NILAI ISLAM DALAM BUDAYA MASANGIN DI ALUN – ALUN KIDUL KRATON YOGYAKARTA.

(1)

NILAI ISLAM DALAM BUDAYA MASANGIN DI ALUN-ALUN KIDUL KRATON YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh : Muji Cahyani NIM : A02211068

FAKULTAS ADAB

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN AMPEL ISLAM

SURABAYA 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “ Nilai Islam Dalam Budaya Masangin Di Alun – Alun Kidul Kraton Yogyakarta” Skripsi ini menfokuskan tentang 1. Bagaimna latar belakang munculnya budaya Masangin alun-alun kidul Kraton Yogyakarta? 2. Bagaimana prosesi dalam budaya Masangin di alun-alun kidul Kraton Yogyakarta?. Selanjutnya dibahas tentang, 3. Bagaimana nilai islam dalam budaya masangin?.

Adapun pendekatan dan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan antropologi dan teori tindakan dengan observasi lapangan dan wawancara yang dilakukan secara langsung. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode etnografi.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa latar belakang munculnya budaya Masangin di alun-alun kidul Kraton adalah terkait dengan ritual mubeng beteng, yang dilakukan pada malam tanggal 1 Syuro untuk menyambut tahun baru dalam kalender Jawa. Bentuk aktivitasnya adalah orang yang akan melakukannya ditutup matanya dengan kain hitam, lalu berjalan ke arah celah di antara kedua pohon beringin . Mengenai prosesi budaya Masangin adalah berjalan di antara dua pohon beringin. Kemudian nilai islam dalam budaya Masangin menyambung silaturahmi masyarakat.


(6)

ABSTRACT

This thesis entitled "Cultural Values of Islam In Masangin In Alun - Alun Kidul in Yogyakarta Kraton" This thesis focuses on How Masangin cultural background of the square kidul the Kraton? 2. How does the cultural procession on the square Masangin kidul the Kraton ?. Further discussed, 3. How Islamic values in the culture Masangin ?

The approach and theoretical framework used in this study is the anthropological approach and theory of action with field observations and interviews were conducted in person. While the method used is the method of ethnography.

From these results it can be concluded that the emergence of the cultural background in the square Masangin kidul Kraton is associated with ritual Mubeng Beteng, performed on the night of 1 Shura to welcome the new year in the Javanese calendar. Form of activity is the one who will do it blindfolded with black cloth, hen walked toward the gap between the banyan tree. Regarding the cultural procession Masangin was walking between two banyan trees. Then the values of Islam in society gathering connect Masangin culture.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

TRANSLITERASI ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Kegunaan Penelitian ... 5

E. Pendekatan dan Kerangka Teoretik ... 5

F. Penelitian Terdahulu ... 8

G. Metode Penelitian ... 9

H. Sistematika Bahasan ... 13

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KRATON YOGYAKARTA A. Sejarah dan SusunanPemerintahanKerajaan ... 15

B. Kondisi Geografis ... 19

C. Kondisi Sosial Masyarakat ... 22

1. Setruktur Sosial Masyarakat ... 22


(8)

3. Kondisi Sosial Ekonomi ... 30

4. Kondisi Pendidikan ... 31

BAB III BUDAYA MASANGIN DI ALUN-ALUN KIDUL KRATON YOGYAKARTA A. Munculnya Budaya Masangin ... 36

B. Simbol Budaya Masangin ... 38

1. Lokalisasi/Setting ... 38

2. Peralatan Dalam Laku Budaya Masangin ... 44

C. Prosesi Budaya Masangin ... 46

BAB IV NILAI ISLAM DALAM BUDAYA MASANGIN A. Nilai islam dalam budaya masangin ... 49

B. Pemaknaan BudayaMasangin ... 53

1. PenyewaKacu ... 53

2. Pihak Kraton Yogyakarta ... 55

C. Dampak Diadakan Budaya Masangin ... 58

1. Aspek Ekonomi ... 58

2. Aspek Sosial ... 60

3. Aspek Agama ... 61

D. Respon masyarakat dan pihak Kraton Yogyakarta Terhadap Pelaksanaan BudayaMasangin ... 62

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Penduduk Laki-laki Menurut Golongan Umur ... 21

2 Penduduk Perempuan Menurut Golongan Umur ... 22

3 Jenis Pekerjaan Masyarakat Kraton ……….. 30


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Isi kebudayaan di dunia ini meliputi tujuh unsur kebudayaan universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan ini merupakan isi dari kebudayaan yang mewarnai seluruh kebudayaan di dunia baik kebudayaan yang sudah maju maupun kebudayaan yang masih bersifat sederhana. 1

Masyarakat Jawa memiliki kebudayaan khas dimana dalam sistem budayanya menggunakan simbol-simbol sebagai sarana atau media untuk menyampaikan pesan. Hal ini juga diperkuat bahwa budaya itu sendiri sebagai hasil tingkah laku atau kreasi manusia, memerlukan alat pengantar untuk menyampaikan maksud. Media budaya itu dapat berupa bahasa, benda, warna, suara, tindakan yang merupakan simbol-simbol budaya.2

Sebagai salah satu contoh adalah budaya Masangin di alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta yang hingga saat ini masih dijaga kelestariannya. Budaya Masangin penuh dengan simbol-simbol yang menitipkan suatu pesan di dalamnya. Untuk mengetahui makna simbol dalam

      

1

Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002 ),180.

2


(11)

2

 

budaya Masangin digunakan sudut pandang simbolik. Dengan menggunakan perspektif simbolik ini maka peneliti berusaha menggali makna yang tersembunyi pada simbol-simbol yang digunakan dalam melakukan budaya

Masangin. Simbol yang sudah ada sejak budaya tersebut pertama kali diselenggarakan.

Berawal dari kepercayaan masyarakat Yogyakarta tentang budaya

Masangin adalah berhubungan dengan orang yang berhasil melewati kedua pohon beringin di tengah alun-alun kidul dengan menutup mata, berarti orang itu memiliki hati yang bersih dan apabila dia berdoa dalam Masanginnya, akan dipermudah dalam meraih cita-citanya. Secara logis akal peneliti, pelaku budaya Masangin yang menutup matanya diasumsikan tidak tahu atas apa yang dikehendaki oleh Tuhan-Nya. Oleh karena itu, manusia hanya bisa berusaha melalui segala cobaan hidup yang digambarkan kesulitan mencapai celah diantara dua pohon tersebut. Dalam hal ini, orang yang memiliki keyakinan terhadap dirinya sendiri cenderung tidak mudah terpengaruh oleh berbagai hambatan, termasuk gelap dan keragu-raguan. Dalam kehidupan nyata, mereka adalah orang yang mampu mewujudkan cita-cita dan harapannya.

Sebelum Masangin menjadi ikon yang menjadi ikon alun-alun kidul adalah gajah. Keberadaan gajah pada waktu itu ternyata mampu menjadi magnet bagi wisatawan untuk datang ke alun-alun kidul. Dari situ artinya


(12)

3

 

menjadi ‘ladang basah’ bagi bekerjanya sektor ekonomi. Dengan pemindahan binatang prasejarah ini ke lokasi lain, tentu saja orang-orang yang diuntungkan sebelumnya merasa terancam kering pangan. Dan momentum itulah yang lantas digunakan oleh mereka ini untuk mereproduksi ulang budaya yang ada dengan menciptakan mitos Masangin. Masangin dalam hal ini dapat dikatakan produk dari reproduksi budaya. Masyarakat setempat dalam hal ini berperan penting membangun sebuah kepercayaan mikrokosmos.

Bagi peneliti, yang menarik untuk dikaji dari budaya Masangin ini adalah terkait dengan Simbol yang dijadikan oleh masyarakat Yogyakarta, yakni kepercayaan masyarakat Yogyakarta tentang orang yang berhasil melewati kedua Pohon Beringin tersebut dengan menutup mata, maka akan dipermudah dalam meraih cita-citanya. Kepercayaan ini terus berkembang hingga menarik perhatian wisatawan.

Berangkat dari hal di atas, peneliti mengangkat tema Nilai Islam Dalam Budaya Masangin di Alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai kebudayaan yang mungkin kurang dijadikan perhatian secara khusus oleh sebagian besar masyarakatnya dan menjadikan sebagai sarana untuk diadakannya komunikasi antar masyarakat agar bisa tetap melestarikan budaya yang mereka memiliki agar tidak punah dan memudar sedikit demi


(13)

4

 

sedikit kemudian hilang karena adanya pergeseran perkembangan zaman.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang munculnya budaya Masangin di alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta?

2. Bagaimana prosesi budaya Masangin di alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta?

3. Bagaimana nilai islam dan respon antara masyarakat dan pihak Kraton Yogyakarta terhadap budaya Masangin di alun-alun kidul?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya budaya Masangin di alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta

2. Untuk mendiskripsikan dan mengetahui prosesi budaya Masangin di alun- alun kidul Yogyakarta

3. Untuk memahami niali islam dalam budaya Masangin serta pemaknaan masyarakat dan pihak Kraton Yogyakarta terhadap budaya Masangin di alun-alun kidu.


(14)

5

 

D. Kegunaan Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan seperti berikut :

1. Bidang Akademis :

Pengembangan dalam bidang Sejarah Dan Kebudayaan Islam Di Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negri Sunan Ampel, Surabaya. 2. Bidang Praktis

Dengan adanya penelitian tentang Nilai Islam Dalam Budaya Masangin Di Alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta ini, diharapkan sebagai bahan bacaan yang bermanfaat. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memperluas cakrawala kita tentang wacana sejarah dan kebudayaan Indonesia.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Dalam penelitian fenomena budaya yang ada di masyarakat dibutuhkan sebuah pendekatan atau langkah. Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam mengarahkan bagaimana data dapat diambil dan didiskripsikan. Pendekatan akan memberikan arah pada peneliti agar penelitian yang dihasilkan berkualitas.

Peneliti menggunakan pendekatan antropologi. Antropologi adalah ilmu yang mempelajari makhluk anthropos atau manusia, merupakan suatu integrasi dari beberapa ilmu yang masing-masing mempelajari suatu komplek


(15)

6

 

masalah-masalah khusus mengenai makhluk manusia.3Pendekatan Anropologi mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari prilaku tokoh sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup. Pendekatan antropologi merupakan salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.4 Wujud praktek yang dimaksudkan di sini adalah tentang orang yang akan melakukan budaya Masangin di alun-alun kidul dengan ditutup matanya dengan kain hitam, lalu berjalan ke arah celah di antara kedua pohon beringin.

Selain menggunakan pendekatan antropologi pada penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi meneropong dari segi-segi sosial peristiwa yang dikaji, umpanya golongan sosial mana yang berperan, serta nilai-nilainya hubungan dengan golongan lain, konflik berdasarkan kepentingan, ideologi (kepercayaan) dan lain sebagainya.5 Pendekatan sosiologi yang digunakan dari segi kepercayaan. Yaitu kepercayaan masyarakat kraton dengan adanya budaya Masangin yang memiliki mitos siapapun yang bisa melewati dua pohon beringin maka cita-citanya akan segera terpenuhi.

Sedangkan Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tindakan. Teori tindakan adalah suatu tindakan berdasarkan pengalaman,

      

3

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987), 1.

4

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000), 35.

5

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah(Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 4.


(16)

7

 

pemahaman dan penafsiran atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan itu merupakan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang menuntut dan mengatur sesuatu prilaku. Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Tindakan tersebut bisa dipengaruhi oleh sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian dari masing-masing individu.6 Dari teori ini, peneliti kemudian mencoba mendeskripsikan makna budaya Masangin di alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta.

Sesungguhnya, sebelum Masangin menjadi ikon, yang menjadi ikon alun-alun kidul adalah gajah. Keberadaan gajah pada waktu itu ternyata mampu menjadi magnet bagi wisatawan untuk datang ke alun-alun kidul. Dari situ artinya menjadi ‘ladang basah’ bagi bekerjanya sektor ekonomi. Dengan pemindahan binatang prasejarah ini ke lokasi lain, tentu saja orang-orang yang diuntungkan sebelumnya merasa terancam kering pangan. Dan momentum itulah yang lantas digunakan oleh mereka ini untuk mereproduksi ulang budaya yang ada yakni mitos Masangin. Masangin dalam hal ini dapat dikatakan produk dari reproduksi budaya. Masyarakat setempat dalam hal ini berperan penting membangun sebuah kepercayaan mikrokosmos.

      

6


(17)

8

 

F. Penelitian Terdahulu

Mengenai kajian tentang tradisi atau budaya Jawa sudah banyak yang menulis, akan tetapi, kajian yang membahas secara khusus tentang budaya

Masangin di alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta ini belum ada yang membahasnya. Namun ada beberapa karya tulis yang berhubungan topik ini yang peneliti temukan. Ada pun karya tulis tersebut antara lain :

1. Prespektif Upacara Tradisional Sekatendi Yogyakarta (Studi Kajian Dalam Akulturasi Budaya Jawa dan Isalam). Yang ditulis oleh H.Siti Achlah Fakulas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 1998. Pembahasan mengenai latar belakang timbunya Tradisi Sekaten dan perkembangan tradisi Sekaten serta gambaran umum masyarakat kraton Yogyakarta. Metode kajian yang digunakan adalah wawancara dan observasi serta metode komparatif yaitu perbandingan data dengan dengan sesuatu diluara data untuk mengambil kesimpualan tentang tradisi

Sekaten. Hasil penelitian ini dapat member informasi dan pemahaman tentang masyarakat Kraton Yogyakarta.

2. Upacara Pernikahan Adat Jawa tentang analisis simbol untuk memahami Pandangan Hidup Orang Jawa. Yang ditulis oleh Puji Wiyandari fakultas adab IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2004. Membahas tentang makna-makna simbol yang ada dalam prosesi upacara pernikahan di Karang Talun, Imogiri, bantul dengan menekankan pada keunikan adanya pembasuhan kaki dan berdirinya pengantin di atas pasangan (wakulu) .


(18)

9

 

penelitian ini juga memberikan pemahaman tetang simbol-simbol yang ada pada tradisi masyrakat Yogyakarta.

3. Kebudayaan Jawa karangan Koentjaraningrat. Buku ini membahas tentang seluruh aspek yang ada dalam kebudayaan jawa, mulai dari sejarah, sistem kemasyarakatan, ekonomi, politik, religi, upacara, kesenian, dan kesusatraan.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena dalam penelitian terdahulu sebagian besar membahas prosesi dalam kebudayaan Jawa serta nila-nilai Islam di dalamnya. Sedangkan dalam penelitian ini membahas tentang nilai islam yang terkandung dalam budaya Masangin dan terfokus kepada simbol-simbolnya. Untuk mengetahui makna simbol dalam budaya Masangin digunakan sudut pandang simbolik. Dengan menggunakan perspektif simbolik ini maka peneliti berusaha menggali makna yang tersembunyi pada simbol-simbol yang digunakan dalam melakukan budaya

Masangin. Baik itu simbol yang sudah ada sejak budaya tersebut pertama kali diselenggarakan, maupun simbol-simbol tambahan guna mendukung semaraknya budaya Masangin.

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode etnografi. Etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy (menguraikan atau


(19)

10

 

menggambarkan). Etnografi merupakan ragam pemaparan penelitian budaya untuk memehami cara orang-orang berinteraksi dan bekerja sama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari. Etnografi bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara holistic, yaitu aspek budaya aspek spiritual maupun material. Dari sini akan terungkap sudut pandang hidup dari sudut pandang penduduk setempat.7 Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Heuristik

Heuristik atau pengumpulan sumber adalah suatu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk menyimpulkan sumber-sumber, data-data, atau jejak sejarah. Maka heuristik adalah mencari dan menemukan data-data yang diperlukan.8

a. Jenis Data

Jenis data yang akan dikumpulkan adalah jenis data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari informan dengan menggunakan wawancara dan pengamatan. Dalam tulisan ini, informan tersebut terdiri dari penyewa kacu, beberapa orang abdi dalem Kraton Yogyakarta dan wisatawan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumentasi dan bacaan lainnya yang

      

7

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyaakarta: Gajah Mada University Press, 2006), 50.

8


(20)

11

 

berkaitan dengan masalah yang diteliti. Data-data ini biasa berupa buku-buku yang ada kaitannya dengan judul yang akan dibahas.

b. Pengamatan Terlibat (Participant Observation)

Pengamatan langsung dilakukan untuk memperoleh fakta nyata tentang budaya Maasangin, kemudian dilakukan pencatatan lapangan yang meliputi prosesi, perlengkapan dan tempat penyelenggaraan budayanya. Agar terpenuhinya standar ilmiah maka peneliti harus ikut berpartisipasi dalam prosesi budaya tersebut dan ikut andil di dalamnya sebagai pelaku budayanya.9

c. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperoleh data primer karena data ini diperoleh langsung dari pelaku budayanya. Adapun pelaku budaya itu adalah penyewa kacu, beberapa orang abdi dalem Kraton Yogyakarta dan wisatawan yang terlibat di dalam laku Masangin

d. Dokumentasi

Peneliti melakukan dokumentasi yaitu pengumpulan data-data yang ada dengan menggunakan alat-alat dokumentasi seperti kamera dan rekorder. Yaitu dengan mengambil foto-foto saat pelaksanaan budaya

Masangin dan aktivitas masyarakatnya di alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta.

e. Penelusuran Pustaka

      

9


(21)

12

 

Peneliti juga akan mengumpulkan dan mengkaji data-data dari sumber bertulis untuk memperkuat data yang diperoleh di lapangan. Sumber-sumber tersebut diperoleh dari kelurahan yaitu data-data tentang kependudukan dalam membantu mengetahui kondisi geografis, ekonomi, agama dan sosial kultur masyarakat.

2. Kritik Sumber

Kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber yang diperoleh, kritik ini menyangkut vertivikasi sember yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Merupakan cara-cara menguji rumusan kaidah-kaidah atau memperkuat “ pengertian” yang telah dicapai.10 Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksteren dan kritik interen. Kritik eksteren yaitu proses untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik atau tidak, sedangkan kritik interen adalah upaya yang dilakukan untuk melihat apakah isi sumber tersebut kredibel atau tidak.

3. Interpretasi atau Penafsiran

Data yang terkumpul bukanlah merupakan hasil akhir dari suatu penelitian ilmiah, tetapi data-data tersebut masih perlu dianalisis lagi. Dalam hal ini, peneliti menggunakan sudut pandang simbolik untuk menghubungkan sistem kognitif dengan sistem nilai, yaitu kaitan antara bagaimana menerjemahkan sistem pengetahuan dan makna menjadi sistem

      

10


(22)

13

 

nilai atau menerjemahkan sistem nilai menjadi sistem pengetahuan dan makna.

Kebudayaan pada intinya terdiri dari tiga hal utama, yaitu sistem pengetahuan (kognitif), sistem nilai (evaluatif) dan sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan dan interpretasi. Adapun titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh simbol adalah yang dinamakan makna (system of meaning). Dengan demikian, melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan.11

4. Histografi

Histografi adalah proses akhir dari pengerjaan skripsi. Setelah langkah operasional dilakukan maka, hasil penelitian ini ditulis berdasarkan fakta dan data yang diperoleh selama penelitian.12

H. Sistematika Pembahasan

Pembahasan yang akan dikemukan dalam proses penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 bab yakni :

Bab I Pendahuluan. Bab ini bertujuan untuk mengantarkan secara sekilas, segala sesuatu yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini di antaranya Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,

      

11

Nur Syam, Madzhab-Madzhab Antropologi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2007), 92.

12


(23)

14

 

Kegunaan Penelitian, Pendekatan dan Kerangka Teoretik, Penelitian Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Bahasan.

Bab II gambaran Umum Masyarakat Kraton Yogyakarta.Sebagai langkah awal memasuki pembahasan dalam bab ini, sejarah dan susunan pemerintahan pada masa Mataram, kondisi geografis, kondisi sosial masyarakat meliputi aspek setruktur sossial, keagamaan, ekonomi, pendidikan dalam Kraton Yogyakarta.

Bab III Budaya Masangin Di Alun-alun kidul Kraton Yogyakarta. Setelah mengetahui gambaran umum dari masyarakat Kraton Yogyakarta. Pembahasan selanjutnya dalam bab ini. terkait dengan latar belakang munculnya budaya Masangin, simbol budaya Masangin, serta prosesi budaya Masangin.

Bab IV Nilai Islam dan Makna Budaya Masangin. Dalam bab ini akan mendiskripsikan Nilai Isalam dan Pemaknaan Budaya Masangin menurut penyewa kacung,pihak kraton dan para wisatawan. Kemudian dampak diadakan budaya Masangin dari aspek sosial, hiburan ,ekonomi. Dan selanjutnya respon masyarakat dan pihak Kraton Yogyakarta Terhadap Pelaksanaan Budaya Masangin.

Bab V Penutup. Sebagai tanda diakhiri pembahasan skripsi, maka bab ini berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada pada bab-bab sebelumnya dan dimuatkan juga saran.


(24)

15

 

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KRATON YOGYAKARTA

A. Sejarah dan Susunan Pemerintahan Kerajaan Pada Masa Mataram

Kerajaan Mataram Islam, yang didirikan oleh panembahan senopati pada tahun 1575, mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung, raja ketiga, memerintah pada tahun 1613 sampai dengan 1645. Pada waktu itu wilayah kekuasaan kerajaan meliputi jawa Tengah, jawa Timur dan sebagian dari jawa Barat. Namun dalam masa pemerintahan raja – raja yang menggantikannya nampak adanya kemunduran.

Setelah perang Trunojoyo berakhir pada tahun 1678, Mataram harus melepaskan daerah Krawang, sebagian dari daerah Priangan dan Semarang, demikian pula setelah perlawanan Untung Surapati dapat dipadamkan sekitar tahun 1705, daerah Cirebon yang juga mengakui kekuasaan mataram juga sisa dari daerah priangan. Wilayah kerajaan makin menyempit setelah berakhirnya perang giyanti pada tahun 1755, kerajaan Mataram dipecah menjadi dua bagian, yaitu kerajaan Surakatra dan kerajaan Yogyakarta.13

Kraton Yogyakarta mulai didirikan oleh sultan Hamengku buwono I beberapa bulan setelah perjanjian giyanti. Lokasi krtaton ini konon adalah bekas sebuah pesanggrahan yang bernama Garjitawati. Pesangrahan ini

      

13


(25)

16

 

digunakan untuk istirahat iring–iringan jenazah raja–raja Mataram yang akan di makamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi kraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan yang ada di tengan hutan Beringan. Sebelum menempati kraton Yogyakarta, Sultan Hameng Kubuwono I berdiam diri di Pasenggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.14

Dalam susunan pemerintahan kerajaan perlu dibedakan antra pemerintah dalam istana dan pemerintahan luar istana. Untuk pemerintahan dalam istana dibebankan pada empat orang Wedana Dalam (Wedana Lebet), yaitu Wedana Gedong Kiwah,Wedana Gedong Tenggen , Wedana Keparak Kiwa,dan Wedana Kerapak Tenggen. Ada jabatan Patih Lebet yang bertugas mengkoordinasi tugas Wedana-wedana tersebut. Para Wedana Gedong di tugaskan untuk mengurusi keuangan dan perbendaharaan istana, Sedangkan Wedana Kerapak bertugas mengurusi kaprajuritan dan pengadilan.

Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 untuk wilayah Kasultanan Yogyakarta pengurusannya diserahkan pada Wedana Bupati yang berkedudukan di maospati, Madiun. Baik wilayah pasisiran Wetan ataupun kilen masing-masing dikepalai oleh seorang Wedana Bupati. Wedana Bupati pasisiran bertugas mengawasi dan mengkoordinasi Bupati–Bupati Kepala Daerah yang ada di bawah juridiksinya. Selain memakai gelar Adipati atau

      

14


(26)

17

 

Tumenggung, penguasa–pengusa daerah Pasisiran juga ada yang memakai gelar Kyai Demang atau Kiyai Ngabehi, terutama mereka yang menjabat sebagai bupati. Untuk pemerintahan kota di Pasisiran biasanya di percayakan pada seorang kepala yang bergelar Kiyai Lurah.

Selain jabatan–jabatan Kepala daerah tersebut. Masih banyak terdapat jabatan–jabatan lainya baik tingkat tinngi, menengah maupun tingkat bawah, yang diserahi tugas-tugas tersendiri dalam kerajaan. Pada masa Mataram Kartasura, terdapat jabatan–jabatan yang di beri tugas khusus untuk mengepalai golongan-golongan rakyat tertentu. Jabatan ini dipegang oleh empat Tumenggung, iyalah Tumenggung yang mengepalai 6000 orang

kalang,15 Tumenggung yang membawahkan 1000 orang Gowong,

tumenggung dari 1200 orang Tuwaburu.16

Kemudian Tumenggung yang mengepalai 1400 orang Kadipaten. Sebagai mana haknya pejabat daerah Kepala Daerah yang mempunyai staf pegawai yang mengurusi tugas–tugas tertentu, para Tumenggung tersebut juga dibantu oleh pejabat-pejabat bawahan. Pejabat keagamaan di dalam Kerajaan Mataram disebut Abdi Dalem Pametakan atau Mutihan. Penghulu istana dipandang sebagai penghulu Ageng (Penghulu Besar). Dalam

      

15

Orang Kalanng diberi tugas sebagai tukang kayu, pengangkut barang, kusir pedati dan sebagainya.

16

Tugas orang Gowong antara lain adalah membuat kerangka rumah dan bangunan lain. Orang Tawaburu adalah punggawa raja yang ditugaskan menangkap binatang buas, termasuk harimau.


(27)

18

 

pandangan orang jawa ulama- ulama kraton ini mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai soal – soal agama, juga di anggap orang yang kramat.

Perlu pula disebut jabatan penting dalam kraton iyalah jabatan

Pujangga. Pujangga ini dalah pejabat yang menpunyai keahlian dalam berbagai bidang pengetahuan. Oleh raja ia diberi tugas menuli seluk –beluk yang berhubungan dengan raja, kraton maupun kerajaan, seperti menyusun syair mengenai peristiwa-peristiwa dalam kraton dll. Dalam bidang pengadilan terdapat jabatan Jeksa. Di dalam siding pengadialan istana Jeksa mengemukakan bukti–bukti kesalahan dari terdakwa (pesakitan) dan mengajukan tuntutan–tuntutan. Untuk mengurusi penghasilan praja dilakukan antara lain oleh pejabat Pemaosan dan Melandang. Pemaos mempunyai tugas mengumpulkan pajak tanah, sedangkan Melandang bertugas mengurusi pungutan hasil bumi yang di serahkan ke kraton.

Selain itu ada kelompok pekerja yang ditugaskan untuk membuat barang–barang tertentu ataupun perlengkapan lain untuk keperluan istana. Mereka adalam abdi dalem gending yang bertugas untuk membuat gamelan,

Kemas untuk membuat barang–barang perhiasan dari emas, Genjang pekerja yang membuat barang–barang dari selaka, Gemblak sebagai pekrja yang membuat barang dari kuningan, Sarawedi sebagai pengasah intan dan berlian.

Abdi dalem Pande yang di tugaskan membuat barang–barang dari besi, Palingga sebagai pembuat batu bata, Jlagra sebagai tukang pembuat barang


(28)

19

 

dari batu, Undangi sebagai pembuat barang dari kayu dan Gerji sebagai tukang jahit istana.

Disamping itu terdapat juga kelompok pekerja yang diberi tugas untuk membersihkan complex istana inti (Lebet cepuri) iyalah abdi dalem Kemit Bumi, sedang pekerja yang membersihkan komlekx di luarnya di tambah tugas sebagai pengangkut barang adalah pekaerja gladang. Kelompok pekerja-pekerja tersebut masing–masing dikepalai oleh pejabat yang biasanya berpangkat Lurah dan pembantunya yang berpangkat Bekel.17

B. Kondisi Geografis

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan istana resmi kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di kota Yogyakarta. Kraton adalah sebuah kecamatan di kota Yogyakarta, propinsi daerah istimewa Yogyakarta. Keraton merupakan titik tengah antara utara dan selatan DIY. Jika diambil garis tengah wilayah provinsi Yogyakarta, dari arah utara ke selatan maka akan melewati Gunung Merapi, Monumen Yogya kembali,tugu pal putih, kraton Yogyakarta, panggung pondok pesantren krapyak,dan samudra hindia. Letak kraton sangat strategis, yaitu diantara dua lapangan besar yang sering disebut Alun-Alun Utara (LOR) dan Alun-Alun Selatan (Kidul).

      

17


(29)

20

 

Secara geografis Yogyakarta terletak di pulau Jawa bagian Tengah.Kota Yogyakarta terletak antara 110̊ 24 ’19”- 110̊ 28’53” Bujur timur dan 07̊ 15’24”- 07̊ 49’26” lintang selatan. Kota Yogyakarta terdapat 14 kecamatan, salah satunya adalah kecamatan Kraton.

Kecamatan kraton Yogyakarta, memiliki tiga kelurahan yaitu kelurahan panembang, kelurahan kadipaten, dan kelurahan patehan dengan jumlah 43 Rw dan 175 Rt. Sedangkan batas wilayah kecamatan kraton sebagai berikut.

1. Sebelah Utara : Kecamatan Ngampilan Dan Kecamatan

Gondomanan

2. Sebelah Timur : Kecamatan Gondomanan Dan

Kecamatan Mergangsan 3. Sebelah Selatan : Kecamatan Mantrijeron

4. Sebelah Barat : Kecamatan Matrijeron Dan Kecamatan

Ngampilan.

Luas kraton mencapai 14.000 m2. Sedangkan luas wilayah kecamatan kraton 139.9375 Ha. Suhu maksimum 220C .tinggi pusat pemerintahan wilayah kecamatan kraton kurang lebih 114.0 m dari permukaan laut.

Jumlah penduduk Kecamatan Kraton Yogyakarta sebanyak 24.273 jiwa. Adapun pertumbuhan penduduk sebesar -2,1%, sedangkan kepadatan


(30)

21

 

penduduk 17.338 (jiwa/ km2). Jumlah penduduk laki sebanyak 11.890, sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 12.383. Untuk lebih lengkapnya, berkaitan dengan penduduk Kraton, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.18

TABEL 1

Penduduk Laki – Laki Menurut Golongan Umur NO KELOMPOK

MENURUT UMUR

JUMLAH

1 2 3 4 5 6

0-14 15- 19 20- 39 40- 54 55- 64 65+

2530 990 3.662 2.923 1.010 773

Jumlah 11.890

      

18


(31)

22

 

TABEL 2

Penduduk Perempuan Menurut Golongan Umur NO KELOMPOK

MENURUT UMUR JUMLAH 1 2 3 4 5 6 0-14 15- 19 20- 39 40- 54 55- 64 65+ 2.304 938 3.723 3.081 1.129 1.208

Jumlah 12.383

Sumber : data monografi dinamis kecamatan Kraton Yogyakarta 2014

C. Kondisi Sosial Masyarakat 1. Struktur Sosial Masyarakat

Suatu golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh ciri tertentu, bahkan seringkali ciri itu juga dikenakan kepada mereka oleh pihak luar kalangan mereka sendiri.Walaupun demikian suatu kesatuan manusia yang kita sebut golongan sosial itu mempunyai ikatan identitas sosial. Dalam masyarakat masih ada suatu kesatuan manusia


(32)

23

 

yang dapat disebut golongan sosial yaitu lapisan atau kelas sosial. Seperti halnya dikraton Yogyakarta yang terdapat beberapa lapisan masyarakat.19

Kraton Yogyakarta terkenal dengan budaya yang masih sangat kental dengan nuansa budaya jawanya. Bahkan kraton bisa dibilang merupakan pusat dari kebudayaan di jawa. Kesultanan Yogyakarta khususnya wilayah kecamatan Kraton membagi penduduknya menjadi tiga golongan yaitu golongan bangsawan yang terdiri dari keluarga Sultan,

priyayi, pegawai (Abdi Dalem) dan rakyat jelata (Kawula Dalem). Anggota lapisan bangsawan memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah.

a. Golongan Bangsawan

Keluarga kesultanan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Termasuk dalam golongan ini adalah Sultan, putra dalem, 20saudara dalem, cucu (wilayah dalem), istri (garwo dalem ), dan menantu Sultan, mereka juga mendapat gelar keningratan yang berbeda-beda.21

      

19

Ibid., 150.

20

Dalem merupakan sebutan bagi keturunan Sultan.

21


(33)

24

 

Priyayi merupakan lapisan kedua dari golongan pertama (bangsawan). Sebagian dari golongan priyayi ada juga yang masih kerabat Sultan, sebagian lagi adalah penggawa (kepala pasukan atau hulu balang) Kraton yaitu abdi dalem dan para kepatihan yang mendapat gelar keningratan sesuai dengan pangkatnya. Tugas priyayi ini mengemban dawuh dalem (menjalankan perintah-perintah dari sultan).22

b. Golongan pegawai (abdi dalem )

Abdi dalem adalah golongan yang sanggup menjadi pamong atau pengurus Kraton Yogyakarta dan sudah mendapat ketetapan atau

kecancingan (surat keputusan atau surat pengukuhan yang dikeluarkan oleh pihak kraton Yogyakarta). Abdi dalem terbagi dalam dua bagian

abdi dalem Panokawan yaitu orang–orang yang mendapat pengakuan dari kraton,penggajian oleh kraton, dan seluruh tugas yang dijalankanya adalah untuk Kraton. Sedangkan abdi dalem kaprajan

pengukuhan dan penggajianya adalah dari Negara RI dan mereka tidak memiliki beban tugas dari Kraton.23 Urut – urutan kepangkatan dalam Kraton Yogyakarta sebagai brikut:

1) Magang yaitu abdi dalem baru yang belum memakai keris. 2) Jajar yaitu abdi dalem yang sudah lima tahun mengabdi

      

22

Ibid., 33.

23

Agus Sudaryanto,’’Hak Dan Kewajiban Abdi Dalem Dalam Pemerintah Kraton Yogyakarta’’,Mimbar Hukum,Volume 20, Nomor 1, Februari 2008,166.


(34)

25

 

dan naik pangkat tapi belum memakai keris.

3) Bekel Anom yaitu abdi dalem yang telah naik pangkat dari jajar dan sudah memakai keris .

4) Bekel Sepuh yaitu pangkat abdi dalem di atas Bekel anom. 5) Lurah

6) Wedono

7) Raden Bupati Anom

8) Bupati Anom bergelar KRT / KMT (Kanjeng Raden

Tumenggung Atau Kanjeng Mas Tumenggung). 9) Bupati (KRT).

10)Bupati Sepuh (KRT). 11)Bupati Kliwon (KRT).

12)Bupati Nayoko (KRT). Merupakan pangkat tertinggi dalam jajaran abdi dalem kraton.

Dalam kepangkatan tertinggi ini (Bupati nayoko), kalau abdi dalem tersebut telah menunjukkan loyalitas yang tinggi maka akan dianugrahi gelar oleh Sri Sultan dengan pangkat KPH (Kanjeng Pangeran Haryo). Merupakan gelar luar biasa bagi para abdi dalem Kraton.

Pemberian gelar KRT atau Kanjeng Raden Tumenggung diberikan kepada para abdi dalem yang masih ada hubungannya


(35)

26

 

dengan keluarga Kraton atau mereka yang mempunyai loyalitas dalam masa penabdian. Sedangkan KMT atau Kanjeng Mas Tumenggung diberikan kepada abdi dalem yang berasal dari kalangan masyarakat awam. Kenaikan pangkat dari tiap–tiap kepangkatan di peroleh selama masa lima tahun atau juga didasarkan pada prestasi yang di peroleh abdi dalem.24

c. Rakyat jelata ( kawulo dalem )

Merka di sebut juga wong cilik. Bagi kawulo dalem tidak di perkenankan untuk perpola hidup seperti priyayi dan abdi dalem. Bagi rakyat jelata, Sultan adalah raja yang memiliki kekuasaan atas negaranya.

Dalam masyarakat jawa khususnya daerah Yogyakarta dipakai tiga jenjang bahasa yaitu, ngoko (bahasa jawa rendah), krma andhap (bahasa jawa tengah), karma inggil (bahasa jawa tinggi). Bahasa yang tercermin dalam kebudayaan ini mengajarkan bentuk penghormatan dan saling menghargai, tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status sosial bisa di tentukan oleh usia, posisis sosial, atau hal – hal lain.

      

24

H. Siti Achlah, “ Prespektif Upacara Tradisional Sekatendi Yogyakarta”, ( Skripsi, IAIN Sunan Ampel Fakultas Adab,Surabaya,1998),48


(36)

27

 

2. Kondisi Sosial Keagamaan

Menurut Clifford Gertz agama merupakan suatu simbol yang berfungsi untuk mengukuhkan suasana hati dan motivasi yang kuat dan mendalam pada diri manusia.25sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke wilayah indonesia, rakyat Indonesia telah memiliki sistem keyakinan sendiri yaitu animism dan dinamisme. Sistem religi diwujudkan dalam bentuk upacara dengan menggunakan simbol - simbol tertentu, baik yang berhubungan dengan jenjang kehidupan baru manusia maupun yang berhubungan dengan kesejahteraan, keselamatan masyarakat ataupun perseorangan. Sebagaimana halnya masyarakat jawa pada umumnya, di kraton Yogyakarta juga tampak adanya sistem terhadap benda–benda tertentu yang dianggap mengandung kekuatan gaib.

Ketika agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, banyak rakyat Indonesia yang kemudian mengikuti ajaran ini. Karena ajaran agama ini tidak banyak perbedaan dengan sistem kepercayaan terhadap leluhur yaitu kepercayaan terhadap roh yang dalam hidupnya memiliki banyak pengaruh dan jasa.26 Dalam kehidupan beragama, orang jawa sering menyatukan unsure lama yang cenderung ke arah mistik. Yang bercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama islam. Masyarakat di

      

25

Geertz Clifford dalam sutiyono, benturan budaya islam : puritan & singkretis, ( jakata; kompas, 2010),37.

26

Suyami, Upacra Ritual Di Kraton Yogyakarta Refleksi Mithologi Dalam Budaya Jawa( Yogyakarta: Kepel Press, 2008 ),26-27.


(37)

28

 

lingkungan kraton Yogyakarta pada umumnya beragama islam, tetapi sebagian orang jawa tidak dapat sepenuhnya meninggalkan kepercayaan lamanya.27

Ajaran islam mudah di terima oleh masyarakat karena tidak membedakan status manusia dengan kasta, semua manusia sama di hadapan tuhan dan hal lain yang mudah di terima adalah penyampaiannya melalui tradisi yang esensinya kembali kepada Allah. Sejak awal berdirinya kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah kerajaan islam. Hal ini jelas tercantumkan dalam gelar yang di sandang Raja, seajak sultan pertama memiliki gelar keagamaan yaitu senopati ing ngalaga adbulrokhman sayidin pertagama kholifatullah. Dan juga dari simbol-simbol yang dicantumkan dalam bangunan fisik maupun karya sastranya, serta upacara-upacara budaya yang bernafaskan islam.

Bentuk hubungan islam dengan kraton dapat dilihat dari arsitektur dan letak bangunan kraton yang sangat kompleks dengan simbol-simbol yang sarat dengan filosofis. Nuansa islam di lingkungan kraton, di buktikan dengan didirikanya masjid oleh beberapa sultan di antaranya:28

      

27

Koentjaroningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka 1994 ),312.

28

Http//Yogyakarta.panduwisata.com.deadline.kraton-kesultanan-yogyakarta-warisan-kerajaan-matarm-islam-di-yogyakarta’


(38)

29

 

Hamengku Buwono I : Masjid Gedhe Kauman

(1773 )

Hamengku Buwono IV : Masjid Wonokromo

Hamengku Buwono VII : Masjid Panepen

Hamengku Buwono IX : Masjid Soko Tunggal

Nuansa islam di lingkungan Kraton Yogyakarta juga

ditunjukkan melalui organisasi remaja masjid Kraton atau pemuda Muhammadiyah Kraton yang ikut serta mengelolah kigiatan islami untuk remaja. Contohnya mengadakan forum kajian sebagai media silaturahmi dan interaksi dakwah untuk menghasilkan kader-kader dalam pengembangan dakwah. Adapun kegiatan keagamaan masyarakat di masjid-masjid kraton meliputi; sholat lima waktu di masjid secara berjama’aah, anak–anak kecil dan remaja tingkat TK, SD, SMP, dan SMA, yasinan dan tahlilan untuk pelaksnaannya tergantung kesepakatan dari masing- masing kampung yang di ikuti oleh jama’ah masjid, Diba’an di laksanakan setiap malam jumat, Ceramah agama adalah salah satu kegiatan keagamaan yang di lakukan oleh masyarakat untuk


(39)

30

 

berpartisipasi dalam pembangunan bidang spiritual, Mengadakan sholat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban.29

3. Kondisi sosial Ekonomi

Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai potensi yang sangat besar untuk tumbuh sebagai kota yang kaya akan budaya dan kesenian jawa. Karena eksistensi Kraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan. Dari segi potensi alam khususnya lahan, willayah kecamatan Kraton Yogyakarta kurang menguntungkan karena kepadatan penduduknya sangat tinggi.

Ekonomi merupakan factor utama dalam keerlangsungan masyarakat. Sebagian besar perekonomian di Yogyakarta disokong oleh hasil cocok tanam, berdagang, kerajinan dan wisata. Penduduk pribumi lebih banyak mengembangkan potensinya dalam berbagai kerajinan daerah (kerajinan perak, kerajinan wayang kulit, dan kerajinan,anyaman),

TABEL 3

Jenis Pekerjaan Masyarakat Kraton

No Jenis Pekerjaan Jumlah

1 Belum / tidak bekerja 3485

2 Menurus rumah tangga 2975

      

29


(40)

31

 

3 Pelajar/ mahasiswa 5174

4 Pegawai Negri Sipil ( PNS ) 906

5 Pensiun 793

6 Tentara Nasional Indonesia(TNI) 15

7 Kepolisian RI (POLRI) 45

8 Wiraswasta 3675

9 Petani 10

10 Buruh 579

11 Karyawan 4281

12 Gubenur 1

13 DPRD 1

14 Pekerjaan lainya 122

Jumlah 22.057 jiwa

Sumber :data monografi dinamis kecamatan Kraton Yogyakarta 2014.

4. Kondisi Pendidikan

Perkembangan budaya tidak pernah lepas dari sistem pendidikan semula sistem pendididkan yang di gunakan adalah sistem yang pernah dilakukan di zaman Mataram. Sebelum belanda datang ke Indonesia, Indonesia telah memiliki lembaga pendidikan sendiri. Sejak dulu, wayang sudah menceritakan tentang guru bijaksana yang mengumpulkan


(41)

32

 

anak muda sebagai cantrik30 di rumahnya. Mereka diajari bagaimana menjadi masyarakat yang baik dan juga menerima pelajaran filsafat.

Pada masa Hamengku Buwono I sampai Hamengku Buwono VII, pendidikan untuk putrid-putri kraton hanya di laksanakan di dalam Kraton saja. Mereka mempelajari penggetahuan tentang pemerintahan, sastra dan keterampilan. Sejak masa Hamengku Buwono VII kesadaran intelektual mulai berkembang, Sultan sebagai kelas penguasa berupaya meningkatkan pengetahuan putra–putrinya, dengan mengajari mereka mengenai pendidikan barat. Bagi bangsawan putra di wajibkan mengenyam pendidikan setingi-tinginya. Berbeda halnya dengan bangsawan putri, mereka hanya di beri pendidikan ketrampilan seperti menyulam, memasak, membordir, membaca dan menulis. Sedang kan pendididkan sekolah dan pengetahuan umum yang diberkan sangat sedikit.31

Pada masa pemerintahannya, Hamengku Buwono VII mendirikan skolah khusus putra, semula tempat belajar tersebut berada di taman dalam Kraton, kemudian pindah keluar Kraton di sebelah timur pagelaran alun– alun utara (sekolah ini masih aktif sampai sekarang dengan nama SDN 1 Keputran). Saat Hamengku Buwono VIII memegang pemerintahan, para

      

30

Berarti orang yang berguru kepada orang pandai, sakti.Digunakan atau merujuk pada orang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun pergi, tentunya dengan satu tujuan utama dan yang di junjungnya, agar dapat belajar keahlian tertentu dari orang yang di ikuti.Di ambil dari internet, http://gri.or.id/news/view/606/cantrik-abdi-sejati.

31

Mari S.Condronegoro, Busana Adat Kraton Yogyakata ; Makna Dan Fungsi Dalam Berbagai Upacara (Yogyakata : Yayasan Pustaka Nusatama,1995), 11-12.


(42)

33

 

pangeran mulai di sekolahkan di luar istana dan tinggal bersama keluarga Belanda, sehingga mempermudah pengamatan mereka terhadap pola hidup dan sifat pribadi bangsa Belanda, bahkan mereka dianjurkan sekolah di negeri Belanda.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX beliau mulai memperhatikan bagi kaum perempuan, namun pendidikan bagi laki-laki tetap diutamakan.Untuk pendidikan keagamaan yang diajarkan yaitu mengaji kitab turutan, Al-Quran dan tafsir, hukum agama, tradisi ngayogyakarta yang berhubungan dengan agama, hukum waris Islam perkawinan dan talak.32

Masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X, pendidikan bangsawan putra dan putrid tidak dibedakan lagi. Bahkan pendidikan bagi rakyat dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sudah banyak dikembangkan, sehingga masayarakat tidak ada yang buta huruf. Berikut ini merupakan data penduduk menurut taraf pendidikan.

      

32

Kanjeng Jatiningrat (sebagai abdi dalem Kraton Yogyakarta), Wawancara, pada tanggal 25 april 2015.


(43)

34

 

TABEL 4

Data Penduduk Menurut Taraf Pendidikan

Sumber: Data Monografi Dinamis Kecamatan Kraton Yogyakarta, 2014.

Berdasarkan tabel di atas ada pendududk yang tidak/ belum sekolah, dikarenakan beberapa factor diantaranya: faktor ekonomi yaitu tidak mampu (kurang biaya) dan kurangnya kesadaran akan arti pentingnya pendidikan serta factor usia (masih kanak-kanak). Pada prinsip dari orang orang tua zaman dahulu yang berpendapat bahwa anak

No Pendidikan Jumlah Orang

1 Tidak / belum sekolah 3104

2 Belum tamat SD/ Sederajat 2074

3 Tamat SD / Sederajat 1722

4 SLTP / Sederajat 2434

5 SLTA / Sederajat 7181

6 Dploma I /II 223

7 Akademi / Diploma III/ Sarjana 1387

8 Diploma IV / Strata I 3578

9 Strata II 325


(44)

35

 

perempuan tidak wajib bersekolah sampai jenjang tinggi, dikarenakan pada akhirnya perempuan akan mengurus rumah saja.


(45)

36

 

BAB III

BUDAYA MASANGIN DI ALUN-ALUN KIDUL KRATON YOGYAKARTA

A. Muncul Budaya Masangin

Suatu budaya terkadang tidak diketahui dengan jelas awal kemunculanya, karena tidak semua budaya termuat dalam suatu dokumen tertulis. Namun, kebanyakan budaya hanya ditinggalkan dan diturunkan secara lisan atau melalui suatu cerita tertentu. Walaupun demikian, suatu budaya dan tradisi sangat diyakini keberadaanya.

Seperti halnya budaya Masangin yang sering dilakukan masyarakat Kraton Yogyakarta yang diawali dengan ritual mubeng beteng, yang dilakukan pada malam tanggal 1 Syuro untuk menyambut tahun baru dalam kalender Jawa. Bentuk aktivitasnya adalah orang yang akan melakukannya ditutup matanya dengan kain hitam, lalu berjalan kearah celah di antara kedua pohon beringin. Ada yang menyebutnya dengan aktivitas ngalap berkah.

Karena masyarakat percaya ritual mubeng benteng jika dilakukan, lingukngan keraton akan dilingkupi aman dan damai.

Menurut Bapak Panggih,33Ada pula cerita yang mengatakan asal mula Masangin yaitu ketika Sultan Hamengku Buwono pertama bertahta, Putri sang sultan akan dipinang oleh seorang lelaki, namun sang putri tidak begitu

      

33

Bapak Panggih ( penyewa kacu ), Wawancara, Yogyakarta, 25 april 2015.


(46)

37

 

menyukainya. Kemudian Sang putri meminta syarat kepada laki-laki yang akan meminagnya Jika dia ingin menikahinya, maka dia harus bisa berjalan dengan mata ditutup dengan kain, lalu berjalan dari pendopo yang ada di sebelah utara alun–alun kidul (Alun-alun kidul) melewati dua beringin kembar ditengah alun dan berakhir di pendopo yang ada di sebelah selatan alun-alun kidul tersebut. Jika hal itu berhasil, maka sang putri mau menerima pinangan laki–laki tersebut. Dan ternyata siasat sang putri ini berhasil, pemuda itu gagal menjalankan syarat yang di berikan sang putri. Kemudian sang sultan memberikan sabdanya bahwa yang bisa melewati syarat sang putri itu, hanyalah pemuda yang hatinya benar benar bersih dan tulus.

Peneliti tidak menemukan cerita apakah dikemudian hari banyak pemuda yang berusaha melewati pohon beringin kembar itu atau tidak. Yang peneliti dengar hanyalah bahwa ternyata seorang pemuda dari Siliwangi (katanya anak dari prabu siliwangi) berhasil melewati rintangan yang disyaratkan oleh sang putri. Dan sang putri akhirnya dipersunting oleh pemuda tersebut begitulah menurut cerita .34

Pohon beringin (ringin kurung) merupakan ciri khusus dari kompleks bangunan karaton Yogyakarta dan sudah ada sejak jaman dahulu dan diyakini sebagai pohon keramat dilingkungan kehidupan Karaton Yogyakarta. Bagi

      

34


(47)

38

 

orang yang percaya, lingkungan Karaton Yogyakarta dilingkupi suasana mistis yang sulit diterima secara logis. Oleh karena itu, banyak orang yang gagal melakukan ritual ini, karena ada keyakinan bahwa orang yang melakukannya harus dengan hati yang bersih, tidak iri dengki, ataupun jahat. Dan kalau bisa melewati atau masuk diantara kedua pohon beringin dengan mata tertutup bisa terkabul semua keinginannya.

Masyarakat sekitar juga percaya bahwa di antara kedua pohon beringin itu terdapat tolak balak bagi musuh yang ingin menyerang Kraton Yogyakarta. Saat prajurit kraton Yogyakarta bisa berjalan di antara kedua beringin tersebut, berarti dia memiliki kekuatan dan penglihatan hati yang bersih, sehingga dia bisa menolak bahaya yang ada di pohon beringin. Hal itu juga berarti bahwa dia akan mampu menaklukkan musuh yang berusaha menyerbu kraton Yogyakarta. 35

B. Simbol Budaya Masangin 1. Lokalisasi/Setting

alun Selatan atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Alun-alun kidul (Alun-Alun-alun kidul) yaitu Alun-alun-Alun-alun yang terletak disebelah selatan Karaton Yogyakarta. Alun-alun ini berbentuk tanah lapang luas berpasir, dengan luas sekitar 160mx 160m. Alun-alun ini dikelilingi pagar tembok batu bata setinggi 2,20 m, tebal pagar tembok 30cm, sudah banyak

      

35

Muhammad Fiqih Atiq Zulqurnain, “ Seni Budaya di Yogyakatra” (Karya Tulis Ilmiah, SMA Negri 2 Tenggerang, 20013), 16.


(48)

39

 

yang runtuh dan rusak. Adapun pagar tembok yang dapat disaksikan sekarang adalah pagar tembok baru, yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke VII pada masa pemerintahannya tahun1877-1921M.36

Alun-alun kidul ini merupakan bagian belakang Kraton Yogyakarta. Menurut sejarahnya, alun-alun kidul dibuat untuk mengubah suasana bagian belakang keraton menjadi seperti bagian depan karena Gunung Merapi, Kraton Yogyakarta, dan laut Selatan Pulau Jawa jika ditarik dalam satu garis imajiner akan membentuk satu garis lurus. Agar posisi Kraton Yogyakarta tidak seperti membelakangi laut Selatan, maka dibangunlah Alun-alun Selatan.37

Sejalan dengan makna filosofi Jawa serta garis sumbu imajiner Karaton Yogyakarta serta ajaran tentang sang kanparan dumadi (asal mula dan tujuan kehidupan), di Alun-alun Selatan ditanam tanaman yang sudah tertentu, yaitu tanaman yang mengandung makna kehidupan yang selalu mengalir terus berganti. Contohnya, dua pohon beringin yang disebut wok, yang ditanam dikanan kiri jalan masuk dari arah selatan. Wok

atau bewok melambangkan anak laki-laki menginjak dewasa sudah tumbuh kumis dan jambangnya. Tahapan gadis dan jejaka ini di Alun-alun

      

36

M.Shafiq bin asan, “Alun-Alun Sebagai Identitas Kota dan Kraton (Periode Prakolonial, Kolonial dan Pasca Kolonial)” ( Makalah, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya,2014),2.

37


(49)

40

 

Selatan dilambangkan dengan pohon kweni diseling pohon pakel yang ditanam berjajar mengelilingi Alun-alun Selatan. Pohon pakel symbol dari akil balik, sedangkan pohon kweni melambangkan wiswani (sudah berani). Hal ini sebagai tanda bahwa manusia yang sudah akil balik atau dewasa sudah berani mengutarakan isi hatinya.

Selanjutnya Pohon beringin kembar yang ada ditengah Alun-alun Selatan disebut supit urang, yang diberi pagar berupa jeruji sebagai gambaran busur dan anak panah. Hal ini sebagai lambang bahwa gadis atau jejaka yang sudah dewasa, akil balik, sudah berani melepaskan isi hati kepada lawan jenisnya. Selain itu, pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat juga disebutkan dengan ‘waringin kurung’ (beringin kurung).38 Kedua kata tersebut waringin (beringin) dan kurung tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa beranggapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon beringin dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan jagatnya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan dibumi dan dialam supaya tercipta sebuah harmoni.

      

38

J Sikkes, Keterangan Tentang Museum Sitihinggil Pagelaran Kraton Yogyakarta ( Yogyakarta : Tepas Kaprajuritan Karaton Ngayogyakarta,1931 ), 4.


(50)

41

 

Selanjutnya keutara lagi tepatnya didepan regol (gapura) Siti Hinggil, ke arah barat dan timur ditanam pohon gayam berjumlah 8 buah. Pohon gayam jika sedang berbunga baunya harum melambangkan anak gadis dan jejaka jika sedang bertemu saling melepas rindu merasakan tenang dan damai (ayom ayem). Manusia yang sudah mulai dewasa berani melepaskan isi hatinya dalam suasana yang tenang bahagia dengan kata-kata yang manis, indah, dan menarik hati. Selain pohon gayam. terdapat pohon Mangga Cempora serta Soka. Kedua pohon ini mempunyai bunga yang halus panjang berkumpul menjadi satu, ada yang merah ada yang putih, gambaran bercampurnya benih manusia laki-laki dan perempuan.39

Bahkan ada juga tanaman pohon Kepel dan Cengkir Gading. Pohon kepel dari perkataan kempel atau kempal, menggambarnya bersatunya kemauan, bersatunya benih, bersatunya rasa, bersatunya cita-cita. Cengkir Gading adalah sejenis pohon kelapa dan kecil bentuknya. Dipakai pada upacara “minoti” yaitu memperingati Sang Bayi sudah tujuh bulan dikandungan. Jalan kecil dari sini ke kanan dan ke kiri menggambarkan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat menganggu pertumbuhan Sang Bayi.

      

39

Titi Mumfangati, “wisata budaya alun-alun selatan kraton Yogyakarta” (makalah, universitas islam sunan kalijaga, Yogyakarta,2010),3.


(51)

42

 

Jika dilihat dari aspek fungsi alun-alun kidul ini maka dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni alun–alun kidul (Alun-alun kidul) masa lampau dengan alun-alun kidul (Alun-alun kidul) masa kini.

Alun–alun kidul Masa Lampau, masyarakat cenderung menggunakan alun-alun kidul sebagai tempat ritual maupun hal-hal yang berhubungan dengan spiritual, karena memang pada dasarnya objek-objek yang berada pada alun–alun kidul (Alun-alun kidul) sendiri memiliki filosofi-filosofi tersendiri yang sebagaimana dibuat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono 1 yang memiliki nasehat kepada kita untuk cinta dan menyerahkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, berlaku sederhana dan tekun, berhati-hati dalam bertingkah laku kita sehari-hari dan lain-lain.

Misalnya, digunakan untuk berlatih (gladhen) bagi para prajurit karaton menjelang upacara adat tradisi budaya Garebeg, yang setiap tahun diadakan tigakali, yaitu Garebeg Mulud, Garebeg Sawal, dan Garebeg Besar. Kedua, Alun-alun Selatan digunakan untuk tempat menghadap bagi abdi dalem Wadana Prajurit dalam tradisi dibulan Puasa, yaitu pada malam 23, 25, 27, dan 29 bulan Puasa. Selain itu, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII, setiap hari Senin dan Kamis siang,


(52)

43

 

alun Selatan diadakan pertandingan panahan, adu harimau melawan kerbau, serta hiburan berupa Rampogan prajurit menangkap harimau.40

Alun–alun kidul Alun-alun kidul Masa Kini, dijadikan sebagai ruang publik bagi masyarakat luas Yogyakarta, bahkan bukan dari warga Yogyakarta sendiri yang datang guna menikmati suasana disini ada pula warga dari luar Yogyakarta seperti Solo, Semarang, dll yang sengaja datang ke alun-alun kidul (Alun-alun kidul) untuk bersantai bersama keluarga menghabiskan weekend bersama keluarga (karena biasanya pengunjung dari luar kota Yogyakarta berkunjung ke alun-alun kidul pada weekend). Berbagai macam kegiatan dapat dijumpai di alun-alun kidul menjelang sore hingga malam hari, alun-alun kidul menjelma sebuah tempat rekreasi publik untuk rakyat yang tentunya sayang untuk dilewatkan.

Berbagai makanan jajanan kuliner dihadirkan oleh para pedagang dan dapat dijumpai di alun-alun kidul (Alun-alun kidul). Pada pagi harinya alun-alun kidul (Alun-alun kidul) menjadi area olahraga yang diminati oleh masyarakat Yogyakarta serta dijadikan area olah raga41 dari beberapa institusi pendidikan tingkat SD sampai SMA. Selain itu, pada malam harinya area alun-alun kidul (Alun-alun kidul) ini juga menjadi area wisata untuk semua kalangan dan ada beberapa fasilitas yang dapat

      

40

Sartono kartodirdjo, Perkembangan Peradapan Priyayi (yogyakatra: gadjah mada university press,1993), 29.

41


(53)

44

 

menghibur pengunjung yang memang sengaja dihadirkan oleh para pedagang seperti wisata bersepeda, berjajar sepeda tandem hingga becak yang telah dimodifikasi hingga sedemikian rupa dengan hiasan lampu kelap kelip yang mencolok disewakan oleh sejumlah pemilik sewa sepeda.

2. Peralatan Dalam Laku Budaya Masangin

Peralatan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pelaksanaan sebuah tradisi. peralatan menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu peralatan yang sakral dan profan. Peralatan yang bersifat sakral di tunjukkan kepada roh-roh halus seperti kemenyan (dupa), bunga-bunga yang di buat sesaji, dalam budaya Masangin ini peralatan yang sakral di tunjukkan pada pohon beringin yang ada di alun– alun kidul. Sedangkan peralatan yang sifatnya profan yaitu peralatan yang nantinya kembali pada manusia. Seperti kacu yang dipakai untuk tutup mata yang bisa dipakai lagi.

Peralatan yang digunakan dalam laku Masangin di alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta, yaitu Kacu dan pohon beringin.

Kacu yang dimaksud dalam budaya Masangin ini merupakan kain berwarna hitam, yang digunakan sebagai penutup mata saat melakukan budaya Masangin. Dalam budaya Masangin kacu dapat diperoleh dari penyewa kacu yang terdapat di alun- alun kidul Kraton Yogyakarta. Disana hanya terdapat 3 penyewa kacu yang terbagi dalam 3 waktu yakni


(54)

45

 

siang, sore, dan malam, dari jam 11 siang sampai jam 11 malam. Dahulu harga sewa kacu adalah Rp 3000, namun pada 2 tahun terakhir ini sewa kacu naik menjadi Rp 5000. Dengan harga tersebut para penyewa dapat menggunakan kacu sepuasnya tanpa di batasi waktu dan dapat menyewa satu kacu untuk beberapa orang.

Pada saat melakukan budaya Masangin mata ditutup dengan Kacu karena menurut Bapak Panggih, Orang yang memiliki keyakinan terhadap dirinya sendiri cenderung tidak mudah terpengaruh oleh berbagai hambatan, termasuk gelap dan keragu-raguan.

Dalam kehidupan nyata, mereka adalah orang yang mampu mewujudkan cita-cita dan harapannya.Sama dengan saat menjalani laku Masangin, pemain mesti ikhlas, sabar, dan tidak menyerah, untuk tetap mewujudkan cita-citanya. Di sisi lain, pelaku yang berhasil melewati celah di antara dua beringin kembar memiliki keyakinan terhadap langkahnya sendiri. Hatinya sangat yakin bahwa langkah kakinya telah lurus. Karenanya, dia akan melangkahkan kakinya dengan pasti.42

Pohon Beringin dalam budaya Masangin ini merupakan pohon beringin yang berada di alun–alun kidul kraton Yogyakarta dan merupakan ciri khusus dari kompleks bangunan karaton Yogyakarta. Pohon Beringin ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalau,yang di percaya oleh masyarakat sekitar bahwa pohon beringin tersebut diyakini

      

42


(55)

46

 

sebagai pohon keramat di lingkungan kehidupan karaton Yogyakarta. Selain itu dalam budaya Masangin ini yang berhasil melewati pohon beringin ini juga di yakini memiliki hati yang bersih dan cita–citanya terpenuhi.

Terdapat dua pohon Beringin dalam budaya Masangin ini yang berjarak sekitar 15 meter, Pohon beringin ini sudah ada sejak jaman dahulu, biasa disebut Ringin Kurung karena di beri pagar batu bata yang mengelilingi pohon tersebut.

C. Prosesi Budaya Masangin

Cara melakukan Masangin sangat mudah dan sederhana.Orang yang akan melakukan Masangin berdiri disebelah utara pohon beringin kembar, ditutup matanya dengan kain hitam, lalu berjalan dari utara ke selatan menujucelah di antara dua pohon beringin. Dengan kata lain, orang itu berjalan dari utara keselatan dengan melalui jalur diantara kedua pohon beringin yang terletak ditengah-tengah Alun-alun Selatan. Jika berhasil melewati celah kedua pohon beringin maka dinyatakan berhasil. Akan tetapi jika arahnya melenceng maka dinyatakan gagal.

Memang tampaknya sangat mudah, tetapi pada kenyataannya banyak yang gagal melakukannya, hanya berputar-putar ditempat, meleceng jauh kemana-mana, atau bahkan kembali kearah awal dia berjalan. Hal ini dapat dimaklumi karena berjalan dengan mata tertutup memang tidak dapat melihat


(56)

47

 

atau mengetahui arah yang akan dituju, yang sesuai dengan arah yang dikehendaki.

Menurut Pak Nino mengenai tata cara yang sebenar dalam melakukan budaya Masangin, seperti berikut:

1. Berdiri lurus ke depan sekitar 25 meter dari beringin kembar tepatnya dekat dengan gedung Sasana Hinggil arah utara dari pohon beringin kembar.

2. Mata dalam keadaan tertutup, ditutup dengan kain hitam untuk menutup penglihatan.


(57)

48

 

3. Badan harus diputar lebih dahulu 360 derajat berkali-kali.

4. Setelah merasa cukup diputar-putar, arahkan posisi badan lurus ke depan dengan jalan menuju ke arah tengah beringin kembar.

5. Setelah ke empat proses tersebut dijalankan barulah pemain berjalan lurus menuju ke arah tengah pohon beringin kembar tanpa bantuan orang lain dengan berdoa sebelum memulainya dengan mengucapkan ke inginan dan cita- citanya yang di tujukan kepada allah. Jika permain itu beruntung dapat melalui dengan baik dan dapat berada di tengah-tengah beringin kembar, InsyaAllah

keinginan pelaku tersebut terkabul. Jika tidak beruntung, mungkin akan jadi bahan tertawaan teman-temannya karena bisa-bisa salah arah, menabrak orang, menabrak pedagang kaki lima dan sebagainya.43

      

43


(58)

49

 

BAB IV

NILAI ISLAM DALAM BUDAYA MASANGIN DI ALUN-ALUN KIDUL, KRATON YOGYAKARTA

A. Nilai Islam Dalam Budaya Masangin

Terdapat nilai Islam dalam budaya Masangin, diantara nilai-nilai Islam dalam budaya Masangin adalah:

1. Doa

Doa merupakan permintaan seorang hamba kepada Tuhannya, tetapi bukan berarti orang yang tertimpa musibah saja yang layak memanjatkan doa melainkan suatu keinginan baik itu cita-cita, kelancaran rizeki dan lain sebagainya. Seperti halnya budaya Masangin di Alun-alun kidul Kraton Yogyakarta, maka dapat disimpulkan bahwasanya wujud dari kebudayaan Islam jika dilihat dari aspek prilaku dari pelaku budayanya sendiri adalah dia berdoa dalam laku Masanginnya. Pelaku Masangin sebelum melakukan budaya Masangin di awali dengan mebaca tawasul kepada Rasulallah kemudian mengucapkan keinginannya, kemudahan urursan, kelancaran rizki,dan lain-lain. seperti halnya Hamim Tohari yang juga sebagai pelaku budaya Masangin yang laku Masanginnya di awali dengan membaca tawasul 44yaitu

      


(59)

50

 

ىفطْصمْلْا

ﱢي ﱠنلا

رضح

ىلا

هلا

ىلعو

مﱠلسو

هْيلع

ىﱠلص

دﱠمحم

ةحت

فلا

.

نْيعمْجا

ه ْحصو

.

kemudian dia mengucapkan keinginan agar di beri kemudahan. Doa yang dia baca yaitu “Allahumma yassir wala tu’assir’’

ا

ْرﱢسي

ﱠمھﱠلل

و

ا

رْيخب

ْمﱢمت

ﱢ رْرﱢسعت

Artinya : “ ya Allah, mudahkanlah jangan engkau persulit sempurnakan dengan kebaikan.”

Menurut Bapak Suhartono keyakinan masyarakat sekitar Kraton apabila sudah dapat melewati celah di antara kedua beringin kembar tersebut dengan mata tertutup, berarti orang itu memiliki hati yang bersih. dan InsyaAllah cita-citanya akan terkabul. Dan apabila dalam laku Masangin orang yang melakukan gagal maka ia akan mengulanginya lagi dengan cara yang sama yaitu berdoa lagi.

Menurut Bapak Panggih, tidaklah salah jika saat melalui celah di antara kedua pohon beringin kembar kita berdoa memohon kepada Allah. Media apa pun juga bisa berupa apa saja asalkan niat dan kesungguhan kita tetap kepada-Nya, bukankah masjid dan Ka’bah sekalipun merupakan media juga.


(60)

51

 

Dalam budaya Masangin ini terdapat interaksi antar sesama manusia. Seperti pada peringatan 1 Syuro untuk menyambut tahun baru yang dilakukan masyarakat kraton bentuk aktivitasnya adalah ritual

Mubeng Benteng disitu banyak masyarakat yang melakukannya. Dimana terjalin silaturahmi antar sesama masyarakat kraton. Sebagaimana yang penulis teliti di lapangan pada tanggal 26 april 2015. Antar sesama pelaku budaya Masangin saling membantu seperti halnya mbk Yufida dan Erma yang awalnya tidak saling mengenal menjadi kenal karena saat melakukan budaya Masangin merasa kesulitan jika melakukan sendiri. akhirnya mereka saling membantu bergantian untuk melakukan budaya Masangin.

Manakala dari aspek nilai-nilai dan sikap yang bercorak Islam dalam budaya Masangin yang bisa mengatur dan mempengaruhi kehidupan masyarakat pendukungnya, di antaranya dalam bentuk usaha atau ikhtiar menjalani hidup untuk mencapai cita-cita dengan cara meneguhkan keyakinan diri, dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sama dengan saat menjalani laku Masangin, pelaku mesti ikhlas, sabar, dan tidak menyerah, untuk tetap mewujudkan cita-citanya. Di sisi lain, pelaku yang berhasil melewati celah di antara dua beringin kembar memiliki keyakinan terhadap langkahnya sendiri. Hatinya sangat yakin bahwa langkah kakinya telah lurus. Karenanya, ia akan melangkahkan kakinya dengan pasti. Orang yang memiliki keyakinan terhadap dirinya sendiri


(61)

52

 

cenderung tidak mudah terpengaruh oleh berbagai hambatan, termasuk gelap dan keragu-raguan. Dalam kehidupan nyata, mereka adalah orang yang mampu mewujudkan cita-cita dan harapannya.

Berkaitan dengan Isi kebudayaan yang ada dalam pelaksanaan budaya Masangin adalah dari aspek religi. Dalam hal ini, masyarakat kraton Yogyakarta memiliki sistem religi kepada agama dan sistem kepercayaan yang bersifat animism dan dinamisme. Bahkan nilai-nilai kebhinekaan dalam konteks budaya menjadikan segala sesuatunya selalu dimaknai sebagai wujud interaksi manusia dengan Tuhan dan alam sekitarnya. Contohnya Masangin dijadikan salah satu bagian dari acara yang dipercayai oleh masyarakat Islam kejawen sebagai sarana “ngalap berkah” atau simbol permohonan pada Allah Yang Maha Kuasa agar melingkupi Kraton dengan keamanan dan kenyamanan.

Menurut kepercayaan masyarakat Kraton Yogyakarta biasanya ada hari-hari tertentu yang dipercaya sebagai hari keramat atau hari baik untuk melakukan Masangin. Memang bagi masyarakat islam kejawen, khususnya, ada hari-hari yang dianggap keramat atau diistimewakan, seperti hari Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon, maka pada hari-hari itulah yang biasanya ramai orang melakukan ritual Masangin. Dalam hal ini, hari-hari tersebut mustajab untuk setiap permohonan doa dari pelaku budayanya dimakbulkan dan dimudahkan.


(62)

53

 

B. Beberapa Pendapat Makna udaya Masangin

1. Penyewa Kacu

Dalam budaya Masangin ini terdapat tiga orang yang menyediakan penyewaan kacu, yaitu bapak Panggih, bapak Nino, bapak Hartono. Informan awal bagi peneliti adalah dari Bapak Panggih, yaitu pria tua dengan usia 76 tahun yang sehari-harinya menjual jasa sewa kacu atau kain hitam penutup mata yang akan digunakan dalam laku Masangin

mengisahkan tentang keberadaan Alun-alun kidul. Menurut penuturan Pak Panggih bahwa dulunya “Alun-alun kidul merupakan tempat gladen atau latihan perang-perangan dan laku Masangin ini merupakan cara yang digunakan raja untuk menyeleksi prajuritnya. Alun-alun kidul juga disimbolkan ketenangan dan kedamaian. Dulu sebelum ada Masangin yang menjadi ikon Alun-alun kidul adalah gajah, karena gajah itu mempunyai sifat yang tenang dan penurut.” papar beliau kepada peneliti. Sementara itu dari aspek fungsional bagi kraton, Alun-alun kidul berfungsi sebagai tempat latihan para prajurit. Mengenai hal tersebut Bapak Panggih mengatakan bahwa “Masangin merupakan cara yang digunakan Raja untuk menyeleksi prajuritnya”.

Bapak Panggih juga tidak keberatan untuk menceritakan kepada peneliti mengenai keberadaan sepasang pohon beringin yang posisinya bersebelahan dan dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut


(63)

54

 

dikelilingi oleh pagar segi empat.“Orang Jawa biasanya menyebutnya dengan ‘waringin kurung’ (beringin kurung). Kedua kata tersebut waringin (beringin) dan kurung tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa beranggapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon beringin dengan demikian melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan jagatnya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat di dalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam supaya tercipta sebuah harmoni.”45

Pohon beringin sengaja ditanam untuk merindangi alun-alun sebagai tempat berteduh bagi yang sedang berlatih. alun-alun kidul (Alun-alun kidul) juga merupakan jalan yang digunakan Jenazah Raja yang hendak dimakamkan di makam Pajimatan Imogiri dibawa melewati alun-alun kidul (Alun-alun-alun kidul). Raja hanya melewati pintu selatan Keraton jika sudah meninggal. Jelaslah bahwa segala kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat di lingkungan Kraton sendiri sesuai dengan yang dilambangkan oleh tempat-tempat yang ada.46

Ada satu hal yang paling tertanam dalam ingatan peneliti adalah mengenai pesan dari Bapak Panggih bahwa “pada satu waktu kita boleh percaya pada hal-hal yang sifatnya mitos, tapi jangan jadikan itu sebagai

      

45

Bapak Panggih ( penyewa kacu ), Wawancara, Yogyakarta, 25 april 2015.

46


(64)

55

 

iman karena diatas semua itu ada Tuhan yang memberi hidup dan kewajiban kita untuk mengimani hal itu”. Seperti hal Masangin yang memiliki mitos yang luhur, apabila seseorang dapat melewati celah di antara kedua beringin kembar tersebut dengan mata tertutup, berarti orang itu memiliki hati yang bersih. Dan, apabila dia berdoa dalam laku Masanginnya, Insya Allah cita-citanya akan terkabul”.

2. Pihak Kraton Yogyakarta

Menurut Bapak Djoyo Supadmo sebelum Masangin menjadi ikon alun-alun kidul keberadaan 2 ekor gajah yang sebelumnya pernah ada di Alun-alun kidul. Di situ binatang prasejarah inilah yang menjadi daya tarik utama (ikon) di Alun-alun kidul hingga pada beberapa waktu lalu, tepatnya pada tahun 2007, gajah tersebut dipindahkan ke kebun binatang Gembiro Loka.

Keberadaan gajah pada waktu itu ternyata mampu menjadi magnet bagi wisatawan untuk datang ke Alun-alun kidul. Dari situ artinya menjadi ‘Ladang Basah’ bagi bekerjanya sektor ekonomi. Dengan pemindahan binatang prasejarah ini ke lokasi lain, tentu saja orang-orang yang

diuntungkan sebelumnya merasa terancam kering pangan. Dan

momentum itulah yang lantas digunakan oleh mereka ini untuk mereproduksi ulang budaya yang ada yakni mitos Masangin. Masangin

dalam hal ini dapat dikatakan produk dari reproduksi budaya. Masyarakat setempat dalam hal ini berperan penting membangun sebuah kepercayaan


(65)

56

 

mikrokosmos yang sedemikian rupa yang efeknya masih terasa hingga sekarang.

Mengenai aspek falsafah dan filosofi Jawa mungkin sangat tercermin dalam struktur tata ruang dari Kraton itu sendiri. Seperti halnya

Masangin, mungkin selama ini orang bertanya mengapa (misalnya) ritual ini dilakukan dari arah Utara ke Selatan. Dalam hal ini, kepercayaan masyarakat Islam kejawen mengenai arah mata angin terbagi menjadi 2 poros utama.47 Yakni, poros Utara-Selatan yang menentukan ruang-ruang umum, resmi, dan tempat upacara. Serta, poros Timur-Barat yang menentukan ruang-ruang pribadi dan keramat. Namun secara khusus, terkait Masangin sendiri yang dimulai dari utara-selatan (dari Sasono Hinggil menuju pohon beringin), cerita yang peneliti dapatkan hal ini sangat erat kaitannya dengan sumbu spiritual atau sumbu kelanggengan dinasti Mataram. Atau poros yang merupakan sebuah analogi manusia menuju keabadian. Keabadian dalam hal ini berarti pula kematian. Dalam tradisi Kraton ketika seorang Raja atau Sultan kapundhut (meninggal), prosesi menuju pemakaman selalu melewati pintu Selatan.

Menurut Bapak Djoyo Supadmo lagi, Masangin dalam

pemahaman asli Kraton dimaknai sebagai sebuah simbol religi. Makna

“hablumminallah wa hablumminannas” yang artinya kurang lebih menjaga hubungan baik (iman) antara manusia dan juga penciptanya.

      

47


(66)

57

 

Dalam laku Masangin, manusia yang menutup matanya diasumsikan tidak tahu atas apa yang dikehendaki oleh Tuhan-Nya. Oleh karena itu manusia hanya bisa berusaha melalui segala cobaan hidup yang digambarkan kesulitan mencapai celah di antara dua pohon tersebut. Atau justru dapat pula dimaknai sebagai wujud pencarian titik keseimbangan di dalam kehidupan.48

Berhubungan dengan perspektif dari Pak Djoyo Supadmo di atas, peneliti berasumsi juga pada awalnya dalam laku Masangin ini bisa disimbolkan sebagai usaha atau ikhtiar menjalani hidup untuk mencapai cita-cita dengan cara meneguhkan keyakinan diri, dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sama dengan saat menjalani laku Masangin, pelaku mesti ikhlas, sabar, dan tidak menyerah, untuk tetap mewujudkan cita-citanya. Di sisi lain, pelaku yang berhasil melewati celah di antara dua beringin kembar memiliki keyakinan terhadap langkahnya sendiri. Hatinya sangat yakin bahwa langkah kakinya telah lurus. Karenanya, ia akan melangkahkan kakinya dengan pasti.

Orang yang memiliki keyakinan terhadap dirinya sendiri cenderung tidak mudah terpengaruh oleh berbagai hambatan, termasuk gelap dan keragu-raguan. Dalam kehidupan nyata, mereka adalah orang yang mampu mewujudkan cita-cita dan harapannya. Jadi, meskipun

      

48


(67)

58

 

Masangin hanya sekadar berjalan di antara dua pohon beringin, perlu kekuatan mental khusus untuk melakoninya secara sempurna.

C. Dampak Diadakan Budaya Masangin

Pada kesempatan ini, peneliti mencoba mengungkapkan dampak-dampak yang ditimbulkan dari budaya Masangin untuk masyarakat di lingkungan Kraton Yogyakarta dari beberapa aspek kehidupan, misalnya dampak dari aspek ekonomi, aspek hiburan dan aspek sosial Dan untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

1. Aspek Ekonomi

Semenjak Masangin menjadi destinasi wisata budaya baru di Yogyakarta sekitar satu dasawarsa yang lalu sedikit banyak telah mampu meningkatkan denyut perekonomian masyarakat setempat. Uniknya dan sekaligus yang membedakan dengan destinasi wisata lain di Yogyakarta, sampai saat ini pengelolaan terhadap segala potensi yang ada di lokasi alun-alun kidul (Alun-alun kidul), sepenuhnya masih informal dimana Kraton (secara kultural) merupakan pemilik otoritas, memberikan izin bagi warga setempat maupun para pedagang untuk mengelola secara mandiri atas keberadaan Alun-alun kidul dan potensi wisata yang dimilki.

Sebagai sebuah basis perekonomian, di lokasi ini memang telah dimulai sebelum Masangin menjadi simbol utama. Artinya, keberadaan


(68)

59

 

Alun-alun kidul yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Kraton itu sendiri memang telah menjadi daya tarik wisata yang cukup kuat pada awalnya.

Keramaian Alun-alun kidul dimulai ketika bangunan Sasana Hinggil dibangun, yang letaknya di sebelah utara Alun-alun Selatan digunakan untuk pagelaran wayang kulit setiap hari Sabtu malam kedua setiap bulan. Pagelaran ini diadakan oleh kerjasama antara harian Kedaulatan Rakyat dengan TVRI Yogyakarta sampai saat ini. Jalan lingkar yang ada di sekitar Alun-alun kidul dibangun sejak tahun 1980 dan dipasang lampu mengelilingi tanah lapang sehingga kalau malam suasana tidak gelap gulita.

Saat ini Alun-alun kidul menjadi sebuah ruang publik bagi masyarakat. Berbagai macam kegiatan dapat dijumpai di Alun-alun kidul. Menjelang sore hingga malam hari, Alun-alun kidul menjelma sebuah tempat rekreasi rakyat yang tentunya sayang untuk dilewatkan. Berbagai penjual makanan dapat dijumpai di Alun-alun kidul. Selain itu, pada malam hari kawasan Alun-alun kidul ini juga menjadi wisata bersepeda. Berjajar sepeda tandem hingga becak yang telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan hiasan lampu yang mencolok disewakan oleh sejumlah pemilik sewa sepeda. Alun-alun kidul


(69)

60

 

alun kidul) juga menjadi tempat olahraga yang diminati oleh masyarakat Yogyakarta.

Tentunya dengan adanya berbagai aktivitas di alun-alun Selatan juga mendorong tumbuhnya aktivitas ekonomi, seperti penjual makanan atau minuman.49 pedagang makanan kecil, minuman, bahkan makanan pokok, seperti nasi dan lauk-pauknya juga ada. Jajanan yang dijual di sana ada berbagai macam. Kalau pagi hari jalan-jalan di sana, jika sudah lelah dapat duduk beristirahat sambil minum teh panas gula batu, jeruk panas gula batu, dengan makanan kecil jadah tempe, atau cemplon. Untuk sarapan bisa membeli nasi rames, nasi pecel, nasi rawon, lontong opor, gudhangan, dan sebagainya. Jika sore dan malam hari selalu ada penjual wedang rondhe, jagung bakar dan kacang rebus. Bahkan tidak jarang juga ada hiburan musik.

2. Aspek Sosial

Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia selalu membutuhkan orang lain dan bergantung dalam segala aspek kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya, manusia harus berusaha sedapat mungkin untuk memelihara hubungan yang baik dengan sesama

      

49


(1)

63

 

luar yogyakarta. Bagi pihak Kraton Yogyakarta pula merespon dengan kebijakan memberikan izin bagi masyarakat setempat untuk berdagang dengan mengedepankan ketertiban dan juga pelestarian pusaka budaya yang ada di Kraton. Keramaian aktivitas ini menimbulkan berbagai akses yang cenderung negatif. Pengelolan sampah yang masih carut marut, keterbatasan kamar mandi umum, dan kepadatan, kemacetan lalu lintas serta masalah parkirkiranya menjadi dampak yang cukup serius.51


(2)

64

 

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah di uraikan secara panjang lebar tentang makna budaya Masangin di alun–alun kidul kraton Yogyakarta serta menelaah beberapa sub-sub bab bahasan di dalamnya, maka sampailah kini pada suatu kesimpulan yang merupakan bab terakhir dari beberapa bab, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Latar belakang munculnya budaya Masangin di alun–alun kidul adalah

diawali dengan ritual mubeng beteng, yang dilakukan pada malam tanggal 1Syuro untuk menyambut tahun baru dalam kalender Jawa. Bentuk aktivitasnya adalah orang yang akan melakukannya ditutup matanya dengan kain hitam, lalu berjalan kearah celah di antara kedua pohon beringin. Dan terkait dengan cerita pada saat Sultan Hamengku Buwono pertama bertahta, Putri sang sultan akan dipinang oleh seorang laki–laki. Sang putri meminta syarat kepada laki- laki yang akan meminagnya dia harus bisa melewati dua beringin kembar ditengah alun–alun dengan matanya di tutup dengan kain.Jika hal itu berhasil, maka sang putri mau menerima pinangannya. Dan ternyata pemuda itu gagal. Kemudian sang


(3)

65

 

sultan memberikan sabdanya bahwa yang bisa melewati syarat sang putri itu, hanyalah pemuda yang hatinya benar benar bersih dan tulus.

2. Dalam prosesi Budaya Masangin ini terdapat simbol religi terkait dengan Makna “hablumminallah wa hablumminannas” yang artinya kurang lebih menjaga hubungan baik (iman) antara manusia dan juga penciptanya dan hubungan baik antar manusia. Sementara manusia yang menutup matanya diasumsikan tidak tahu atas apa yang dikehendaki oleh Tuhan-Nya oleh karena itu manusia hanya bisa berusaha melalui segala cobaan hidup yang digambarkan kesulitan mencapai celah diantara dua pohon tersebut. Atau justru dapat pula dimaknai sebagai wujud pencarian titik keseimbangan di dalam kehidupan.

3. Nilai islam dalam budaya Masangin adalah sebelum melakukan budaya

masangin pelaku mengawalinya dengan berdoa dalam laku Masanginnya dengan bertawasul kepada Rasulallah. Serta terjalinnya silaturahmi antar sesama manusia. Mayoritas masyarakat sekitar alun–alun kidul merespon positif adanya Budaya Masangin ini kerana dapat menambah penghasilan masyarakat sekitar yang berjualan di sekitar alun-alun kidul kraton Yogyakarta.

B. Saran


(4)

66

 

Perguruan Tinggi yang merupakan pusat pendidikan dan penelitian, sebagai berikut :

1. Diharapkan ada upaya untuk penelitian yang lebih lanjut dan

komperhensif tentang Budaya Masangin di alun-alun kidul Kraton

Yokyakarta.

2. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini jauh dari

kesempurnaan. oleh karena itu, dengan rendahan hati dan ke ikhlasan yang tulus, peneliti memohon saran dan kritik dari semua pihak demi kebaikan dan kesempurnaan karya ilmia ini. Mudah-mudahan penelitian ini bisa memberikan manfaat buat peneliti,pembaca dan perkembangan kebudayaan Islam di kemudian hari.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Syam, Nur. Madzhab-Madzhab Antropologi. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,

2007.

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyaakarta: Gajah Mada University Press, 2006.

Jones, Pip. pengantar teori-teori sosial. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia 2010.

Nata , Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000. Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press, 1987.

---. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT

Gramedia, 1974.

---. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.

---. Kebudayaan Jawa . Jakarta: Balai Pustaka 1994

Kartodirdjo, Sartono. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka,1977. B.Soelarto. Grebeg di Kesultanan Yogyakarta. Yogyakatra: Kanisius,1993.

Sudaryanto, Agus.’’ Hak Dan Kewajiban Abdi Dalem Dalam Pemerintah Kraton

Yogyakarta’’,Mimbar Hukum,Volume 20, Nomor 1, Februari 2008.

Geertz Clifford dalam sutiyono. benturan budaya islam : puritan & singkretis, jakata; kompas, 2010.

Suyami, Upacra Ritual Di Kraton Yogyakarta Refleksi Mithologi Dalam Budaya

Jawa . Yogyakarta: Kepel Press, 2008.


(6)

J Sikkes, Keterangan Tentang Museum Sitihinggil Pagelaran Kraton Yogyakarta.

Yogyakarta : Tepas Kaprajuritan Karaton Ngayogyakarta,1931.

H. Achlah, Siti. “ Prespektif Upacara Tradisional Sekatendi Yogyakarta”. Skripsi, IAIN Sunan Ampel Fakultas Adab,Surabaya,1998.

Fiqih Atiq Zulqurnain, Muhammad, Seni Budaya di Yogyakatra. Karya Tulis Ilmiah, SMA Negri 2 Tenggerang, 20013.

M.Shafiq bin asan, “Alun-Alun Sebagai Identitas Kota dan Kraton (Periode

Prakolonial, Kolonial dan Pasca Kolonial)”. Makalah, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya,2014.

Mumfangati, Titi. “Wisata Budaya Alun-Alun Selatan Kraton Yogyakarta” makalah, universitas islam sunan kalijaga, Yogyakarta,2010.

http://id.m.wikipedia.org/wiki/keraton_Ngayogyakarta_Hadiningrat

http//Yogyakarta.panduwisata.com deadline kraton-kesultanan-yogyakarta-warisan-kerajaan-matarm-islam-di-yogyakarta’.

Wawancara dengan Bapak Hartono (penyewa kacu),Yogyakarta, 26 april 2015.

--- dengan Bapak Panggih (penyewa kacu),Yogyakarta, 25 april 2015. --- dengan Bapak Nino (penyewa kacu),Yogyakarta, 26 april 2015. --- dengan Bapak Djoyo Supadmo (abdi dalem),Yogyakarta, 26 april 2015. --- dengan Hamim Tohari (wisatawan),Yogyakarta, 25 april 2015.

--- dengan Bu Rini (salah satu penjual yang ada di alun – alun kidul), Yogyakarta 26 april 2015.

--- dengan H. Abdul Ridwan (Sebagai Ta’mir Masjid Kraton Yogyakarta), 25 April 2015.

--- dengan Kanjeng Jatiningrat sebagai abdi dalem Kraton Yogyakarta, pada tanggal 25 april 2015.