LAPORAN STUDY TOUR MENGENAL KOMUNITAS BI

PENGANTAR ILMU SASTRA

LAPORAN STUDY TOUR
MENGENAL KOMUNITAS BISSU DI SEGERI
PANGKEP

Disusun Oleh :
EKAWATI NURDIN

(2016030012)

PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS
FAKULTAS BAHASA
UNIVERSITAS SAWERIGADING
2017

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah mata kuliah Pengantar Linguistik dengan judul ” SEJARAH BISSU DI PANGKEP”.
Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad

SAW yang menjadi panutan kita umat islam di seluruh dunia.
Makalah ini dibuat dalam jangka waktu tertentu sehingga menghasilkan
karya yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak terkait yang telah membantu kami dalam menghadapi berbagai
tantangan dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar
dalam makalah ini. Oleh karena itu, saya mengundang pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsi positif bagi kita
semua.

Makassar, 09 Januari 2017

Penulis

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.................................................................................................................................................. 3
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................................... 4
1.1

LATAR BELAKANG................................................................................................................ 4

BAB 2 PEMBAHASAN.............................................................................................................................. 5
2.1

SEJARAH SINGKAT KAMPUNG BISSU...........................................................................5

2.2

TRADISI BISSU DI MASA SEKARANG.........................................................................12

2.3

BERKUNJUNG KE RUMAH ARAJANG..........................................................................14

2.4


MATA PENCAHARIAN PARA BISSU………………………………………………………15

BAB 3 PENUTUP..................................................................................................................................... 17
3.1

KESIMPULAN....................................................................................................................... 17

LAMPIRAN................................................................................................................................................ 18

3

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Segeri adalah salah satu kecamatan yang ada di Pangkep yang berjarak
70 km dari Makassar. Di daerah inilah banyak berdiam komunitas bissu yang
saat ini sangat eksis di kalangan masyarakat. “Bissu”, begitu panggilan akrab
pada beberapa pria feminisme yang tidak mempan senjata tajam saat

menunjukkan atraksi seni tarian Maggiri. Dalam kehidupan sosial, pria
feminisme disebut waria, wandu atau banci yang dalam bahasa bugis waria
disebut calabai, berasal dari kata “salabai” atau “sala baine”, yang artinya
bukan perempuan.
Bissu diyakini berasal dari kata “bessi’ atau “mabessi” yang artinya
bersih, suci, tidak kotor karena mereka tidak berpayudara dan tidak
mengalami menstruasi. Bissu berkedudukan sebagai penyambung lidah raja
dan rakyat, juga merupakan perantara antara langit dan bumi karena mereka
menguasai bahasa “torilangi’ yang hanya dimengerti sesama bissu dan para
dewata. Mereka (bissu) adalah pelestari tradisi, adat budaya, serta
kepercayaan lama yang dianut oleh masyarakat bugis kuno jauh sebelum
pengaruh agama islam masuk.
Kehadiran bissu ini bagi masyarakat bugis Makassar yang umumnya
beragama islam jelas di satu sisi mengundang kontroversi. Namun demikian,
upacara pemujaan kepada dewata dan leluhur yang tentu saja diluar ajaran
agama islam masih di apresiasi dengan baik oleh masyarakat yang
menggantungkan hidupnya sabagai petani dan nelayan.
Seorang calon bissu akan membutuhkan pendidikan serta pelatihan
yang tidak mudah, perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat menjadi bagian
dari komunitas ini. Yang paling cepat daya tangkapnya terhadap pelajaran

dapat dinyatakan lulus dalam masa 3-5 tahun.
Jika dulunya komunitas bissu dewatae memiliki kedudukan tinggi
sebagai penasehat kerajaan dan hidup mereka sepenuhnya di biayai oleh

4

kerajaan, kin mereka umumnya bekerja mandiri sebagai ahli tata rias dan
tradisional event organizer. Jasa mereka banyak digunakan oleh masyarakat
yang ingin mengadakan persta pernikahan, khitanan, serta upacara
tradisional lainnya. banyak juga dari mereka yang memiliki kemampuan
meramal dan ramai dikunjungi oleh masyarakat untuk mengetahui hari baik
dalam melaksanakan kegiatan upacara tradisional.
Penting untuk kita ketahui bahwa komunitas Bissu bukan hanya
terdapat di Pangkep tapi juga ada di beberapa daerah bahasa lainnya. namun
demikian, “Bissu DewataE” sebutan bagi komunitas bissu di Pangkep.
Beberapa tahun yang silam, Bissu DewataE dipimpin oleh Puang Matowa
Saidi yang saat ini sudah wafat. Untuk menghargai keberadaan bissu ini kita
harus memposisikan diri berpikir dalam kerangka apa : dalam kerangka
agama, budaya, pariwisata, atau kerangka apa, sehingga bissu menjadi “tidak
terdzalimi” oleh penilaian kepentingan kita.


BAB 2
PEMBAHASAN

5

2.1 SEJARAH SINGKAT KAMPUNG BISSU

2.1.1 Tentang Segeri
Segeri adalah salah satu kecamatan yang ada dipangkep yang berjarak
70 km dari Makassar. Kata Segeri berasal dari kata sigere-gere dalam bahasa
bugis yang artinya saling membunuh, dugaan ini dilatar belakangi terjadinya
peristiwa pertumpahan darah didaerah itu pada masa lampau, dimana
daerah itu menjadi tempat bertemunya dua orang atau kelompok dengan
sama-sama mempertaruhkan siri’nya (harga diri) yang harus terbalaskan
setelah pertumpahan darah terjadi sebagai tumbalnya.
Dugaan kedua, daerah yang sekarang bernama Segeri itu awalnya
adalah merupakan wilayah kerajaan Siang, yang diperebutkan oleh Gowa dan
Bone untuk dijadikan Wanua


Palili. perseteruan wilayah itu kemudian

melahirkan konflik berdarah pertempuran antara lascar Gowa dan Bone,
saling membunuh (sigere’) untuk memperebutkan wilayah itu. dalam sejarah
memang diketahui bahwa Segeri pernah menjadi wanua Palili kerajaan Bone,
dalam periode yang lain Segeri juga pernah menjadi wanua Palili kerajaan
Gowa.

Dalam

perjanjian

Bungaya

daerah

ini

dikenal


sebagai

Noorderprovincien (daerah-daerah utara), suatu daerah yang dimasukkan
dalam wilayah pemerintahan dan kekuasaan Fort Roterdam setelah Gowa
kalah dalam perang Makassar (Makkulau, 2006).
Adapula yang menyatakan bahwa kata Segeri berasal dari kata
Sigegeri yang artinya geger : ribut diiringi tawa terbahak-bahak, saling
melampiaskan rasa senangnya atau ramai.
2.1.2 Bissu di Segeri
Bissu adalah panggilan akrab pada beberapa pria feminisme yang
tidak mempan senjata tajam saat menunjukkan atraksi seni tari maggiri,
dalam kehidupan sosial, pria feminisme atau pria yang bertingkah laku
sebagai mana layaknya perempuan biasa disebut waria yang dalam bahasa
bugis disebut calabai yang berasal dari kata “salabai” atau “salabaine” yang
berarti bukan perempuan, disebut demikian karena terlahir sebagai pria tapi
bertingkah laku seperti perempuan atau jiwa perempuannya lebih dominan.

6

Kata bissu berasal dari kata “bessi” atau “mabessi” yang artinya bersih,

suci, tidak kotor karena mereka tidak berpayudara dan tidak menstruasi.
Bissu merupakan perantara antara langit dan bumi, hal ini dimungkinkan
karena kemampuannya yang menguasai bahasa “Torilangi” yang hanya bisa
dimengerti oleh para bissu dan para dewata. Dalam naskah kuno, surek
Galigo dikisahkan bahwa bissu pertama yang ada dibumi bernama lae-lae
atau biasa dipanggil bakdolo yang dikisahkan turun dari langit.
Pada masa kerajaan, pernah hidup empat puluh satu bissu yang
disebut bissu patappuloe seddi yang dipersyaratkan sebagai jumlah bissu
yang harus hadir pada upacara adat mappalili, namun seiring perkembangan
usia, bissu pada masa kini semakin berkurang dikarenakan banyak yang telah
meninggal dan juga berkurangnya minat anak bangsa khususnya yang di
Segeri untuk menjadi bissu, karena dianggap aneh oleh sebagian masyarakat.
Untuk menjadi bissu, seorang laki-laki yang berjiwa perempuan harus
menjadi calabai sesungguhnya dalam artian bukan waria yang hanya ingin
bermain-main dengan ilmu yang dimilikinya dan juga hanya untuk
memuaskan keinginannya dengan banyak laki-laki.
Bissu adalah pelestari tradisi, adat budaya dan pemelihara bendabenda kebesaran dan keagamaan yang dianut oleh masyarakat bugis kuno
jauh sebelum pengaruh agama islam masuk. Dengan kekuatan yang dipercaya
sebagai kekuatan supernatural , Bissu Dewatae sebagai penasihat kerajaan
yang sangat dihormati dan disegani digambarkan sebagai manusia setengah

dewa dan dianggap sebagai media komunikasi dengan dunia spiritual.
Komunitas Bissu Dewatae hidup dalam suatu aturan serta disiplin yang tinggi
yang tampaknya sulit untuk dijalankan oleh mereka yang tidak mampu
melihat gaya hidup semacam ini sebagai suatu panggilan suci.
Saat ini komunitas bissu di Pangkep banyak berdiam di Kecamatan
Segeri, Bissu dengan tradisi anehnnya (lelaki yang berperan sebagai
perempuan) juga dikategorikan sebagai pendeta agama Bugis Kuno pra Islam.
Mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para Dewata
dan sesamanya. Keberadaan bissu sebagai benang merah kesinambungan
adat dan tradisi Bugis Kuno yang masih eksis di tanah Bugis hingga saat ini.

7

Seperti sebagian besar komunitas adat dan spiritual bissu juga
memiliki sesuatu yang diagungkan yang mereka sebut dengan Arajang.
Arajang komunitas bissu yang berada di Kelurahan Bonto Matene, Kecamatan
Segeri , Kabupaten Pangkajene & Kepulauan berupa dua batang kayu yang di
bungkus dengan kain kafan kemudian diikat dan di gantung di dalam sebuah
rumah yang telah disiapkan untuk menyimpan Arajang tersebut. Arajang
tersebut ditutupi dengan kelambu dari kain berwarna merah yang di

dalamnya juga terdapat sebuah tempat tidur kecil yang konon menjadi
tempat peristirahatan Dewata mereka.

a. Riwayat Bissu dari Masa ke Masa
Kehadiran bissu mulai terdesak pada awal abad XVII yaitu setelah
masuknya agama Islam, sejak saat itulah peran bissu dalam kerajaan mulai
tersingkirkan perannya. Perannya sebagai penasehat kerajaan kemudian
digantikan oleh lembaga penasehat kerajaan yang baru disebut Parewa Ada
dan Parewa Sara’. Parewa ada adalah lembaga penasehat kerajaan yang
memberikan pertimbangan dari aspek adat kepada raja sedangkan parewa
sara’

merupakan

lembaga

penasehat

kerajaan

yang

memberikan

pertimbangan dari aspek syariat atau dari segi tinjauan agama kepada raja.
Setelah agama Islam masuk ke kerajaan-kerajaan Bugis, peranan bissu
sebagai pendeta Bugis pra Islam nyaris hilang karena upacara –upacara ritual
tidak digunakan lagi atau dianggap sebagai kegiatan syirik dan pertentangan
dengan semangat penyerapan syariah yang di motori oleh kerajaan Gowa.
Selain itu peranan bissu semakin memudar ketika pemerintahan kerajaan
beralih ke pemerintahan republik (M.Farid W Makkulau: 2007).
Pada masa perjuangan DI/TII gerombolan pimpinan Kahar Muzakkar
melancarkan

operasi

penumpasan

bissu

dengan

membakar

atau

menenggelamkan perlengkapan upacara ritual bissu. Selain itu bissu ataupun
sanro juga dibunuh oleh pasukan DII/TII, dan adapula bissu yang dibiarkan
hidup namun digunduli lalu dipaksa menjadi laki-laki tulen. Merekalah yang
diam-diam menjadi bissu-bissu tua dan generasi terakhir yang mewarisi
kejayaan Bugis klasik (Dr. Halilintar Lathief).

8

Bissu bisa bertahan hingga saat ini karena punya fungsi sosial yang
terekam dalam masyarakat. Sejak zaman Bugis Kuno hingga sekarang ini,
masih ada sebagian masyarakat Bugis yang percaya bissu dapat
menghubungkannya dengan leluhur dan mengabulkan segala hasrat
keinginan dan permohonannya. Maka tidak heran banyak pemuda-pemudi
datang ke rumah arajang untuk memperbaiki nasibnya dengan cara di
berikan mantra (ma’dukun-dukun).

b. Pelantikan dan pemilihan puang matoa bissu
Pada masa kerajaan proses pelantikan dan pemilihan puang matoa
bissu dipilih oleh rakyat dan dilantik oleh raja bersamaan dengan dilantiknya
puang lolo. Pada hari pelantikan bissu berpakaian sebagai mana pakaian
upacara, lalu berduyung-duyunglah mereka menuju tempat kediaman calon
puang matoa untuk menjemputnya dengan membawa sesajian yaitu sebuah
talam berisi seikat daun sirih, tiga biji pinang dan wangtali lima buah. Tiba
disana calon puang matoa telah siap dan lengkap dengan pakaian upacaranya
dengan memakai songkok putih, selanjutnya dari sana puang matoa diiring
keistana untuk menjemput raja menuju tempat upacara, kemudian bersamasamalah raja dengan puang matoa bissu menuju ketempat upacara dimana
rakyat telah hadir menunggunya. Tiba ditempat itu raja mengumumkan
pelantikan kepala bissu itu dan berseru kepada rakyat bahwa yang
berpakaian kebesaran dan bersongkok putih itu ialah yang disepakati dan
dipilih mulai hari ini menjadi puang matoa bissu, pemimpin asuhan arajang
kita disegeri ini, ucapan itu diuulangi sebanyak tiga kali dan suara rakyatpun
bergemuruh bersorak bergembira. Sesudah upacara peresmian pelantikan ini
puang matoa bissu yang baru diarak oleh rakyat banyak menuju bola arajang,
tempat kediaman alat kebesaran itu.
c. Panggilan Spritual menjadi Bissu
Untuk menjadi seorang bissu memang di persyaratkan sebelumnya
harus berasal dari waria (laki-laki dengan sifat dan tingkah laku perempuan
yang lebih menonjol), juga harus ada panggilan spiritual dan ketekunan
mendalami ilmu kebissuan. Setelah seseorang telah menjalani masa magang

9

di Puang Matowa Bissu dan dianggap telah sempurna ilmu kebissuannya,
maka seorang bissu diwajibkan untuk selalu menjaga tutur kata, sikap dan
perbuatannya.
Selain dari segi penampilan dan cara berpakaian perbedaan bissu
dengan waria kebanyakan adalah ilmu, bahasa dan kesaktian yang dimiliki
oleh seorang bissu. Kesaktian para “waria bugis” itu bukan hanya terlihat saat
melakukan aksi “maggiri” (menusuk badan menggunakan benda tajam tapi
tidak mempan), melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Setiap waria
yang telah menjadi bissu diyakini memiliki kemampuan untuk melakukan
kontak dengan masa lalu dan juga masa ke depan. Dengan bahasa tersendiri
atau bahasa torilangi (bahasa orang langit), bissu mampu berkomunikasi
dengan para leluhurnya di masa lampau.
Bissu juga memiliki kemampuan mempraktekkan pengobatan ala
sanro (perdukunan) yaitu cukup dengan membacakan mantra-mantra dan
doa disertai kepulan asap kemenyan. Di samping itu, bissu juga diyakini
memiliki kemampuan meramal, yaitu kemampuan melihat hari baik
melakukan sesuatu atau hari pantangan melakukan sesuatu.
1) Berawal dari Mimpi
Perjalanan salah satu bissu yang di takdirkan menjadi bissu pada
tahun 2003 diawali lewat mimpi semasa SMP. Dalam mimpinya, ada seorang
lelaki tua berbusana putih menyuruhnya pergi ke rumah pusaka. “waktu itu
saya takut kesana karena pakaian mereka perempuan tapi mukanya besarbesar” kenangnya. Pada mimpi ketiga, barulah ia memberanikan diri . Waria
bernama kecil Kahar ini mengakui, sejak kecil memang merasakan ada
kelainan dalam dirinya yang lebih suka berlaku seperti perempuan. Di rumah
puang matowa, beliau mempelajari ilmu-ilmu bissu yang hanya beredar di
kalangan mereka, sekaligus belajar keterampilan merias pengantin dan tata
caranya menurut adat Bugis.
Menurut beliau, panggilan spiritual menjadi bissu tidak dapat
direkayasa, apalagi sampai berbohong. Sebagai pemimpin, puang matowa
juga akan mendapatkan isyarat tentang adanya waria yang akan datang
magang ke rumahnya. Sesama bissu juga mendapat semacam anugerah untuk

10

dapat mengetahui basa torilangi, meski tak ada yang mengajarkannya kepada
mereka.
2)

Berpuasa dan Bernazar
Waria (calon bissu) yang akan di lantik menjadi bissu diwajibkan

berpuasa (appuasa, mappuasa). Lama waktu puasa sangat ditentukan oleh
tingkat penerimaan atau kemampuan calon bissu dalam menerima ilmu-ilmu
kebissuan. Ada yang menjalani puasa selama sepekan, namun ada pula yang
menjalani hingga masa waktu 40 hari.
Setelah itu, calaon bissu diwajibkan untuk bernazar (mattinja’)
sebelum menjalani prosesi irebba. Proses menjalani puasa ini merupakan
tahap yang dianggap berat oleh beberapa bissu. Dalam menjalani proses
puasa tersebut, mereka juga dituntut untuk menjaga segala sikap, tingkah
laku dan perbuatan agar tidak tercela dan menodai kekhusu’an berpuasa.
3)

Prosesi Irebba
Seorang waria baru bisa dikategorikan layak menjadi bissu

sepenuhnya berdasarkan penilaian Puang Matowa atau Puang Lolo Bissu.
Namun, sebelum benar-benar diterima sebagai bissu, ia harus menjalani
prosesi irebba (rebba, berbaring atau di baringkan) yang di lakukan di teras
depan pada “Bola ArajangE”. Tahap ini merupakan proses paling penting dan
wajib di lalui sebelum seseorang itu dianggap sah sebagai bissu.
Prosesi irebba dilakukan berhari-hari, biasanya tiga atau tujuh hari.
Proses ini dimulai dengan proses dimandikan (dipassili), lalu di kafani, dan di
baringkan selama masa hari yang di nazarkan. Diatas perutnya, di simpan 2
buah kelapa. Setelah bissu melewati upacara sakral itu, seorang waria resmi
menjadi bissu . Sejak itu, seorang bissu tampil anggun (malebbi) dan
senantiasa berlaku sopan. Seorang bissu di wajibkan untuk menjaga sikap,
perilaku dan tutur katanya. Konon, tak sedikit bissu yag melanggar ketentuan
dari para dewa, kemudian celaka. Misalnya apabila mereka melakukan tindak
asusila.

2.2 TRADISI BISSU DI MASA SEKARANG

11

Seperti terjadi di mana-mana di nusantara ini, lambat laun tata upacara ini
diarahkan untuk kepentingan penggalangan massa partai tertentu dan untuk
memajukan pembangunan. Masuklah beberapa acara baru dalam tata upacara
tradisional yang telah dipertahankan kelestariannya oleh orang-orang Bugis selama
beberapa dekade di desa tersebut. Demi untuk penyesuaian dengan dinamika
pembangunan, kemudian tata laksana upacara mappalili yang disusun oleh
pemerintah Orde Baru lebih diarahkan kepada menggalang wisatawan. Upacara
palili diharapkan dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Upacara dan
benda-benda pusaka yang dulunya sakral, kini menjadi seni kemasan untuk
wisatawan

dan

menjadi

ajang

hiburan

saja.

Tidak

sedikit

anak

muda

mempergunakan kesempatan upacara sakral mappalili ini sebagai ajang main-main.
Misalnya pada saat ucara siram-siraman usai palili, ada sebagian orang yang sengaja
menyiram peserta upacara dengan air yang bercampur dengan air comberan.
Upacara itu tidak lagi dianggap sakral bagi mereka. Padahal sebagaimana yang
dipercaya masyarakat Segeri, bahwa upacara mappalili sebagai salah satu upacara
sakral mempunyai beberapa pantangan yang harus ditaati oleh warga masyarakat.
Kini mereka tidak hanya meladeni hajatan masyarakat yang sesekali mengundang
mereka, tetapi mereka juga menari untuk suguhan wisatawan yang berkunjung ke
Segeri atau di Pare-pare.[15] Bahkan Dinas Pariwisata Kabupaten Pangkep telah
menurunkan fungsi dan derajat komunitas Bissu Segeri ini menjadi sebuah sanggar
tari bernama Sanggar La Pawowoi Segeri.
Faktor eksternal lainnya adalah penyebaran ajaran Islam yang menganggap
seluruh kegiatan Bissu tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam murni.
Penyebaran agama Islam membawa arti dan pengaruh yang sangat cepat bagi
perkembangan yang menyimpang dari kebiasaan lama Bissu. Tradisi Bissu pelanpelan memudar, berkat kokohnya peningkatan dari cita-cita modern dan juga
pertambahan keinsyafan dalam masalah agama Islam secara mendasar dalam
masyarakat.
Pada masa lampau, pelaksanaan upacara ritual palili yang dipelopori oleh
kaum bangsawan dan hartawan Bugis di Segeri dilaksanakan sangat meriah dan
hikmat. Upacara ini dilaksanakan setahun sekali sebagai tanda memulai
mengerjakan sawah untuk bertanam padi. Akan tetapi sejak tahun 1966, upacara ini
sudah disederhanakan. Kalau tadinya upacara berlangsung selama 40 hari 40
malam, kemudian berubah 7 hari 7 malam, sekarang hanya satu malam saja.

12

Mengomentari perubahan ini, Haji Syamsuddin, Lurah Bontomatene Segeri hanya
mengatakan:
“… upacara palili tetap dilaksanakan, akan tetapi tidak semeriah dulu ketika
Puang Towa masih tinggal di Bola Arajang. Hal ini disebabkan karena dianutnya
paham baru dalam masyarakat Segeri Mandalle, yaitu semakin tingginya keimanan
mereka terhadap Tuhan YME.”
Walaupun demikian, sinkritisme telah terjadi di kalangan pendukung ritual
Bissu. Menurut Imam Kampung Panaikang:
“… sekarang ini tidak ada lagi pengelompokan dalam masyarakat Segeri.
Masyarakat sekarang sudah menganut satu ajaran atau aliran, yaitu Ahlul Sunnah
wal Jamaah. Adapun golongan masyarakat ini tidak menentang diadakannya upacara
mappalili, tetapi mereka tidak ikut secara langsung mendukung pelaksanaan
upacara. Sebab menurut ajaran mereka sebelum memulai sesuatu terlebih dahulu
harus membaca doa-doa yang diiringi sesajen untuk dibaca.”
Sebuah upacara pelepas nazar yang menarik terjadi di Desa Kanaungan
Kecamatan Labbakkang pada tanggal 1 hingga 3 September 1999. Para Bissu ini
datang dari desa lain dan dihargai oleh kaum tua. Khusus bagi generasi muda,
upacara tersebut hanyalah sebagai suatu jenis hiburan yang aneh belaka. Upacara
yang menelan biaya tidak kurang dari ima juta rupiah tersebut, dilaksanakan oleh
sepasang suami-istri, yaitu Haji Nawir dan istrinya Hajja Moga. Upacara tersebut
baru dilakukan kembali oleh keluarga tersebut setelah terhenti selama 35 tahun
lamanya (terakhir tahun 1964).[18] Yang menarik selama tiga hari upacara ini
adalah para pesertanya yang terdiri ibu-ibu dan bapak-bapak haji, keluarga besar
Haji Nawir dan Hajja Moga. Semua mengenakan pakaian haji. Bukan itu saja, pada
saat-saat tertentu (misalnya pada matangesso dan malabbekesso) ternyata para
Bissu juga membungkus kepalanya dengan sehelai kain putih mirip para haji
tersebut. Bahkan Bissu Lolo Saidi yang bertindak sebagai Pangulu (pimpinan)
mengenakan jubah serbah putih.[19] Pada hari terakhir dilakukan persembahan
turun dan naik. Persembahan turun upacara yang jaraknya berjauhan satu dengan
lainnya.[20] Pada tempat-tempat tersebut, seorang pembaca doa dari desa
bersangktan ikut membacakan doanya. Malam harinya dilakukan persembahan ke
atas yang sebelumnya dilakukan oleh seorang imam mesjid yang bergelar Angre
Gurutta (AG) atau guru besar.

13

2.3

BERKUNJUNG KE RUMAH ARAJANG
Puang Salma (39 tahun) duduk menghadap sebuah benda besar yang dililit

kain putih. Di depannya sebuah benda kecil dari kayu berukir terus mengeluarkan
asap. Aroma dupa memenuhi ruangan sekira 3 m x 10 m itu. Cahaya matahari masuk
lewat pintu, menyisakan separuh ruangan dalam keremangan. Gabungan antara
rapalan doa dan mantra dengan abu dupa serta suasana remang-remang tak pelak
membuat suasana jadi terasa senyap dan mistis. Dia duduknya menghadap ke arah
kami.
Kami dipersilahkan untuk masuk ke ruangan tersebut. Kami juga
dipersilahkan mengambil gambar sembari melihat- lihat benda suci yang ada
didalamnya. Sawah yang disucikan, dalam bahasa Bugis namanya rakkala’ yang
dianggap sebagai salah satu benda keramat peninggalan kerajaan Segeri. Dalam
bahasa Bugis namanya arajang, atau sesuatu yang disucikan/dikeramatkan
di Saoraja atau istana raja. Saoraja itu berbentuk rumah panggung khas Bugis
dengan warna dominan hijau, berdiri di atas tanah luas yang sekelilingnya ditutup
pagar batu. Sebagian pagar sudah doyong ke depan, seperti sisa menunggu waktu
sebelum terjerembab ke tanah.
Di Saoraja itulah arajang kerajaan Segeri disimpan, istilahnya ditidurkan.
Sekali setahun arajang itu dibangunkan, tepatnya di awal musim tanam padi. Sebuah
upacara harus digelar untuk membangunkan arajang itu, namanya mappalili. Para
bissu berada di garis depan memimpin upacara mappalili yang ditutup dengan
peragaan nan mistis yang menunjukkan kesaktian mereka. Namanya maggiri. Dalam
acara maggiri, para bissu akan menusuk diri mereka dengan badik atau keris.
Jangankan luka, guratan kecilpun tidak akan terlihat sama sekali, padahal badik atau
keris itu kadang ditancapkan di pangkal leher, di salah satu titik paling vital di tubuh
manusia.
Tanpa upacara mappalili yang dirangkaikan dengan atraksi maggiri itu, para
petani di Segeri tidak akan berani mulai menggarap sawah mereka. Konon nasib sial
akan mengikuti sesiapa yang mulai menggarap sawah sebelum upacara mappalili.
Sejenak setelah arajang menyentuh tanah, seketika itu pula musim tanam resmi
dimulai. Warga boleh mulai menggarap sawah-sawah mereka, berharap hasil yang
meruah dalam setahun ke depan.

14

2.4 MATA PENCAHARIAN PARA BISSU
Sistem mata pencaharian adalah pekerjaan yang menjadi pokok
penghidupan, pekerjaan atau pencaharian utama yang dikerjakan untuk
biaya sehari-hari guna usaha pemenuhan kehidupan.
Masyarakat Segeri rata-rata berprofesi sebagai petani, pekebun dan
pedagang, hal ini ditandai dengan banyaknya hamparan sawah, penjual jeruk,
dan penjual dange di sepanjang jalan menuju Segeri.
Umumnya waria-waria di Segeri berprofesi sebagai perias pengantin,
sebagaimana juga profesi yang umum dilakoni oleh para waria dimanapun
mereka berada. Semua bissu memilih menjadi perias pengantin sebagai ujung
tombak untuk menafkahi hidupnya, terjun dalam urusan perkawinan seperti
merias pengantin, membuat dan menyewakan baju pengantin, juru masak
pengantin atau yang dalam bahasa bugis disebut “bass” dan menyewakan
peralatan pesta sampai tata urutan pestanya, penghasilan yang diperolehnya
pun lumayan. Saat musim hajatan, wedding organizer (indo’ botting) bisa
menangani 3 samapi 7 pengantin sehari, satu pasang ditarif minimum 2 juta
rupiah.
Salah satu bissu yang berada di Segeri adalah Salemma, Salemma sendiri
dalam kesehariannya bekerja sebagai perias pengantin (indo botting) dan
juru masak (paddawa-dawa, bass) memiliki penghasilan kurang lebih 2,5 juta
per resepsi pernikahan. Saat melaksanakan tugasnya sebagai juru masak
pada pesta perkawinan, beliau juga bersosialisasi dengan masyarakat sekitar
tempat resepsi. Maka tak heran bahwa Salemma sangat banyak di kenali oleh
orang di daerah Segeri dan sekitarnya karena selain piawai merias pengantin
dan memasak, beliau juga pandai bersosialisasi.
Selain mejadi indo’ botting, bissu juga mendapatkan penghasilan dari
pentas-pentas yang diadakan di dalam daerah, maupun luar daerah, bahkan
Internasional.
Kondisi kehidupan dan profesi yang dijalaninya sudah membaik, begitu
pula penilaian masyarakat terhadapnya juga semakin baik, dibandingkan
dengan dulu yang katanya sempat dilaluinya dengan penderitaan. Bissu
Salemma sendiri, seperti kebanyakan waria lain, pernah mengalami
penolakan dari keluarga dan masyarakat karena di anggap abnormal. “Urane
Maccalabai” (laki-laki kok banci), begitu hardikan orang yang biasa

15

diterimanya. Panggilan spiritual menjadi bissu inilah yang kemudian
mengangkat derajatnya menjadi “bukan sekedar waria biasa”. Tentunya,
semakin baik penerimaan masyarakat terhadap ke-abnormalan bissu ini akan
semakin memudahkan bagi bissu untuk menata lebih baik pula kehidupan
sosial ekonominya.
Beberapa bissu belakangan juga diketahui berumah tangga atau
mempunyai suami layaknya seorang perempuan, namun rumah tangga yang
dimaksud disini hanyalah sebatas seorang laki-laki yang tinggal dirumah
waria tersebut tanpa resepsi pernikahan atau ijab qabul.

BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Boleh dikatakan, Bissu yang masih tersisa sekarang ini adalah generasi
terakhir yang mewarisi tradisi Bugis klasik. Kini komunitas Bissu yang makin
berkurang ini berada dalam ambang antara ada dan tiada. Dikatakan ada karena
sesekali komunitasnya masih menghendaki dan memandang perlu untuk
mengedepakannya bagi kepentingan yang bertalian dengan upacara. Dapat menjadi
tiada ketika masyarakat yang semula menopang keberadaannya kemudian
meninggalkannya karena berbagai sebab. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa
Bissu saat ini hanya sebagai perhiasan saja, dalam arti keberadaannya kini masih

16

dirasakan kehadirannya, namun dianggap tidak ada lagi. Hidup tidak, mati pun tak
rela.
Berbagai faktor eksternal dan faktror internal yang menjadikannya demikian.
Faktor eksternal antara lain adalah pergseran pemahaman tentang keagamaan dan
perubahan sistem pemerintahan dari sistem kerajaan ke negara kesatuan yang
bermuara pada melemahnya lembaga adat dan hak tanah adat. Sementara faktor
internal komunitas Bissu adalah bagaimana mereka harus beradaptasi dengan
jaman yang penuh perubahan, dan regenerasi kepemimpinan serta keanggotaan
baru.

17

LAMPIRAN

18

19

20

21

22

23

24

25