LAPORAN PENDAHULUAN OTITIS MEDIA AKUT (1)
LAPORAN PENDAHULUAN
OTITIS MEDIA AKUT
I.
DEFINISI
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut
sebagian atau seluruh telinga tengah, tuba eustachii,
antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Biasanya terjadi
karena
peradangan
saluran
napas
atas
dan
sering
mengenai bayi dan anak-anak. Telinga tengah adalah
organ yang memiliki penghalang yang biasanya dalam
keadaan
steril.
nasofaring
dan
Bila
terdapat
faring,
infeksi
secara
bakteri
alamiah
pada
terdapat
mekanisme pencegahan penjalaran bakteri memasuki
telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulu-bulu halus
yang dimiliki oleh tuba eustachii. OMA terjadi akibat tidak
berfungsinya
sistem
pelindung
tadi.
Sumbatan
atau
peradangan pada tuba eustachii merupakan faktor utama
terjadinya otitis media (Husni T.R, 2011).
II.
PATOFISIOLOGI
Otitis media akut
(OMA)
terjadi
akibat
adanya
gangguan pada faktor pertahanan tubuh. Sumbatan pada
tuba
Eustachius
merupakan
faktor
utama
penyebab
terjadinya OMA. Dengan adanya sumbatan yang merusak
1
2
faktor pertahanan tubuh sebagai pencegah invasi kuman
ke dalam tuba Eustachius maka terjadi peradangan pada
mukosa. Hal ini menyebabkan fungsi tuba Eustachius
terganggu sehingga menyebabkan terjadinya tekanan
negatif di dalam telinga tengah. Pada umumnya pencetus
terjadinya OMA adalah infeksi saluran napas atas (ISPA),
semakin
sering
terkena
ISPA
maka
kemungkinan
terjadinya OMA semakin besar (Novertha, 2013).
III.
DIAGNOSIS
1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian
telinga luar
2. Timpanogram untuk
mengukur
keseuaian
dan
kekakuan membrane timpani
3. Kultur dan uji sensitiftas ; dilakukan bila dilakukan
timpanosentesis (Aspirasi jarum dari telinga tengah
melalui membrane timpani).
Dengan menggunakan otoskop dapat dilihat adanya
perubahan warna pada membran timpani, penonjolan
(bulging) membran timpani dan sekret yang berada di
liang telinga. Apabila diperlukan konfrmasi dari hasil
pemeriksaan otoskop, maka dilakukan pemeriksaan
dengan otoskop pneumatik. Otoskop pneumatik dapat
3
digunakan untuk menilai gerakan membran timpani.
Selain
dengan
menggunakan
otoskop
pneumatik,
timpanometri juga dapat digunakan untuk menilai
secara
objektif
pergerakan
membran
timpani.
(Novertha, 2013).
IV.
KLASIFIKASI
Menurut Djafar ZA, Helmi dan Restuti RD dalam Noverta (2013) Tanda
dan gejala pada OMA bergantung pada stadium penyakit pasien,
dimana pada umumnya OMA memiliki lima stadium, antara lain :
1. Stadium oklusi tuba Eustachius
Stadium ini ditandai dengan adanya gambaran retraksi membran
timpani akibat adanya tekanan negatif didalam telinga tengah yang
terjadi karena absorpsi udara. Membran timpani kadang tampak
normal atau berwarna keruh pucat.
2. Stadium hiperemis ( stadium pre-supurasi)
Pada stadium ini dapat dilihat adanya pelebaran pembuluh darah
pada membran timpani atau seluruh membran timpani tampak
hiperemis disertai edema.
4
3. Stadium supuratif
Terjadinya edema yang hebat pada mukosa telinga tengah,
hancurnya sel epitel superfsial, dan telah terbentuknya eksudat
yang purulen di kavum timpani sehingga menyebabkan penonjolan
(bulging) membran timpani ke arah liang telinga luar merupakan
tanda yang dapat ditemukan pada stadium supuratif ini. Pada
keadaan ini pasien tampak sangat sakit, terjadi peningkatan suhu
dan nadi, serta adanya nyeri telinga yang dirasakan bertambah
berat.
5
4. Stadium perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah
yang berada di dalam kavum timpani mengalir ke liang telinga
luar. Pasien tampak lebih tenang dari sebelumnya dan terjadi
penurunan suhu.
5. Stadium resolusi
Pada stadium ini membran timpani yang perforasi dapat kembali
normal secara perlahan-lahan tanpa pengobatan jika daya tahan
tubuh pasien baik atau virulensi kuman rendah.
6
V.
ETIOLOGI
Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering
terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Tuba eustakius anak
berbeda
dibandingkan
dengan
orang
dewasa
yakni
tuba
eustakius anak lebih horizontal dan lubang pembukaan tonus
tubarius dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak jumlahnya.
Adenoid pada anak dapat mengisi nasofaring, sehingga secara
mekanik dapat menyumbat lubang hidung dan tuba eustakius
serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada tuba. Tuba
eustakius secara normal tertutup pada saat menelan.
Tuba eustakius melindungi telinga tengah dari sekresi
nasofaring,
drainase
sekresi
telinga
tengah,
memungkinkan keseimbangan tekanan udara
tekanan
atmosfer
dalam
telinga
mekanik
ataupun
fungsional
tengah.
tuba
dan
dengan
Obstruksi
eustakius
dapat
mengakibatkan efusi telinga tengah. Obstruksi mekanik
intrinsik dapat terjadi akibat dari infeksi atau alergi dan
obstruksi ekstrinsik akibat adenoid atau tumor nasofaring.
Obstruksi fungsional dapat terjadi karena jumlah dan
kekakuan
dari
kartilago
penyokong
tuba.
Obstruksi
fungsional ini lazim terjadi pada anak-anak. Obstruksi
7
tuba eustakius mengakibatkan tekanan telinga tengah
menjadi negatif dan jika menetap mengakibatkan efusi
transudat telinga tengah. Bila tuba eustakius mengalami
obstruksi tidak total, secara mekanik, kontaminasi sekret
nasofaring dari telinga dapat terjadi karena refuks
(terutama bila membran timpani mengalami perforasi),
karena aspirasi, atau karena peniupan selama menangis
atau bersin. Perubahan tekanan atau barotrauma yang
cepat juga dapat menyebabkan efusi telinga tengah yang
bersifat hemoragik. Bayi dan anak kecil memiliki tuba
yang
lebih
pendek
dibandingkan
dewasa,
yang
mengakibatkannya lebih rentan terhadap refuks sekresi
nasofaring.
Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum
sempurna. Infeksi saluran nafas yang berulang juga
sering mengakibatkan otitis media melalui infamasi
dan edema mukosa dan penyumbatan lumen tuba
eustakius. Kuman yang sering menyebabkan otitis
media
diantaranya
Streptococcus
pneumonia,
Haemophilus infuenzae, dan Moraxella catarrhalis,
Menurut Siegel RM and Bien JP (2004) dalam IKA Unair .
VI.
MANIFESTASI KLINIS
8
Otitis media akut merupakan infamasi telinga tengah dengan
onset gejala dan tanda klinis yang cepat, seperti nyeri,
demam, anoreksia, iritabel, atau juga muntah. otitis media
yang disertai efusi ditandai dengan ditemukannya efusi
telinga tengah yang asimtomatik. Dari pemeriksaan otoskopi
didapatkan
gerakan
membran
timpani
yang
menurun,
dengan bentuk menjadi cembung, kemerahan dan keruh
menurut Siegel RM and Bien JP , (2004) dalam IKA Unair.
VII.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan glaukoma menurut Infodatin Kemenkes RI (2014)
Terapi medikamentosa
Tujuannya adalah menurunkan TIO terutama dengan
menggunakan obat sistemik (obat yang mempengaruhi
seluruh tubuh)
Terapi obat-obatan
Terapi ini tidak diberikan pada kasus yang sudah lanjut.
Terapi awal yang diberikan adalah penyekat beta (timolol,
betaxolol, levobunolol, carteolol, dan metipranolol) atau
simpatomimetik (adrenalin dan depriverin). Untuk
mencegah efek samping obat diberikan dengan dosis
terendah dan frekuensi pemberiannya tidak boleh terlalu
sering. Miotikum (pilocarpine dan carbachol) meski
merupakan antiglaukoma yang baik tidak boleh digunakan
karena efek sampingnya.
a. obat sistemik
·
Inhibitor karbonik anhidrase. Pertama diberikan
secara intravena (acetazolamide 500mg) kemudian
9
diberikan dalam bentuk obat minum lepas lambat 250mg
2x sehari.
·
Agen hiperosmotik. Macam obat yang tersedia
dalam bentuk obat minum adalah glycerol dan isosorbide
sedangkan dalam bentuk intravena adalah manitol. Obat
ini diberikan jika TIO sangat tinggi atau ketika
acetazolamide sudah tidak efektif lagi.
·
Untuk gejala tambahan dapat diberikan anti nyeri
dan anti muntah.
A. obat tetes mata local
·
Penyekat beta. Macam obat yang tersedia adalah
timolol,
betaxolol,
levobunolol,
carteolol,
dan
metipranolol. Digunakan 2x sehari, berguna untuk
menurunkan TIO.
·
Steroid (prednison). Digunakan 4x sehari, berguna
sebagai dekongestan mata. Diberikan sekitar 30-40 menit
setelah terapi sistemik.
·
Miotikum. Pilokarpin 2% pertama digunakan
sebanyak 2x dengan jarak 15 menit kemudian diberikan
4x sehari. Pilokarpin 1% bisa digunakan sebagai
pencegahan pada mata yang lainnya 4x sehari sampai
sebelum iridektomi pencegahan dilakukan.
Terapi Bedah
·
iridektomi perifer. Digunakan untuk membuat
saluran dari bilik mata belakang dan depan karena telah
terdapat hambatan dalam pengaliran humor akueus. Hal
ini hanya dapat dilakukan jika sudut yang tertutup
sebanyak 50%.
·
Trabekulotomi (Bedah drainase). Dilakukan jika
sudut yang tertutup lebih dari 50% atau gagal dengan
iridektomi.
Glaukoma Kronis
Merupakan glaukoma yang terjadi perlahan-lahan dengan
ciri-ciri ·
Kerusakan seraf optikus glaukomatosa
·
Kerusakan lapangan pandang glaukomatosa
·
TIO beberapa kali berulang lebih tinggi dari 21 mmHg
·
Usia dewasa
·
Sudut bilik mata depan terbuka dan terkesan normal
·
Tidak adanya penyebab sekunder lainnya
VIII. KOMPLIKASI
10
Kontrol tekanan intraokular yang jelek akan menyebabkan
semakin rusaknya nervus optik dan semakin menurunnya
visus sampai terjadi kebutaan (Dwindra M, 2009).
OTITIS MEDIA AKUT
I.
DEFINISI
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut
sebagian atau seluruh telinga tengah, tuba eustachii,
antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Biasanya terjadi
karena
peradangan
saluran
napas
atas
dan
sering
mengenai bayi dan anak-anak. Telinga tengah adalah
organ yang memiliki penghalang yang biasanya dalam
keadaan
steril.
nasofaring
dan
Bila
terdapat
faring,
infeksi
secara
bakteri
alamiah
pada
terdapat
mekanisme pencegahan penjalaran bakteri memasuki
telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulu-bulu halus
yang dimiliki oleh tuba eustachii. OMA terjadi akibat tidak
berfungsinya
sistem
pelindung
tadi.
Sumbatan
atau
peradangan pada tuba eustachii merupakan faktor utama
terjadinya otitis media (Husni T.R, 2011).
II.
PATOFISIOLOGI
Otitis media akut
(OMA)
terjadi
akibat
adanya
gangguan pada faktor pertahanan tubuh. Sumbatan pada
tuba
Eustachius
merupakan
faktor
utama
penyebab
terjadinya OMA. Dengan adanya sumbatan yang merusak
1
2
faktor pertahanan tubuh sebagai pencegah invasi kuman
ke dalam tuba Eustachius maka terjadi peradangan pada
mukosa. Hal ini menyebabkan fungsi tuba Eustachius
terganggu sehingga menyebabkan terjadinya tekanan
negatif di dalam telinga tengah. Pada umumnya pencetus
terjadinya OMA adalah infeksi saluran napas atas (ISPA),
semakin
sering
terkena
ISPA
maka
kemungkinan
terjadinya OMA semakin besar (Novertha, 2013).
III.
DIAGNOSIS
1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian
telinga luar
2. Timpanogram untuk
mengukur
keseuaian
dan
kekakuan membrane timpani
3. Kultur dan uji sensitiftas ; dilakukan bila dilakukan
timpanosentesis (Aspirasi jarum dari telinga tengah
melalui membrane timpani).
Dengan menggunakan otoskop dapat dilihat adanya
perubahan warna pada membran timpani, penonjolan
(bulging) membran timpani dan sekret yang berada di
liang telinga. Apabila diperlukan konfrmasi dari hasil
pemeriksaan otoskop, maka dilakukan pemeriksaan
dengan otoskop pneumatik. Otoskop pneumatik dapat
3
digunakan untuk menilai gerakan membran timpani.
Selain
dengan
menggunakan
otoskop
pneumatik,
timpanometri juga dapat digunakan untuk menilai
secara
objektif
pergerakan
membran
timpani.
(Novertha, 2013).
IV.
KLASIFIKASI
Menurut Djafar ZA, Helmi dan Restuti RD dalam Noverta (2013) Tanda
dan gejala pada OMA bergantung pada stadium penyakit pasien,
dimana pada umumnya OMA memiliki lima stadium, antara lain :
1. Stadium oklusi tuba Eustachius
Stadium ini ditandai dengan adanya gambaran retraksi membran
timpani akibat adanya tekanan negatif didalam telinga tengah yang
terjadi karena absorpsi udara. Membran timpani kadang tampak
normal atau berwarna keruh pucat.
2. Stadium hiperemis ( stadium pre-supurasi)
Pada stadium ini dapat dilihat adanya pelebaran pembuluh darah
pada membran timpani atau seluruh membran timpani tampak
hiperemis disertai edema.
4
3. Stadium supuratif
Terjadinya edema yang hebat pada mukosa telinga tengah,
hancurnya sel epitel superfsial, dan telah terbentuknya eksudat
yang purulen di kavum timpani sehingga menyebabkan penonjolan
(bulging) membran timpani ke arah liang telinga luar merupakan
tanda yang dapat ditemukan pada stadium supuratif ini. Pada
keadaan ini pasien tampak sangat sakit, terjadi peningkatan suhu
dan nadi, serta adanya nyeri telinga yang dirasakan bertambah
berat.
5
4. Stadium perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah
yang berada di dalam kavum timpani mengalir ke liang telinga
luar. Pasien tampak lebih tenang dari sebelumnya dan terjadi
penurunan suhu.
5. Stadium resolusi
Pada stadium ini membran timpani yang perforasi dapat kembali
normal secara perlahan-lahan tanpa pengobatan jika daya tahan
tubuh pasien baik atau virulensi kuman rendah.
6
V.
ETIOLOGI
Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering
terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Tuba eustakius anak
berbeda
dibandingkan
dengan
orang
dewasa
yakni
tuba
eustakius anak lebih horizontal dan lubang pembukaan tonus
tubarius dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak jumlahnya.
Adenoid pada anak dapat mengisi nasofaring, sehingga secara
mekanik dapat menyumbat lubang hidung dan tuba eustakius
serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada tuba. Tuba
eustakius secara normal tertutup pada saat menelan.
Tuba eustakius melindungi telinga tengah dari sekresi
nasofaring,
drainase
sekresi
telinga
tengah,
memungkinkan keseimbangan tekanan udara
tekanan
atmosfer
dalam
telinga
mekanik
ataupun
fungsional
tengah.
tuba
dan
dengan
Obstruksi
eustakius
dapat
mengakibatkan efusi telinga tengah. Obstruksi mekanik
intrinsik dapat terjadi akibat dari infeksi atau alergi dan
obstruksi ekstrinsik akibat adenoid atau tumor nasofaring.
Obstruksi fungsional dapat terjadi karena jumlah dan
kekakuan
dari
kartilago
penyokong
tuba.
Obstruksi
fungsional ini lazim terjadi pada anak-anak. Obstruksi
7
tuba eustakius mengakibatkan tekanan telinga tengah
menjadi negatif dan jika menetap mengakibatkan efusi
transudat telinga tengah. Bila tuba eustakius mengalami
obstruksi tidak total, secara mekanik, kontaminasi sekret
nasofaring dari telinga dapat terjadi karena refuks
(terutama bila membran timpani mengalami perforasi),
karena aspirasi, atau karena peniupan selama menangis
atau bersin. Perubahan tekanan atau barotrauma yang
cepat juga dapat menyebabkan efusi telinga tengah yang
bersifat hemoragik. Bayi dan anak kecil memiliki tuba
yang
lebih
pendek
dibandingkan
dewasa,
yang
mengakibatkannya lebih rentan terhadap refuks sekresi
nasofaring.
Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum
sempurna. Infeksi saluran nafas yang berulang juga
sering mengakibatkan otitis media melalui infamasi
dan edema mukosa dan penyumbatan lumen tuba
eustakius. Kuman yang sering menyebabkan otitis
media
diantaranya
Streptococcus
pneumonia,
Haemophilus infuenzae, dan Moraxella catarrhalis,
Menurut Siegel RM and Bien JP (2004) dalam IKA Unair .
VI.
MANIFESTASI KLINIS
8
Otitis media akut merupakan infamasi telinga tengah dengan
onset gejala dan tanda klinis yang cepat, seperti nyeri,
demam, anoreksia, iritabel, atau juga muntah. otitis media
yang disertai efusi ditandai dengan ditemukannya efusi
telinga tengah yang asimtomatik. Dari pemeriksaan otoskopi
didapatkan
gerakan
membran
timpani
yang
menurun,
dengan bentuk menjadi cembung, kemerahan dan keruh
menurut Siegel RM and Bien JP , (2004) dalam IKA Unair.
VII.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan glaukoma menurut Infodatin Kemenkes RI (2014)
Terapi medikamentosa
Tujuannya adalah menurunkan TIO terutama dengan
menggunakan obat sistemik (obat yang mempengaruhi
seluruh tubuh)
Terapi obat-obatan
Terapi ini tidak diberikan pada kasus yang sudah lanjut.
Terapi awal yang diberikan adalah penyekat beta (timolol,
betaxolol, levobunolol, carteolol, dan metipranolol) atau
simpatomimetik (adrenalin dan depriverin). Untuk
mencegah efek samping obat diberikan dengan dosis
terendah dan frekuensi pemberiannya tidak boleh terlalu
sering. Miotikum (pilocarpine dan carbachol) meski
merupakan antiglaukoma yang baik tidak boleh digunakan
karena efek sampingnya.
a. obat sistemik
·
Inhibitor karbonik anhidrase. Pertama diberikan
secara intravena (acetazolamide 500mg) kemudian
9
diberikan dalam bentuk obat minum lepas lambat 250mg
2x sehari.
·
Agen hiperosmotik. Macam obat yang tersedia
dalam bentuk obat minum adalah glycerol dan isosorbide
sedangkan dalam bentuk intravena adalah manitol. Obat
ini diberikan jika TIO sangat tinggi atau ketika
acetazolamide sudah tidak efektif lagi.
·
Untuk gejala tambahan dapat diberikan anti nyeri
dan anti muntah.
A. obat tetes mata local
·
Penyekat beta. Macam obat yang tersedia adalah
timolol,
betaxolol,
levobunolol,
carteolol,
dan
metipranolol. Digunakan 2x sehari, berguna untuk
menurunkan TIO.
·
Steroid (prednison). Digunakan 4x sehari, berguna
sebagai dekongestan mata. Diberikan sekitar 30-40 menit
setelah terapi sistemik.
·
Miotikum. Pilokarpin 2% pertama digunakan
sebanyak 2x dengan jarak 15 menit kemudian diberikan
4x sehari. Pilokarpin 1% bisa digunakan sebagai
pencegahan pada mata yang lainnya 4x sehari sampai
sebelum iridektomi pencegahan dilakukan.
Terapi Bedah
·
iridektomi perifer. Digunakan untuk membuat
saluran dari bilik mata belakang dan depan karena telah
terdapat hambatan dalam pengaliran humor akueus. Hal
ini hanya dapat dilakukan jika sudut yang tertutup
sebanyak 50%.
·
Trabekulotomi (Bedah drainase). Dilakukan jika
sudut yang tertutup lebih dari 50% atau gagal dengan
iridektomi.
Glaukoma Kronis
Merupakan glaukoma yang terjadi perlahan-lahan dengan
ciri-ciri ·
Kerusakan seraf optikus glaukomatosa
·
Kerusakan lapangan pandang glaukomatosa
·
TIO beberapa kali berulang lebih tinggi dari 21 mmHg
·
Usia dewasa
·
Sudut bilik mata depan terbuka dan terkesan normal
·
Tidak adanya penyebab sekunder lainnya
VIII. KOMPLIKASI
10
Kontrol tekanan intraokular yang jelek akan menyebabkan
semakin rusaknya nervus optik dan semakin menurunnya
visus sampai terjadi kebutaan (Dwindra M, 2009).