Teori kontarak dan tindakakan kolektif

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Kelembagaan baru (new institutionalist) merupakan sekumpulan pemikiran yang

mencoba menerangkan, politik, sejarah, ekonomi dan kelembagaan sosial seperti pemerintah,
hukum, pasar, perusahaan (firm) konvensi sosial, keluarga dll dalam bingkai neoclassical
economic theory. Teori ini merupakan buah perenungan Chicago School yang terus berupaya
agar teori ekonomi klasik bisa menerangkan wilayah masyarakat manusia (area of human
society) dengan segala karakteristiknya yang selama ini diabaikan dalam membangun
ekonomi masyarakat atau negara.
Mereka yang bekerja di bidang ini, Ronald Coase, Armen Alchian, Harold Demsetz
dan Oliver Williamson, menyebut pandangan ini sebagai “New Institutionalis” atau New
Institutional Economics (NIE)” untuk membedakannya dengan American Institutionalist
school sebagaimana dijelaskan di atas. NIE berkembang pesat dan mulai diperhitungkan
sebagai teori ekonomi alternatif setelah Ronald Coase menemukan konsep biaya transaksi
(transaction cost). Setelah itu muncul teori kontrak dan tindakan kolektif.
Problem serius dalam kegiatan ekonomi (transaksi) adalah ketiadaan kesetaraan

antarpelaku ekonomi. Ketidaksetaraan tersebut bisa berwujud dalam posisi tawar menawar
(bargaining position) maupun informasi asimetris (information asymmetric). Implikasinya,
dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan akhirnya ada salah satu/beberapa pihak yang
memperoleh keuntungan diatas beban (kerugian) pihak lain.
Tentu saja kegiatan ekonomi semacam itu bukan merupakan aktivitas yang ideal
karena terdapat salah satu/beberapa pihak yang menjadi korban. Oleh karena itu, harus dicari
mekanisme dan desain aturan main (kelembagaan) yang bertujuan membangun kesetaraan
antar pelaku ekonomi, baik dari sisi daya tawar maupun kelengkapan informasi. Pada titik
inilah keberadaan teori kontrak (termasuk information asymmetric) dan tindakan kolektif
(collective action) sangat besar peranannya untuk membantu mendesain aturan main tersebut.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas tentang teori kontrak tersebut sehingga
diperoleh pemahaman yang mendalam sebagai dasar formulasi regulasi/kebijakan.
1

1.2

Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud dengan teori kontrak?
B. Bagaimana mekanisme penegakan dan instrumen ekstralegal dalam teori kontrak?
C. Apa yang dimaksud dengan pilihan rasional dan tindakan komunikatif?


1.3

Tujuan Masalah
A. Memberikan pengertian dan penjelasan dari teori kontrak.
B. Memberikan penjelasan bagaimana suatu mekanisme penegakan dan instrumen
ekstralegal dilakukan.
C. Memberikan penjelasan mengenai pilihan rasional dan tindakan komunikatif.

2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Teori Kontrak dan Informasi Asimetris
Dalam pendekatan ekonomi biaya transaksi (transaction costs economics/TCE), basis

dari unit analisis ‘kontrak’ (contract) atau transaksi tunggal antara dua pihak (parties) yang

melakukan hubungan ekonomi. Kontrak secaraa umum menggambarkan kesepakatan satu
pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya
dengan konsekuensi adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Tindakan
untuk membuat kontrak tersebut secara umum dilakukan berdasarkan tingkat pengamatan
yang berbeda, pada titik waktu yang tidak sama, dan juga berdasarkan derajat timbal balik
yang berlainan. Bahkan hubungan kontrak itu sendiri mempunyai perbedaan terhadap
kesinambungannya. Untuk alasan ini, pelaku-pelaku dalam kontrak tersebut memiliki derajat
insentif kesukarelaan alami yang berbeda untuk menyetujui isi atas kontrak yang dibikin.
Dalam TCE, badan penegakan kontrak dari luar (external contract-enforcement agency), yang
biasa disebut lembaga hukum (legal institution) yang mengatur kontrak, diasumsikan eksis,
meskipun

kadangkala

kinerjanya

mengalami

hambatan-hambatan


akibat

kesulitan

memverifikasi, baik yang buruk maupun yang bagus, pelaku-pelaku yang terikat dalam
sebuah kontrak. Dengan kata lain, TCE mengasumsikan bahwa kontrak dapat ditegakkan
(dipaksakan) dalam koridor lembaga hukum yang eksis dan ketersediaan informasi yang
cukup (Dixit, 1996:48).
Konsep kontrak dalam NIE (New Institutional Economics), menurut Richter,
sebetulnya adalah konsep mengenai hak kepemilikan (property rights), yang dalam banyak
hal lebih luas dibandingkan konsep hukum tentang kontrak. Asumsi dasarnya, masing-masing
jenis dari pertukaran hak kepemilikan dapat dimodelkan sebagai transaksi yang mengatur
kontrak tersebut (Birner, 1999:48). Dalam teori standar (neoklasik), kontrak biasanya
diasumsikan dalam kondisi lengkap (complete contract) yang dapat dibuat dan ditegakkan
tanpa biaya (costlessy). Dalam realitasnya, untuk membuat dan menegakkankontrak yang
komplet sangatlah sulit (untuk tidak mengatakan mustahil) karena adanya biaya transaksi.
Secara umum tidaklah mungkin untuk mengjitung seluruh potensi ketidakpastian dalam
3

membuat kontrak. Salah satu jalan yang mungkin hanyalah mencoba memodelkan persoalanpersoalan yang berkaitan dengan informasi yang terbatas, untuk kemudian menjadikan hal itu

sebagai bahan untuk membuat kontrak yang menyeluruh (comprehensive contract). Mungkin
saja suatu kontrak dibuat dengan syarat hanya mencakup hal-hal yang bisa diamati oleh
masing-masing pelaku (parties), sehingga jika terjadi sesuatu (misalnya penyimpangan atau
penipuan) bisa diselesaikan oelh pihak ketiga (seperti pengadilan) [Bickenbach, et al., 1993:34].
Dalam kenyataannya, kontrak selaku tidak lengkap karena dua alasan (Klein,
1980:356-358). Pertama, adanya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya
peluang yang cukup besar bagi munculnya biaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi
dalam rangka merespons seluruh kemungkinan ketidakpastian tersebut. Kedua, kinerja
kontrak khusus (particular contractual performance), misalnya menentukan jumlah energi
yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan yang rumit (complex task), mungkin
membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan pengukuran. Oleh karena itu, adanya
pelanggaran kontrak seringkali menyulitkan pihak ketiga (pengadilan) untuk memberikan
bukti sebagai dasar keputusan. Hampir seluruh kesepakatan kontrak yang aktual berisi
kombinasi eksplisit dan implisit dari mekanisme penegakan. Beberapa elemen dari kinerja
dispesifikasi dan dipaksakan oleh pihak ketiga. Sebagai tambahan, biaya kontrak, yang
mengandaikan adanya ketidaklengkapan dari kontrak yang eksplisit, membutuhkan kehadiran
‘biaya sewa semu’ (quasi rent) yang bisa digunakan bagi perusahaan/korporasi untuk
melakukan investasi.
Munculnya faktor ketidakpastian sebetulnya dapat ditelusuri dari realitas adanya
informasi asimetris (asymmetric information) dalam kegiatan ekonomi. Secara teknis,

informasi asimetris tidak lain merupakan kondisi dimana ketidaksetaraan informasi atau
pengetahuan (unequal knowledge) yang dialami oleh pelaku-pelaku (parties) untuk
melakukan transaksi pasar. Sebagai contoh, pembeli dan penjual memiliki informasi yang
tidak sama tentang harga, kualitas, atau aspek lainnya tentang barang dan jasa yang hendak
diperjualbelikan (McConnel dan Brue, 2005:572). Disinilah dibutuhkan suatu kontrak yang
lengkap sehingga eksistensi informasi asimetris tadi dapat dikurangi atau direduksi. Tentu
saja, jenis informasi asimetris untuk tiap-tiap kegiatan transaksi berbeda antara satu dengan
yang lain sehingga dibutuhkan jenis kontrak yang berlainan pula. Dengan begitu, kontrak
disini bisa pula dimaknai sebagai instrumen kompensasi yang didesain untuk mengeliminasi
dampak dari informasi asimetris. Semakin besar kemungkinan terjadinya informasi asimetris,
4

maka kian besar pula usaha yang mesti dikerjakan untuk mendesain kontrak kerja secara lebih
komplet.

George A. Akerlof’s, yang dianggap sebagai pioner teori informasi asimetris, lewat
karya menumentalnya, yakni The Market of “Lemons”: Quality Uncertainty and the Market
Mechanism (1970), berpendapat bahwa informasi asimetris yang terjadi di antara pelaku
transaksi dapat direduksi melalui kelembagaan pasar perantara (intermediary market
institutions), yang sering disebut dengan kelembagaan penghalang (counteracting institution).

Contoh yang bagus untuk menunjukkan kelembagaan yang dimaksud adalah jaminan/garansi
(guarantee) atas barang. Garansi memberikan pembeli kecukupan waktu untuk memperoleh
informasi yang sama tentang barang sebaik pengetahuan yang dimiliki oelh penjual. Diluar
garansi, instrumen kelembagaan lain adalah merek (brand-names), kongsi (chains), dan
waralaba (franchise) sebagai mekanisme jaminan bagi pembeli, setidaknya menyangkut
kualitas produk (Auronen, 2003:9). Instrumen-instrumen tersebut secara lebih lanjut harus
dimasukkan dalam kontrak sehingga memiliki kapastian, khususnya dari aspek legal.
Kasus informasi asimetris lain yang bisa diajukan adalah praktik dipasar kerja yang
diformulasikan oleh Michael Spence lewat risalahnya yang berjudul “job marketing
signaling” (1973). Menurutnya, keputusan majikan untuk mempekerjakan seseorang
merupakan keputusan investasi di bawah kondisi ketidakpastian. Pemilik perusahaan/manajer
(employer) tentu tidak yakin sepenuhnya tentang kemampuan produktif seseorang (employee)
sebelum dia menggajinya. Bahkan, kemampuan produktif itu juga tidak serta merta dapat
diketahui apabila pekerja tersebut telah dilatih. Spence berargumentasi karena individu butuh
waktu untuk mempelajari sesuatu yang baru, maka menggaji seseorang merupakan sebuah
keputusan investasi, dan karena kapabilitasnya tidak diketahui secara pasti, maka keputusan
investasi tersebut berada dibawah ketidakpastian. Menurutnya kasus seperti itu analog dengan
keputusan investasi dalam permainan undian (lottery). Kemungkinan keberhasilan dalam
mengambil keputusan ditentukan oleh pengalaman terdahulu dalam pasar kerja, tanda/sinyal
yang diberikan oleh pelamar kerja tentang kemampuannya, dan karakter yang melekat dari

seseorang. Jika ciri individu yang melekat tidak mungkin ditutupi, seperti ras dan jenis
kelamin, maka sinyal merupakan karakteristik individu yang dapat dimanipulasi. Contoh dari
sinyal tersebut misalnya adalah pendidikan. Disinilah perlunya melakukan optimasi biaya
penandaan, khususnya untuk kepentingan penentuan upah. Biaya penandaan merupakan total
biaya dari perubahan sinyal, termasuk ongkos uang, waktu dan fisik. Bagi Spence, seharusnya
5

biaya penandaan tersebut berkorelasi negatif dengan kapabilitas produktif seseorang
(Auronen, 2003:11).

Kembali kepada soal kontrak, dalam kegiatan ekonomi moderen tipe kontrak
setidaknya bipilah dalam tiga jenis, yakni teori kontrak agen, teori kesepakatan otomatis, dan
teori kontrak relasional. [Furubotn dan Richter, 2000:147]. Pertama, dalam teori agency
diandaikan setidaknya terdapat dua pelaku yang berhubungan, yakni prinsipal dan agen.
Prinsipal adalah pihak yang mempekerjakan agen untuk melaksanakan pekerjaan atau layanan
yang diinginkan oleh prinsipal. Di luar itu, prinsipal juga memfasilitasi bagi keberhasilan
sebuah aktivitas yang telah didelegasikan kepada pihak agen, misalnya otoritas untuk
mengambil keputusan. Dalam posisi ini, informasi (setelah kontrak dilakukan) diandaikan
asimetris karena: (i) tindakan agen tidak dapat diamati secara langsung oleh prinsipal; (ii)
pihak agen membuat beberapa pengamatan yang tidak dikerjakan oleh prinsipal (dalam kasus

share cropping, misalnya, agen tahu persis berapa output yang dihasilkan, tetapi prinsipal
tidak mengetahuinya). Pada kasus ini sangat mahal bagi prinsipal untuk mengawasi tindakan
agen secara langsung atau mendapatkan pengetahuan lengkap dari informasi yang diperoleh
agen. Menurut Arrow (1985), kasus yang pertama biasa disebut dengan tindakan tersembunyi
dan pada kasus kedua biasa disebut dengan informasi tersembunyi.
Kedua, jika dalam teori kontrak agensi diasumsikakn kesepakatan bisa ditegakkan
secara hukum, maka dalm teori kesepakatan otomatis diandaikan tidak seluruh hubungan atau
pertukaran bisa ditegakkan secara hukum (Furubotn dan Ritcher, 2000:156-157). Disini
dinyatakan bahwa sistem hukum sangat mungkin tidak sempurna atau informasi yang relevan
tidak bisa diverifikasi oleh pengadilan. Oleh karena itu, salah satu kemungkinan bagi relasi
bisnis dalam jangka panjang adalah membuat atau menemukan sebuah kontrak yang berisi
kesepakatan yang dapat ditegakkan secara otomatis. Kontrak semacam ini didesain untuk
memastikan bahwa keuntungan dari berbuat curang selalu lebih rendah dari laba yang
didapatkan dengan mematuhi kontrak yang telah disepakati. Jadi, disini tidak ada pihak ketiga
yang melakukan intervensi. Model seperti ini juga disinonimkan dengan istilah kontrak
implisit , meskipun yang terakhir ini sebetulnya didesain untuk membedakan dengan istilah
‘teori kontrak formal’. Kontrak implisit lebih banyak mencakup norma-norma perilaku
ketimbang pembagian resiko.
Ketiga, kontrak relasional dapat dipahami sebagai kontrak yang tidak bisa menghitung
seluruh ketidakpastian di masa depan, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dimasa silam,

6

saat ini, dan ekspektasi terhadap hubungan dimasa depan di antara pelaku-peelaku yang
telibat dalam kontrak (Macneil, 1974; dalam Furubotn dan Ritcher, 2000:158). Oleh karena
itu, kontrak dalam pengertian ini mengacu pada derajat yang bersifat implisit, informal dan
tanpa ikatan. Disini, penegakan otomatis memegang peranan yang sangat penting. Secara
aktual sebetulnya sebagian besar transaksi yang menggunakan kontrak relasional ini kurang
melekat dalam sebuah struktur hubungan transaksi yang sangat longgar. Transaksi sendiri
secara umum merupakan bagian dari asosiasi usaha yang sedang berjalan dan dalam jangka
panjang. Model semacam ini memainkan peran yang penting dalam kehidupan ekonomi
modern. Jika terjadi persoalan dalam hubungan kontrak tersebut, biasanya tidak diselesaikan
lewat pengadilan tetapi dicapai melalui keseimbangan kerjasama dan pemaksaan (coercion),
serta komunikasi dan strategi. Jadi, kontrak relasional biasa diaplikasikan dalam situasi
dimana terdapat ketergantungan dua pihak (bilateral dependence) pelaku transaksi karena
eksistensi dari transaksi investasi yang spesifik (transaction-specific investmenst).
Isu penting lain yang berkenaan dengan perbedaan kesepakatan-kesepakatan kontrak
adalah bagaimana kontrak itu dibuat dalam situasi sektor yang sama dan lingkungan
kelembagaan (institusional environment) yang sejenis. Dengan memakai studi ekstentif
berdasarkan data primer (kuesioner) atas 21.000 responden yang dilakukan oleh para
pewawancara yang mengunjungi industri unggas (poultry), Menard (2000:236) menunjukkan

adanya tiga bentuk kesepakatan kontrak yang telah teruji lama, yakni kontrak harga tetap
(fixed price contracts), kontrak jual beli (buy-and-sell contracts), dan kontrak lepas (puttingout type); dengan tipe terakhir yang banyak dipilih. Sedangkan dalam sektor pertanian,
setidaknya juga terdapat tiga bentuk kontrak: kontrak sewa tetap/ fixed-rent contract (sewa
per hektar yang dinyatakan dalam uang maupun tanaman), kontrak bagi hasil (share contract),
dan kontrak upah (wage contract) [Cheung, 1969: 66-67]. Salah satu penjelasan yang
mungkin bisa menerangkan daya tahan tiga sistem kontrak di atas adalah karena dinamika
alamiah (dynamic nature) untuk selalu menyesuaikan dengan perubahan zaman. Bahkan, jalur
ketergantungan (path dependency), yang menciptakan pola sosial perilaku, bisa saja
mempromosikan daya tahan (survival) sebuah kesepakatan kontrak yang kurang efisien
(Menard, 2000:236).
2.2

Mekanisme Penegakan Dan Instrumen Ekstralegal
Dari review terhadap beragam studi tentang kontrak yang telah dilakukan, terdapat

empat aspek yang bisa disimpulkan menjadi faktor perbedaan jenis kontrak (Menard,
2000:236). Pertama, jangka waktu (duration) dari kontrak. Hampir semua studi empiris yang
7

dilakukan menunjukkan bahwa jangka waktu kontrak sangat berhubungan dengan atribut dari
transaksi. Oleh karena itu, jangka waktu sekaligus juga menggambarkan komitmen (signal
commitment) dari para mitra. Kedua, derajat kelengkapan (degree of completeness), yang
mencangkup variabel-variabel harga, kualitas, aturan keterlambatan (delay), dan penalty.
Beberapa studi menunjukkan bahwa derajat kelengkapan kontrak meningkat seiring dengan
spesifikasi asset dan menurun bersamaan dengan ketidakpastiaan. Ketiga,kontrak biasanya
bersinggungan dengan insentif. Di sini hanya terdapat sedikit jenis mekanisme insentif.
Mekanisme tersebut antara lain adalah sistem tingkat yang tetap (piece-rate systems), upah
berdasarkan jam kerja, distribusi bagian kepada pekerja, pengembalian aset yang dibayarkan
kepada pemilik, dan sewa yang dibagi antara mitra yang bergabung dalam proyek. Keempat,
prosedur penegakan (enforcement procedures) yang berlaku. Kontrak berhubungan dengan
mitra untuk tujuan yang saling menguntungkan (mutual advantage), tetapi pada tempo yang
bersamaan kontrak juga menyimpan risiko kerugian (disadvantage) melalui sikap oportunis
(opportunism); entah disebabkan oleh kontrak yang tidak lengkap maupun kondisi
pelaksanaan yang berbeda dengan situasi pada saat negosiasi, atau bisa karena keduanya.
Berkaitan dengan

aspek penegakan,

dalam masyarakat yang

kelembagaan

penegakannya tidak berjalan dengan baik individu-individu dan perusahaan-perusahaan
cenderung menghindari untuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang komplek, yakni
transaksi yang penegakannya tidak secara otomatis (non-self-enforcing transactions)[Clague,
et. al., 1997:69]. Setidaknya terdapat dua tipe penegakan yang eksis dalam masyarakat, yakni
aturan formal dan informal. Aturan-aturan formal dibuat dan dipaksakan oleh organisasi
resmi, seperti negara dan perusahaan untuk menyelesaikan masalah tindakan kolektif
(collective action) melalui pihak ketiga (third party sanction). Sementara itu, norma (aturan)
informal muncul akibat adanya jaringan kerja dan dipaksakan melalui hubungan sosial (social
relationship). Norma (norms) sendiri adalah aturan-aturan ekplisit atau implisit untuk
mengatur perilaku yang melekat pada kepentingan dan keinginan masing-masing anggota
kelompok (close-knit group) atau komunitas (Nee, 1998:86-87). Derajat aturan-aturan yang
mencoba untuk mengelola perilaku sangat tergantung dari penegakan tersebut. Sedangkan
penegakan sendiri dipengaruhi oleh daya tekan (coercion power) dari negara atau normanorma dalam masyarakat. Penekanan (coercion) dan norma itu bisa saling menggantikan
(substitutes) [Stone, et.al, 1996:92]. Sedangkan Barzel (2000:214] beragumentasi bahwa
penggunaan kekerasan (violence) untuk melakukan penegakan bisa berbeda-beda dalam tiga
aspek berikut: kekerasan sering kali lebih murah, kekerasan dilakukan untuk mencegah

8

penyitaan (threaten confiscation), dan kekerasan bertujuan untuk memperkuat pertukaran
kontrak itu sendiri.
Dalam banyak kasus, individu-individu mungkin berinteraksi untuk satu kali
kesempatan, tanpa pretensi untuk berlanjut lagi, atau berdasarkan hubungan jangka panjang
(long-term basis). Dalam keadaan ketiadaan pihak ketiga, hampir seluruh interaksi yang
hanya untuk satu kali (one-time interaction) bermaksud untuk menangkap (capture) atau
memindahkan (transfer). Apabila hak-hak ekonomi untuk memindahkan asset tidak
terdefinisikan dengan baik, maka resolusi untuk menyelesaikan sengketa pasti akan banyak
menghabiskan biaya (resource cost). Sebagai aturan, satu individu berharap mendapatkan
keuntungan dan kerugian (lose), dank arena biaya terlihat di dalamnya, maka nilai material
untuk bergabung dalam interaksi menjadi negatif. Oleh karena itu, kedua pelaku (both
parties) cenderung berpikiran akan lebih enak bila melakukan hubungan dalam jangka
panjang. Tentu saja,

dalam berinteraksi diperlukan investasi dalam bentuk reputasi dan

mengeluarkan biaya untuk mengawal hubungan tersebut. Sungguh pun begitu, interaksi
jangka panjang langsung (direct long-term interactions) tidaklah memadai untuk
mengakomodasi semua proyek-proyek yang dinilai. Dalam kasus seperti ini, para pelaku
mendapatkan keuntungan dari bantuan pihak ketiga dalam hal memperkuat kesepakatan yang
sudah dilakukan. Pihak ketiga memfungsikan prinsip-prinsip tersebut ketika nilai proyek
menjadi negatif kepada pihak yang satu atau yang lain selama usia perjanjian tersebut (Barzel,
2000:212-213). Pernyataan ini juga berlaku untuk badan penanggung jawab pelaksanaan
penegakan dan perlindungan dari seluruh hak kepemilikan formal (Khan, 1995:72).
Poin terpenting dari tipologi pembagian dengan pelaku lainnya adalah bermufakat
dalam persoalan penegakan (dealing with the problem of enforcement). Kontrak
menghubungkan antara satu pelaku dengan mitra lainnya karena adanya asas saling
menguntungkan, tetapi pada saat yang sama kontrak juga beresiko melalui praktik
oportunisme. Hasilnya, terdapat godaan bagi satu atau lebih pelaku untuk bersikap
menyimpang (Crawford et. al., 1978). Hal ini membuat tugas untuk mengatur hak-hak
menjadi isu utama, dengan prosedur penegakan menjadi kunci untuk menentukan berhasil
atau tidaknya sebuah kesepakatan (seperti dikutip oleh Menard, 2000:240). Isu yang utama
adalah mencari kesepakatan yang optimal, yakni kontrak didesain sebegitu rupa sehingga
pelaku (agents) memilki insentif yang memadai untuk mematuhi atas kontrak yang sudah
dimufakati. Kontrak semacam ini semestiinya harus dapat memaksakan sendiri (selfenforcing), dalam arti implementasinya tergantung kepada mekanisme otomatis (built-in
mechanism). Dalam model ini, kelembagaan tidaklah menjadi masalah. Pada kondisi ini,
9

tanda-tanda kegagalan kontrak bisa dari kebutuhannya untuk menggunakan kekuatan
eksternal, dengan kata lain kontrak telah didesain dengan buruk (Menard, 2000:238).
Seperti yang telah Menard (2000:248) kemukakan, hal itu membawa kepada
pengertian batas ‘penataan publik’ (public ordering). Penataan publik bisa didefinisikan
melampaui

aturan

main

untuk

wilayah

penataan

privat.

Penataan

publik

juga

mengimplementasikan seperangkat mekanisme yang secara eksplisit didesain untuk
menegakkan kontrak dan menopang transaksi. Sebagai hasilnya, diharapkan penataan publik
tersebut bertemu dengan penataan sektor swasta (privat). Topik utama yang dapat
diagendakan untuk penelitian adalah melakukan analisa dan pemahaman atas perubahan
keseimbangan antara prosedur privat dan publik. Pengendalian (court) dan kelembagaan yang
terkait (administrasi kehakiman, polisi, dan penjara) merupakan mekanisme yang melekat
dalam penataan privat menuju kepada penegakan public. Peran dari pengadilan dalam
penegakan publik atas kontrak adalah berhubungan dengan isu hak-hak kepemilikan, tepatnya
sejak kesepakatan kontrak dimasukkan ke dalam pemindahan hak-hak pemanfaatan. Tetapi,
menurut North (1990a:59), penegakan di negara dunia ketiga sering kali tidak pasti yang
disebabkan bukan hanya karena ambiguitas doktrin legal (pengukuran biaya), namun juga
ketidakpuasan dalam menghargai perilaku agen/pelaku.
Dalam realitasnya, tentu mekanisme penegakan tersebut tidak selalu mudah dilakukan,
bahkan kerap kali sangat rumit. Lebih-lebih, dalam kasus di mana rasionalitas terikat/terbatas
(bounded rationality) eksis sehingga ketidaklengkapan kelembagaan terjadi, maka
problemnya bukan sekedar mendesain sebuah aturan-aturan perilaku kelembagaan
(institution’s behavioral rules) tetapi juga bagaimana aturan-aturan itu ditegakkan.
Masalahnya, dalam kasus aturan main yang tidak komplet, suatu penegakan legal sangat
terbatas penggunaannya. Dalam kasus semacam ini dibutuhkan suatu instrument tambahan
semacam jaminan ekstralegal (extralegal guarantee), seperti penyanderaan (hostages),
agunan (collateral), strategi balas dendam (tit-for-tat-strategies), reputasi (reputation), dan
lain sebagainya. Dengan kata lain, beberapa jaminan “privat” untuk menghadapi perilaku
penyimpangan diperlukan untuk membangun suatu hubungan yang taat asas. Oleh karena itu,
setiap desainer kelembagaan harus memperhatikan situasi aturan main yang tidak lengkap
tersebut agar perilaku-perilaku menyimpang bisa dicegah (Furuboth dan Ricther, 2000:19).
Secara umum, desainer kelembagaan yang rasional akan merencanakan suatu strategi
atau perilaku “non-kerjasama” (noncooperative) sebagai bagian dari partisipan pada saat
proses tawar-menawar (bargaining process). Singkatnya, desainer harus menyusun
10

kesepakatan jaminan sebelum kontrak dilakukan (ex-ante guarantee) untuk menghadapi
perilaku oportunistik setelah kontrak disepakati (noncooperative behavior). Tentu saja dalam
kasus semacam ini akan muncul biaya transaksi yang mungkin cukup besar. Dengan begitu,
biaya transaksi yang muncul tersebut berperan besar dalam konteks seperti ini (Furuboth dan
Richter, 2000;20). Kejadian semacam ini sebetulnya merupakan problem ekonomi yang biasa
saja, khususnya dalam suatu lingkungan di mana otoritas hukum formal tidak bekerja dengan
baik. Kegiatan-kegiatan ekonomi/bisnis sehari-hari selalu diselimuti dengan berbagai
peristiwa seperti itu sehingga keperluan melakukan antisipasi terhadap persoalan ini menjadi
keniscayaan. Secara kategoris, upaya semacam ini bisa disebut sebagai “kontrak dalam
kontrak”, di mana kontrak yang pertama ditujukan untuk menyepakati kegiatan ekonomi yang
ingin dilakukan dan kontrak yang kedua dimaksud untuk mengatasi problem penegakan
akibat ketidaklengkapan informasi/kontrak.
2.3

Pilihan Rasional dan Tindakan Komunikatif
Setidaknya terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional, yakni pendekatan

kuat (strong approach) dan pendekatan lemah (weak approach) [Miller, 1992:24; dalam
Yustika, 2008:120]. Pendekatan kuat melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai
produk dari tindakan rasional dan tindakan rasional itu sendiri menjadi sebab munculnya
analisis pilihan rasional. Sedangkan pendekatan lemah menempatkan halangan sosial dan
kelembagaan sebagai suatu kerangka yang pasti ada (given framework) karena aktor-aktor
rasional berupaya memaksimalisasikan keuntungan atau meminimalisasikan biaya. Dengan
mencermati deskripsi tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa rintangan sosial, dan
kelembagaan sama-sama eksis dalam pendekatan kuat maupun lemah. Namun, dalam
pendekatan kuat diandaikan hambatan sosial dan kelembagaan sebagai pemicu munculnya
tindakan rasional. Sebaliknya, dalam pendekatan lemah hambatan sosial dan kelembagaan
lahir akibat pertarungan rasional antara individu yang berupaya memaksimalisasikan laba dan
meminimalisasikan ongkos. Tentunya, jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan tindakan
kolektif dari dua versi teori pilihan rasional tersebut berbeda, tergantung pendekatan mana
yang eksis.
Apabila pendekatan kuat yang disepakati sebagai sebab munculnya tindakan rasional,
maka sekurangnya terdapat tiga solusi internal yang bisa direkomendasikan (Miller, 1992:25).
Pertama, perlunya solusi internal yang kuat (dengan asumsi tidak ada perubahan dalam
keyakinan dan preferensi) terhadap problem penunggang bebas. DeNardo (1985 dalam
Yustika, 2008:120) mengidentifikasi dua kemungkinan: (i) individu terlalu percaya
11

(overestimate) terhadap pentingnya partisipasi mereka dalam tindakan kolektif, seperti
ekspektasi bahwa tindakan mereka pasti akan berdampak positif (keuntungan); dan (ii)
sensitivitas kepuasan dan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang membuat kegunaan
partisipasi berdampak positif terhadap pencapaian tindakan (outcome of the action).
Kedua, mengabaikan pentingnya isu-isu politik dalam memotivasi orang-orang untuk
berpartisipasi. Sebagai ilustrasi, jika demonstrasi akan dilakukan, maka tidak perlu membahas
masalah ideologi ataupun agenda politik yang muluk-muluk, cukup disediakan kopi ataupun
makanan yang membuat para demonstran mau terlibat dalam aksi protes tersebut. Ketiga,
Taylor (1987 dalam Yustika, 2008:121) dan Elster (1989 dalam Yustika, 2008:121)
berpendapat

tentang

perlunya

memunculkan

"kerjasama

kondisional

yang

saling

menguntungkan" (mutual conditional cooperation). Postulat ini mengemuka berdasarkan teori
"prisoner's dilemma" yang sudah cukup mapan.

12

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan

tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya dengan konsekuensi
adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Dalam kenyataannya, kontrak
selalu tidak lengkap karena dua alasan (Klein, 1980:356-358; dalam yustika, 2008:105).
ketidakpastian (uncertainty) dan kinerja kontrak khusus (particular contractual performance)
Oleh karena itu, adanya pelanggaran kontrak sering kali menyulitkan pihak ketiga
(pengadilan) untuk memberikan bukti sebagai dasar keputusan. Munculnya faktor
ketidakpastian sebetulnya dapat ditelusuri dari realitas adanya informasi asimetris
(asymmetric information) dalam kegiatan ekonomi.
Secara teknis, informasi asimetris tidak lain merupakan kondisi di mana
ketidaksetaraan informasi atau pengetahuan (unequal knowledge) yang dialami oleh pelakupelaku (parties) untuk melakukan transaksi di pasar. Sebagai contoh, pembeli dan penjual
memiliki informasi yang tidak sarna tentang harga, kualitas, atau aspek lainnya tentang
barang atau jasa yang hendak diperjualbelikan (McConnel dan Brue, 2005:572; dalam
yustika, 2008:105). Di sinilah dibutuhkan suatu kontrak yang lengkap sehingga eksistensi
informasi asimetris tadi dapat dikurangi atau direduksi.
George A. Akerlof's, yang dianggap sebagai pioner teori informasi asimetris, lewat karya
monumentalnya, yakni The Market of "Lemons": Quality Uncertainty and the Market
Mechanism (1970), berpendapat bahwa informasi asimetris yang terjadi di antara pelaku
transaksi dapat direduksi melalui kelembagaan pasar perantara (intermediary market
institutions), yang sering disebut dengan kelembagaan penghalang (counteracting
institutions). Contoh yang bagus untuk menunjukkan kelembagaan dimaksud adalah
jaminan/garansi (guarantees) atas barang. Garansi memberikan pembeli kecukupan waktu
untuk memeroleh informasi yang sama tentang barang sebaik pengetahuann yang dimiliki
oleh penjual.

13

3.2

Saran
Terjadinya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya peluang yang cukup

besar bagi munculnya biaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi dalam rangka merespons
seluruh kemungkinan ketidakpastian tersebut. Kedua, kinerja kontrak khusus (particular
contractual performance), misalnya menentukan jumlah energi yang dibutuhkan pekerja
untuk melakukan pekerjaan yang rumit (complex task), mungkin membutuhkan biaya yang
banyak untuk melakukan pengukuran. Oleh karena itu perlu pemahaman secara khusus
mengenai teori kontrak dan informasi asimeteris.
Demikianlah makalah yang kami buat semoga bermanfaat bagi orang yang
membacanya dan menambah wawasan bagi orang yang membaca makalah ini. Dan penulis
mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas,
mengerti, dan lugas mohon jangan dimasukan ke dalam hati.
Dan kami juga sangat mengharapkan yang membaca makalah ini akan bertambah
motivasinya dan mengapai cita-cita yang di inginkan, karena saya membuat makalah ini
mempunyai arti penting yang sangat mendalam.
Sekian penutup dari kami semoga berkenan di hati dan kami ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya.

14

DAFTAR PUSTAKA


Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan; Definisi, Teori dan Strategi.



Malang: Bayumedia.
North, D. C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economics Performance.



Cambridge University Press
Simarmata, DJ. A. 1994. Ekonomi Publik dan Eksternal: Ekonomi tanpa Pasar.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

15