Kuasa Wacana dan Diskursus Kekuasaan Dom

Kuasa Wacana dan Diskursus Kekuasaan: Dominasi kontrol Orde Baru Dalam
Sinema Indonesia Sepanjang Dasawarsa 1990-an

Pergulatan melawan kekuasaan, hingga kini, menjadi semacam takdir kehidupan. Kekuasaan
selalu saja akan mendapatkan tantangan, penolakan, sekaligus kepercayaan. Kekuasaan bisa bertahan
dengan cara sederhana, yaitu melakukan tekanan dengan mengandalkan pemakaian alat-alat kekerasan;
dan dengan cara rumit, yaitu membuat suatu gagasan atau ideologi yang dipahami masyarakat sebagai
sebuah falsafah bangsa. Dalam kasus negara kita, masa Orde Baru adalah cerminan bagaimana sebuah
kekuasaan menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Semua elemen, secara sadar, berusaha
mematuhi semua aturan—baik tertulis maupun tidak tertulis—di lingkungan mana pun. Jika tidak
dipatuhi, ancaman diculik dan dibunuh menjadi taruhannya. Tidak dapat dilupakan, bagaimana
Soeharto mengorbankan ribuan nyawa bagi kelestarian kekuasannya. Soeharto bahkan hingga kini
menjadi simbol jenis kekuasaan yang bergandeng dengan kekerasan. Menarik bahwa, tiga puluh dua
tahun lamanya, rakyat betah dengan penguasa yang bertipe kejam ini. Soeharto bukan saja
menciptakan jumlah pendukung yang sebanyak-banyaknya, melainkan juga menyusun aturan hukum
yang dapat membuat kekuasaannya tetap bertahan lama tanpa ada satu pun yang mengintervensinya.
Setiap ornamen kekuasaan yang dibentuknya pasti akan selalu setia dan patuh terhadap semua
seruannya.
Bertahannya kekuasaan lebih karena relasi antara Aparat Negara Represif (presiden, menteri,
ABRI, lembaga kehakiman) dengan Aparat Negara Ideologis (lembaga keagamaan, pendidikan,
kesenian, lembaga swadaya masyarakat, media massa, dll). Pada kelompok pertama bertahan lewat

cara-cara represif, sedangkan di kelompok kedua bertahan dengan cetusan-cetusan ide 1. Dalam
praktiknya, kedua hal tersebut—baik cara represif ataupun cetusan ide—memakai medium
pemanfaatan bahasa (wacana) sebagai taktik bujukan kekuasaan terhadap rakyat. Bahasa, selain
dimanfaatkan untuk menguasai, juga dipakai sebagai sarana kontrol. Pada zaman Orde Baru, istilah
‘bebas tapi bertanggung jawab’ dan ‘stabilitas yang dinamis’, adalah contoh ringkas kuatnya kontrol
bahasa. Bahasa (wacana) dalam pemikiran Foucalt dan sebagian besar posmodernis bersifat
menentukan, membatasi, dan menentukan apa yang kita lihat. Menurut mereka, keseluruhan realitas
1

Dua istilah tersebut diungkapkan Dr. Mohtar Mas’oed di dalam kata pengantar editor buku Kritik Sosial: Dalam Wacana
Pembangunan edisi kedua, terbitan tahun 1999.

dikonstruksi melalui bahasa karena bersifat tekstual2. Foucalt melihat dan menyebut bahasa sebagai
“sistem-sistem pemikiran” atau “sistem gagasan” yang berkaitan satu sama lain serta memberi kita
pengetahuan mengenai dunia. Jalinan hubungan antara bahasa, pikiran, pengetahuan, dan tindakan
disebut Foucalt sebagai “Praktek diskursif”: kekuasaan dilaksanakan agar suatu wacana terwujud dan
kekuasaan dilaksanakan oleh satu wacana3.
Dalam buku Kuasa Dalam Sinema, Khrisna Sen mengangkat permasalahan kekuasaan—yang
tidak jauh berbeda dengan latar belakang permasalahan yang disebutkan sebelumnya—yaitu mengenai
kuasa wacana. Dalam bukunya tersebut, Sen membahas sinema Indonesia sejak dasawarsa 1920-1990an. Buku tersebut mendiskusikan dominasi pesan-pesan didaktis sebuah tatanan (order) yang

mendominasi sinema Indonesia di pertengahan masa pemerintahan Soeharto. Sepanjang dasawarsa
1990-an, perubahan-perubahan teknologi, perubahan tata ekonomi media secara global, kebijakankebijakan yang mengatur kepemilikan media pemerintah, dan tumbuhnya perlawanan terhadap
pemerintahan represif Soeharto yang telah lama berlangsung menjadi beberapa fokus pembahasan Sen.
Sen mengatakan bahwa Orde Baru hanya menyediakan sedikit ruang untuk bereksperimen dalam dunia
perfilman, seperti: industri film yang relatif kecil, sensor kuasa monopoli, dan pendefinisian sinema
Indonesia dari waktu ke waktu sebagai konsumsi orang miskin dan tidak berpendidikan.
Intan Paramaditha, di dalam kata pengantar buku Kuasa Dalam Sinema, mengatakan bahwa
Khrisna Sen merujuk pada gambaran Benedict Anderson tentang Orde Baru sebagai masa
“kemenangan negara atas bangsa”. Dalam kata pengantarnya tersebut Intan menambahkan pendapat
Sen tentang institusionalisasi dalam bentuk organisasi profesional, festival film, dan regulasi yang
dikendalikan secara ketat oleh negara membentuk—dan menghasilkan karakteristik khusus dari—apa
yang disebut “film Indonesia”. Sederhananya, semua tahapan tersebut menyoroti sejumlah
perkembangan mendasar terbentuknya “film Indonesia”, seperti dominasi pengusaha Tionghoa,
hadirnya sinema Amerika, dan sensor negara yang menjadi ciri utama industri film di Indonesia.
Studi Sen terbagi menjadi dua bagian, yaitu analisis terhadap konteks sosial-politik dan analisis
terhadap film-film Orde Baru, khususnya dalam hal representasi sejarah, kelas, dan gender. Bagian
pertama memberikan gambaran yang terang tentang sejarah industri film Indonesia serta bagaimana
politik (dalam dan luar negeri) menentukan cara rezim Orde Baru menyikapi medium film. Pada bagian
2


Dr. Akhyar Yusuf, “Metode Arkeologi-Genealogi dan Kuasa Wacana Pada Michel Foucault” dalam Dr. Akhyar Yusuf, Teori
Kritis, Postrukturalisme dan Posmodernisme: Pengaruhnya Pada Kajian Sosial-Budaya Radikal, Jakarta: Departemen
Filsafat, 2013, hal. 62.
3

Ibid., hlm. 67, 68, 69.

ini fakta-fakta yang dipaparkan mengindikasikan bahwa film Indonesia sejak awal bersifat
transnasional, seperti dapat terlihat dalam keterlibatan produser Shanghai di tahun 1920-an maupun
investasi pemerintah Amerika Serikat di tahun 1950-an dalam mensponsori pendidikan film bagi
pekerja film di Indonesia, termasuk Usmar Ismail. Bagian kedua dari penelitian Sen menggabungkan
analisis teks dan konteks film dengan sesekali mengacu pada teori dalam disiplin kajian film, seperti
Annette Kuhn dan Laura Mulvey4. Sen bersikap kritis tidak hanya terhadap pemerintah, seperti yang
dilakukannya dalam analisis film-film sejarah yang menempatkan Soeharto sebagai tokoh sentral dan
militer sebagai penyelamat rakyat; ia juga mengritik pembuat film di Indonesia yang berupaya
bersimpati pada kelas bawah namun tetap membingkai narasi dengan nilai-nilai kelas menengah
intelektual5.
Pada analisis historis dan genealogis, Foucalt mempertanyakan mengapa dan bagaimana suatu
wacana bisa menjadi lebih mantap dan diterima dibandingkan dengan wacana lain. Jawaban Foucalt
atas pertanyaan tersebut adalah bahwa semua itu berkaitan dengan “kekuasaan”. Wacana yang diterima

pada masa tertentu secara implisit menentukan dengan cara apa argumen atau rasionalitas satu wacana
dibangun. Jadi yang terpenting adalah bukan menganalisis wacana historis saja, tetapi juga atas dasar
apa wacana sejarah itu dibangun.
Dalam kasus kuasa Orde Baru pada pembentukan sinema Indonesia, kita harus menilik kembali
asal-muasal lahirnya Orde Baru. Percobaan kudeta pada dini hari 1 Oktober 1965 merupakan rantai
dari serangkaian peristiwa yang mengawali akhir dari Demokrasi Terpimpin, kejatuhan Soekarno, dan
naiknya militer ke posisi dominan di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto. Kisah kudeta yang
dipimpin Letnan Untung tersebut sudah sering dituturkan dari banyak sudut pandang. Dalam hitungan
jam, komando militer berhasil menghancurkan sebuah kudeta yang dilakukan perwira-perwira junior.
Peristiwa itu kemudian dimanfaatkan sebagai alasan untuk menghancurkan PKI, yang ditampilkan
sebagai ‘dalang’ di balik kudeta. Pada 11 Maret 1966, Soeharto memperoleh kekuasaan—demi tujuantujuan praktis—untuk memerintah negara dengan menggunakan nama presiden. Tepat hari berikutnya,
ia melarang PKI, menghancurkannya, dan membubarkan kabinet terakhir yang ditunjuk Soekarno serta
menahan lima belas menterinya. Kelahiran Orde Baru menandai kekalahan musuh-musuh Angkatan
Darat terutama kaum komunis dan nasionalis radikal. ‘Di tingkatan yang lain’, ini merupakan
‘kemenangan kelas yang berpunya atas tantangan yang diajukan di bawah bendera PKI’ (Sen, 2009:83).
4

Pendapat tersebut diambil dari tulisan Intan Paramaditha di dalam kata pengantar buku Kuasa Dalam Sinema hlm. xxi-xxii

5


Ibid., hlm. xxiii.

Di dunia perfilman, korban-korban perubahan politik tersebut mencakup setiap orang dan
organisasi yang terhubung dengan PKI atau LEKRA atau gerakan anti-film Amerika. Sutradara, teknisi,
dan artis yang memiliki koneksi apapun dengan lembaga-lembaga ini dipenjara tanpa diadili. Setiap
organisasi yang berhubungan dengan film dibersihkan dari orang-orang yang dicurigai memiliki
koneksi dengan kelompok sayap kiri berdasarkan daftar yang dibuat Departemen Penerangan. Dalam
industri film setelah era pembersihan berakhir, PDFI (organisasi produser) tampak bersemangat
membantu militer dalam rangka penghancuran PKI—tidak hanya dengan melancarkan pengaruh dalam
dunia perfilman, namun juga dalam masyarakat secara luas. PDFI dilaporkan menyediakan
‘dokumenter-dokumenter’ kesalahan-kesalahan kaum komunis untuk digunakan sebagai newsreel.
Dokumenter-dokumenter tersebut memuat adegan rekaan pemberontakan bersenjata yang dilakukan
para tahanan politik. Mereka dipaksa untuk berakting demi adegan-adegan PKI yang nantinya
disalahgunakan dalam film itu sendiri (Sen, 2009: 84).
Orde Baru memang mewarisi sifat-sifat dasar medium filmis yang dikontrol ketat di bawah
Departemen Penerangan. Hingga tahun 1964, wewenang negara atas sinema masih dipegang oleh
empat departemen yang berbeda: Pendidikan dan Kebudayaan, Penerangan, Perdagangan, dan Industri.
Setelah keluar instruksi Presiden tahun 1964, Departemen Penerangan bertanggung jawab atas seluruh
aspek perfilman di Indonesia. Sebagaimana radio dan pers kini, perfilman berada di bawah portofolio

Departemen Penerangan. Sementara aktivitas-aktivitas budaya dan kesenian lainnya seperti teater dan
sastra tetap dipegang oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun 1978, Departemen
Penerangan berada di bawah tanggung jawab Menteri Koordinator Keamanan (Menko Polkam),
sementara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berada di bawah Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat. Dengan demikian, posisi sinema dalam aparatus negara menekankan tiga fungsi
saja, yakni media, informasi, dan pengaruh. Dimensi film yang seharusnya memiliki wacana artistik
dialihfungsikan ke dalam wacana keamanan dan propaganda (Sen, 2009:87-88).
Akhyar Yusuf, dalam tulisannya yang berjudul “Metode Arkeologi-Genealogi dan Kuasa
Wacana pada Michel Foucalt”, menjelaskan mengenai esai Foucalt yang berjudul “The Discourse on
Language” (1971). Dalam tulisan Foucalt tesebut, ia menjelaskan hubungan antara diskursus dengan
kekuasaan. Ia menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat diskursus selalu dikontrol, diseleksi, dan
diredistribusi oleh kekuasaan berdasarkan sejumlah prosedur yang pasti. Seperti yang dapat dilihat dari
penjelasan sebelumnya tentang gambaran serangkaian peristiwa pada perfilman Orde Baru. Setiap
tindak dan laku para pelaku film dikontrol secara ketat supaya tiap gerak serta hasil karya film sesuai

dengan keinginan pemerintah. ‘Film palsu’ pun dibuat agar melegitimasi wacana—juga sesuai dengan
keinginan pemerintah. Praktik-praktik (diskursus) seperti ini, seperti dijelaskan oleh Foucalt dalam
Mental Illness and Psychology (1976: 216), bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan dan
melindunginya dari berbagai ancaman serta melemahkannya.
Berdasarkan telaah singkat mengenai kuasa wacana serta praktik diskursus kekuasaan Orde

Baru pada aktivitas perfilman Indonesia sepanjang dasawarsa 1990-an, satu hal yang dapat disimpulkan
adalah bahwa berbicara melawan kekuasaan berarti berbicara benar. Berbicara benar—dalam hal ini
melalui sejarah panjang film-film buatan Orde Baru—menghidupkan ingatan kolektif dan sikap kritis
terhadap fenomena dominasi. Kita diingatkan akan tanggung jawab efek fenomena dominasi, baik
secara pribadi maupun kolektif, agar hal tersebut tidak terulang di masa yang akan datang. Selain itu,
refleksi tentang kekuasaan Orde Baru mengingatkan kita agar memperhitungkan realitas bahwa
kekuasaan selalu melahirkan penolakan. Penolakan dan perlawanan harus selalu masuk dalam
pertimbangan strategis. Hal itu menjadi bagian dari proses demokrasi yang tidak bisa dihindari. Intinya,
kita diajak mengakui realitas Orde Baru agar semakin bisa menerima bahwa demokrasi sinema adalah
proses belajar yang panjang.

Acuan Pustaka
Hamid, Edy Suandi dkk. (Ed.). 1999. Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UI
Press.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2011. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Sarup, Madan. 2003. Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta:
Penerbit Jendela.
Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sen, Khrisna. 2009. Kuasa Dalam Sinema: Negara Masyarakat dan Sinema Orde Baru. Yogyakarta:

Penerbit Ombak.
Yusuf, Akhyar. 2012. Teori Kritis, Postrukturalisme, Posmodernisme: Pengaruhnya Pada Kajian
Sosial-Budaya Radikal, Materi Kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Depok: Departemen Filsafat Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
. 2012. “Metode Arkeologi-Genealogi dan Kuasa Wacana Pada Michel Foucalt”, Modul
Perkuliahan Pascasarjana Studi Humaniora. Depok: Departemen Filsafat Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia.