It Takes A Village To Raise A Child Menu

It Takes A Village To Raise A Child: Menuju Indonesia Yang Layak Anak
Oleh: Rolan P. Sihombing, STh1

Abstraksi
Indonesia sedang mengalami darurat perlindungan anak. Awal bulan lalu, Engeline menjadi
korban kekerasan terhadap anak yang berujung pada kematian bocah malang kelas 2 SD. Kasus
Engeline hanya fenomena puncak gunung es, dimana banyak Engeline yang lain yang berpotensi
ataupun sedang mengalami kekerasan. Selain penanganan kasus kekerasan terhadap anak secara
ligitatif harus didorong agar lebih efektif, upaya pencegahan kekerasan terhadap anak dengan
menggunakan sistem dan mekanisme perlindungan anak berbasis komunitas, harus menjadi
pilihan yang diambil oleh masyarakat Indonesia. Karena upaya menangani kasus-kasus
kekerasan pada anak, tidak bisa lagi berbasis isu sempit dan sektoral, ataupun berfokus pada
kelompok anak tertentu. Melalui sebuah mekanisme dan sistem perlindungan anak yang efektif
di dalam komunitas, anak-anak yang ada di komunitas akan terlindungi dari segala bentuk
kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran.
Pendahuluan: Elegi 2 Untuk Engeline
Pada tanggal 10 Juni 2015, Engeline, bocah cantik yang dikabarkan menghilang sejak 16 Mei
2015, telah ditemukan dalam keadaan membusuk di bawah kandang ayam di halaman rumahnya.
Menurut keterangan tim evakuasi, jenazah gadis malang ini dibungkus sprei dalam keadaan
telungkup sembari memeluk boneka kesayangannya. Sejak diberitakan menghilang oleh ibu
angkatnya Margriet, perhatian publik pun tersedot dalam keprihatinan terhadap nasib Engeline.

Bahkan pada tanggal 3 Juni yang lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia bersama Yayasan
Sahabat Anak Bali, Safe Childhood Foundation dan Kerobokan Mum’s Community melakukan
aksi penyusuran jalan sejauh 2 km, yang merupakan rute Engeline berangkat ke sekolah setiap
harinya. Berita tentang Engeline ini juga diramaikan dengan pernak-pernik cerita seperti
diusirnya Menteri PAN-RB, Yuddy Chrisnandi, dari kediaman ibu angkat Engeline; atau berita
lainnya tentang kedatangan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana
Yembise ke rumah Margriet yang berbuah nihil, karena tidak ada satu pun orang di rumah yang
berlokasi di Jalan Sedap Malam, Sanur tersebut.
Pada sekitar pukul 9 malam di hari yang sama, Agus Tai Hamdamai yang merupakan mantan
pembantu rumah tangga di rumah Margriet, mengaku telah memperkosa dan mengubur Engeline
yang malang ini. Namun selang 9 hari kemudian, ia membuat pengakuan yang berbeda, bahwa ia
tidak pernah memperkosa Engeline; ia hanya diperintahkan Margriet untuk mengubur Engeline.
Menurutnya lebih lanjut Engeline sudah sekarat ketika ia melihat di kamar majikannya, Margriet
1

Penulis adalah alumni STT INTI. Saat artikel ini ditulis (tahun 2015) penulis bekerja di sebuah lembaga donor,
Indonesia Untuk Kemanusiaan di Jakarta.
2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, elegi (elegeia) adalah sebuah syair atau sebuah nyanyian yang
mengandung ratapan dan ungkapan dukacita, khususnya pada peristiwa kematian (http://kbbi.web.id/elegi).


Megawe. Polisi juga saat ini sedang menguji bercak darah yang ditemukan di kamar tersebut,
dan masih menelusuri kemungkinan ada pelaku lain yang terlibat dalam kematian Engeline.
Dan pada 28 Juni 2015, Margriet Megawe resmi dinyatakan sebagai tersangka penganiayaan dan
pembunuhan berencana terhadap Engeline. Sampai tulisan ini dibuat, polisi masih menelusuri
pelaku lain yang terlibat dalam penganiayaan Engeline yang malang.
Kasus penganiayaan yang berujung pada kematian yang terjadi pada Engeline, seakan kembali
mencuatkan kesadaran bahwa dunia yang diciptakan dan dipelihara oleh Allah dengan penuh
kasih ini, ternyata masih merupakan tempat yang tidak aman untuk anak-anak. Ironisnya
peristiwa tragis yang menimpa Engeline tersebut merupakan fenomena puncak gunung es kasus
kekerasan terhadap anak. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
terdapat sebanyak 3.700 kasus kekerasan atas anak terjadi setiap tahunnya. Jika dihitung secara
mendetail, per hari terdapat sekitar 13 hingga 15 kasus terjadi setiap hari. Terkait kasus
kekerasan pada anak, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan bahwa di
Jakarta saja pada tahun 2015 tercatat lebih dari separuh kasus kekerasan pada anak yang terdata
atau sebanyak 52,7 persen (332 kasus), merupakan kasus kekerasan seksual. Dari data yang
mencengangkan itu, 22 persen kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak pernah sampai ke
pengadilan karena dianggap kurang bukti. Jika sampai pengadilan pun, para terdakwa pada
umumnya hanya divonis 3-9 tahun penjara. Yang lebih memilukan hati adalah sebagian lain
dihukum kurang dari 3 tahun penjara, atau bahkan malah divonis bebas.

Kasus Kekerasan Terhadap Anak: Refleksi Dari Pengalaman Meng-advokasi Hak Anak di
Kabupaten Manggarai
Kekerasan terhadap anak-anak adalah pelanggaran terhadap hak anak-anak, seperti yang sudah
diatur dalam UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penyelenggaraan perlindungan
anak ini berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) meliputi: (a)
non diskriminasi; (b) kepentingan yang terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam UU tentang
perlindungan anak ini, setiap anak di Indonesia dijamin untuk memperoleh hak-hak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta hak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, sehingga
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Kepentingan Terbaik
Bagi Anak

Kelangsungan
Hidup
dan
Tumbuh

Kembang

Non-diskriminasi

Partisipasi

Hubungan empat prinsip hak anak tersebut digambarkan dalam diagram. Diagram tersebut
menunjukkan bahwa pemenuhan Kualitas Hidup (well-being) anak sangat tergantung dari
pemenuhan hak lain, yaitu:
1. Prinsip atas Hak Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang. Setiap anak memiliki hak
yang melekat atas kehidupan dan negara wajib menjamin kelangsungan hidup serta
perkembangan anak sampai batas maksimal.
2. Prinsip Non Diskriminasi. Semua hak yang diakui dan terkandung di dalam Konvensi
Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun, berdasarkan
asal-usul, suku, ras, agama, politik, dan sosial ekonomi.
3. Prinsip Kepentingan Terbaik untuk Anak. Dalam semua tindakan yang menyangkut anak
yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka
kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
4. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak. Anak yang memiliki pandanganpandangan sendiri dan mempunyai hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya
secara bebas dalam semua hal yang memengaruhi anak. Terdapat nilai menghormati hak

anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan,
terutama jika menyangkut hal-hal yang memengaruhi kehidupannya.
Menurut Suharto (1997), kekerasan pada anak dapat dikelompokkan menjadi empat jenis.
Pertama, kekerasan anak secara fisik. Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan,
dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Para pelaku kekerasan secara fisik
terhadap anak, khususnya orangtua atau guru, biasanya beralasan bahwa perbuatan mereka
terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak, seperti anak nakal atau
rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkan
barang berharga.

Kekerasan fisik sebagai suatu tindakan yang ditimbulkan oleh orang yang bertanggung jawab
atas pengasuhan anak atau remaja itu, yang mengakibatkan cedera fisik yang signifikan atau
risiko cedera tersebut. Contoh tindakan yang ditimbulkan termasuk meninju, memukul,
menendang, menggigit, mengguncangkan, melempar, menusuk, mencekik, membakar, atau
memukul dengan tangan, tongkat, tali, atau benda lain (Goldman & Salus, 2003).
Kedua, kekerasan anak secara psikis. Kekerasan secara psikis meliputi bullying, penghardikan,
ataupun penyampaian kata-kata kasar dan kotor, seperti bodoh, tolol, anak kurang ajar dan
sebagainya. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku
maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut

bertemu dengan orang lain.
Penganiayaan psikologis dapat didefinisikan sebagai pola berulang dari perilaku atau kejadian
ekstrim oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak yang menyampaikan kepada
anak bahwa ia tidak berharga, cacat, tidak dicintai, tidak diinginkan, terancam, atau hanya
bernilai jika menemukan orang lain yang membutuhkan, oleh orang yang bertanggung jawab
atas pengasuhan anak. Penganiayaan psikologis meliputi baik tindakan pelecehan terhadap anak
atau remaja dan kelalaian dalam pengasuhan. Bentuk penganiayaan psikologis termasuk
penolakan secara angkuh, misalnya perilaku bermusuhan menolak dan merendahkan; teror,
misalnya ancaman untuk menyakiti anak atau seseorang yang penting untuk anak;
mengeksploitasi atau merusak, misalnya mendorong anak atau remaja untuk berpartisipasi dalam
merusak diri sendiri atau perilaku kriminal; menyangkal respon emosional, misalnya
mengabaikan atau gagal untuk mengekspresikan kasih sayang; dan mengisolasi, misalnya
membatasi anak mendapatkan pengalaman sesuai dengan tahapan perkembangan (Brassard &
Hart, 2000).
Ketiga, kekerasan anak secara seksual. Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan
prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar
visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan
orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Upaya orang dewasa memperlihatkan
buku, gambar, dan film pornografi pada anak, juga dapat dikategorikan sebagai perilaku
kekerasan anak secara seksual.

Kekerasan seksual dapat didefinisikan sebagai tindakan seksual tanpa kesepakatan, motivasi
perilaku seksual yang melibatkan anak dan remaja, atau eksploitasi seksual terhadap anak
(Berliner, 2000) oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Kekerasan seksual
anak termasuk perilaku yang lebih luas, seperti oral, anal penetrasi penis, atau alat kelamin,
digital anal atau genital atau penetrasi lain, kontak kelamin dengan non intrusi, cumbuan
payudara anak atau pantat, penampilan senonoh, supervisi yang tidak memadai atau tidak dari
kegiatan sukarela seksual anak, dan penggunaan anak atau remaja dalam prostitusi, pornografi,
kejahatan internet, atau kegiatan seksual eksploitatif lainnya (Goldman & Salus, 2003).

Keempat, kekerasan anak secara sosial. Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran
anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak
memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak
dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan
yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenangwenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak
untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan
hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan
status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan
(pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak
dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga
melebihi batas kemampuannya. 3

Pada saat penulis menangani proyek Child Protection and Advocacy (CPA) di Kabupaten
Manggarai bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) Kabupaten Manggarai, penulis beberapa kali
melakukan kegiatan body mapping.4 Dari kegiatan-kegiatan tersebut ditemukan fakta bahwa
bagian kepala, paha dan betis merupakan bagian tubuh anak-anak yang sering mendapatkan
jambakan, jitakan, pukulan dan juga cubitan dari pelaku kekerasan. Lebih mengejutkan, pelaku
kekerasan yang menjambak, memukul dan mencubit, adalah guru di sekolah, 5 orangtua dan
keluarga seperti paman/bibi, serta teman sebaya.
Selain kekerasan fisik, kekerasan lainnya yang kerap dilakukan terhadap anak adalah
mempekerjakan anak. Berdasarkan focus group discussion (FGD) yang penulis lakukan pada
saat kegiatan bersama anak, praktek yang paling jamak terjadi adalah adalah anak-anak kerap
kali disuruh oleh sebagian oknum guru tempat anak-anak tersebut bersekolah, untuk menimba air
di sumur ataupun mencuci piring kotor di dapur oknum guru tersebut. Ironisnya, mempekerjakan
3

Bentuk ekploitasi orang dewasa kepada anak yang mudah ditemui di kota-kota besar, adalah eksploitasi secara
ekonomi, yaitu anak yang sebagian besar waktunya berada dan/atau bekerja dan hidup di jalanan. Menurut
Pusdatin Kementerian Sosial RI, anak jalanan pada tahun 2011 berjumlah 135.983 jiwa. Data lapangan ditemukan
anak yang sengaja menjadi pengamen di jalanan untuk mendapatkan uang jajan. Berbagai penyebab anak harus
berada di jalan, diantaranya adalah karena orangtua (bapak meninggal dunia) sehingga anak harus mencari sendiri
kebutuhan hidupnya, karena pencari kerja utama yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup tidak ada

lagi. Kemudian ditemukan juga anak yang terjebak dalam perdagangan orang dan mengalami tindak kekerasan
seksual.
4
Body mapping adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pengalaman kekerasan yang
dialami anak. Anak-anak secara partisipatif menggambarkan bentuk badan secara utuh dari kepala sampai kaki.
Setelah bentuk badan sudah tergambar, anak-anak kemudian menempelkan sticker atau post-it notes pada
bagian-bagian tubuh yang kerap mendapatkan tindakan kekerasan dari orang dewasa.
5
Dalam kegiatan FGD yang dilakukan antara WVI Manggarai, KPAI, dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (LPPM) STKIP St. Paulus Ruteng, ditemukan fakta bahwa guru-guru di Kabupaten Manggarai
merupakan salah satu pelaku utama kekerasan fisik pada anak. Penelitian itu menemukan bahwa dari 674
responden, dalam rentang usia 20 tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang tersebar di berbagai kecamatan di
Manggarai, 16,4 persen mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah oleh guru.
(http://www.floresa.co/2015/06/29/di-manggarai-guru-juara-satu-pelaku-kekerasan-terhadap-anak).

anak juga menjadi praktek yang lumrah dilakukan para pemilik toko di kota yang sangat dingin
tersebut. Dapat dengan mudah dijumpai anak-anak yang seharusnya masih harus bersekolah,
menjadi karyawan di toko-toko yang ada. Dalam diskusi antara penulis dengan Suster Chaterine
dari Kesusteran Gembala Baik Ruteng, tak jarang anak-anak tersebut dipekerjakan tanpa
mendapatkan upah yang layak, ataupun minimal diupayakan untuk tetap bersekolah.

Selain pekerja anak domestik, tak sedikit juga kasus child trafficking yang terjadi di Kabupaten
Manggarai. Dalam sebuah kegiatan wawancara mendalam untuk baseline survey Child
Protection and Advocacy di Kabupaten Manggarai yang merupakan proyek dari World Vision
Australia yang dikelola oleh penulis dua tahun yang lalu, Kanit Perlindungan Perempuan dan
Anak (PPA) Polres Manggarai Bripka Syamsu, SH, menyatakan bahwa kasus child trafficking di
Kabupaten Manggarai tidak bisa dianggap sepele. Deraan kemiskinan di desa-desa yang ada di
Kabupaten Manggarai, menjadi salah satu faktor pendorong utama banyaknya anak-anak di
bawah 18 tahun dari desa-desa di Kabupaten Manggarai, pergi mencari peruntungan di Jakarta,
Surabaya dan Makassar dengan menjadi pembantu rumah tangga. Tak sedikit juga yang nekat
dengan bekal pendidikan seadanya, menjadi buruh migran ilegal. Bahkan ada beberapa korban
perdagangan anak yang menjadi korban perdagangan anak namun berhasil diamankan Unit PPA
Polres Manggarai, tidak bisa menggunakan dispenser karena belum pernah melihat dispenser
sebelumnya.
Tidak hanya kekerasan fisik seperti pukulan, cubitan dan sebagainya ataupun kasus child
trafficking yang marak terjadi di Kabupaten Manggarai; kasus kekerasan seksual terhadap anak
juga marak terjadi dengan tren kasus yang semakin meningkat setiap tahunnya. Menurut data
terbaru dari Unit PPA Polres Manggarai, jumlah kasus pelecehan seksual dan persetubuhan anak
di bawah umur sejak Januari hingga Juni 2015 yang sudah ditangani sebanyak 9 kasus. Salah
satu kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kota Ruteng baru-baru ini, adalah kasus
pelecehan seksual yang dilakukan seorang kakek berusia 62 tahun terhadap seorang siswi kelas 5

SD.6
Penyebab Kekerasan Terhadap Anak
Gelles (1987) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi akibat
kombinasi dari berbagai faktor. Pertama, pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational
transmission of violance). Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika
tumbuh menjadi dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan
demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi
menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi
orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara itu, hanya 2 sampai 3 persen
dari semua individu menjadi orangtua yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.
Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini
6

http://www.floresa.co/2015/04/22/di-ruteng-kakek-62-tahun-cabuli-siswi-sd/

sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Dan sebaliknya, sebagian besar anakanak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan
kekerasan kepada anak-anaknya.
Salah satu contoh pelanggengan budaya kekerasan yang diturunkan dari generasi ke generasi
berikutnya, tercermin pada pernyataan “Di ujung rotan, ada emas.” Arti dari pernyataan itu
adalah jika anak-anak melakukan kesalahan maka sebagai cara untuk mendidik dan memperbaiki
kelakuan anak-anak, maka setiap pukulan yang dilakukan orangtua kepada anak, baik
menggunakan alat bantu ataupun tidak, akan membentuk perilaku anak-anak menjadi lebih baik
di masa yang akan datang. Namun pada faktanya, angka kekerasan yang terjadi di daerah yang
mempercayai pernyataan menyesatkan ini, justru menghasilkan generasi-generasi yang akan
mewariskan pengalaman kekerasannya pada generasi berikutnya. Ketua Komnas Perlindungan
Anak, Arist Merdeka Sirait, menyatakan bahwa agar budaya kekerasan dapat sirna dari NTT,
maka pernyataan tersebut harus diganti dengan “Di ujung rotan, ada penjara. 7
Kedua, stress sosial (social stress). Stress yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial
meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini antara
lain seperti pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor
housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size),
kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), keberadaan orang cacat (disabled person) di
rumah, dan peristiwa kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus
dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam
kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan
kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa
alasan.
Ketiga, isolasi sosial dan keterlibatan masyarakat. Orangtua dan pengganti orangtua yang
melakukan tindakan kekerasan terhadap anak pada umumnya memiliki kecenderungan terisolasi
secara sosial. Hasil-hasil penelitian menunjukkan sedikit sekali orangtua yang melakukan
kekerasan pada anaknya, aktif terlibat dan ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat; dan
pada saat yang sama, para pelaku umumnya tidak memiliki hubungan yang aktif dengan teman
ataupun kerabat. Contoh nyata terlihat pada kasus Engeline, dimana warga sekitar tempat tinggal
Margriet, baik yang di Bekasi maupun yang di Bali, menyatakan bahwa keluarga Margriet cukup
tertutup sehingga warga tidak terlalu mengenal baik Margriet dan anak-anaknya.8
Keempat, struktur keluarga. Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk
melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih
memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua
7

http://kupang.tribunnews.com/2014/06/18/kekerasan-fisik-menimpa-100-anak
http://m.dev.tempo.co/read/news/2015/06/17/058675764/Kisah-Angeline-Bocah-Ini-Tak-Terurus-SejakAyahnya-Tiada

8

utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat
keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil,
bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan
terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri samasama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
Dari beberapa faktor di atas, faktor-faktor menjadi fakta penyebab kekerasan terhadap anak
sangatlah kompleks dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Kemiskinan, tingkat pendidikan, level stres
orangtua, ataupun kultur adalah sebagian faktor-faktor pendorong yang menyuburkan dan
melanggengkan kasus-kasus kekerasan pada anak. Tetapi faktor-faktor tersebut merupakan efek
dari kegagalan menjawab asumsi atau prakondisi yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan
yang ramah anak. Lemahnya kesadaran hukum di antara orangtua dan komunitas masyarakat
yang ada di sekitar anak, dan ditambah minimnya pengetahuan dan kapasitas yang dimiliki oleh
orangtua tentang pola-pola pengasuhan tanpa kekerasan serta pengetahuan mengenai UU
Perlindungan Anak, menjadi penyebab makin rentannya anak-anak mendapatkan kekerasan. Halhal tersebut masih diperparah dengan rendahnya keterampilan dan pengetahuan para pelaksana
tugas dan penyedia layanan perlindungan anak mengenai pengetahuan-pengetahuan mendasar
terkait anak seperti psikologi perkembangan anak, dan tingkat partisipasi anak, menjadi
sinyalamen bahwa mekanisme perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap anak yang
melibatkan multi stakeholders yang ada di masyarakat, sangatlah diperlukan sehingga proses
pengarusutamaan hak anak (PUHA)9 dalam pelbagai bidang kehidupan masyarakat dapat terjadi,
yang kemudian pada akhirnya akan bermuara pada sebuah lingkungan yang ramah anak.
Untuk memaksimalkan berbagai tindakan yang harus dilakukan untuk melindungi anak,
diperlukan pendekatan berbasis sistem, bukan pendekatan berbasis isu yang sempit dan berfokus
hanya pada kelompok anak tertentu. Sistem perlindungan anak yang efektif akan dapat
melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran.
Membangun Sistem dan Mekanisme Perlindungan Anak Berbasis Komunitas

9

PUHA adalah suatu strategi pelaksanaan perlindungan anak dengan mengintegrasikan hak anak dalam peraturan
perundangan, kebijakan, program, kegiatan dan anggaran, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. PUHA mensyaratkan
adanya integrasi keseluruhan konvensi hak anak dan isu-isu anak ke dalam setiap peraturan perundang-undangan,
kebijakan, kegiatan, dan program pembangunan nasional. Capaian dari pelaksanaan PUHA adalah adanya
penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak anak melalui penyelenggaraan perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan yang berperspektif anak.
PUHA dijadikan batasan dan pijakan dalam menyusun suatu kebijakan serta program pembangunan. Paradigma
PUHA adalah menempatkan isu anak ke dalam isu pembangunan dan mengaitkan semua analisis pembangunan
berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Pasal 3 ayat 1 KHA yang menyatakan bahwa dalam semua
tindakan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama menegaskan upaya tersebut.

Sistem dan mekanisme perlindungan anak yang efektif dan berdasarkan pengarusutamaan hak
anak, mensyarakatkan adanya komponen-komponen yang saling terkait. Komponen-komponen
ini meliputi: (a) sistem kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan keluarga; (b) sistem peradilan
yang sesuai dengan standar internasional; dan (c) mekanisme untuk mendorong perilaku yang
tepat dalam masyarakat. Selain itu, juga diperlukan kerangka hukum dan kebijakan yang
mendukung serta sistem data dan informasi untuk perlindungan anak. Di tingkat masyarakat,
berbagai komponen tersebut harus disatukan dalam rangkaian kesatuan pelayanan perlindungan
anak yang mendorong kesejahteraan dan perlindungan anak dan meningkatkan kapasitas
keluarga untuk memenuhi tanggung jawab mereka.
Rangkaian pelayanan perlindungan anak di tingkat masyarakat, haruslah dimulai dari layanan
pencegahan primer dan sekunder sampai layanan penanganan tersier. Layanan pencegahan
primer bertujuan untuk memperkuat kapasitas masyarakat secara menyeluruh dalam pengasuhan
anak dan memastikan keselamatan mereka. Layanan ini meliputi kegiatan-kegiatan yang
mengubah sikap dan perilaku, memperkuat keterampilan orangtua, dan menyadarkan masyarakat
tentang dampak yang tidak diinginkan dari kekerasan terhadap anak.
Yang dimaksud dengan layanan pencegahan sekunder atau layanan intervensi dini difokuskan
pada keluarga dan anak-anak yang beresiko, dilakukan dengan mengubah keadaan sebelum
perilaku kekerasan menimbulkan dampak buruk secara nyata terhadap anak-anak, misalnya
melalui konseling dan mediasi keluarga serta pemberdayaan ekonomi. Sedangkan layanan
penanganan tersier menangani situasi dimana anak sudah dalam keadaan krisis sebagai akibat
kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, penelantaran, atau tindakan-tindakan buruk lainnya. Oleh
karena itu, intervensi ini bertujuan untuk membebaskan anak-anak dari dampak buruk atau, jika
dianggap layak, melakukan pengawasan terstruktur dan memberikan layanan dukungan.
Dalam pengalaman penulis, layanan kesejahteraan sosial dan keluarga di Kabupaten
Manggarai—meski sangat terbatas—telah mengembangkan penanganan tersier dengan baik bagi
anak-anak dalam krisis, tetapi tetap belum memadai dalam hal pencegahan. Unit-unit polisi
khusus (PPA) dan pusat pelayanan terpadu berbasis rumah sakit (PPT dan PKT) memberikan
pelayanan medis, dukungan psikososial, bantuan hukum dan prosedur investigasi yang sensitif
anak bagi anak-anak yang menjadi korban dari berbagai bentuk kekerasan dan perdagangan anak
yang serius. Akan tetapi, unit-unit pelayanan ini biasanya hanya menangani kasus-kasus yang
paling berat. Unit-unit tersebut tidak memiliki mandat atau kapasitas untuk menilai pengasuhan
dalam keluarga, atau untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan pelayanan dan
perlindungan yang tepat setelah mereka meninggalkan pusat pelayanan tersebut. Sedangkan
respon tersier lainnya yang berfokus pada pengembangan rumah perlindungan sosial anak
(RPSA) dimana korban anak-anak dapat berlindung, belum diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten
Manggarai. Adapun shelter bagi anak-anak yang mendapatkan kekerasan yang ada, adalah
rumah aman yang difasilitasi oleh Kesusteran Gembala Baik Ruteng yang memang
memfokuskan pelayanannya pada penanganan kekerasan pada perempuan dan anak.

Untuk membangun sistem dan mekanisme perlindungan anak berbasis komunitas yang efektif,
maka perlu diadakan sebuah ruang dimana seluruh unsur masyarakat bertemu, berdiskusi dan
menyepakati pentingnya melindungi anak dari ancaman kekerasan yang dilakukan oleh orang di
luar komunitas atau bahkan yang dilakukan oleh orang terdekat dari seorang anak. Dalam
pertemuan ini masyarakat harus membuat konsensus bersama, dan dengan penuh komitmen
tersebut mengupayakan terwujudnya lingkungan yang ramah anak—dimulai dari rumah masingmasing individu hingga kelompok komunitas yang lebih luas lagi.
Mengenai arti komunitas, Kenneth Wilkinson (1991) dalam Green dan Haines (2002:4)
menyatakan bahwa komunitas yang efektif sekurang-kurangnya mempunyai tiga unsur dasar,
yaitu:
1. Adanya batasan wilayah atau tempat (territory or place).
2. Merupakan suatu organisasi sosial atau institusi sosial yang menyediakan kesempatan
untuk warganya agar dapat melakukan interaksi antar warga secara reguler.
3. Interaksi sosial yang dilakukan terjadi karena adanya minat ataupun kepentingan yang
sama (common interest).
Pada pertemuan-pertemuan yang terjadi di komunitas inilah, selain upaya membangun consensus
bersama mengenai pentingnya membangun mekanisme dan sistem perlindungan anak sejak dini,
masyarakat juga perlu diberikan peningkatan kapasitas mengenai: (a) pengetahuan-pengetahuan
praktis tentang isu-isu kekerasan pada anak dan pola asuh yang tanpa kekerasan; (b) pemetaan
anak-anak di komunitas yang rentan mengalami kekerasan atau penelantaran; (c) pemetaan
kapital-kapital ataupun aset-aset yang ada di masyarakat yang dapat digunakan, seperti bangunan
yang dapat digunakan untuk kegiatan warga ataupun kegiatan anak, atau layanan-layanan
perlindungan anak yang tersedia di komunitas; (d) bagaimana cara melaporkan sebuah kasus
kekerasan anak yang terjadi dan merujuk kasus kekerasan pada anak pada penyedia layanan yang
ada di tengah masyarakat.
Mengenai layanan-layanan perlindungan anak yang perlu diketahui masyarakat antara lain:
1. Di tingkat nasional, sudah ada lembaga yang dibentuk untuk menangani kasus-kasus
perlindungan anak, yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Komisi Nasional
Perlindungan Anak. Dua lembaga ini memiliki tugas lembaga terdepan dalam advokasi
maupun pendampingan anak yang menjadi korban ataupun yang berhadapan dengan
hukum. Selain itu, terkait anak yang menjadi korban kekerasan ataupun menjadi saksi
terhadap kasus kekerasan pada anak yang sedang ditangani secara hukum, ada lembaga
khusus yang dibentuk Negara, yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Lembaga ini dibentuk secara khusus oleh Pemerintah untuk menjamin perlindungan
secara komprehensif terhadap saksi dan korban sebuah tindak kejahatan.
2. Di Kepolisian Resor yang berada di tingkat Kabupaten ataupun Kota, ada unit
Perlindungan Perempuan (PPA) yang melayani pengaduan dari masyarakat mengenai

kasus kekerasan pada anak, dan juga kasus kekerasan pada perempuan. Selain itu Unit
PPA juga melakukan proses penanganan kasus dengan melakukan penyidikan perkara.
3. Di tingkat Kota, ada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberyaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A). P2TP2A merupakan lembaga pelayanan yang harus ada di setiap daerah di
seluruh Indonesia, yang bertujuan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat agar
masyarakat dapat melindungi anak-anak dan perempuan dari bahaya kekerasan. P2TP2A
juga merupakan pusat kegiatan terpadu yang menyediakan pelayanan bagi masyarakat
terutama perempuan dan anak korban tindak kekerasan melalui wahana operasional
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, untuk mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender yang dikelola oleh masyarakat dengan pemerintah melalui pelayanan
fisik, informasi, rujukan, konsultasi dan berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan
dan anak. Layanan lain yang tersedia bagi anak yang mengalami kekerasan, adalah
khususnya layanan visum. Bagi korban yang terdaftar sebagai korban oleh LPSK,
layanan ini akan dibayarkan oleh LPSK.
Selain membentuk ruang diskusi dan pemberdayaan masyarakat mengenai mekanisme dan
sistem perlindungan anak, masyarakat juga perlu memberi ruang bagi anak menyatakan
pendapatnya ataupun berpartisipasi dalam menyuarakan haknya sebagai anak. Ini bisa dimulai
dari unit terkecil dalam keluarga, yaitu keluarga. Orangtua dapat menciptakan sebuah ruang
dimana anak bebas menyatakan pendapatnya, seperti menu makanan yang ia inginkan, atau
usulan perjalanan rekreasi yang bisa dilakukan secara bersama.
Di level komunitas, masyarakat dapat memberikan ruang partisipasi anak untuk
mengekspresikan pendapatnya mengenai hal-hal seperti kebersihan lingkungan, sarana bermain
ataupun perpustakaan komunitas. Ruang partisipasi ini bisa melalui media majalah dinding yang
ditempelkan di kantor Kelurahan, ataupun melalui ajang musrenbang anak di tingkat desa atau
kelurahan. Untuk pengarusutamaan hak anak, Pemerintah bersama masyarakat juga mendorong
anak-anak untuk membentuk Forum Anak Desa/Kelurahan. Forum Anak ini merupakan amanat
dari Permeneg PP & PA Nomor 03 tahun 2011 Tentang Kebijakan Partisipasi Anak
dalam Pembangunan.
Kesimpulan: Yesus dan Anak-anak
Injil Markus pasal 10 ayat 13 sampai 16, merupakan nats yang merekam bagaimana perlakuan
dan tindak-tanduk Yesus terhadap anak-anak.
Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah
mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Ketika Yesus
melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: "Biarkan anak-anak itu
datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang
yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang

anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya. Lalu Ia memeluk anak-anak itu
dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.
Dari nats di atas, terdapat tiga perilaku Yesus yang menggambarkan perlakuan dan
pemahamanNya sebagai orang dewasa kepada anak-anak. Pertama, adalah Yesus tidak mengeksklusi10 anak-anak yang dibawa datang kepadaNya. Sebagaimana Yesus melakukan pelayanan
pada orang-orang yang membutuhkan kuasa-Nya, Yesus juga memasukkan anak-anak di dalam
daftar orang-orang yang Ia layani. Anak-anak yang masih bergantung pada orangtuanya tersebut,
Ia izinkan untuk berada di dekatNya. Ia memfasilitasi anak-anak yang datang padaNya, serta
memberikan akses kepada anak-anak untuk mendapatkan pengurapan dan berkat dariNya. Tak
tanggung-tanggung, Ia juga memarahi murid-muridNya sendiri yang berupaya menghalangi
anak-anak itu dariNya.
Kedua, sementara murid-muridNya menganggap anak-anak sebagai pengganggu yang akan
merepotkan Gurunya, Yesus justru menilai anak-anak yang datang sebagai pribadi yang utuh dan
bahkan mengenali anak-anak sebagai pemilik Kerajaan Allah. Yesus tidak memandang
keberadaan anak-anak yang mungkin dipandang sebelah mata oleh murid-muridNya. Yesus
mengenali anak-anak yang dibawa kepadaNya sebagai yang empunya Kerajaan Allah.
Berdasarkan ranah pemberdayaan masyarakat, anak-anak dapat dikelompokkan dalam kelompok
yang kurang beruntung. Ini bukan dikarenakan anak-anak defisit potensi atau daya, tetapi karena
anak membutuhkan perantara yang menjembatani gap antara daya yang sebenarnya ada pada
anak dengan stigma masyarakat yang menganggap anak sebagai “setengah” manusia yang belum
mampu melakukan apa pun. Sehingga memberdayakan anak, sejatinya adalah adalah sebuah
upaya untuk meningkatkan daya dari kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged) karena
minimnya kesempatan mengakses sumber daya yang mereka butuhkan (Ife, 2006:65).
Ketiga, Yesus memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Yesus tidak hanya
sekedar menyambut kedatangan anak-anak dengan ramah, ataupun memandang anak-anak
sebagai yang empunya Kerajaan Allah; tetapi Yesus juga mengekspresikan penerimaannya dan
keyakinanNya akan potensi anak-anak melalui sikap dan perilaku yang penuh dengan kasih
sayang. Dalam teks Injil tersebut di atas, dinyatakan bahwa Yesus memeluk anak-anak yang
datang kepadaNya. Bahkan tidak hanya itu, Yesus pun meletakkan tanganNya atas mereka, dan
memberkati mereka.
10

Eksklusi adalah proses yang menghalangi atau menghambat individu dan keluarga, kelompok dan kampung dari
sumber daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam
masyarakat dengan utuh. Proses ini terutama sebagai konsekuensi dari kemiskinan dan penghasilan yang rendah,
tetapi bisa juga dampak dari faktor lain seperti diskriminasi, tingkat pendidikan yang rendah, dan merosotnya
kualitas lingkungan. Melalui proses inilah individu atau kelompok masyarakat untuk beberapa periode waktu
kehidupan terputus dari layanan, jejaring sosial, dan peluang berkembang yang sebenarnya dinikmati sebagian
besar masyarakat. Lima kekuatan yang mendorong terjadinya proses eksklusi sosial yaitu: (1) kemiskinan dan
penghasilan rendah; (2) tidak ada akses ke pasar kerja; (3) lemahnya atau tidak ada dukungan sosial dan jaringan
sosial; (4) efek dari kawasan dan lingkungan sekitar (neighbourhood); (5) terputus dari layanan (Pierson, 2002).

Perilaku Yesus yang penuh kasih sayang terhadap anak-anak yang datang padaNya, merupakan
cerminan dari pengalaman masa kecilNya yang diasuh dengan penuh kasih sayang. Meski tidak
dinyatakan dengan jelas mengenai kehidupan Yesus pada masa kanak-kanak hingga
kemunculanNya pada usia 30 tahun untuk memulai pelayanan, Injil Lukas 2:52 menyatakan
bahwa Yesus semakin mendapat mengalami kasih sayang dari Allah dan dari manusia. Yesus
tumbuh dalam lingkungan keluarga dan tetangga yang menerima dan mengasihiNya. Sehingga
tak heran, Yesus pun memperlakukan anak-anak yang datang kepadaNya dengan penuh kasih
sayang.
Berdasarkan tiga hal tersebut, maka teladan Yesus dalam membuka diri terhadap anak-anak dan
menerima mereka, menemukenali jatidiri dan potensi anak-anak, serta memperlakukan anakanak dengan penuh kasih sayang dan bukan dengan kekerasan, dapat menjadi landasan untuk
pembentukan mekanisme perlindungan anak berbasis komunitas dan mengupayakan sebuah
lingkungan yang ramah dan layak bagi anak untuk hidup bertumbuh dan berkembang sesuai
rencana Allah, dapat berpartisipasi menyatakan pendapatnya tanpa mengalami perlakuan
diskriminasi dan mendapatkan segala hal yang terbaik yang anak-anak butuhkan untuk masa
depannya.
“It takes a village to raise a child,” demikian peribahasa kuno Afrika yang dipopulerkan oleh
Hillary Clinton lewat bukunya yang berjudul sama pada tahun 1996. Peribahasa ini menyatakan
dengan eksplisit bahwa well-being seorang anak, merupakan kerja kolektif seluruh anggota
masyarakat. Ketika anak dihargai sebagai manusia utuh yang memiliki potensi, ketika ia
dilindungi oleh seluruh masyarakat sekitarnya, ketika ia didengar pendapatnya dan diminta
berpartisipasi dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitarnya, maka ia akan tumbuh
dan berkembang menjadi agen-agen perubah masyarakat yang lebih sejahtera. Ketika masyarakat
secara kolektif menyadari bahwa well-being seorang anak merupakan tanggung jawab bersama,
maka tidak akan ada lagi anak-anak yang menjadi korban.
Selamat jalan Engeline. Maafkan kami semua karena belum mampu memberikan tempat yang
aman untukmu tumbuh dewasa mencapai segala hal-hal yang baik yang mungkin dapat kamu
alami. Semoga darimu, kami lebih aktif bertindak, dan arif belajar sehingga tidak ada lagi anakanak yang menjadi korban. Damailah di Surga, Adik sayang.

Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Buku-buku
Adi, Isbandi Rukminto. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar Pada
Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan. Jakarta: FISIP-UI Press.
____________________. 2012. Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat: Sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Astuti, Mulia. 2013. Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak: Studi Kasus Program
Kesejahteraan Anak di Propinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan NAD. Jakarta: P3KS
Press.
Departemen Sosial RI. 2008. Pedoman Pelayanan Anak Terlantar Berbasis Keluarga dan
Masyarakat. Jakarta.
Gelles, Richard J., & Jane Lancaster (ed). 1987. Child Abuse and Neglect: Biosocial
Dimensions. Hawthorne, NJ: Aldine De Gruyter.
Green, Gary Paul., & Anna Haines. 2002. Asset Building and Community Development.
Thousand Oaks: Sage Publications, Inc.
Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Percikan Pemikiran.
Bandung: LSP
__________. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT. Refika
Aditama.
__________, 2013. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Soetomo. 2009. Pembangunan Masyarakat: Merangkai Sebuah Kerangka. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
________. 2011. Masalah Sosial Dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.