MUHAMMADIYAH PASCA AMANDEMEN

MUHAMMADIYAH PASCA AMANDEMEN
Oleh A.M. Fatwa
Dengan selesainya proses Amandemen UUD 1945, bangsa Indonesia telah memasuki
sebuah babakan baru dalam sejarah, di mana konstitusi yang selama ini dianggap sakral,
telah disempurnakan di beberapa bagian yang sangat mendasar. Selama sejarah
kemerdekaan Indonesia, UUD 1945 sering diselewengkan baik oleh rezim Orde Lama
maupun Orde Baru, sehingga selalu menciptakan pemerintahan yang otoriter dan
antidemokrasi. Dan UUD 1945 yang memberikan kekuasaan sangat besar terhadap
lembaga eksekutif tersebut pada akhirnya berhasil diamandemen oleh MPR, sehingga
lebih sesuai dengan aspirasi reformasi dan demokrasi. Sementara itu, Muhammadiyah
sebagai elemen penting dari Bangsa Indonesia tentu saja memiliki keterkaitan sangat erat
dengan perubahan UUD 1945 tersebut. Di satu sisi, Muhammadiyah memiliki concern
dan perhatian yang jelas mengenai perubahan UUD 1945 dalam rangka mewujudkan
Indonesia yang lebih demokratis dan berkeadaban. Di sisi lain, berbagai perubahan yang
terdapat di dalam batang tubuh UUD 1945 juga memiliki pengaruh langsung maupun
tidak langsung terhadap aktivitas dan keberadaan Muhammadiyah.
Di antara hasil amandemen UUD 1945 yang sangat krusial dan memiliki keterkaitan
dengan Muhammadiyah antara lain: Pertama, susunan MPR terdiri dari DPR dan DPD.
Jika selama ini Muhammadiyah memiliki wakil secara formal dari utusan golongan,
maka sejak 2004 Muhammadiyah tidak lagi memiliki wakil di lembaga MPR. Oleh
karena itu, ke depan harus difikirkan bagaimana caranya agar kader-kader

Muhammadiyah dapat masuk sebanyak-banyaknya dalam lembaga legislatif, menyebar
di berbagai partai politik, untuk memperjuangkan aspirasi Muhammadiyah dan umat
Islam pada umumnya.
Kedua, pemilihan presiden langsung. Peluang ini memberikan kesempatan yang sangat
luas bagi Muhammadiyah yang memiliki jaringan di seluruh Indonesia serta anggota dan
simpatisan sangat besar, untuk memperjuangkan kader-kader terbaiknya sebagai
pemimpin bangsa, sebagaimana hasil rekomendasi Tanwir di Bali. Oleh karena itu, jika
petuang ini tidak ingin dilepaskan begitu saja, maka konsolidasi organisasi dan sosialisasi
menjadi tugas penting yang harus segera dilaksanakan oleh pimpinan Muhammadiyah di
setiap jenjang dalam dua tahun ke depan.
Ketiga, Pasal 29 dan isu syari'at Islam Ketidaksetujuan Muhammadiyah terhadap Piagam
Jakarta, sebagaimana sering dilontarkan Prof. A Syafii Maarif, memang sering
disalahpahami orang lain. Seolah-olah Muhammadiyah tidak memperjuangkan aspirasi
umat Islam. Betul bahwa dahulu para tokoh Muhammadiyah sangat memperjuangkan
Piagam Jakarta, baik dalam Sidang BPUPKI maupun Sidang Konstituante. Namun,
kondisi sekarang sudah sangat berbeda. lsu Piagam Jakarta telah menimbulkan ketakutan
bagi kalangan minoritas, walau bagaimanapun kita jelaskan bahwa syari'at Islam tidak
diskriminatif terhadap mereka. Selain itu, pemberlakuan syari'at Islam, menurut Prof. A.
Syafii Maarif, juga akan membuat Muslim nominal (abangan) yang merupakan mayorits
umat Islam merasa ketakutan, karena dipaksa menjalankan syari'at Islam. Mereka bisa

saja keluar dari agama Islam. Oleh karena itu, lebih baik Muhammadiyah memperkuat
dakwah Islam secara kultural.
Keempat, anggaran pendidikan 20% dari APBN. Ketentuan ini harus secepatnya
direspons, karena Muhammadiyah selama ini dikenal sebagai organisasi yang banyak

bergerak dalam bidang pendidikan. Jika Muhammadiyah tidak cepat tanggap, maka
kenaikan anggaran pendidikan itu tidak akan banyak manfaatnya bagi pendidikan
Muhammadiyah. Dalam hal ini, dua sektor yang sangat mendesak untuk segera
diperbaiki adalah penyediaan sarana pendidikan dan tingkat kesejahleraan guru/dosen.
Kelima, pembentukan Komisi Konstitusi. Dengan dibentuknya komisi konstitusi, maka
Muhammadiyah juga harus berusaha agar memiliki wakil di lembaga tersebut. Karena
lembaga ini berperan sangat penting untuk menyelaraskan hasil-hasil amandemen UUD
1945. Keterlibatan Muhammadiyah dalam lembaga ini menjadi penting untuk
memberikan kontribusi dalam momen yang sangat penting dalam sejarah politik bangsa
ini. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak ahistoris, karena dahulu para tokoh
Muhammadiyah juga memiliki peran penting dalam penyusunan UUD 1945. (Penulis
adalah Wakil Ketua DPR RI dan Wakil Ketua Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah)
Sumber: SM-19-2002