PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT DARAH PADA PISANG DENGAN PSEUDOMONAD FLUORESEN DAN Bacillus spp. | Edy | AGROLAND 2502 7496 1 PB

J. Agroland 18 (1) : 29 - 35, April 2011

ISSN : 0854 – 641X

PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT DARAH PADA PISANG
DENGAN PSEUDOMONAD FLUORESEN DAN Bacillus spp.
Biological Control of Banana Blood Disease Using Pseudomonad
Fluorescent and Bacillus spp.
Nur Edy1)
1)

Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako, Jl. Soekarno – Hatta Km 9 Palu 94118,
Sulawesi Tengah Telp/Fax : 0451 – 429738

ABSTRACT
Four antagonist bacterial strains, Pseudomonad fluorescent strain UTD1 (Pf-UTD1), Pseudomonad
fluorescent strain UTD2 (Pf-UTD2), Bacillusspp. strain UTD1 (Ba-UTD2), and Bacillusspp. strain
UTD1 (Ba-UTD1) which had been found to have biocontrol activity in vitro assays against blood
disease bacteria, the causal agent of wilt banana, were tested for their compatibility in vitro and its
antagonism in screen house using banana budless Kepok as test plant. The compatibility test
showed that Pseudomonad fluorescent strain UTD1 was only compatible with Pseudomonad

fluorescent strain UTD2, Pseudomonad fluorescent strain UTD2 compatible with all antagonist (PfUTD1, Ba-UTD1, dan Ba-UTD2), Bacillus spp. strain UTD1 only compatible with Bacillus spp.
strain UTD2, and Bacillus spp. strain UTD2 compatible with all antagonist (Pf-UTD1, Pf-UTD2
and Ba-UTD1). Inoculation with blood disease bacteria caused significant wilting, and reduced
plant growth. Single Inoculation using either Pseudomonad fluorescent UTD1 or Bacillus spp.
UTD2 causing greater results with no wilting. Combination between Pseudomonad fluorescent
UTD2 and Bacillus spp. UTD2 also showed no wilting. Generally, all treatments were considered
good because they could reduce disease intensity less than 25%, except for Pseudomonad
fluorescent UTD2 and Bacillus spp. UTD treatments which caused wilting up to 38.89%. The
results suggested that both single and combination treatments of Pseudomonad fluorescent UTD2
and Bacillus spp. UTD2 can be used to control blood disease bacteria in wider scale.
Key words: Bacillus spp., biological control, blood disease bacteria, pseudomonad fluorescent.

PENDAHULUAN
Sejak awal ditemukannya penyakit
darah pada pisang atau layu bakteri pada
tahun 1920an oleh Gauman di Pulau Selayar,
penyakit ini telah menyebar luas di Indonesia.
Literatur tentang penyakit ini tidak banyak
ditemukan. Patogen penyebabnya pun hingga
kini juga belum teridentifikasi dengan baik

sehingga belum memiliki nama valid. Secara
internasional, patogen penyebab penyakit
darah dikenal dengan nama umum blood
disease bacterium (BDB). Di Indonesia, awalnya
dikenal dengan nama Pseudomonas celebencis,
lalu berubah menjadi Pseudomonas solanacearum,

kemudian berganti menjadi Ralstonia
solanacearum setelah ditetapkan bahwa
bakteri ini masuk dalam genera Ralstonia.
Penemuan terakhir berdasarkan kajian
filotipe, BDB ternyata tidak masuk dalam
spesies soanacearum karena tidak menginfeksi
tanaman solanaceae. BDB termasuk dalam
filotipe IV sedangkan Ralstonia solanacearum
masuk dalam filotype II (Fegan, 2005).
BDB sangat destruktif, dalam waktu
singkat dapat menyebabkan hamparan
pertanaman pisang layu hingga 90 % seperti
yang dilaporkan diberbagai provinsi di

Indonesia dari awal ditemukannya hingga
dekade ini (Buddenhagen dan Kelman, 1964;
29

Rao, 1976; Hermanto dkk., 2001; Roesmiyanto
dan Hutagalung, 1989; Subianto, 1989; Eden
Green, 1994; Hermanto dkk., 1998; Sudana
dkk., 2000).Nur Edy dkk. (2009) menemukan
penyakit darah pada pisang terdapat pada
berbagai ketinggian wilayah di Lembah Palu
dengan rata-rata intensitas serangan di atas 50 %.
Pengendalian hayati adalah salah satu
alternatif model pengelolaan organisme
pengganggu tanaman yang ramah lingkungan.
Dengan memanfaatkan mikroba-mikroba
antagonis, dapat diminimalisasi dampak
kerusakannya pada tanaman-tanaman budidaya.
Beberapa kelompok bakteri antagonis dari
pseudomonad fluoresen (Haas dan Défago,
2005) dan Bacillus spp. (Saddler, 2005).

Pengendalian hayati telah banyak
diteliti secara intensif dalam mengendalikan
penyakit layu pada tanaman. Kemampuan
mikroba antagonis dalam mengkolonisasi
dan menginduksi pembentukan ketahanan
di perakaran tanaman menjadi kajian menarik
para peneliti karena beberapa hasil yang
sukses di terapkan tidak hanya di Indonesia
tapi juga di negara-negara lain.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur
kemampuan antagonis bakteri Pseudomonas
kelompok fluorescens (pseuodomonad fluoresen)
dan bacillus spp. Dalam mengendalikan
penyakit darah pada pisang kepok tanpa
jantung hasil kultur jaringan di rumah kasa.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan
Rumah Kasa Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Universitas Tadulako pada

bulan Januari-Juni 2010 dengan tahapan
pelaksanaan penelitian sebagai berikut.
Perbanyakan Mikroorganisme Antagonis.
Isolasi dan perbanyakan Pseuodomonad
fluoresen dilakukan pada Media King’s B
danBacillusspp. Pada media Tryptic Soy
Agar (TSA) NA ditempuh menurut metode
Arwiyanto (1998); Stolp dan Gadkari(1983).
Mikroba antagonis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Pseudomonad fluoresen
strain UTD1 dan UTD2 (Pf-UTD1 dan
30

Pf-UDT2), Bacillus spp. strain UTD1 dan
UTD2 (Ba-UTD1 dan Ba-UTD2) yang
diisolasi dari pertanaman pisang sehat di
Lembah Palu.
Pengujian Kompatibilitas Antagonis.
Pengujian kompatibilitas antar bakteri
antagonis dimaksudkan untuk mengetahui

antagonisme antar isolat yang dilaksanakan
menurut metode Arwiyanto (1997); Arwiyanto
dan Hartana(1999), yaitu:
Bakteri

PfUTD1
-

PfUTD2


BaUTD1


BaUTD2


PfUTD1
Pf√



UTD2
Ba√


UTD1
Ba√


UTD2
Keterangan:
- : tidak diseleksi antar antagonis yang sama
√ : Seleksi antar antagonis yang berbeda

uji
kompatibilitas
dilaksanakan
dengan tahapan sebagai berikut. Masing-masing
antagonis ditumbuhkan pada medium CPG
dan diinkubasikan selama 2 hari untuk

perbanyakan. Antagonis tersebut ditumbuhkan
lagi pada medium CPG sebanyak 4 strain per
cawan petri lalu diinkubasi selama 2 hari,
dibalik dan pada tutupnya dituangi dengan
kloroform sebanyak 0,5 ml, dibiarkan selama
2 jam agar kloroformnya menguap, kemudian
cawan petri dibalik kembali seperti posisi
semula. Pada permukaan medium tersebut
kemudian dituangi dengan antagonis lain
yang diuji kompatibilitasnya sebanyak 0,2
ml dalam 4 ml 0,6% agar air pada suhu
45oC. Biakan diinkubasikan selama 24 jam
pada suhu 27oC, kemudian diamati tiap hari
ada atau tidak adanya hambatan. Antagonis
yang kompatibel ditunjukkan dengan tidak
adanya zona hambatan dan antagonis yang
tidak kompatibel ditunjukkan dengan
adanya zona hambatan.
Penekanan Bakteri Penyebab Penyakit
Darah Oleh Bakteri Antagonis. Bakteri

antagonis disuspensi pada air steril secara
terpisah dengan perbandingan volume (1:1)
30

dengan kerapatan populasi 109 cfu/ml.
Inokulasi dilakukan dengan merendam bibit
pisang kapok tanpa jantung hasil
perbanyakan kultur jaringan berumur satu
bulan setelah aklimatisasi pada suspensi
Pseudomonad fluoresen dan Bacillus spp.
lalu ditanam pada polybag dan dibiarkan
selama satu minggu. Inokulasi patogen
dilakukan dengan menyiramkan suspensi
BDB pada kerapatan populasi 109 cfu/ml ke
tanah yang akan ditanami bibit pisang.
Parameter yang diamati adalah masa inkubasi
dan intensitas penyakit. Kriteria skor kelayuan
karena infeksi BDB setelah perlakuan
antagonis pada pisang kepok tanpa jantung
ditentukan berdasarkan kriteria Epp (1987)

yang dimodifikasi dimana skor 0: tanaman
sehat dan tidak ada gejala layu; skor 1: sehelai
daun pada bagian atas menguning; skor 2:
lebih dari 1 daun menguning dan pisang mulai
menunjukkan gejala layu; skor 3: semua bagian
tanaman menunjukkan nekrosis; skor 4:
tanaman uji mati. Gejala nekrosis didasarkan
pada perubahan warna jaringan hijau menjadi
menguning dan coklat atau menghitam. Skor
untuk gejala nekrotik didasarkan pada
ketentuan bahwa skor 0: 0-5%; skor 2: 535%; skor 3: 35-50%; skor 4: 50-75%; skor
5: >75% (Mak et al. 2004). Intensitas
penyakit dihitung dengan persamaan:
DI=[(nixsi)/(NxS)]x100%
Keterangan: Intensitas penyakit, ni: jumlah
tanaman skor tertentu, si: Nilai dari setiap skor
tanaman,N: jumlah tanaman yang diamati,
dan S: skor tertinggi (Cachinero et al. 2002).
Pengelompokkan nilai intensitas penyakit
didasarkan pada kriteria dimana: Tidak ada

serangan sama dengan 0%; ringan: jika 0 >
DI > 5%; sedang jika: 5% > DI > 10%; moderat
jika: 10% > DI > 25%; berat jika 25 > DI >
50%; dan sangat berat jika DI > 50%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kompatibilitas Antagonis. Uji kompatibilitas
dilaksanakan untuk melihat kesesuaian
antara dua atau lebih mikroba yang akan
dipadukan sebagai agensia pengendali

secara bersamaan dalam pengendalian
patogen. Antagonis yang kompatibel
ditunjukkan dengan tidak adanya zona
hambatan dan antagonis yang tidak
kompatibel ditunjukkan dengan adanya zona
hambatan. Hasil uji pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa Pseudomonad fluoresen strain UTD1
hanya kompatibel dengan Pf UTD2,
Pseudomonad fluoresen strain UTD2
kompatibel dengan semua antagonis (PfUTD1, Ba-UTD1, dan Ba-UTD2), Bacillus
spp. strain UTD1 hanya kompatibel dengan
Bacillus spp. Strain UTD2, dan Bacillus spp.
Strain UTD2 kompatibel dengan semua
antagonis (Pf-UTD1, Pf-UTD2 dan Ba-UTD1).
Perlakuan kombinasi yang kurang baik
terjadi pada perlakuan Pseudomonad fluoresen
strain UTD1 dengan Bacillus spp. strain UTD1
dan strain UTD2, juga pada perlakuan antagonis
Bacillus spp. strain UTD1 dengan Pseudomonad
fluoresen strain UTD1 dan strain dengan
indikator terbentuknya zona hambat.
Tabel

1.Zona Hambatan oleh Mikroba
Antagonis pada Uji Kompatibilitas.

Perlakuan

PfUTD1

Pf-UTD1
Pf-UTD2
Ba-UTD1
Ba-UTD2

0
7
0

Zona hambatan (mm)
PfBaBaUTD2
UTD1 UTD
2
0
11
8
0
0
9
0
0
0
-

Kompatibilitas pada uji in vitro
merujuk pada kesesuaian dua mikroba
antagonis dalam pemanfaatan nutrisi dan
ruang yang sama. Adanya zona hambat pada
uji Bacillus spp dan Pseudomonad fluoresen
dengan kisaran 7-11 mm diduga terjadi karena
reaksi metabolit ekstra seluler yang dihasilkan
oleh salah satu atau kedua antagonis tersebut
yang dapat bersifat menghambat pertumbuhan
satu sama lain. Mekanisme penghambatan
sesama antagonis ini dapat dijelaskan pada
proses feed- back inhibition pada kultur cair
berlanjut (continuous culture) (Madigan
et al., 1979) dimana senyawa toksik yang
dihasilkan secara berlebihan oleh bakteri
antagonis pada media buatan dapat menghambat
31

pertumbuhannya sendiri. Meski secara in
vitro peristiwa ketidaksesuaian antara bakteri
antagonis berbeda dapat terjadi, kondisi
tersebut tidak terjadi pada aplikasi lapang
karena antagonisme terhadap patogen
ditentukan oleh banyak faktor seperti
produksi antibiotik dan toksin, induksi
ketahanan tanaman, dan kompetisi.
Pengaruh Antagonisme dan Perkembangan
Penyakit Darah. Berdasarkan pengamatan
harian setelah inokulasi sampai terbentuknya
gejala awal, terdapat perbedaan masa inkubasi
pada setiap perlakuan. Masa inkubasi
dipengaruhi oleh total kemampuan virulensi
yang dimiliki patogen, tingkat kerentananan
tanaman dan daya dukung lingkungan.
Masa inkubasi merupakan periode waktu
sejak saat inokulasi sampai timbulnya gejala
awal. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
BDB dengan padat populasi sel 109cfu/ml
dapat menimbulkan gejala pada hari kedua
belas, sedangkan yang diberi perlakuan
bakteri antagonis gejala layu nampak
bervariasi dengan intensitas serangan yang
berbeda pula (Tabel 2).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan antagonis mampu menekan
serangan BDB. Ini menunjukkan signifikansi
bakteri antagonis dalam melindungi

tanaman pada skala uji rumah kasa. Dari
penelitian ini diperoleh perlakuan antagonis
tunggal terbaik yakni Pseudomonad fluoresen
strain UTD1 dan strain UTD2 yang tidak
menunjukkan layu hingga akhir masa
pengamatan. Bacillus spp. pada perlakuan
tunggal juga menunjukkan hasil yang baik
(berpengaruh signifikan dibanding perlakuan
lainnya) dengan intensitas kelayuan yang
rendah yakni 8,33 % untuk strain UTD1 dan
16,33% untuk strain UTD2.
Perlakuan kombinasi antagonis antara
Pseudomonad fluoresen dan Bacillus spp.
menunjukkan bahwa perlakuan Pseudomonad
fluoresen strain UTD2 dan Bacillus spp.
Strain UTD2 merupakan perlakuan terbaik
dengan tidak terbentuknya gejala layu pada
tanaman uji. Perlakuan terbaik lainnya
adalah Pseudomonad fluoresen strain UTD1
dan Bacillus spp. Strain UTD2 dengan
intensitas penyakit yang ringan, yakni 5,55 %
disusul perlakuan Pseudomonad fluoresen
strain UTD2 dan Bacillus spp. Strain UTD1
dengan rata-rata intensitas penyakit yang
moderat, yakni sebesar 25 %. Secara umum
semua perlakuan dinilai baik karena dapat
mereduksi layu hingga rata-rata dibawah 25 %,
kecuali perlakuan PF-UTD1 + BA-UTD1
dengan intensitas penyakit berat, yakni 38,89%.

Tabel 2. Rata-rata Masa Inkubasi (MI) dan Intensitas Penyakit (IP) Layu Bakteri pada
Minggu Kelima
Perlakuan

MI (Hari)

IP (%)

12

100

(89,19)a

PF-UTD1

-

0,00

(0,91)a

PF-UTD2

-

0,00

(0,91)a

BA-UTD1

19

8,33

(16,78)a

BA-UTD2

20

16,66

(22,94)a

PF-UTD1 + BA-UTD1

20

38,89

(38,56)b

PF-UTD1 + BA-UTD2

21

5,55

(11,49)bc

PF-UTD2 + BA-UTD1

21

25,00

(29,10)c

PF-UTD2 + BA-UTD2

-

0,00

(0,91)d

Kontrol

Ket. :

- Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom tidak berbeda
nyata pada uji Duncan taraf 5 %
- Angka dalam kurung hasil transformasi dari Arc Sin

32

x 1

32

Potensi agensia hayati seperti
Pseudomonad fluoresen dan Bacillus spp.
telah teruji dalam banyak aplikasi untuk
mengendalikan patogen tanaman terutama
yang tertular atau penyeberannya melalui
tanah. Pengetahuan tentang mekanisme
antagonisme dapat digunakan untuk
meningkatkan upaya pengendalian hayati
dimana antagonis dapat berperan lebih dari
satu sifat antagonis yang dimilikinya
(Spurr,1981). Pemanfaatan kemampuan
antagonis akan meningkatkan keberhasilan
dalam pengendali hayati penyakit tanaman.
Lima mekanisme dasar yang didalilkan oleh
Blakeman dan Brodie (1977) meliputi
parasitismelangsung, produksi antibiotik
ekstraseluler atau zat lainnya, persaingan
pada inang dan menstimulasi induksi
ketahanan telah teruji baik dalam
penekanan patogen tular tanah.
Luz (2000) meneliti B. megatherium
(Embr.9790) dan B. subtilis (Embr.9786) yang
hasilnya secara signifikan dapat menekan
insidensi dan tingkat keparahan penyakit
hingga 50% dan 67% secara bertutur-turut.
Demikian halnya dengan Pseudomonad
fluoresen. Bakteri ini memiliki kemampuan
memproduksi pigmen yang dapat dilepas ke
lingkungan sekitarnya. Pigmen tersebut
bersifat antibiotik, yakni pyoverdin (Pyd)
atau pseudobactin (Haas dan Défago, 2005).
Kontribusi antibiotik yang dihasilkan
oleh Pseudomonad fluoresen dalam
pengendalian hayati penyakit tanaman telah
banyak dilaporkan. Antara lain kemampuannya
untuk melepaskan senyawa volatil hasil
metabolit sekunder sebagai senjata kimia

(Scher dan Baker, 1980; Thomashow dan
Weller,1988; Cook dan Rovira, 1976; Ligon,
2000;Ahl dkk., 1986; Chin, 1998; Howell dan
Stipanovic, 1979; Fenton, dkk., 1992; Vincent,
1991). Senyawa-senyawa antibiotik tersebut
terdeteksi di sekitar rizosfer dengan jumlah
yang kecil tapi signifikan dalam menekan
patogen, diantaranya phenazine-1-carboxylate,
Phl, pyrrolnitrin, pyoluteorin dan lipopeptide
viscosinamide (Thomashowdkk., 1997;
Haas dan Keel, 2003).
Pada prinsipnya, agensia hayati
memiliki prospek besar dalam membantu
petani mengelola organisme pengganggu
tanaman demi meningkatkan pendapatan
mereka. Tentunya, dalam implementasi
agen hayati selalu mempertimbangkan
aspek lain untuk komprehensifnya upaya
pengendalian terpadu.
KESIMPULAN
Kesimpulan hasil penelitian ini
adalah begai berikut.
1. Uji kompatibilitas in vitro menunjukkan
bahwa diantara strain-strain Pseudomonad
fluoresen dan Bacillus spp. Terdapat
kesesuaian satu sama lain jika diaplikasikan
bersamaan meskipun beberapa lainnya
menunjukkan aktivitas saling menghambat.
2. Kombinasi Pseudomonad fluoresen
strain UTD 2 dan Bacillus spp. Strain
UTD2 serta aplikasi tunggal kedua
strain Pseudomonad fluoresen merupakan
perlakuan terbaik dalam mengendalikan
bakteri penyebab penyakit darah pada
pisang.

DAFTAR PUSTAKA
Ahl, P., Voisard, C. and Défago, G., 1986. Iron Bound- Siderophores, Cyanic Acid, And Antibiotics Involved In
Suppression of Thielaviopsis basicola by a Pseudomonas Fluorescens strain. J. Phytopathol. 116, 121–134.
Arwiyanto, T. 1997. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Bakteri Tembakau:1. Isolasi Bakteri Antagonis.
J. Perlindungan Tanaman Indonesia 3(1): 54-60.
Arwiyanto, T. dan I. Hartana. 1999. Pengendalian Hayati Penyakit Layu bakteri tembakau; Percobaan di
Rumah Kaca. J. Perlindungan Tanaman Indonesia5(1): 50-59.

33

Blakeman, J.P. and Brodie, I.D.S., 1977. Competition for Nutrients Between Epiphytic Microorganisms
and Germination Of Spores Of Plant Pathogens On Beetroot Leaves. Physiological Plant Pathology
10: 29 - 42.
Buddenhagen and A. Kelman, 1964. Biological and physiological aspect of bacterial wilt caused by
Pseudomonas solanacearum. Annu. Rev. Phytopath. 2: 203-230.
Chin-A-Woeng, T. F. C., 1998. Biocontrol by phenazine-1- carboxamide-producing Pseudomonas
chlororaphis PCL1391 of tomato root rot caused by Fusarium oxysporum f. sp. radicis-lycopersici.
Mol. Plant Microbe Interact.11, 1069–1077.
Cook, R. J. and Rovira, A. D., 1976. The role of bacteria in the biological control of Gaeumannomyces
graminis by suppressive soils. Soil Biol. Biochem.8, 269–273.
Eden-Green, S. J., 1994. Diversity of Pseudomonas solanacearum and refeated bacteria in South Asia: New
direction of Moko disease. In Hayward, A.C. and G.L. Hartman (eds). Bacterial disease and It’s
causative agent Pseudomonas solanacearum. Cab. Intern. Wellington. 25-34p.
Edy, N., J. Panggeso, Baharuddin, 2008. Karakterisasi Morfologi, Patogenisitas, dan Biokimia Bakteri
Penyebab Penyakit Darah di Lembah Palu. J. Agrisains 9(2):47-50.
Epp D., 1987. Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. In: Persley GJ, De Langhe
EA (eds). Banana and Plantain Breeding Strategies. Canberra: ACIAR Publ. p 140-150.
Fegan, M. and P. Prior. 2005. How complex is the Raistonia solanacearum species complex. In: Bacterial wilt
disease and the Raistonia solanacearum species complex. American Phytopathological Society
Press, Minnesota. 449-461 p.
Fenton, A. M., Stephens, P. M., Crowley, J., O’Callaghan, M. and O’Gara, F., 1992. Exploitation of gene(s)
involved in 2,4-diacetylphloroglucinol biosynthesis to confer a new biocontrol capability to a
Pseudomonas strain. Appl. Environ. Microbiol. 58, 3873–3878.
G.S. Sadlar, 2005. Management of Bacterial Wilt Disease in Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia
solanacearum Species Complex. APS Press, St. Paul-Minnesota. p 121-132.
Haas D. and G. Défago, 2005. Biological Control of Soil-Borne Pathogens By Fluorescent Pseudomonads.
Nature Reviews Microbiology . published online 10 March 2005; doi:10.1038/nrmicro1129.
Haas, D. and Keel, C., 2003. Regulation of antibiotic production in root-colonizing Pseudomonas spp. and
relevance for biological control of plant disease. Annu. Rev. Phytopathol. 41, 117–153.
Hermanto, C., Harlion, Subhana, Mujiman, dan K. Mukminin. 2001. Identifikasi komponen penduga
perkembangan penyakit layu bakteri pisang. J. Hortikultura. 11:254-259.
Hermanto, C., T. Setyawati dan P. J. Santoso. 1998. Konflrmasi daerah endemik baru penyakit layu bakteri
pisang di Sumatera Barat. Disampaikan pada Seminar Sehari PFI Komca Sumbar, Riau dan Jambi,
Padang, 4 November 1998.
Howell, C. R. and Stipanovic, R. D., 1979. Control of Rhizoctonia solani on cotton seedlings with Pseudomonas
fluorescens and with an antibiotic produced by the bacterium. Phytopathology69, 480–482.
Howell, C. R. and Stipanovic, R. D., 1980. Suppression of Pythium ultimum-induced damping-off of cotton
seedlings by Pseudomonas fluorescens and its antibiotic, pyoluteorin. Phytopathology70, 712–715.
Ligon, J. M., 2000. Natural products with antifungal activity from Pseudomonas biocontrol bacteria. Pest
Manag. Sci. 56, 688–695.
Madigan, M.T., J.M. Martinko, and J. Parker.1997. Biology ofMicroorganisms. Prentice Hall International, Inc.

34

34

Mak C., Mohamed A.A., Liew K.W., Ho Y.W., 2004. Early screening technique for Fusarium wilt resistance
in banana micropropagated plants. In: Jain SM, Swennen R (eds). Banana Improvement: Cellular,
Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Publ, Inc. p 11-20.
Nourozian J., Etebarian H.R., and Khodakaramian G., 2006. Biological control of Fusarium graminearum on
wheat by antagonistic bacteria. Songklanakarin, J. Sci. Technol., 2006, 28(Suppl. 1) : 29-38.
Nur Edy, J. Panggeso, T. Kuswinanti, Baharuddin, 2009. Banana Blood Disease on Valley of Palu:
Distribution and Its Characteristics. Proceeding of International Seminar and Congress of National
Congress of Indonesian Phytopathological Society. Bio-Security, Food Security and Plant Diseases:
The Role of Phytopathology in the Eras of Global Warming and Free Trade. Makassar, 4-7 August 2009.
Rao, M. V. B., 1976. Bacterial wilt of tomato and eggplant in India. In:Proc. 1st international planning
conference and workshop on ecology and control of bacterial wilt caused by Pseudomonas
solanacearum, New Delhi, India. 92-94p.
Roesmiyanto dan L. Hutagalung. 1989. Penyakit darah (P. celebencis) pada tanaman pisang di Jeneponto
Sulawesi Selatan. Hortikultura. 27:39-41.
Scher, F. M. and Baker, R., 1980. Mechanism of biological control in a Fusarium-suppressive soil.
Phytopathology 70, 412–417.
Spurr, H.W. J.R., 1981. Formulation of bacterial antagonists alters efficacy for foliar disease control.
Phytopathology 71: 905.
Stolp, H. & D. Gadgari. 1983. Nonpathogenic Members of Genus Pseudomonas. P. 719-741 in
The Prokaryotes A Handbook on Habitat edited by Star, M.P., H.G. Truper, A. Balows, and
H.G. Schlegel. Springer-Verlag New York.
Subianto. 1989. Country paper report on banana and plantain — Indonesia. 49-69. In: Banana and plantain
R & D in Asia and the Pacific. Proceeding of a Regional Consultation on Banana and Plantain R &
D Networking Manila and Davao.
Sudana I. M., O. N. Suprapta, N. Arya, dan W. Sukayana. 1999. Usaha pengendalian penyakit layu pada
tanaman pisang di Bali. Prosiding Kong. Nas. XV dan Seminar llmiah Perhimpunan Fitopatologi
Indonesia. Purwokerto, 16-18 September 1999. 404-410p.
Thomashow, L. S. and Weller, D. M., 1988. Role of a phenazine antibiotic from Pseudomonas fluorescens in
biological control of Gaeumannomyces graminis var. tritici. J. Bacteriol. 170, 3499–3508.
Thomashow, L. S., Bonsall, R. F. & Weller, D. M., 1997. Manual of Environmental Microbiology(eds Hurst,
C. J., Knudsen, G. R., McInervey, M. J., Stetzenbach, L. D. & Walter, M. V.). ASM Press,
Washington DC. p493–499.
Vincent, M. N., 1991. Genetic analysis of the antifungal activity of a soilborne Pseudomonas aureofaciens
strain. Appl. Environ. Microbiol. 57, 2928–2934.

35