LAPORAN PENDAHULUAN DPD dan RPK
LAPORAN PENDAHULUAN
Risiko Bunuh Diri, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri, Harga
Diri Rendah, Isolasi Sosial, Waham, Halusinasi
Disusun untuk memenuhi tugas blok Clinical Study 2
Disusun oleh :
Kelompok 7
Ayu meida Kartika Sari
135070201111025
Wahyu Nur Indahsah
135070201111027
Inten Tri Wahyuni
135070201111029
Hamdy Abdillah
135070201111031
PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2017
DEFISIT PERAWATAN DIRI
1. Definisi
a.
suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan
dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara
mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian / berhias, makan dan BAB /
BAK (toileting) (Fitria, 2009).
b.
Menurut Orem 1971, deficit perawatan diri terjadi bila tindakan
perawatan diri tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri
yang disadar (Kozier, 2010).
2. Komponen Defisit Perawatan Diri
a.
Kebersihan Diri : Misalnya mandi adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi / kebersihan diri.
b.
Kebersihan Pakaian : Klien memiliki gangguan kemampuan memakai
pakaian dan aktivitas berdandan
c.
Kurang memperhatikan makan : Klien memiliki gangguan kemampuan
untuk menunjukkan aktifitas makan
d.
Kurang perawatan diri terhadap tolleting : Klien memiliki gangguan
kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktifitas toileting
sendiri.
3. Penyebab
Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah :
1) Faktor prediposisi
a.
Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b.
Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c.
Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang
kurang
menyebabkan
termasuk perawatan diri.
ketidakpedulian
dirinya
dan
lingkungan
d.
Sosial
Kurang
dukungan
lingkungannya.
dan
Situasi
latihan
kemampuan
lingkungan
perawatan
mempengaruhi
diri
latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
2) Faktor presipitasi
Faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri (NANDA, 2006)
Menurut Depkes (2000) faktor – faktor yang mempengaruhi
personal hygiene adalah:
a. Body Image
Gambaran
individu
terhadap
dirinya
sangat
mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta
gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang
untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien
penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
f.
Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
Sedangkan menurut Tarwoto dan Wartonah (2000) penyebab
kurang perawatan diri adalah sebagai berikut:
1.
Kelelahan fisik
2.
Penurunan kesadaran
4. Tanda dan gejala
Menurut Mukhripah (2008) kurang perawatan diri sering ditemukan adanya
tanda dan gejala sebagai berikut :
a.
gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.
b.
ketidakmampuan berhias atau berdandan, ditandai dengan rambut
acakacakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada
pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
c.
ketidakmampuan
makan
secara
mandiri,
ditandai
dengan
ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan
makan tidak pada tempatnya
d.
ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri, ditandai dengan BAB
atau BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik
setelah BAB atau BAK
Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009)
adalah sebagai berikut:
a.
Mandi/hygiene
Klien
mengalami
ketidakmampuan
dalam
membersihkan
badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran
air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh,
serta masuk dan keluar kamar mandi.
b.
Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil
potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau
menukar
pakaian.
Klien
juga
memiliki
ketidakmampuan
untuk
mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat
tambahan,
menggunakan
kancing
tarik,
melepaskan
pakaian,
menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat
yang memuaskan, mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.
c.
Makan
Klien
mempunyai
ketidakmampuan
dalam
menelan
makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka
container, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan
dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makan,
mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil
cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
d.
BAB/BAK (toileting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi
pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan
tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil.
5. Rentang Respon
Adaptif
Pola perawatan diri
kadang perawatan diri
Maladaptif
Tidak melakukan
seimbang
kadang tidak
perawatan saat stress
6. Pohon Masalah
Defisit Perawatan Diri
↑
Malas beraktivitas
↑
Isolasi Sosial: menarik diri
↑
Harga Diri Rendah Kronis
↑
Inefektif koping keluarga/individu
7. Penatalaksanaan
Pasien
dengan
gangguan
defisit
perawatan
diri
tidak
membutuhkan perawatan medis karena hanya mengalami gangguan jiwa,
pasien lebih membutuhkan terapai kejiwaan melalui komunikasi terapeutik.
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :
Salemba Medika.
Kozier,
Barbara. (2010). Fundamental Keperawatan.
(Penerjemah: Karyuni, Pamilih Eko.). Jakarta: EGC
(7th
ed.).
Vol
1.
Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa.
Nanda (Budi Santosa: editor). 2006. Panduan Diagnosa NANDA 2005-2006:
Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.EGC
Damaiyanti, Mukhripah. (2008). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama
Fitria Nita, (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :
Salemba Medika.
Hawari, Dadang.2001. Manajemen Stress, cemas dan depresi. Jakarta : FKUI
Yusuf AH dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
RISIKO PERILAKU KEKERASAN
1. Definisi
a.
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
b.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan
dimana
seseorang
melakukan
tindakan
yang
dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
2. Rentang respon
Perilaku
kekerasan
merupakan
respon
kemarahan.
Respon
kemrahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptive
(keliat & Sinaga, 1991). Rentang Respon Ekpresi marah menurut Stuart and
Sundeen (1995)
Respon
Maladaptif
Respon
Adaptif
Aserti
f
Pasif
Frusta
si
Agresi
Amuk
Keterangan :
a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti
dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang
asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Meraka dapat melihat norma
individu lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat
berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara
dalam berbicara tidak mengancam. Individu yang asertif dapat menolak
permintaan yang tidak beralasan dan meyampaikan rasionalnya kepada
oang laindan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa
bersalah bila permintaannya di tolak orag lain (Stuart & Lauria 2005)
b. Pasif
Individu yang pasif sering menyampaikan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia
akan berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan
tekanan pada dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan
gangguan perkembangan (Stuart & Lauria 2005)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan (Stuart
& Sundeen 2005). Frustasi adalah kegagalan individe dalam mencapai
tujuan yang diinginkan. Frustasi akan bertambah berat jika keinginan
yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Rawlin,
William & Beck, 1993)
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa
harus bersing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang
yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekrasan fisik
dan verbal. Perilaku agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi
kurangnya rasa percaya diri (Bushman& BAumeister, 1998 da Stuart &
Laraia, 2005). Agresif adalah perilaku mengancam dan memusuhi orag
lain dan atau lingkungan (Rawlins et al.,1993)
e. Amuk (Perilaku Kekerasan)
Amuk atau perilaku kkerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan
yang kuat yang disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat & Sinaga, 1991).
Menurut Stuart dan LAraia (2009) perilaku kekerasan berfluktuasi
dari tingkat rendah ke tinggi yaitu yang disebut dengan hiraki perilaku agresif
dan kekerasan.
Tinggi
Melukai
dalam
tingkat
serius
dan
bebahaya
Melukai dalam
tingkat
yang
tidak
berbahaya
Mengucapkan kata-kata ancaman dengan
rencana melukai
Menyentuh orang
lain
dengan
cara
menakutkan
Mengucapkan kata-kata ancaman tanpa
melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut
Memperlihatkan permusuhan pada tingkat
rendah
Renda
h
Berdasarkan
kekerasan
gambar
mempunyai
diatas
tingkatan
dapat
diketahui
berdasarkan
bahwa
perilaku
perilaku
kekerasan
mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya mulai dari yang terendah
yaitu memperlihatkan permusuhan pada tingkatan trtinggi yaitu melukai dan
tingkat serius dan membahayakan.
3. Penyebab
a.
Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori
biologik
terdiri
dari
berpengaruh terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
beberapa
pandangan
yang
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap
proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan
hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini
maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal
maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam
komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif.
Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai
neurotransmitter
(epinephrine,
norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat
berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls
agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight
yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung
antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma
otak
organik
terbukti
sebagai
faktor
predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor
otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus
temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan
serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2)
Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan
untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep
diri
rendah.
Agresi
memberikan
kekuatan
dan
meningkatkan
citra
dan
diri
dan
tindak
prestise
memberikan
kekerasan
yang
dapat
arti
dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh
peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh
peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise
atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang
orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.
3)
Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya
dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok
sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat
juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila
individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka
tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai/
padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku
kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan
kekerasan dalam hidup individu.
b.
Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan
seorang
ibu
dalam
merawat
anaknya
dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan
tahap
perkembangan,
atau
perubahan
tahap
perkembangan keluarga.
4. Tanda dan gejala
Menurut Keliat (1999), tanda dan gejala dari perilaku kekerasan, sebagai
berikut:
a. Tanda dan Gejala Fisik
1) Muka merah
2) Pandangan tajam
3) Otot tegang
4) Nada suara tinggi
5) Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak
6) Memukul jika tidak senang
b.
Tanda dan Gejala Emosional
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan
tindakan terhadap penyakit (misal, rambut botak karena terapi)
2) Rasa bersalah terhaap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri
sendiri)
3) Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
4) Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
5) Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai
harapan
yang
suram,
mungkin
klien
akan
mengakhiri
kehidupannya)
c. Tanda dan Gejala Sosial
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Cenderung suka meremehkan
4) Berdebat
5) Kasar
d. Tanda dan Gejala Spiritual
1) Merasa diri kuasa
2) Merasa diri benar
3) Keragu-raguan
4) Tak bermoral
5) Kreativitas terhambat
Sedangkan menurut Yosep (2009), mengemukakan bahwa tanda dan
gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Tangan mengepal
2) Rahang mengatup
3) Postur tubuh kaku
4) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak, atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Ketus
6) Suara keras
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda atau orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri atau orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosional
1) Tidak adekuat
2) Tidak aman dan nyaman
3) Rasa terganggu
4) Dendam dan jengkel
5) Tidak berdaya
6) Bermusuhan
7) Mengamuk
8) Ingin berkelahi
9) Menyalahkan dan menuntut
5. Pohon Masalah
Risiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan (RPK)
↑
Perubahan persepsi sensori: halusinasi
↑
Isolasi Sosial: menarik diri
↑
Harga Diri Rendah Kronis
↑
Inefektif koping keluarga/individu
DAFTAR PUSTAKA
Dalami, E., Suliswati., Rochimah., Suryati, K, R. & Lestari, W. 2009. Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Penerbit: Trans
Media,Jakarta.
Hamid, Achir Yani. 2000. Buku Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa 1.
Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta. Depkes
RI
Keliata.B.A. dkk. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Keliat, Budi, et al. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (basic
course). Jakarta : EGC
Kusumawati, F & Hartono, Y. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :
Salemba Medika
Rawlins & Beck, C.K. (1993). Mental Health Psychitric Nursing 3rd Ed. St. Louis :
Mosby Year
Riadi, Muchlisin. 2013. Pengertian, jenis dan tahapan halusinasi. Online :
http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-jenis-dan-tahapanhalusinasi.html. diakses pada 30 April 2017
Stuart, G.W &Laraia, M.T. (2005).Principles and Practice of psychiatric nursing.
(7th edition). St Louis : Mosby
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan JIwa. Jakarta. EGC
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung. PT Refika Aditama
Risiko Bunuh Diri, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri, Harga
Diri Rendah, Isolasi Sosial, Waham, Halusinasi
Disusun untuk memenuhi tugas blok Clinical Study 2
Disusun oleh :
Kelompok 7
Ayu meida Kartika Sari
135070201111025
Wahyu Nur Indahsah
135070201111027
Inten Tri Wahyuni
135070201111029
Hamdy Abdillah
135070201111031
PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2017
DEFISIT PERAWATAN DIRI
1. Definisi
a.
suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan
dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara
mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian / berhias, makan dan BAB /
BAK (toileting) (Fitria, 2009).
b.
Menurut Orem 1971, deficit perawatan diri terjadi bila tindakan
perawatan diri tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri
yang disadar (Kozier, 2010).
2. Komponen Defisit Perawatan Diri
a.
Kebersihan Diri : Misalnya mandi adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi / kebersihan diri.
b.
Kebersihan Pakaian : Klien memiliki gangguan kemampuan memakai
pakaian dan aktivitas berdandan
c.
Kurang memperhatikan makan : Klien memiliki gangguan kemampuan
untuk menunjukkan aktifitas makan
d.
Kurang perawatan diri terhadap tolleting : Klien memiliki gangguan
kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktifitas toileting
sendiri.
3. Penyebab
Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah :
1) Faktor prediposisi
a.
Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b.
Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c.
Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang
kurang
menyebabkan
termasuk perawatan diri.
ketidakpedulian
dirinya
dan
lingkungan
d.
Sosial
Kurang
dukungan
lingkungannya.
dan
Situasi
latihan
kemampuan
lingkungan
perawatan
mempengaruhi
diri
latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
2) Faktor presipitasi
Faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri (NANDA, 2006)
Menurut Depkes (2000) faktor – faktor yang mempengaruhi
personal hygiene adalah:
a. Body Image
Gambaran
individu
terhadap
dirinya
sangat
mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta
gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang
untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien
penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
f.
Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
Sedangkan menurut Tarwoto dan Wartonah (2000) penyebab
kurang perawatan diri adalah sebagai berikut:
1.
Kelelahan fisik
2.
Penurunan kesadaran
4. Tanda dan gejala
Menurut Mukhripah (2008) kurang perawatan diri sering ditemukan adanya
tanda dan gejala sebagai berikut :
a.
gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.
b.
ketidakmampuan berhias atau berdandan, ditandai dengan rambut
acakacakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada
pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
c.
ketidakmampuan
makan
secara
mandiri,
ditandai
dengan
ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan
makan tidak pada tempatnya
d.
ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri, ditandai dengan BAB
atau BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik
setelah BAB atau BAK
Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009)
adalah sebagai berikut:
a.
Mandi/hygiene
Klien
mengalami
ketidakmampuan
dalam
membersihkan
badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran
air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh,
serta masuk dan keluar kamar mandi.
b.
Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil
potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau
menukar
pakaian.
Klien
juga
memiliki
ketidakmampuan
untuk
mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat
tambahan,
menggunakan
kancing
tarik,
melepaskan
pakaian,
menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat
yang memuaskan, mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.
c.
Makan
Klien
mempunyai
ketidakmampuan
dalam
menelan
makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka
container, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan
dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makan,
mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil
cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
d.
BAB/BAK (toileting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi
pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan
tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil.
5. Rentang Respon
Adaptif
Pola perawatan diri
kadang perawatan diri
Maladaptif
Tidak melakukan
seimbang
kadang tidak
perawatan saat stress
6. Pohon Masalah
Defisit Perawatan Diri
↑
Malas beraktivitas
↑
Isolasi Sosial: menarik diri
↑
Harga Diri Rendah Kronis
↑
Inefektif koping keluarga/individu
7. Penatalaksanaan
Pasien
dengan
gangguan
defisit
perawatan
diri
tidak
membutuhkan perawatan medis karena hanya mengalami gangguan jiwa,
pasien lebih membutuhkan terapai kejiwaan melalui komunikasi terapeutik.
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :
Salemba Medika.
Kozier,
Barbara. (2010). Fundamental Keperawatan.
(Penerjemah: Karyuni, Pamilih Eko.). Jakarta: EGC
(7th
ed.).
Vol
1.
Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa.
Nanda (Budi Santosa: editor). 2006. Panduan Diagnosa NANDA 2005-2006:
Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.EGC
Damaiyanti, Mukhripah. (2008). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama
Fitria Nita, (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :
Salemba Medika.
Hawari, Dadang.2001. Manajemen Stress, cemas dan depresi. Jakarta : FKUI
Yusuf AH dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
RISIKO PERILAKU KEKERASAN
1. Definisi
a.
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
b.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan
dimana
seseorang
melakukan
tindakan
yang
dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
2. Rentang respon
Perilaku
kekerasan
merupakan
respon
kemarahan.
Respon
kemrahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptive
(keliat & Sinaga, 1991). Rentang Respon Ekpresi marah menurut Stuart and
Sundeen (1995)
Respon
Maladaptif
Respon
Adaptif
Aserti
f
Pasif
Frusta
si
Agresi
Amuk
Keterangan :
a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti
dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang
asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Meraka dapat melihat norma
individu lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat
berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara
dalam berbicara tidak mengancam. Individu yang asertif dapat menolak
permintaan yang tidak beralasan dan meyampaikan rasionalnya kepada
oang laindan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa
bersalah bila permintaannya di tolak orag lain (Stuart & Lauria 2005)
b. Pasif
Individu yang pasif sering menyampaikan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia
akan berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan
tekanan pada dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan
gangguan perkembangan (Stuart & Lauria 2005)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan (Stuart
& Sundeen 2005). Frustasi adalah kegagalan individe dalam mencapai
tujuan yang diinginkan. Frustasi akan bertambah berat jika keinginan
yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Rawlin,
William & Beck, 1993)
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa
harus bersing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang
yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekrasan fisik
dan verbal. Perilaku agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi
kurangnya rasa percaya diri (Bushman& BAumeister, 1998 da Stuart &
Laraia, 2005). Agresif adalah perilaku mengancam dan memusuhi orag
lain dan atau lingkungan (Rawlins et al.,1993)
e. Amuk (Perilaku Kekerasan)
Amuk atau perilaku kkerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan
yang kuat yang disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat & Sinaga, 1991).
Menurut Stuart dan LAraia (2009) perilaku kekerasan berfluktuasi
dari tingkat rendah ke tinggi yaitu yang disebut dengan hiraki perilaku agresif
dan kekerasan.
Tinggi
Melukai
dalam
tingkat
serius
dan
bebahaya
Melukai dalam
tingkat
yang
tidak
berbahaya
Mengucapkan kata-kata ancaman dengan
rencana melukai
Menyentuh orang
lain
dengan
cara
menakutkan
Mengucapkan kata-kata ancaman tanpa
melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut
Memperlihatkan permusuhan pada tingkat
rendah
Renda
h
Berdasarkan
kekerasan
gambar
mempunyai
diatas
tingkatan
dapat
diketahui
berdasarkan
bahwa
perilaku
perilaku
kekerasan
mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya mulai dari yang terendah
yaitu memperlihatkan permusuhan pada tingkatan trtinggi yaitu melukai dan
tingkat serius dan membahayakan.
3. Penyebab
a.
Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori
biologik
terdiri
dari
berpengaruh terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
beberapa
pandangan
yang
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap
proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan
hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini
maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal
maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam
komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif.
Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai
neurotransmitter
(epinephrine,
norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat
berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls
agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight
yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung
antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma
otak
organik
terbukti
sebagai
faktor
predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor
otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus
temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan
serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2)
Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan
untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep
diri
rendah.
Agresi
memberikan
kekuatan
dan
meningkatkan
citra
dan
diri
dan
tindak
prestise
memberikan
kekerasan
yang
dapat
arti
dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh
peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh
peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise
atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang
orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.
3)
Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya
dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok
sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat
juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila
individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka
tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai/
padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku
kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan
kekerasan dalam hidup individu.
b.
Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan
seorang
ibu
dalam
merawat
anaknya
dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan
tahap
perkembangan,
atau
perubahan
tahap
perkembangan keluarga.
4. Tanda dan gejala
Menurut Keliat (1999), tanda dan gejala dari perilaku kekerasan, sebagai
berikut:
a. Tanda dan Gejala Fisik
1) Muka merah
2) Pandangan tajam
3) Otot tegang
4) Nada suara tinggi
5) Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak
6) Memukul jika tidak senang
b.
Tanda dan Gejala Emosional
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan
tindakan terhadap penyakit (misal, rambut botak karena terapi)
2) Rasa bersalah terhaap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri
sendiri)
3) Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
4) Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
5) Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai
harapan
yang
suram,
mungkin
klien
akan
mengakhiri
kehidupannya)
c. Tanda dan Gejala Sosial
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Cenderung suka meremehkan
4) Berdebat
5) Kasar
d. Tanda dan Gejala Spiritual
1) Merasa diri kuasa
2) Merasa diri benar
3) Keragu-raguan
4) Tak bermoral
5) Kreativitas terhambat
Sedangkan menurut Yosep (2009), mengemukakan bahwa tanda dan
gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Tangan mengepal
2) Rahang mengatup
3) Postur tubuh kaku
4) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak, atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Ketus
6) Suara keras
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda atau orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri atau orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosional
1) Tidak adekuat
2) Tidak aman dan nyaman
3) Rasa terganggu
4) Dendam dan jengkel
5) Tidak berdaya
6) Bermusuhan
7) Mengamuk
8) Ingin berkelahi
9) Menyalahkan dan menuntut
5. Pohon Masalah
Risiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan (RPK)
↑
Perubahan persepsi sensori: halusinasi
↑
Isolasi Sosial: menarik diri
↑
Harga Diri Rendah Kronis
↑
Inefektif koping keluarga/individu
DAFTAR PUSTAKA
Dalami, E., Suliswati., Rochimah., Suryati, K, R. & Lestari, W. 2009. Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Penerbit: Trans
Media,Jakarta.
Hamid, Achir Yani. 2000. Buku Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa 1.
Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta. Depkes
RI
Keliata.B.A. dkk. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Keliat, Budi, et al. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (basic
course). Jakarta : EGC
Kusumawati, F & Hartono, Y. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :
Salemba Medika
Rawlins & Beck, C.K. (1993). Mental Health Psychitric Nursing 3rd Ed. St. Louis :
Mosby Year
Riadi, Muchlisin. 2013. Pengertian, jenis dan tahapan halusinasi. Online :
http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-jenis-dan-tahapanhalusinasi.html. diakses pada 30 April 2017
Stuart, G.W &Laraia, M.T. (2005).Principles and Practice of psychiatric nursing.
(7th edition). St Louis : Mosby
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan JIwa. Jakarta. EGC
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung. PT Refika Aditama