FAJAR KEKRITISAN RAKYAT ITU TELAH TERBIT

FAJAR KEKRITISAN RAKYAT ITU TELAH TERBIT
Seorang ibu tua yang sangat awam bahkan mungkin buta huruf dan
tinggal di daerah pedesaan yang selama ini selalu bersikap sami’na wa atho’na
(aku mendengar dan aku patuhi) padakata kiainya, kalau disuruh apapun pasti
dilakukan dengan rela, berkali-kali pemiliu disuruh nyoblos partai A ya pasti
nyoblos partai A, pada pemilu kemarin dia tidak bertaklid lagi, ibu tua si tukang
pijatitu berani berkata “aku manut nuraniku, meskipun pak Kiai menyuruh saya
memilih pasangan capres Topan-Leysus (sebut saja pasangan demikian) akan
patuh karena toch yang dapat (amplop uang dan bingkisan politik) kan cuma pak
kiai”. Apakah ini pratanda kalau rakyat kita sudah mulai cerdas dan sedikit
kritis?....
Mayoritas pengamat mencatat kalau 90% janji yang diobral para capres
dalam pemilu 2004 yang lalu merupakan omong kosong yang tidak mungkin bisa
diwujudkan. Obralan janji kosong para capres itu menggenapi pepesan kosong
yang juga diobral para jurkam dan calon anggota legislatif (dari partai dan DPD)
beberapa bulan sebelumnya. Pendidikan gratis, menghukum mati koruptor,
jaminan kesejahteraan bagi petani beras, adalah sama mustahilnya dengan janji
PSSI bisa berlaga pada piala dunia 2006 di Jerman. Tidak hanya ngayawara tetapi
juga lucu bila dicerna oleh akal waras.
Para politisi kita memang masih menganggap rakyat masih bodoh dan
tidak bisa berpikir dengan logis sehingga mereka berani memproduksi janji

setinggi langit yang sebenarnya tidak ada bahan bakunya tersebut. Para politisi
(dan terutama para capres) itu berani berjanji semustahil apapun karena yakin
rakyat yang diberi janji itu tidak akan menagihnya.
***
Akan tetapi benarkah seluruh rakyat di republik ini sebodoh dan selugu
asumsi para politisi itu? Ternyata tidak, meskipun menurut Ketua Inkud Jeneponto
Sulawesi Selatan, Idham Khalid, rakyat kita sudah habis idealismenya karena
terlalu lama kelaparan, dalam tataran tertentu rakyat kita juga sudah cukup kritis.
Hasil Pemilu capres kemarin menurut Muhammad Nursyahid Purnomo dapat
dijadikan sedikit bukti bahwa rakyat sudah mulai kritis, pendapat Budayawan kota
bengawan yang juga dikenal sebagai sastrawan Jawa ini diamini oleh Trianto
Tiwikromo, “Hasil pemilu 2004 menunjukkan kalau rakyat kita sudah cukup
cerdas yang bodoh adalah politisinya”.
Selanjutnya budayawan asal kota wali yang telah lama menetap di
Semarang ini juga menyatakan, “Boleh saja Mega dan Wiranto memasang tokoh
sebesar Hasyim Muzadi (ketua umum PB NU) dan Sholahudin Wahid (salah satu
wakil ketua PB NU yang cukup berpengaruh yang juga adik Abdurahman Wahid
yang berarti juga cucu Hasyim Asya’ari pendiri NU) sebagai wapresnya, dengan
harapan bisa merebut suara NU yang merupakan kantong suara yang cukup
menjanjikan, tetapi kenyataannya di Jawa Timur yang merupakan basis massa

NU, Mega-Muzadi maupun Wiranto-Wahid tidak bisa mengimbangi SBY-MJK,
ini menunjukan bahwa rakyat kita sudah mulai sedikit kritis, hanya saja kekritisan
rakyat memang belum seberapa, karena yang dipilih adalah SBY yang gagah,
cool, dan tampak tenang menjanjikan rasa aman”

Jungkir baliknya prediksi para pengamat pada hasil pemilu kemarin
menurut Trianto Tiwikromo hanyalah salah satu pratanda meningkatnya daya
kritis rakyat. Indikator lain adanya peningkatan daya kritis ini juga ditangkap oleh
Darmanto Djatman ketika blusukan (masuk ke pedalamaan) di beberapa pedesaan
di daerah Klaten, Tulung Agung, dan Kediri. “Saat saya berbicara di beberapa
forum pelatihan dan training yang dilakukan beberapa LSM wanita di daerahdaerah itu, saya benar-benar terkejut karena ibu-ibu yang kelihatan ndesit (udik)
itu sangat fasih membicarakan keadaan politik bangsa ini, beberapa argumen yang
mereka keluarkan secara spontan itu kendati sederhana tetap terasa sangat kritis”
Tutur Budayawan kota Atlas yang sekarang jadi guru besar Psikologi di
Universitas Diponegoro Semarang ini menceritakan sebagian pengalamannya.
***
Menurut Agus Maladi, daya kritis masyarakat ini hanya bisa terus
ditingkatkan mutunya dengan meningkatkan mutu pendidikan yang ada pada
mayarakat. Pendidikan yang dimaksud penggiat komunitas budaya Lengkong
Cilik Semarang ini bukan terbatas pada pendidikan formal. Tetapi lebih

ditekankan pada kelompok-kelompok yang hidup dalam masyarakat. Forumforum rembug warga seperti majlis taklim, pengajian, arisan, dan lain sebagainya
itu harus bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan daya kritis
masyarakat kita, sebab dari situlah bibit-bibit civil society akan bisa terus
disemai.Tetapi sayangnya gagasan-gagasan seperti itu menurut Agus Maladi
kurang mudah diterapkan karena saat ini yang terjadi adalah stereotipe. Pengajian
ya hanya untuk ceramah agama dan hanya berbicara tentang cara masuk syurga.
Kemudian tanpa bermaksud mengkritik Agus Maladi juga menyatakan,
“Orang seperti AA Gym yang luar biasa bisa dalam berceramah, dan beberapa ahli
dzikir yang dahsyat lainnya itu, saya rasa akan lebih baik dan bermafaat lagi kalau
ceramahnya tidak hanya menghayutkan pendengarnya pada suatu mimpi, tetapi
membawa pendengarnya pada satu realaitas yang senyata hidup ini”
Peran-peran itulah yang kemudian akhir-akhir ini banyak diisi oleh
beberapa LSM. Oleh karena itu ada benarnya kalau peningkatan daya kritis
masyarakat dalam satu dasawarsa terakhir ini sedikit banyak merupakan jasa dari
beberapa LSM yang juga mengalami booming dalam masa reformasi. Kendati
mayoritas LSM yang lahir di masa reformasi berbau busuk karena hanya
dijadikan kedok untuk mencari keuntungan individu dan mengejar kepentingan
pribadi dengan mengatasnamakan masyarakat, sehingga sempat keluar olok-olok
kalau LSM merupokan subsektor ekonomi bagian jasa penjualan kemiskinan dan
penipuan.

Beberapa LSM yang jujur yang concern mengadakan pelatihan dan
pendampingan terhadap masyarakat yang ada ternyata mampu sedikit mengubah
perilaku dan budaya politik bangsa ini. Walaupun dikritik oleh beberapa pengamat
diantaranya oleh Toto Rahardjo dari Insist yang menyatakn kalau pola pembinaan
dan pendampingan LSM seringkali tidak jelas sistemnya, tetapi dalam realitasnya
pendampingan ini tetap ada manfaatnya. Sanulaili dari LSM Solidaritas
Perempuan Indonesia yang telah bebrapa tahun mendampingi kaum perempuan
pinggiran dan buruh migran membuktikan hal tersebut.

. “Pengalaman saya dalam beberapa taun terakir ini membuktikan hal
tersebut, bukti yang paling nyata adalah kesadraan kaum perempuan itu dalam
memanfaatkan fasilitas kesehatan (di daerah ini belum ada puskesmas) tetapi lama
kelamaan ada keberanian dari kaum perempuan di daerah itu untuk meminta
pemerintah memberikan fasilitas kesehatan yang memang sangat dibutuhkan oleh
kaum perempuan anak-anak. Misalnya tenaga bidan dan lan-lainnya.”
Di daerah yang lain dengan adanya LSM yang bersedia mendampingi
masyarakat yang tanahnya diserobot Kodim ataupun pengusaha yang
berkolabroasi dengan Pemda maka rakyat tidak lagi terlalu takut ketika harus
berdebat dengan para aparat berseragam maupun yang bersepatu laras. Dengan
pendampingan beberapa LSM itu rakyat walau secara sedikit semakin tahu hakhak mereka selaku warga negara.

Akan tetapi strategi pendidikan politik untuk rakyat yang dilakukan oleh
LSM secara langsung pada suatu komunitas tertentu seperti di atas menurut
Muhammad Mursiyam, kadangkala tidak efektif karena jangkauannya yang sangat
kecil. Oleh karena itu kerjasama LSM dengan masyarakat pers merupakan sesuatu
yang dapat dikatakan setengah wajib. Pendapat salah satu peneliti Pusat Studi
Budaya dan Perubahan Sosial UMS Surakarta ini senafas dengan gagasan
Darmanto Djatman yang sangat mendukung massifikasi jaringan kerja LSM yang
memperkuat networknya dan jangkauannya dengan membuat beberapa radio
komunitas semacam Safina dan tabloid kecil-kecilan semisal Joglo di Klaten dan
Prima di Ngawi. Di beberapa daerah lain peranan media masa lokal ini sangat
membantu mengugah daya kritis masyarakat. Bahkan dengan sedikit berseloroh
Trianto Tiwikromo juga menyatakan kalau terpilihnya Budi Santoso sebagai
aggota DPD dari Jateng merupakan suatu kemustahilan kalau tidak didukung oleh
jaringan pers yang ada di Jawa Tengah.
Tanpa menafikan peran LSM yang memang terbatas tersebut, menurut
Abdurahman Mas’ud penggugahan dan penguatan daya kritis rakyat itu akan jauh
lebih dahsyat apabila ada uluran tangan organisasi massa yang sekarang sudah ada
dan cukup solid semisal NU dan Muhammadiyah.
“Kelompok LSM-LSM yang ada memang cukup lumayan untuk bisa
mengubah dan mempercepat penguatan daya kritis rakyat. Tetapi melihat potensi

yang ada saya masih lebih menaruh perhatian dan harapan pada Ormas seperti NU
dan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan NU kalau bersedia untuk berbuat
sesuatau saya kira lebih dahsyat hasilnya dibandingkan LSM yang ada di
Indonesia ini”
Guru besar IAIN Walisongo Semarang ini mengungkap uneg-unegnya.
Tidak hanya itu aktivis Nahdlatul Ulama yang mengaku pernah menjadi murid
Ahamd Syafii Maarif ketika di Amerika ini juga menyatakan,
“Tetapi sayangnya NU dan Muhamadiyah ini sekarang agak mandul, maka
sungguh merupakan ironi besar kalau ormas sebesar NU dan Muhammdiyah
mengadakan gerakan anti korupsi kok harus dibiayai oleh ‘PartnershipKemitraan’ itu artinya apa? Masak tidak bisa membiayai dirinya sendiri, dulu saja
bisa membuat Indonesia merdeka, masa sekarang membuat gerakan kayak gitu
saja meminta dana dari pihak lain. Itukan artinya kalau tidak dibiayai lembaga
donor, NU-Muhamdiyah tidak menganggap penting pemberantasan korupsi”.

***
Rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi di republik ini, tetapi
kenyataan yang ada tidak pernah sesuai dengan teori itu, rakyat tidak pernah
dianggap ada dalam seluruh urusan yang ada, semua urusan kenegaraan adalah
urusan elit politik, kalaupun ada keterlibatan rakyat hanyalah sekedar dijadikan
kayu bakar, diperebutkan saat mulai memasak tetapi seketika dilupakan saat

masakan telah siap dihidangkan di meja makan.
Namun demikian sebenarnya (secara teori) ada banyak cara yang
dipunyai oleh ikatan kayu bakar itu untuk suatu saat nanti menagih janji para
politisi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh mantan Dekan Fakulktas Hukum
Universitas Muhamdiyah Yogyakarta yang sekarang menjadi calon (terpilih)
anggota DPRD DIY, Istianah ZA,
“Seluruh janji para capres dan caleg itu telah saya kliping, sekarang ini
kita tinggal menunggu apakah ditepati, kalau tidak, ormas seperti Muhamadiyah
dan NU saya kira bisa memulai sekaligus mengajari cara menagih janji yang telah
diikrarkan para politisi itu”
Kalau begitu apakah lakon lanjutan bangsa ini adalah, saatnya rakyat
menagih janji? Kita tunggu saja siapa yang berani memulai. Karena fajar sabit
kesadaran dan kekritisan rakyat itu telah mulai terbit sejak masa reformasi.
[Tulisan; Isma; bahan rif, Nafi’, k’ies]
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 15 2004