peranan logika dan matematika dalam fils

PERANAN LOGIKA DAN MATEMATIKA
PADA KONSEP POSITIVISME
SEBAGAI BAHASA UNIVERSAL ILMU PENGETAHUAN
DALAM FILSAFAT
Disusun guna memenuhi ujian akhir semester matakuliah Filsafat Bahasa
dosen pengampu Dr. Muhammad Pribadi, MA

Disusun oleh:
NAILI VIDYA YULISTYANA
1420410059

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PRODI PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Aliran empirisme logis atau sekarang disebut dengan positivisme logis
mempunyai tujuan yang ingin dicapai, diantaranya adalah membersihkan
filsafat dari unsur-unsur metafisik. Pada zaman positivisme logis ini lebih
menerapkan sarana analitis untuk membuktikan apakah suatu statement yang
dibuat untuk bahasa yang alamiah itu benar atau salah dengan cara
menggunakan logika formal.
Logika formal tersebut untuk menemukan beberapah tujuan, diantaranya
adalah 1) untuk mengatakan apa sebetulnya mathematical truth (kebenaran
matematik) itu, dalam hal ini bertujuan juga untuk dapat membedakan
pendapat metafisic dan pendapat yang murni terhadap pengetahuan
matematika. Kemudian tujuan berikutnya 2) untuk memformulasikan
hubungan

antara

statement

S

dengan


statement-

statement

yang

menggambarkan hasil pengamatan terhadap alam, jika S itu mempunyai arti,
artinya usaha menyediakan instrumen untuk filsafat ilmu alam dimana untuk
memeriksa dapat dan tidaknya sesuatu prinsip ilmu alam dikaji dengan
sesuatu tes dan 3) untuk menciptakan konvensi linguistik yang kemudian
dapat dipakai untuk mengenali dan mencegah timbulnya statement- statement
metafisik.1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peranan logika dan matematika dalam filsafat?
2. Bagaimana konsep positivisme logis tentang filsafat?
3. Bagaimana peran bahasa universal bagi seluruh ilmu pengetahuan?

1


Soepomo Poedjosoedarmo, Filsafat Bahasa. (Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2003). hlm.13

2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Peranan Logika Dan Matematika
Para pakar aliran positivisme logis merupakan pakar-pakar ilmu
pengetahuan alam dan ilmu matematika, sudah pasti juga mereka manaruh
perhatian yang khusus terhadap kedua pengetahuan tersebut dalam pemikiranpemikiran filsafatnya.
Logika sendiri mempunyai arti sebagai ilmu pengetahuan tentang asas,
aturan, hukum-hukum, susunan, atau bentuk pikiran manusia yang dapat
mengantar pikiran tersebut pada suatu kebenaran. Logika juga dapat diartikan
sebagai pengambilan sebuah kesimpulan yang sudah valid melalui cara
tertentu.2
Kemudian matematika adalah bahasa yang sangat simbolik. Lambanglambang matematika bersifat artifisial yang baru mempunyai arti setelah
sebuah makna diberikan padanya. Sebagai bahasa, matematika sangat lugas,
sebab ia terbebas dari unsur emotif. Kelebihan lain dari matematika adalah

berkembangnya

bahasa

numerik

yang

memungkinkannya

dilakukan

pengukuran secara kuantitatif.3 Dengan bahasa verbal hanya dapat diungkap
secara kualitatif saja, berbeda dengan bahasa matematika yang dapat diungkap
dengan melalui eksak. Contohnya saja ada pernyataan bahwa si A lebih tinggi
daripada si B, namun jika dengan bahasa matematika maka keduanya bisa
diungkap secara eksak perbedaan tingginya.
Ilmu matematika sangat erat kaitannya dengan logika. Sebagai metode
berpikir logis, Bertrand Russell menyatakan bahwa matematika adalah masa
kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika.4

Memang terjadi keterkaitan antara logika dan matematika khususnya
pada filsafat. Logika filsafati dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau
2

Maman Rachman, Filsafat Ilmu. (Semarang: UNNES PRESS, 2006). hlm.98
Ibid. Hlm.192
4
Ibid. Hlm.193
3

3

bagian logika yang masih berhubungan sangat erat dengan pembahasan dalam
bidang filsafat, seperti logika kewajiban dengan etika atau logika arti dengan
metafisika. Sedangkan logika matematik merupakan suatu ragam logika yang
menelaah penalaran yang benar dengan menggunakan metode matematik serta
bentuk lambang yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna ganda
atau kekaburan yang terdapat dalam bahasa biasa.5
Dilihat dari sejarah, bahwa sejak abad ke-19 logika mengalami suatu
pembaharuan yang bersifat radikal. Karena hal itulah mendorong perbedaan

antara logika modern dan logika tradisonal (logika klasikal), diantaranya
adalah 1) penggunaan simbol-simbol menurut analogi dengan matematika, dan
2) bertambahnya wilayah-wilayah pembahasan yang benar-benar baru.
Pembaharuan ini dirintis oleh ahli-ahli matematika. Mereka mengalami jalan
buntu dalam mengkonstruksikan matematika secara rigorus atas dasar logika
tradisonal. Relasi-relasi dalam matematika tidak dapat ditangani dengan
menggunakan sistem logika tua, yaitu subjek, kopula dan predikat. Oleh karena
itu ia harus mengembangkan suatu teori logis yang baru, yang menyoroti
relasi-relasi lain.
Suatu usaha untuk mengkonstruksikan matematika dengan cara memakai
logika baru yaitu karya Bertrand Russell dan A. Whitehead yang sangat
penting yaitu Principia mathematica. Logika baru dan hubungannya dengan
matematika memainkan peranan yang amat penting bagi pendukung
positivisme logis yaitu mazhab lingkungan Wina, sebab dengan adanya logika
baru tersebut menjadi lebih memahami dengan baik kedudukan khusus logika
dan matematika dalam ilmu pengetahuan.6
Pendapat lain datang dari John Stuart Mill dan Herbert Spencer yang
melontarkan suatu percobaan untuk mendasarkan logika dan matematika atas
pengalaman. Percobaan yang mereka lakukan bertujuan untuk mensintesakan
prinsip logika dan matematika dengan tradisi empirisme. Tentu saja pendapat

tersebut berkebalikan dengan para pengikut madzhab Wina yang merasa bahwa
5
6

Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. (Jakarta: Bumi Aksara, 2006). hlm.25
Kaelan. Filsafat Bahasa. (Yogyakarta: Paradigma, 2002). hlm.130

4

matematika berasal dari logika. Jadi tidak mungkin logika dan matematika
mempunyai dasar empiris, dan keduanya tidak dapat diubah oleh pengalamanpengalaman baru. Hal itu dikarenakan prinsip-prinsipnya berupa a priori yang
tidak tergantung pada pengetahuan empiris.
Pengetahuan empiris di sini mempunyai makna dilakukan atas dasar
pengalaman. Dengan demikian empirisme dibatasi pada pengetahuan tentang
fakta-fakta saja dan hal itu berarti tidak berlaku pada setiap pengetahuan.
Sedangkan pada logika dan matematika, keduanya bersifat analitis yang
mengungkapkan relasi-relasi pikiran dan bukan bersifat sintetis.
Bisa dirasakan sampai saat ini kehidupan manusia seluruhnya sudah
mempergunakan matematika, baik dari yang sangat sederhana seperti
menghitung satu dua dan tiga, maupun sampai yang sangat rumit misalnya

perhitungan untuk penerbangan antariksa. Bahkan banyak sekali ilmu-ilmu
pengetahuan yang mempergunakan matematika, hampir dapat dikatakan bahwa
fungsi matematika sama luasnya dengan fungsi bahasa yang berhubungan
dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Dapat diambil dari beberapa contoh berikut, misalnya:
a. Dalam kota ini banyaknya penduduk adalah lima juta. Banyaknya rambut
pada kepala manusia adalah maksimal sepuluh ribu helai. Pasti ada dua
orang yang banyaknya rambut kepala sama.
b. Kalau kita jalan sepanjang selokan, maka kita bisa lihat apakah air mengalir
cepat atau lambat.7
Berdasarkan kalimat di atas dapat dipahami dengan ilmu matematika,
yaitu contoh (a) untuk bisa membuktikan dengan pasti tanpa menghitung
rambut pada setiap penduduk perlu menggunakan matematika deretan.
Kemudian pada contoh (b) pengalaman ini bersifat kualitatif, dan pengalamn
itu bisa dipahami oleh setiap orang. Akan tetapi jika pengalaman ini disertai
pengukuran, makan menjadi kuantitatif, dimana kita bisa mengukur luasnya
penampang selokan rata-rata, mengukur tingginya air rata-rata, kemudian
7

Jujun Suriasumantri. Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang

Hakekat Ilmu. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009). hlm.230

5

mengukur kecepatan mengalirnya air, dan juga dapat mengetahui berapa debit
air rata-rata, serta volume air yang dapat ditampung oleh selokan tadi.
Bisa dilihat contoh-contoh di atas semuanya merupakan analisa kalimatkalimat dengan matematika dan dengan analisa maka arti kalimat-kalimat yang
masih agak kabur menjadi eksplisit, jelas, tepat dan tegas. Pemikiran yang
sebelumnya masih ragu-ragu, dengan analisa matematika menjadi terang
benderang. Oleh karena itu matematika salah satu jalan untuk menyusun
pemikiran yang jelas, tepat dan teliti. Matematika juga merupakan pemikiran
yang melandasi semua ilmu pengetahuan dan filsafah.
Logika sendiri juga berhubungan dengan bahasa. Bisa dilihat dari contoh
kalimat berikut. Di kota ini hanya ada seorang barber. Barber tersebut berkata:
“Semua orang di kota ini potong rambut pada saya. Tidak ada seorang pun
yang memotong rambutnya sendiri.”8
Contoh kalimat di atas sudah dapat dimengerti dan tata bahasanya pun
tidak terdapat kesalahan, namun berdasarkan logika ada kontradiksi. Contoh
tersebut diajukan sebagai petunjuk bahwa sebenarnya pelajaran logika, dari
yang statusnya implisit perlu dilaksanakan secara eksplisit, dengan tujuan lebih

lanjut memperkecil adanya kemungkinan-kemungkinan membuat kesalahan.
Berdasarkan banyak penjelasan-penjelasan di atas, bahwa memang ada
keterkaitan dan juga peranan-peranan penting antara logika dan matematika
dalam pemikiran filsafat.
B. Konsep Positivisme Logis Tentang Filsafat
Semua pemikiran filsafat saling mempengaruhi, sehingga suatu teori
dapat ditelusuri kepada para pendahulunya. Wittgenstein misalnya lebih dulu
mengatakan bahwa proposisi yang bermakna adalah proposisi yang
menggambarkan suatu realitas dunia yang memiliki struktur logis. Struktur
logis dunia terlukiskan dalam struktur logis bahasa. Menurutnya, metafisika
melampaui batas-batas bahasa. Pengaruh Wittgeistein tampak pada kelompok
Wina atauVienna Circle (1922) yang sering disebut aliran neopositivism atau
8

Ibid. hlm.231

6

positivisme logis. Positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk
mencapai dua tujuan, yaitu 1) menghilangkan atau menolak metafisika, dan 2)

demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan untuk menganalisis pernyataanpernyataan fakta ilmiah. Dengan analisis filsafati kita tidak dapat menyatakan
sesuatu itu real, paling-paling menyatakan apa artinya apabila kita menyatakan
bahwa sesuatu itu real. Empirisme sangat mengandalkan pengalaman empiris
(maka dari itu sering disebut empirisme logis). Bagaimana mungkin ia dapat
menjelaskan alam metafisik yang belum teralami, misalnya kematian? Jadi
penolakan terhadap metafisika itu tidak boleh dimaknai menolak keberadaan
dunia luar atau transenden seperti kematian itu. Dengan kata lain, bagi
kelompok ini pernyataan metafisika tidak menyatakan sesuatu sama sekali alias
omong kosong.9
Pada tingkatan tersebut semua anggota lingkungan Wina sepakat dalam
menentukan tugas-tugas filsafat secara konkrit. Bahkan menurut Sclick filsafat
tidak memiliki tugas lain kecuali menjelaskan kata-kata serta ucapan-ucapan
dan dengan demikian menyingkirkan ucapan-ucapan yang tidak bermakna.
Artinya ilmu pengetahuan memverifikasi ucapan-ucapan sedangkan filsafat
menelaah ucapan-ucapan tersebut.
Konsepsi-konsepsi yang diutarakan oleh Lingkungan Wina tentang
pembatasan tugas filsafat sendiri adalah 1) pertama-tama terdapat masalahmasalah yang menyangkut fakta-fakta empiris. Akan tetapi dengan masalahmasalah semacam itu dewasa ini filsafat tidak mempunyai urusan lagi. Seluruh
wilayah empiris termasuk wewenang ilmu pengetahun empiris. Berikutnya 2)
terdapat masalah-masalah yang menyangkut pengekspresian pengetahuan kita
atau dengan lain perkataan melalui ungkapan bahasa. Masalah-masalah ini
ditangani dengan menjelaskan konsep-konsep dan ungkapan-ungkapan yang
kita pakai. Dalam pengertian inilah menurut positivisme logis justru
merupakan letak tugas filsafat dewasa ini. Dan yang terakhir 3) masih terdapat
masalah-masalah metafisis.10 Sejak dahulu masalah-masalah seperti ini sering
9

A. Chaedar Alwasilah. Filsafat Bahasa Dan Pendidikan. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008). hlm.28
10
Kaelan, Op. Cit. hlm.133

7

dibicarakan dalam dunia filsafat. Akan tetapi menurut pandangan positivisme
logis bahwa dalam metafisika dipersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
dapat dijawab, dan masalah ini tidak dirumuskan melalui bahasa-bahasa
ilmiah. Oleh karena itu, menurut Lingkungan Wina, masalah-masalah metafisis
tidak memiliki tempat dalam filsafat dan tidak bermakna, karena pada
hakikatnya metafisika itu memformulasikan bahasa yang sifatnya hanya omong
kosong belaka.
Pendapat lain dari tokoh utama positivisme logis yang bernama Alfred
Jules Ayer dengan karyanya yang terkenal Language, Truth and Logic (1939).
Ia melanjutkan tradisi empiris Inggris terutama Humes dan analisis logis dari
Russell. Aliran ini lebih menaruh perhatian pada upaya menentukan bermakna
atau tidak bermaknanya suatu pernyataan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan,
bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah. Tugas filsafat adalah
melakukan analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah.11
C. Bahasa Universal Bagi Seluruh Ilmu Pengetahuan
Upaya untuk memperlihatkan bahwa ungkapan-ungkapan semua ilmu
pengetahuan dapat dipersatukan melalui bahasa universal yang sama
merupakan suatu usaha yang banyak mendapat perhatian dari para anggota
lingkungan Wina. Karena jika hal itu terjadi, sudah pasti tidak akan ada banyak
ilmu pengetahuan melainkan hanya ada satu ilmu pengetahuan saja yang
membahas objek-objek yang termasuk pelbagai taraf.12
Konstruksi Logis Dunia, karya Carnap merupakan suatu proyek ambisius
untuk mewujudkan cita-cita tadi. Dalam buku ini Carnap mencoba
membuktikan bahwa objek ilmu pengetahuan dapat diasalkan pada
pengalaman-pengalaman elementer subjek. Untuk itu Carnap menyusun suatu
hierarki atau tingkatan bahasa. Setiap tingkatan bahasa sesuai dengan tingkatan
objek-objek. Urutan tingkatan-tingkatan sesuai dengan urutan dalam struktur
pengenalan. Yang merupakan dasar seluruh konstruksi ini ialah tingkatan
11
12

A. Chaedar Alwasilah. Op. Cit. hlm.28
Kaelan. Op. Cit. hlm.133

8

‘auto-psikologis’. Atas fondamen ini dapat disusun berturut-turut tingkatan
fisis, biologis, psikologis, sosial, dan kultural. Objek-objek dari masing-masing
tingkatan dapat diasalkan kepada objek-objek dari tingkatan lebih rendah.
Maka dari itu bahasa yang dikonstruksikan Carnap mempunyai basis dan
susunan sedemikian rupa sehingga setiap ungkapan yang termasuk ilmu
pengetahuan yang khusus, dapat diterjemahkan melalui tahap-tahap tertentu ke
dalam ucapan yang termasuk ilmu pengetahuan yang lain. Dengan demikian
kalau tingkatan sosio kultural dapat diasalkan pada tingkatan psikologis, dan
yang terakhir ini dapat diasalkan pada tingkatan ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Oleh karena itu orang dapat merumuskan semua ungkapan ilmu pengetahuan
dalam bahasa dasarian yang mengungkapkan pengalaman-pengalaman
elementer kita. Maka bahasa inilah yang menjadi bahasa universal bagi semua
ilmu pengetahuan dan tidak ada lagi banyak ilmu pengetahuan yang berbedabeda, akan tetapi hanya satu ilmu pengetahuan yang diungkapkan dengan
bahasa universal.
Namun demikian terdapat banyak kesulitan yang menghadang proyek
spektakuler dari Carnap tersebut. Salah satu kesulitan yang nampak adalah
‘dispositional terms’. Dengan dispositional terms dimaksudkan suatu istilah
yang mengungkapkan suatu ciri yang harus disifatkan kepada suatu objek
bukan berdasarkan semacam “kemampuan” (disposition) untuk menimbulkan
fakta tertentu. Misalnya soluble (dapat dilarutkan), fisible (dapat dilihat) dan
pada umumnya semua istilah dalam bahasa Inggris yang berakhir dengan
sufiks –ble. Carnap dapat memecahkan masalah dispositional terms tersebut,
namun dia harus melakukan berbagai perubahan atas pendiriannya dalam
bukunya. Terdapat kesulitan-kesulitan lain lagi yang mengakibatkan bahwa
akhirnya Carnap sendiri tidak puas lagi dengan usaha yang dilontarkannya
dalam buku ‘Konstruksi Logis Dunia’.
Neurath berpendapat lain ia tidak setuju dengan konsep Carnap tentang
suatu lapisan ‘auto psikologis’, diambil sebagai fondamen ilmu pegetahuan.
Menurut dia tidak boleh dikaitkan dengan ucapan-ucapan yang menyangkut
suasana ‘keakuan’ sebagaimana halnya Carnap dalam Konstruksi Logis Dunia

9

akan tetapi harus terdiri atas ungkapan-ungkapan yang bersifat umum dan
terbuka secara intersubjektif. Bagi Neurath bahasa fisika merupakan bahasa
yang paling fundamental, dan semua bahasa ilmiah harus dapat diterjemahkan
ke dalam bahasa fisika itu. Kalimat-kalimat protokol (protocol sentences)
adalah memiliki peranan yang amat penting dalam ilmu pengetahuan.
Maksudnya yaitu kalimat-kalimat yang berupa laporan-laporan, sehingga dapat
dikontrol oleh semua orang.
Pendapat Neurath tentang kesatuan ilmu pengetahuan tersebut membawa
dia kepada apa yang disebut “fisikalisme” (phisicalism). Istilah ini diciptakan
oleh Carnap dalam satu artikel pada tahun 1931, ketika ia sudah meninggalkan
pendapatnya tentang ‘Konstruksi Logis Dunia’ judul artikel tersebut adalah
‘Die Phisikalische Sprache als Universalpreche der Wissenschat’. Fisikalisme
bermaksud menyangkal setiap perbedaan prinsipial antara ilmu pengetahuan
alam dengan ilmu pengetahuan kultural. Karena semua ucapan empiris dapat
diungkapkan dalam bahasa fisika, maka tidak ada ilmu pengetahuan kultural
yang berasal dari ilmu pengetahuan alam. Semua ilmu pengetahuan sama-sama
bersifat fisis dan justru oleh karena itulah memungkinkan kesatuannya. Kalau
orang menganut pendirian itu maka salah satu problema besar yang
dihadapinya adalah memperlihatkan bahwa ungkapan-ungkapan tentang halhal yang bersifat ‘psikis’ dapat diasalkan kepada ungkapan-ungkapan tentang
hal yang bersifat ‘fisis’.
Konsekuensinya

ungkapan-ungkapan

psikologis

harus

dapat

diterjemahkan ke dalam ungkapan-ungkapan atau gejala-gejala yang bersifat
fisis atau ragawi. Karena penjelasan-penjelasan di atas Neurath dan Carnap
berkembang ke arah suatu pendapat yang sangat ekstrim. Ungkapan-ungkapan
psikologis yang sungguh-sungguh ilmiah hanya berbicara tentang kejadiankejadian dalam badan, khususnya dalam sistem syaraf sentral, sebab hanya
ucapan-ucapan macam inilah yang bersifat intersubjektif dan dapat diverifikasi
oleh umum. Ungkapan-ungkapan yang ‘psikis’ yang dapat dirumuskan secara
fisikalitas, pada dasarnya tidak terbuka untuk pemeriksaan intersubjektif. Itulah

10

sebabnya ungkapan-ungkapan semacam itu tidak pantas diberi tempat dalam
wilayah ilmu pengetahuan.
Jadi satu-satunya psikologi ilmiah yang mungin dikembangkan adalah
suatu ‘behaviorisme radikal’. Fisikalisme tidak mengatakan bahwa tidak ada
pengalaman-pengalam psikis. Dikatakannya bahwa pengalaman-pengalaman
macam itu tidak mempunyai nilai ilmiah, karena secara prinsipial tidak terbuka
bagi pemeriksaan intersubjektif, dan oleh karena itu tidak dapat dirumuskan
secara fisikalistis. Hal itu hanyalah metafisika belaka, sebab bagi positivisme
logis yang tidak dapat ditangani oleh ilmu pengetahuan (menurut pendapat
mereka mengenai ilmu pengetahuan, yaitu fisikalisme) dituding sebagai
metafisika, berarti sebagai suatu usaha yang tidak memiliki makna teoritis dan
tidak mengungkapkan sesuatu apapun.
Demikian pengaruh positivisme logis terhadap ilmu-ilmu pengetahuan
lain terutama ilmu pengetahuan psikologi, budaya sosial dan ilmu pengetahuan
lainnya yang sampai saat ini masih terasa.

11

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Peranan logika sendiri dalam bahasa adalah sebagai pengantar pikiranpikiran menuju kebenaran yang bersifat valid, dimana sesuai dengan keadaan
sebenarnya. Sedangkan matematika adalah salah satu jalan untuk menyusun
pemikiran yang jelas, tepat dan teliti. Sehingga matematika merupakan
pemikiran yang melandasi semua ilmu pengetahuan dan filsafat.
Konsep positivisme logis tentang filsafat adalah menyingkirkan hal-hal
yang bersifat metafisis. Kemudian semua ilmu pengetahuan dapat dipersatukan
melalui bahasa universal yang sama dengan ilmu filsafat konsep positivisme
logis karena kajian semua ilmu pengetahuan tersebut bukan hal-hal yang
bersifat metafisis.

12

DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A.Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa Dan Pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma
Poedjosoedarmo,

Soepomo.

2003.

Filsafat

Bahasa.

Surakarta:

Muhammadiyah University Press
Rachman, Maman. 2006. Filsafat Ilmu. Semarang: UNNES PRESS
Surajiyo. 2006. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Suriasumantri, Jujun. 2009. Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

13