PENGADILAN PAJAK SEBAGAI PENGADILAN KHUS

PENGADILAN PAJAK SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DI LINGKUNGAN
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Oleh :
Drs. Winarto Suhendro, Ak. MM.
Wakil Sekretaris Pengadilan Pajak

Umum
Keberadaan lembaga penyelesaian perselisihan pajak berawal dengan dibentuknya Institusi
Pertimbangan Pajak pada tanggal 11 Desember 1915 berdasarkan Staatsblad 1915 No.707. Dengan
berlakunya ICW (Undang-Undang Perbendaharaan Negara/Staatsblad 1925), maka dibentuklah Majelis
Pertimbangan Pajak yang saat itu bernama Raad van Beroep Voor Belastingzaken berdasarkan
Ordonnantie tot Regeling van het Beroep in Belastingzaken, Staatsblad 1927 No.29 j.o Staatsblad 1933
No.6, sebagai badan peradilan administrasi.
Pada saat pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945, Raad van Beroep Voor
Belastingzaken tetap berfungsi dan menjalankan tugasnya berdasarkan ketentuan Pasal 3 Osomu Seirei
Nomor 1 tanggal 1 Maret 1942 yang menyatakan bahwa semua badan-badan pemerintah yang terdahulu
tetap diakui sah untuk sementara waktu sepanjang tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer.
Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959, Raad van Beroep Voor Belastingzaken
berganti nama menjadi Majelis Pertimbangan Pajak (MPP).
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
semua putusan MPP dianggap sebagai keputusan Badan/Lembaga Banding Administratif, bukan sebagai

putusan Badan Peradilan Administrasi, sehingga putusannya dapat diuji keabsahannya oleh Peradilan Tata
Usaha Negara, akibatnya proses penyelesaian sengketa pajak menjadi lebih panjang.
Kondisi tersebut kemudian melahirkan ide untuk menegaskan MPP sebagai badan peradilan
administrasi di bidang perpajakan, dengan cara merumuskannya ke dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
1

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 yaitu :
(1)

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan Pajak terhadap
keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(2)

Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan
banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan
keputusan Tata Usaha Negara.

(3)


Putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
Upaya penegasan MPP sebagai badan peradilan dalam undang-undang tersebut tidak efektif

karena dalam prakteknya Mahkamah Agung berpendapat bahwa selama badan peradilan pajak yang
dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) tersebut diatas belum dibentuk, maka putusan MPP dianggap sebagai
keputusan TUN yang dapat diuji keabsahannya oleh Peradilan TUN.
Guna memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994,
dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997.
Sebagai badan peradilan pajak yang mempunyai tugas memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Pengertian Perpajakan dalam Undang-Undang BPSP ini lebih luas dari sebelumnya karena menyangkut
juga sengketa kepabeanan. Putusan BPSP mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga putusannya
tidak dapat digugat ke Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Namun demikian, dalam pelaksanaannya Mahkamah Agung menganggap sama halnya dengan
putusan MPP semua putusan BPSP yang diajukan ke PTUN tetap diperiksa dan diputus sesuai hukum
acara yang berlaku karena BPSP dianggap bukan merupakan badan peradilan pajak sebagaimana
dimaksud Pasal 27 ayat (1) tersebut diatas.
Berdasarkan pertimbangan bahwa dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak melalui BPSP

masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan, dan penyelesaian sengketa
2

pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana, maka
dibentuklah Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002.

Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Khusus
Dengan dibentuknya Pengadilan Pajak telah terjadi perubahan mendasar dalam penyelesaian sengketa
pajak dan merupakan babak baru hukum positif di Indonesia yang melandasi keberadaan lembaga/badan
peradilan pajak di Indonesia. Babak baru tersebut bukan semata-mata penggantian istilah lembaga
peradilan pajak menjadi Pengadilan Pajak, namun hal yang mendasar yaitu menyangkut acara
penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yang merupakan kekhususan dari Pengadilan Pajak
yaitu :
1.

Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai
keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain.

2.


Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.

3.

Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak Terutang dari Wajib Pajak, berupa
hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian hukum
tentang besarnya Pajak Terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis putusan
Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga
berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah Pajak yang masih
harus dibayar.

Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang merupakan kekhususan dari Pengadilan Pajak antara
lain sebagai berikut :
1.

Pengadilan Pajak berkedudukan di ibukota Negara.

2.

Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedang pembinaan organisasi,

administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.

3

3.

Proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak dalam acara pemeriksaannya hanya
mewajibkan kehadiran Terbanding atau Tergugat, sedangkan Pemohon Banding atau Penggugat dapat
menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar
alasan yang cukup jelas.

4.

Proses seleksi penerimaan Hakim dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dengan melibatkan
Mahkamah Agung.

5.

Pengadilan Pajak selain menjadi bagian integral dari kekuasaan kehakiman juga merupakan bagian
integral dari proses penerimaan Negara yang bermuara di APBN.


6.

Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan
memutus Sengketa Pajak.

7.

Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasca Amandemen ke-4 UUD 1945, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 dan Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Dari kedua Undang-Undang tersebut kedudukan Pengadilan
Pajak secara eksplisit dinyatakan sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Di samping itu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 004/PUU-11/2004,
dalam pertimbangan Pokok Perkara dinyatakan bahwa adanya ketentuan yang menyatakan bahwa
pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, bahwa pihak-pihak
yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada
Mahkamah Agung, dan bahwa di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diadakan

pengkhususan yang diatur dengan undang-undang telah cukup menjadi dasar yang menegaskan
Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
4

Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 secara tegas juga dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan
pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Wacana Melakukan Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang
Pengadilan Pajak
Keinginan untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak dengan semangat menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman khususnya ketentuan Pasal 13 ayat (1) bahwa organisasi, administrasi dan
finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung, sudah menjadi wacana di beberapa kalangan. Selanjutnya dalam Pasal 13
ayat (2) diatur bahwa ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undangundang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Kebijakan penyatuatapan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung sesuai amanat Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 antara lain
telah diatur dalam Ketentuan Peralihan undang-undang yang sama, bahwa pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara harus
dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004 dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Sebagai
pelaksanaannya telah diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004, dalam Pasal 2 ayat (1)
dinyatakan bahwa :
“Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tinggi,
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tata Usaha Negara,
5

terhitung sejak tanggal 31 Maret 2004 dialihkan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
ke Mahkamah Agung.”
Ketentuan peralihan tersebut diatas telah mengatur secara tegas batas waktu pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan ke Mahkamah Agung khususnya badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Pengalihan organisasi, administrasi, dan
finansial Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara yang
mempunyai kekhususan tersendiri tidak diatur dalam Keputusan Presiden dimaksud. Dengan demikian
pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak tetap dilakukan oleh Departemen
Keuangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002.

Berdasarkan hal tersebut di atas, apakah kedudukan atau posisi Pengadilan Pajak yang dimuat dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan
pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan Pasal 5 ayat (2)
menyatakan bahwa pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan
oleh Departemen Keuangan, sudah tepat ?
Ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan melalui doktrin “Trias Politika” sebagaimana diketengahkan
oleh Emmanuel Kant maupun Montesquieu dan dikembangkan oleh John Locke melalui ajaran
“Separation of Power” yaitu :
“There can no be liberty when the legislative and executive power are jointed in the same persons
or body of lords because it to be feared that the monarch or body will make tyrannical laws to be
administered in tyrannical way. Nor is there any liberty if the judicial power is not separated from
the legislative and executive power.”
bahwa tidak ada kemerdekaan apabila kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif berada dalam satu
tangan atau badan. Apabila kekuasaan-kekuasaan tersebut berada di satu tangan akan menimbulkan suatu
“tirani”. Konsep pemikiran masyarakat yang bebas diawali dengan pemisahan kekuasaan antara
kekuasaan legislatif dengan eksekutif maupun yudikatif dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif.
6

Dari kedudukan Pengadilan Pajak saat ini, sebetulnya telah tercermin pemisahan antara kekuasaan
eksekutif yang dalam hal ini berada di bawah Departemen Keuangan dan kekuasaan yudikatif yang

berada di bawah Mahkamah Agung.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Pengadilan Pajak
sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka, kemandirian Hakim Pengadilan Pajak
dalam memutus sengketa perpajakan dijamin oleh Undang-Undang {Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002}.
Secara normatif pengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut Pasal 1 tersebut diatas adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, dan netral.
Dalam penjelasan Pasal 1 ditegaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini
mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan
ekstra yudisial, kecuali dalam hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
Parameter untuk menentukan suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut Bagir Manan dalam
bukunya yang berjudul Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004, antara lain bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan
dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan
memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum. Kekuasaankekuasaan diluar kekuasaan memeriksa dan memutus perkara dan membuat ketetapan hukum,
dimungkinkan dicampuri seperti supervisi dan pemeriksaan dari cabang-cabang diluar kekuasaan

kehakiman.
7

Bagaimana dengan kemandirian hakim Pengadilan Pajak ?
Upaya hukum yang dilakukan oleh masyarakat kepada Pengadilan Pajak tidak semata-mata karena tidak
setuju atau keberatan atas pajak yang terhutang, tetapi lebih daripada itu adalah untuk kepastian dalam
menjalankan kewajiban Perpajakan. Oleh karena itu, diperlukan jaminan independensi. Unsur
independensi Pengadilan Pajak dapat dilihat dari Pengadilan Pajak bersikap yaitu seharusnya tidak
memihak kepada pihak-pihak yang berperkara.
Berdasarkan data statistik putusan sejak Tahun 2002 hingga Tahun 2008 di bawah ini, apabila
dibandingkan antara jumlah permohonan banding/gugatan yang dikabulkan baik sebagian ataupun
seluruhnya, keputusan terbanding/tergugat yang dibatalkan, permohonan banding/gugatan yang ditolak
dan tidak dapat diterima terhadap jumlah putusan secara keseluruhan adalah sebagai berikut :
No

Jenis Putusan

Tahun
2005 2006
991
863

2002
346

2003
519

2004
783

2

% terhadap jumlah putusan
Permohonan banding/gugatan
dikabulkan sebagian

26,86
210

32,74
218

35,35
428

33,30
495

3

% terhadap jumlah putusan
Keputusan terbanding/tergugat
dibatalkan

16,30
12

13,75
67

19,32
207

4

% terhadap jumlah putusan
Permohonan banding/gugatan
ditolak

0,93
162

4,23
220

% terhadap jumlah putusan
Permohonan banding/gugatan
Tidak Dapat Diterima (secara
formal)
% terhadap jumlah putusan

12,57
543

42,16

1

5

Permohonan banding/gugatan
dikabulkan seluruhnya

2007
1.264

2008
1.540

35,81
586

39,00
600

40,82
736

16,63
637

24,31
100

18,51
119

19,50
114

9,34
240

21,40
304

4,15
318

3,67
406

3,02
751

13,88
554

10,83
549

10,21
545

13,19
536

12,53
843

19,90
627

34,95

24,78

18,31

22,24

26,01

16,62

Dari data di atas terlihat bahwa dengan status seperti saat ini independensi dan ketidakberpihakan tetap
terjaga meskipun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan
Departemen Keuangan tidak serta merta putusan Hakim “berpihak” kepada Terbanding atau Tergugat.
Di samping itu Mahkamah Konstitusi dalam putusan atas perkara nomor 004/PUU-II/2004 tanggal 13
Desember 2004 menyatakan bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup yang berada di bawah
Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, berdasarkan pertimbangan
8

antara lain bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Sedangkan pembinaan non teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak tidak dipermasalahkan.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak telah dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2. Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan merupakan kekuasaan diluar kekuasaan memeriksa
dan memutus perkara, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum, dilakukan oleh Departemen
Keuangan.
3. Kemandirian hakim Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus perkara, dan membuat suatu
ketetapan hukum terjaga.
4. Keberadaan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan yang berada dalam lingkup peradilan di bawah
Mahkamah Agung sesuai Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi.
5. Wacana untuk melakukan perubahan kedudukan Pengadilan Pajak harus disikapi secara cermat agar
tidak menimbulkan dampak yang kurang baik bagi penyelesaian sengketa pajak dan tidak tertutup
kemungkinan kita akan mengalami kemunduran sebagaimana yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diberlakukan. Untuk itu, perlu dilakukan pengkajian
secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek terkait, termasuk best practice dari
beberapa negara dan masukan dari stakeholder.

9