Reformasi Hukum dan Sinergitas Antarlemb

Reformasi Hukum dan Sinergitas Antarlembaga Negara:
Mencegah Ketidakpercayaan Rakyat terhadap
Simbol-Simbol Negara1
Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.2

”Masyarakat menghendaki substansi yang lain dengan teriakan supremasi
hukum. Rasanya bukan hukum (dalam makna sempit) yang diburu masyarakat,
tetapi hal yang lebih substansial, yaitu keadilan”
(Satjipto Rahardjo, 1930 - 2010)
Pendahuluan
Bangsa Indonesia baru saja melewati perhelatan akbar di tingkat nasional,
yaitu Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden serta Wakil
Presiden pada 2009. Sebagai ujung tombak demokrasi, proses dan hasil Pemilu
tentunya membawa konsekuensi penting bagi kelanjutan kehidupan bernegara
dari suatu bangsa. Dalam konteks ini, tahun 2009 seharusnya dinisbatkan
menjadi tahun pendidikan berpolitik bagi rakyat Indonesia, namun yang terjadi
justru berbeda, sebab yang lebih terekam adalah tahun dimana terjadi carutmarut dalam dunia penegakan hukum.
Alasannya sederhana, sederet peristiwa hukum secara berturut-turut
menjadi potret buram di tengah-tengah pandangan masyarakat Indonesia. Mulai
dari kisruh terjadinya ribuan sengketa pemilihan umum, penjatuhan bermacam
1


Disampaikan dalam Focus Group Discussion Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dengan
tema “Memantapkan Sinergitas antar Lembaga Negara untuk Mengimplementasikan Reformasi
Hukum guna Mencegah Distrust terhadap Simbol-Simbol Negara dalam rangka Memantapkan
Stabilitas Nasional” pada hari Rabu, 24 Februari 2010 di Ruang Rapat Deputi Pengkajian
Strategik, Lemhanas RI, Jakarta. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
2

Staf Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia
(ISHI).

1

vonis pengadilan yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat kecil, hingga
episode silang sengkarut kasus hukum “Bibit-Chandra”.
Tidak berhenti sampai di situ saja, terbukanya fakta-fakta tentang praktik
terselubung mafia peradilan serta terungkapnya fenomena istana mewah dalam
penjara, semakin mendedahkan ketidakberesan kondisi negara hukum Indonesia
selama ini. Terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, sebagian besar rakyat nampak
dipenuhi peluh rasa kecewa, pasalnya tuntutan atas pelaksanaan reformasi

hukum yang telah digulirkan sejak 12 (dua belas) tahun silam belum
memberikan perubahan yang signifikan bagi kelangsungan hidup mereka secara
riil.
Akibatnya, ketidakpercayaan masyarakat (people distrust) terhadap
lembaga negara yang ada sekarang ini, khususnya kepada institusi dan aparat
penegak hukum, semakin menjadi-jadi. Demonstrasi demi demonstrasi terjadi
hampir di seluruh penjuru tanah air sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat
sipil (civil society) atas kinerja pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Situasi pun tidak mereda dengan sendirinya, karena langsung disusul dengan
menghangatnya suasana politik nasional pasca digelarnya sidang Pansus DPR RI
atas kasus Bailout Century. Sebagian publik yang sudah terlanjur kecewa
menunggu-nunggu dengan penuh pesimistis, peristiwa dan alasan apa lagi yang
dapat membuat mereka semakin berani untuk mendelegitimasi simbol-simbol
negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan.
Bak efek bola salju, apabila tidak ada penanganan dan penyelesaian
secara cepat, tepat, dan terarah, tentu ketidakpercayaan publik tersebut akan
semakin membesar hingga pada saatnya nanti akan “meledak” tak tentu arah
yang berakibat pada tindakan-tindakan yang sama sekali tidak kita harapkan,
sebagaimana misalnya terjadi pada awal masa reformasi 1998 dahulu.
Berdasar


uraian

tersebut

di

atas,

tulisan

singkat

ini

hendak

menggambarkan situasi dan kondisi terkini atas capaian ataupun kegagalan
agenda reformasi hukum. Hal tersebut salah satunya terlukiskan dari tingkat
2


kepercayaan masyarakat terhadap simbol-simbol negara yang direpresentasikan
oleh lembaga negara, khususnya institusi hukum, dalam menjalankan roda
pemerintahan secara luas.
Konsepsi Negara Hukum
Beranjak dari sejarah pembentukan negara Indonesia, para founding

parents kita menanamkan cita-cita bernegara berupa negara hukum yang
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Berulang kali pula kita diwarisi pemikiran
untuk dapat menjadikan Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) dan
bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hal ini kemudian dipertegas oleh para

the 2nd founding parents dengan mengangkat derajat konsepsi negara hukum
pada saat melakukan perubahan keempat UUD 1945 yang sebelumnya hanya
diletakkan pada Penjelasan UUD 1945 menjadi tegas tertulis dalam Pasal 1 ayat
(3) yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Pencantuman ini membawa konsekuensi lanjutan bahwa hukum haruslah
menjadi panglima dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya,
negara hukum itu harus dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu
sendiri sebagai satu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Sistem tersebut

kemudian dikembangkan dengan menata suprastruktur dan infrastruktur
kelembagaan politik, ekonomi, dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina
dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.3
Dengan mengelaborasi konsep negara hukum yang diperkenalkan oleh
Julius Stahl, A.V. Dicey, The International Commission of Jurist, Utrecht,
Scheltema, Tahir Azhary, dan Brian Tamanaha; Jimly Asshiddiqie merumuskan

3

Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum di Indonesia”, disampaikan sebagai Ceramah Umum dalam
rangka Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya di Jakarta pada
Sabtu, 23 Januari 2010, hal 7.

3

kembali ide-ide pokok tentang konsepsi negara hukum Indonesia yang terdiri
dari 13 (tiga belas) prinsip, yaitu:4
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)

3. Asas Legalitas (Due Process of Law)
4. Pembatasan Kekausaan (Limitation of Power)
5. Organ-Organ Campuran yang Bersifat Independen (Independent Mixed-

Organs)
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak (Independent and Impartial Judiciary)
7. Peradilan Tata Usaha Negara (Administrative Court)
8. Peradilan Tata Negara (Constitucional Court)
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia (Protection of Human Rights)
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)
11. Negara Kesejahteraan (Welfare Rechtstaat)
12. Transparansi dan Kontrol Sosial (Transparency and Social Control)
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (The one and the only God)
Pertanyaannya kini, sudah sejauhmanakah Indonesia melaksanakan cita
negara hukum tersebut? Sudahkah arah reformasi hukum kita berjalan pada

track yang benar? Atau jangan-jangan, euforia kebebasan yang dibuka lebarlebar melalui pintu reformasi justru menjadi beban tersendiri yang menyebabkan
Indonesia tidak memiliki arah yang jelas dalam pembangunan hukum. Untuk
itulah perlu kiranya kita menelaah terlebih dahulu capaian reformasi dalam tata
realitas sekarang ini guna menjawab segala pertanyaan tersebut.


4

Ibid., hal 13-20.

4

Realitas Reformasi Hukum
Dalam perspektif politik Indonesia, permulaan era reformasi merujuk pada
saat pengundurkan diri Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998. Hal
tersebut disebabkan adanya demonstrasi besar-besaran dari elemen rakyat dan
mahasiswa di tengah-tengah anjloknya nilai-nilai perekonomian bangsa dan tidak
terkendalinya kondisi sosial, hukum, dan keamanan negara.5
Pada saat itu, tuntutan reformasi di bidang hukum bergema sekurangkurangnya pada ranah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Korupsi (KKN);
amandemen UUD 1945, reformasi peradilan yang mandiri dan tidak memihak,
jaminan atas HAM dan tuntutan atas pelaku kejahatan HAM, serta dibukanya
ruang partisipasi aktif masyarakat serta keterbukaan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan. Dari sederet tuntutan reformasi tersebut,
beberapa hal yang setidaknya tampak terlihat jelas hasilnya walaupun belum
sempurna, seperti misalnya amandemen UUD 1945 dan terbukanya ruang

pastisipasi warga dalam pembentukan undang-undang. Sedangkan pencaian
terhadap agenda lainnya masih terlihat samara-samar.
Tak dapat dipungkiri, arah reformasi di bidang hukum tercerai-berai,
bahkan berjalan tersendar-sendat. Hal tersebut dapat ditangkap dengan mudah
apabila

kita

berkaca

pada

masih

lemahnya

penegakan

hukum


(“low”

enforcement) yang kadangkala juga masih bersikap diskriminatif. Belum lagi
ditambah dengan rusaknya mental dan moralitas aparat penegak hukum yang
seringkali memperjual-belikan kasus hukum hampir di setiap lini, mulai dari
penyidikan, penyelidikan, penuntutan, penjatuhan vonis, hingga eksekusi
putusan.
Sementara itu, dibukanya pintu partisipasi dalam legislasi ternyata tidak
juga membuat produk-produk hukum benar secara kualitas, salah satunya

5

Lihat Donald K. Emerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat,
Transisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan The Asia Foundation, 2001.

5

penyebabnya adalah sebagian legislator yang baru terpilih dinilai kurang memiliki
kapasitas yang memadai. Hal ini setidaknya terbukti dari masih banyaknya
undang-undang yang dibatalkan di hadapan Mahkamah Konstitusi karena

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Berbagai problem tersebut secara teoritis memang telah diproyeksikan
terjadi,

sebab

Indonesia

sedang

mengalami

masa

transisi

dari

suatu


pemerintahan yang otoriter ke suatu pemerintahan yang lebih demokratik.
Mengambil istilah Samuel P. Huntington, kondisi demikian dinamakan sebagai
“transplacement”, yaitu kondisi di mana pemerintahan Indonesia baru yang
transisional pasca reformasi masih merupakan kombinasi antara para aktor baru
dan sisa-sisa aktor pada rezim sebelumnya, sehingga yang terbit bukanlah suatu
pemerintahan yang sama sekali baru. Kondisi inilah yang kemudian dianggap
menjadi kendala utama bagi upaya pelaksaan reformasi hukum.6
Hal lain yang dianggap menjadi permasalahan mendasar dan telah
seringkali diwacanakan adalah aspek hukum yang oleh Lawrence M. Friedman
dibagi menjadi 3 (tiga) unsur dalam sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal

structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal
culture). Dengan demikian, ketika berbicara tentang reformasi sistem hukum,
maka ketiga unsur tersebut harus dibenahi secara bersama-sama.
Struktur hukum yang dimaksud di sini merupakan keseluruhan institusi
penegakan hukum berikut aparatnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
dan kantor pengacara. Sementara itu, substansi hukum meliputi kesleuruhan
asas hukum, norma hukum, dan aturan hukum, termasuk pada putusan
pengadilan. Sedangkan budaya hukum adalah perilaku kebiasaan umum, cara
pandang dan sikap dari para penegak hukum ataupun warga negara.7
6

Sebaliknya dengan transplacement, kondisi replacement mensyaratkan adanya pergantian
rezim secara total sehingga benar-benar terdiri dari aktor-aktor negara yang sama sekali baru.
Lihat Neil J. Kritz, Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes,
United States Institute of Peace, 1995.
7

Lawrence M. Friedman, A History of American Law, New York: Simon and Schuster, 1973.

6

Apabila merujuk dari ketiga hal tersebut, maka secara sepintas dapat kita
katakan bahwa unsur hukum yang tereformasi dengan baik barulah struktur
hukum, sedangkan substansi hukum belum sepenuhnya, apalagi dengan budaya
hukum yang masih teramat rendah. Untuk itu diperlukan politik pembangunan
hukum yang lebih terarah, sehingga tidak lagi menjadi pembaharuan hukum
yang bersifat parsial dengan indikator yang lebih jelas dan terukur, khususnya
terhadap aspek ketiga budaya hukum (legal culture).
Melihat kondisi dan realitas hukum di atas, maka kita tidak perlu terkejut
apabila timbul banyak kekecewaan di sana-sini. Lebih dalam lagi, melalui
kacamata segitiga Gramsci, maka negara akan menjadi objek tuntutan dari
masyarakat sipil (civil society) dan pasar (market). Bisa jadi karena reformasi
yang digulirkan selama ini terlalu fokus pada reformasi di bidang demokrasi
politik, sehingga sedikit mengabaikan pentingnya reformasi hukum. Padahal,
tanpa dukungan kepastian hukum, baik pembangunan demokrasi politik maupun
pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan dengan teratur dan terkendali,
apalagi terkait dengan bidang investasi.
Penyebab Ketidakpercayaan Rakyat
Setumpuk permasalahan hukum yang melanda negeri ini bukanlah tanpa
sebab. Apabila kita dapat menemukan akar permasalahan tersebut maka
membangkitkan cita negara hukum bukanlah hal yang mustahil. Begitupula
dengan tumbuh menjamurnya ketidakpercayaan rakyat terhadap simbol-simbol
negara, khususnya di dunia hukum. Secara sederhana, masyarakat bagaikan flat
fotogenik yang menangkap dan memendarkan apa saja yang terlihat dan terbaca
dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai jawaban sederhana, marilah kita bandingkan perlakuan hukum
antara masyarakat kelas menengah ke bawah dengan mereka yang memilki

capital baik berupa kekuasaan maupun kekayaan. Beragam kasus hukum yang
dialami oleh Nenek Minah, Prita Mulyasari, Raju kecil, ataupun Basar dan Kholil

7

dengan

para

terdakwa

koruptor

kelas

berat,

secara

kontras

terlihat

perbedaannya mulai dari penanganan hingga panjatuhan putusannya. Maka
cukup beralasan ketika sebagian masyarakat Indonesia mengutip ungkapan yang
disampaikan oleh seorang novelis Perancis, Honore de Balzac, dengan
menyatakan, “Laws are spider webs through which the big flies pass and the

little ones get caught”.
Penyebab utama lainnya yang semakin membuat runtuh simbol institusi
hukum adalah maraknya praktik mafia peradilan yang telah berlangsung selama
empat

dekade

terakhir.

Berlangsungnya

praktik-praktik

penyalahgunaan

kewenangan (abuse of power) di dunia hukum terjadi mulai dari tahapan
penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga
jatuhnya putusan hakim. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap tahapan
tersebut dapat diatur sesuai dengan keinginan para oknum-oknum pengacara
dan oknum aparat di institusi Kepolisian Kejaksaan, dan Pengadilan. Lebih
parahnya lagi, para saksi atau ahli mulai dapat “dipesan” sesuai dengan
kemauan para terdakwa melalui prakarsa pengacaranya.
Praktik kotor para mafia peradilan inilah yang kemudian menjadikan
lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan
ditempatkan menjadi lembaga terkorup di Indonesia bersama dengan lembaga
perwakilan dan partai politik lainnya. Bahkan menurut survei terakhir yang
dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2009,
Indonesia menempati peringkat pertama dari negara terkorup dari 14 negara di
Asia. Artinya, penegakan hukum di Indonesia hingga kini selalu dirundung
dengan masalah yang sama, padahal telah menjadi agenda utama dan pertama
dalam reformasi di bidang hukum, yaitu masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN).

8

8

Wijayanto dan Ridwan Zachrie, eds, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.

8

Tidak jauh berbeda, pelayanan publik yang ditampilkan dan diberikan
kepada masyarakat masih bersifat lamban dan cenderung koruptif, termasuk
tidak jelasnya kelanjutan dari penyampaian aspirasi kepada lembaga perwakilan
resmi. Akibatnya, timbul sikap apatisme tinggi terhadap apapun hasil kinerja
yang dikeluarkan oleh lembaga negara dan pemerintahan.
Lebih dalam lagi Achmad Ali mengatkan bahwa secara sosiologis tingkat
kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pranata-pranata hukum sudah
berada dalam taraf “bad trust society” (kepercayaan yang buruk dari
masyarakat).
pemerintah

Hal
dalam

tersebut

menurutnya

penegakan

hukum.9

disebabkan
Apabila

dari

ketidakseriusan

terpuruknya

kercayaan

masyarakat terus dibiarkan, maka akan sangat berpotensi menimbulkan tindakan
main hakim sendiri (eigenrichting), sebagaimana misalnya terjadi belum lama ini
dalam banyak peristiwa penyerbuan kantor-kantor polisi di Lombok, Makasar,
dan wilayah lainnya. Dalam perspektif psikologi sosial, perilaku demikian
merupakan salah satu bentuk dari ledakan kemarahan (the hostile outburst)
yang berwujud pada kerusuhan sosial.
Perlunya Sinergitas Antarlembaga Negara
Tatakala terjadi berbagai kesulitan dan ketidakstabilan akibat terjadinya
berbagai perubahan sosial dan ekonomi, maka banyak negara akan melakukan
eksperimentasi dalam pembentukan lembaga-lembaga baru. Hal ini bertujuan
agar terciptanya prinsip pelayanan umum yang efektif dan efisien serta
terjadinya birokrasi yang lebih mudah. Begitupula dengan di Indonesia, pasca
bergulirnya reformasi mengakibatkan banyaknya lembaga negara baru yang
bermunculan di tengah-tengah belantara lembaga negara yang lama.
Berdasarkan UUD 1945, setidaknya terdapat kurang lebih 34 (tiga puluh
empat) lembaga negara. Dari segi fungsi dan hierarki, lembaga negara tersebut
dapat diberdakan menjadi tiga jenis, yaitu: Pertama, organ konstitusi lapis
9

Achmad Ali, Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, Agatama Press, 2004, hal.18.

9

pertama yang disebut sebagai lembaga (tinggi) negara yang mendapatkan
kewenangan langsung dari UUD 1945, seperti Presiden dan Wakil Presiden, DPR,
DPD, MPR, MK, MA, dan BPK; Kedua, organ lapis kedua yang disebut sebagai
lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945 ataupun UU,
seperti Menteri Negara, TNI, Kepolisian Negara, Komisi Yudisial, KPU, dan Bank
Sentral; Ketiga, lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari
regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undnag, seperti Komisi
Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional.10
Dengan begitu banyaknya lembaga negara yang ada sekarang, maka
seringkali antara fungsi dan tugas pelaksana antara lembaga satu dengan
lembaga lainnya saling tumpang tindih. Untuk memantapkan sinergitas
antarlembaga negara, maka di sektor pemerintahan harus ada upaya penataan
secara menyeluruh. Lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM, KPK,
KPPU, KPI, Komisi Ombudsman perlu dikonsolidasikan kembali untuk menyusuan

road map bersama pembenahan reformasi hukum, bukan berjalan secara
sendiri-sendiri.
Khusus untuk lembaga-lembaga negara penegak hukum, seyogianya
dilakukan pertemuan berkala semacam rapat kerja nasional untuk menentukan
arah pembangunan penegakan hukum Indonesia. Hubungan kerja harus
dibangun setidak-tidaknya antara lembaga pengadilan di bawah MA dan MK,
Kepolisian,

Kejaksaan,

Komisi

Yudisial,

KPK,

Lembaga

Pemasyarakatan,

Departemen Hukum dan HAM, serta organisasi Advokat. Adalah sebuah
kenicayaan apabila kita bermaksud untuk memperbaiki hukum secara nasional
tanpa adanya sistem yang bekerja baik di antara skrup-skrup sistem tersebut
yang dalam hal ini diwakili oleh institusi dan lembaga negara di bidang hukum
tersebut.

10

Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

10

Kegiatan semacam ini pernah dilakukan oleh lembaga negara di bidang
hukum menjelang pelaksaaan Pemilu 2009 yang melibatkan pimpinan tertinggi
antara MK, MA, Kepolisian, Kejaksaan, KPU, dan Bawaslu. Apabila hal demikian
dapat dilanjutkan secara berkala dan dalam lingkup yang lebih luas, maka
masyarakat akan memperoleh pesan bahwasanya lembaga penegak hukum tidak
berdiam diri menghadapi situasi dan kondisi yang terjadi sekarang ini.
Akan tetapi, pertemuan saja tidaklah cukup. Masing-masing institusi harus
dipastikan mengambil kebijakan tegas untuk mengeliminir para oknum yang
telah mengakibatkan citra lembaga negara menjadi runtuh di mata masyarakat.
Permasalahannya terjadi ketika para aparat penegak hukum telah tersandera
oleh praktik kelam masa lalunya, sehingga beresiko bagi dirinya untuk
mengambil tindakan tegas terhadap orang lain, sebab dirinya akan turut menjadi
korban.
Untuk itu diperlukan pemimpin yang jujur, bersih, dan berani untuk
menempati pucuk-pucuk pimpinan di setiap lembaga negara. Kata “berani”
sengaja penulis tebalkan di sini, sebab bermodal jujur dan bersih saja tidak akan
cukup apabila tidak ada keberanian untuk menindak tegas oknum yang terlibat
dengan praktik KKN sebagaimana telah menjadi amanat reformasi hukum.
Sementara itu, untuk strategi pembenahan birokrasi dan penerapan zona antikorupsi setidaknya kita dapat merujuk pada pepatah kuno, “To catch a snake,

one must always go for its head, if you catch the body, the snake with surely
bite you”.
Penutup
Pembenahan hukum tidaklah semudah membalikan telapak tangan,
bahkan jika ingin jujur sudah terlalu banyak beragam penelitian dan rekomendasi
yang dihasilkan. Tulisan ini tidak berpretensi untuk memberikan solusi yang
paling benar, melainkan menjadikan diskursus pembangunan hukum menjadi

11

semakin terarah, khususnya dalam menghadapi tingkat kepercayaan masyarakat
yang kian hari kian menurun.
Kita pun tidak perlu larut dalam pesimisme atas masa depan reformasi
hukum Indonesia, sebab negara sekaliber Amerika Serikat pun pernah
mengalami hal yang serupa dengan apa yang tengah kita hadapi sekarang ini. Di
saat itu, para penggiat hukum Amerika Serikat menyerukan agar hukum
dikembalikan ke akar moralitas, kultural, dan religiusitasnya, begitu juga
seharusnya kita. Selama masyarakat menaati hukum sekedar karena alasan
ketakutan terhadap sanksi, maka selama itu pula kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga negara masih bersifat semu.
Mengakhiri tulisan ini, izinkan penulis mengutip pernyataan filosof Tavarne
sebagai tawaran solutif terakhir terhadap benteng hukum di Indonesia dengan
menyatakan, “Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah

saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang
paling burukpun saya akan menghasilkan putusan yang baik”. Semoga di masa
mendatang hukum benar-benar menjadi Panglima dalam mengangkat negeri ini
dari keterpurukannya. (*)

12