
harta hanya untuk kaum kaya yang tersentralisasi di perkotaan, bisa semakin menyengsarakan
rakyat miskin, “kaum fuqara was masakin” serta proletar. Jadi seimbangkan juga perhatian
terhadap pembangunan rakyat miskin terutama di perdesaan. Hidup tidaklah boleh berlebihan
harus seimbang sambung KH. Abdullah, bersikaplah kona’ah dan adil bagi sesama.
Dan catatan dasar penting juga jangan lupa melaksanakan fungsi pengawasan dan
evaluasi sehingga program pengentasan kemiskinan dapat berjalan dengan benar, efektif dan
efisien.

Daftar Pustaka
1. Todaro “Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga”, 2009
2. Iwan Nugroho – Rokhmin Dahuri, “Pembangunan Wilayah – Perspektif Ekonomi Sosial
dan Lingkungan, 2010
3. Robert Chambers, “Pembangunan Desa – Mulai Dari Belakang”, 2000
4. Sjafrizal, “Ekonomi Regional – Teori dan Aplikasi”, 2008
5. Fakih, “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”, 2008
6. Sadono S, ‘Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah Dan Dasar Kebijakan, 2007
7. Arief Budiman, “Teori Pembangunan Dunia Ketiga”, Gramedia
8. So- Soewarsono, “Perubahan Sosial dan Pembangunan”, 1990
9. KH. Abdullah Zaky Al Kaaf, “Ekonomi dalam Perspektif Islam”, 2002
10. Sjofjan Asnawi, “Perkembangan Pemikiran Pembangunan Wilayah Perdesaan”, 1999
11. M.L. Jinghan, “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”, 2010
12. Sajogyo-Pudjiwati S, “ Sosiologi Pedesaan, Jilid I”, 2011
13. PPSK BI – LPSE FE UNPAD, “Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi Daerah
Kabupaten/Kota di Indonesia”, 2010
14. Lincolin Arsyad “Pengantar Ekonomi Pembangunan Daerah”, 1999
15. Ritzer, “Sosiologi Modern”, 2003
16. H. Alala, “Strategi dan Pendekatan Pembangunan Pedesaan Terpadu”, 1985
17. Nuhfil Hanani AR, dkk “Strategi Pembangunan Pertanian”, 2004
18. Sunarsip, Artikel Koran Tempo, “CATATAN AKHIR TAHUN: Anomali di Balik
Pertumbuhan Ekonomi Tinggi”, 26 Des 2012
19. Human Development Report – UNDP http://hdr.undp.org/en/reports/global/hdr2011/
20. IPM Propinsi Gorontalo http://undp.or.id/pubs/docs/PGSP%20%20Laporan%20Pembangunan%20Provinsi
%20Gorontalo.pdf
21. IPM Propinsi NAD http://undp.or.id/pubs/docs/Aceh%20HDR%20-%20Bahasa%20Indonesia.pdf
22. http://www.economist.com/blogs/banyan/2011/08/indonesias-poverty-line
23. http://jaringnews.com/ekonomi/umum/22782/ekonom-tidak-nyambungmengaitkan-koefisien-gini-dengan-apbn
24. UNDP – Sisi Lain Tentang Perubahan Iklim, 2007 http://www.undp.or.id/pubs/docs/UNDP%20%20Sisi%20Lain%20Perubahan
%20Iklim%20ID.pdf
25. http://dakwahkampus.com/pemikiran/ekonomi/1627-kesenjangan-kemakmuran-sebabdan-solusinya.html
26. http://media.kompasiana.com/buku/2012/09/26/globalisasi-kemiskinan-ketimpangan490703.html

27. http://www.ginandjar.com/public/09PemberdayaanMasyarakat.pdf
28. http://ssantoso.blogspot.com/2007/08/pemikiran-michel-foucault-1926-1984.html