BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stress Kerja 1. Pengertian Stress Kerja - Khamim Basyir BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stress Kerja 1. Pengertian Stress Kerja Stress adalah suatu respon adaptif, melalui karakteristik individu dan
atau proses psikologis secara langsung terhadap tindakan, situasi dan kejadian eksternal yang menimbulkan tuntutan khusus baik fisik maupun psikologis individu yang bersangkutan. Pendapat lain mengatakan bahwa stress adalah tanggapan yang menyeluruh dari tubuh terhadap tuntutan yang datang kepadanya (Nasution, 2000).
Miner (2002) menyatakan bahwa stress merujuk pada kondisi internal individu untuk menyesuaikan diri secara baik terhadap perasaan yang mengancam kondisi fisik dan psikis atau gejala psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan dan atau hal yang sejenis. Dalam kaitan dalam pekerjaannya, Smet (2004) secara spesifik menjelaskan bahwa stress kerja sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan kerja sehingga menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial.
Stress yang terlalu rendah cenderung membuat pekerja menjadi lesu, malas dan merasa cepat bosan. Sebaliknya stress yang berlebihan dapat mengakibatkan kehilangan efisiensi, kecelakaan kerja, kesehatan fisik
9 terganggu dan dampak lain yang tidak diinginkan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stress kerja adalah respon adaptif, tanggapan, penyesuaian diri pada suatu kondisi antara individu dan lingkungan. Stress yang rendah dan berlebihan akan menyebabkan lesu, malas, cepat bosan, kehilangan efisiensi, kecelakaan kerja dan kelelahan fisik.
2. Tahapan Stress Kerja
Timbulnya stress kerja pada seorang tenaga kerja melalui tiga tahap yaitu tahap pertama : reaksi awal yang merupakan fase inisial dengan timbulnya beberapa gejala/tanda,namun masih dapat diatasi oleh mekanisme pertahanan diri. Tahap kedua : reaksi pertahanan yang merupakan adaptasi maksimum dan pada masa tertentu dapat kembali kepada keseimbangan. Bila stress ini terus berlanjut terus dan mekanisme pertahanan diri tidak sanggup berfungsi lagi maka berlanjut ke tahap ketiga, yaitu kelelahan yang timbul akibat mekanisme adaptasi telah
kolaps (layu) (Nasution, 2000). Menurut Hans Selye dalam Nurmiati Amir
(Jiwa Indonesia Phychiatric Quarterly : XXXII:4) bahwa ada tiga fase atau tahapan stress adalah sebagai berikut : a.
Tahap reaksi waspada, pada tahap ini dapat terlihat reaksi psikologis”
fight orbflight syndrome” dan reaksi fisiologis. Pada tahap ini individu
mengadakan reaksi pertahanan terekspos pada stressor. Tanda fisik akan muncul adalah curah jantung meningkat, peredaran darah cepat, darah di perifer dan gastrointestinal mengalir kekepala dan ekstremitas.
Sehingga banyak organ tubuh yang terpengaruh, maka gejala stress akan mempengaruhi denyut nadi dan ketegangan otot. Pada saat yang sama daya tahan tubuh akan berkurang dan bahkan bila stressor sangat besar atau kuat dapat menimbulkan kematian.
b.
Tahap melawan, pada tahap ini individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi untuk mengatasi stressor. Tubuh berusaha menyeimbangkan proses fisiologis yang telah dipengaruhi selama reaksi waspada untuk sedapat mungkin kembali keadaan normal dan pada waktu yang sama pula tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stress. Apabila proses fisiologis telah teratasi maka gejala- gejala stress akan menurun, tubuh akan secepat mungkin berusaha normal kembali karena ketahanan tubuh ada batasnya dalam beradaptasi. Jika stressor tidak dapat diatasi atau terkontrol maka ketahanan tubuh beradaptasi akan habis dan individu tidak akan sembuh.
c.
Tahap kelelahan, tahap ini terjadi ketika ada suatu perpanjangan tahap awal stress yang tubuh individu terbiasa. Energi penyesuaian terkuras dan individu tersebut tidak dapat lagi mengambil dari berbagai sumber penyesuaian yang di gambarkan pada tahap kedua. Akan timbul gejala penyesuaian terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner, bisul, kolitis. Tanpa ada usaha untuk melawan atau mencegahnya kelehan bahkan kematian dapat terjadi.
Bila tubuh terekspos pada stressor yang sama pada waktu yang lama secara terusbmenerus, maka tubuh yang semula telah terbiasa menyesuaikan diri akan kehabisan energi untuk beradaptasi. Daya tahan tubuh terhadap stressor tidak dapat dianggap dapat bertahan selamanya karena suatu saat energi untuk adaptasi itu akan habis.
3. Faktor – faktor Penyebab Stress Kerja
Menurut Hurrel (dalam Munandar, 2001) sumber stress yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam pembangkit tetapi dari beberapa pembangkit stress. Sebagian dari waktu manusia adalah untuk bekerja, karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan seorang pekerja. Pembangkit stress di pekerjaan merupakan pembangkit stress yang besar terhadap kurang berfungsinya atau jatuh sakitnya seorang tenaga kerja yang bekerja. Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stress dikelompokkan dalam lima kategori, yaitu : a.
Faktor intrinsik dalam pekerjaan Faktor intrinsik dalam pekerjaan katagorinya adalah tuntutan fisik dan tuntutan tugas, tuntutan fisik : kondisi fisik misalnya faktor kebisingan, panas, penerangan dan lain sebagainya, sedangkan faktor tugas mencakup : kerja malam.beban kerja dan penghayatan dari resiko bahaya. Tuntutan fisik yaitu kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap faal dan psikologis seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stress, tuntutan tugas menurut penelitian menunjukkan bahwa shift kerja /kerja malam merupakan sumber stress bagi pekerja pabrik roti. Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stress.
b.
Peran dalam organisasi Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya,namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baiknya fungsi peran merupakan pembangkit stress yang meliputi konflik peran dan ketidak jelasan kerja.
c.
Pengembangan karir Pengembangan karir merupakan pembangkit stress yang potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi yang berlebih atau promosi yang kurang.
d.
Hubungan dalam pekerjaan Hubungan dalam pekerjaan yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejalanya dalam kepercayaan yang rendah, minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi, komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara pekerja,ketegangan psikologis dalam bentuk kepuasan kerja yang menurun dan penurunan kondisi kesehatan. e.
Struktur dan Iklim organisasi Faktor stress yang dikenali dalam katagori ini adalah terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlihat atau berperan serta pada support sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Teori lain mengatakan terdapat dua faktor penyebab atau sumber stress yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal. Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen atau hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedangkan faktor personal berupa kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial ekonomi keluarga, dimana pribadi berada dan mengembangkan diri (Dwiyanti, 2001).
Hasil penelitian Singarimbun (2004) menyatakan bahwa faktor – faktor yang menpengaruhi stress terutama pada wanita pekerja adalah status kawin, umur, pendidikan dan jarak tempat tinggal. Menurut penelitian Badra (2004) dan Iswanto (2001) ada hubungan antara motivasi (instrinsik dan akstrinsik ) dengan kinerja serta ada hubungan stress kerja dengan kinerja. Kepribadian memberikan kontribusi terhadap hubungan stress kerja dengan kinerja. Tingkat stress yang paling tinggi akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis seseorang dan pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja yang semakin menurun.
Orang dengan tipe kepribadian A lebih mudah stress dibandingkan dengan tipe kepribadian B, orang dengan tipe kepribadian introvert lebih mudah stress daripada yang extrovert. Pengalaman hidup orang yang pernah mengalami kegagalan di masa lampau akan mudah membuatnya menilai kegagalan sebagai hal yang sudah biasa. Tetapi bagi orang yang selalu berhasil, kegagalan sebagai sumber stress yang luar biasa. Orang yang belum dewasa dalam menghadapi perkara, mudah goyah dalam sikap, pendirian, dan arah hidupnya dibandingkan orang yang berkepribadianmatang (Nasution, 2000 ).
Menurut Cooper, et.al. (2001) sumber stress terdiri dari faktor-faktor: a. Lingkungan kerja : kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit, mengalami stress dan menurunkan produktivitas kerja.
b.
Overload (beban kerja berlebih) : dapat dibedakan menjadi kuantitatif dan kualitatif. Beban kerja berlebih kuantitatif bila target kerja melebihi kemampuan pekerja yang bersangkutan akibatnya mudah lelah dan berada dalam ketegangan tinggi.Beban kerja berlebih secara kualitatif bila pekerjaan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi.
c.
Deprivational stress : yaitu pekerjaan yang tidak menantang atau tidak menarik lagi bagi pekerja, akibatnya timbul berbagai keluhan seperti kebosanan, ketidakpuasan dan lain sebagainya.
d.
Pekerjaan berisiko tinggi yaitu pekerjaan yang berbahaya bagi keselamatan.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stress kerja adalah faktor intrinsik dalam pekerjaan seperti tuntutan fisik dan tuntutan tugas, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim organisasi, faktor lingkungan kerja yaitu kondisi, fisik, manajemen atau hubungan sosial dan faktor personal yaitu tipe kepribadian. Serta beban kerja yang berlebih, pekerjaan yang berisiko tinggi, status perkawinan, umur ,pendidikan dan jarak tempat tinggal.
4. Gejala – gejala Stress Kerja
Menurut Anoraga (2001) gejala stres adalah sebagai berikut : Menjadi mudah marah dan tersinggung, bertindak secara agresif dan defensive, merasa selalu lelah, sukar konsentrasi pelupa, jantung berdebar- debar, otot tegang/nyeri sendi dan sakit kepala, perut dan diare.
Menurut Terry Beehr dan Newman dalam Prihatini (2007) membagi gejala stress menjadi tiga aspek yaitu gejala psikologis, gejala fisik dan perilaku. Gejala psikologis terdiri dari: kecemasan atau ketegangan, bingung, marah, sensitive, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif, menurunnya fungsi intelektual, mengurung diri, ketidak puasan bekerja, depresi, kebosanan, lelah mental, merasa terasing dan mengasingkan diri, kehilangan daya konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas, kehilangan semangat hidup, menurunnya harga diri dan rasa percaya diri.
Adapun gejala fisik meliputi : meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, meningkatnya sekresi adrenali dan non adrenalin, gangguan gastrointestial, misalnya gangguan lambung, mudah terluka, kematian, gangguan kardiovaskuler, mudah lelah secara fisik, gangguan pernafasan, lebih sering berkeringat, gangguan pada kulit dan kepala pusing, migrain, kanker, ketegangan otot, problem tidur.
Gejala stress berdasarkan perilaku : menunda atau menghindari pekerjaan atau tugas, penurunan prestasi dan produktifitas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk, perilaku sabotase, meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang tidak normal, kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis berat badan, kecendrungan perilaku yang beresiko tinggi seperti ngebut, berjudi, meningkatnya agresivitas dan kriminalitas, penurunan kualitas hubungan interpersoal dengan keluarga dan tema dan kecendrungan bunuh diri.
5. Dampak Stress Kerja
Menurut Lubis (2006) stress kerja dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut : a.
Penyakit fisik yang diinduksi oleh stress seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, tukak lambung, asama, gangguan menstruasi dan lain-lain.
b.
Kecelakaan kerja terutama pekerjaan yang menuntut kinerja yang tinggi, bekerja bergiliran c.
Absensi kerja d. Lesu kerja, pegawai kehilangan motivasi bekerja e. Gangguan jiwa mulai dari gangguan ringan sampai ketidak mampuan yang berat. Gangguan jiwa yang ringan misalnya mudah gugup, tegang, marah-marah, apatis dan kurang konsentrasi. Gangguan yang lebih jelas lagi dapat berupa despresi, gangguan cemas.
Beehr dalam Frase (2002) mengatakan stress mempunyai dampak terhadap : a.
Individu adalah munculnya masalah yang berhubungan dengan kesehatan, psikologi dan interaksi interpersonal. Pada gangguan fisik seseorang mengalami stress akan mudah terserang penyakit, pada gangguan mental stress berkepanjangan akan mengakibatkan ketegangan hal ini akan merusak tubuh dan gangguan kesehatan. Pada gangguan intrepersonal stress akan lebih sensitif terhadap hilangnya percaya diri, menarik diri dan lain-lain.
b.
Dampak terhadap organisasi adalah pekerja yang stress akan berpengaruh pada kualitas kerja dan kesehatan pekerja terganggu berupa kekacauan manajemen dan operasional kerja, meningkatnya absensi dan banyak pekerjaan yang tertunda
Jenis dampak tersebut diatas tidak mencakup seluruhnya, hanya mewakili beberapa dampak potensial yang sering dikaitkan dengan stres.
Akan tetapi jangan diartikan bahwa stres selalu menyebabkan dampak seperti yang disebutkan diatas. Karena stres ada tingkatannya yaitu ringan dan berat tergantung dari individu dalam menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan stres tersebut atau tergantung pada individu tersebut memanajemen stres yang dihadapinya, sehingga bisa menjadi distress maupun eustress. Distres jika seseorang tersebut tidak mampu mengelola stres dengan baik, sedangkan eustres adalah jika seseorang tersebut mampu mengelola stress dengan baik (Cox, 2000).
Kemampuan individu menahan stres berbeda-beda, hal tersebut bergantung pada sifat dan hakikat stres, yaitu intensitas, lamanya, lokal, dan umum (general) dan sifat individu yang terkait dengan proses adaptasi. Cara mencegah dan mengendalikan stress kerja menurut Sauter (2000) adalah sebagai berikut: a.
Beban kerja fisik maupun mental harus disesuaikan dengan kemampuan dan kapasitas kerja pekerja yang bersangkutan dengan menghindarkan adanya beban berlebih maupun yang ringan.
b.
Jam kerja harus disesuaikan baik terhadap tuntutan tugas maupun tanggung jawab diluar pekerjaan c.
Setiap pekerja harus diberikan kesempatan untuk mengembangkan karier, mendapatkan promosi dan pengembangan kemampuan keahlian.
d.
Membentuk lingkungan sosial yang sehat yaitu antara pekerja yang satu dengan yang lain, upervisor yang baik dan sehat dalam organisasi.
e.
Tugas-tugas pekerjaan harus didesain untuk dapat menyediakan stimulasi dan kesempatan agar pekerja dapat menggunakan ketrampilannya. Pengendalian stress menurut Quick (2001) adalah secara : a.
Organisasional yaitu memodifikasikan tuntutan kerja,meningkatkan hubungan kerja.
b.
Individual yaitu memanajemen persepsi pribadi tentang stress, memanajemen lingkungan kerja pribadi, menghindari tugas yang beban kerja berlebihan, memanajemi gaya hidup dan menghindari respon terhadap stress.
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja
Minner (2002), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi stres kerja meliputi faktor eksternal (kondisi lingkungan fisik, beban kerja yang berlebihan, karir, tanggung jawab, konflik peran dan ambiguitas peran) dan faktor internal (karakteristik pribadi meliputi kepribadian, umur, pendidikan, kesehatan). Hasibuan (2000), mengungkapkan hal-hal yang dapat mempengaruhi stres kerja adalah beban kerja yang berlebihan, tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar, konflik antar pribadi, balas jasa yang terlalu rendah, waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai, dan masalah keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku individu dalam bekerja ialah: a.
Faktor Internal Menurut As’ad (1999), faktor internal yang mempengaruhi tingkah laku individu dalam bekerja adalah keadaan fisik dan psikis individu. Faktor Fisik, meliputi: 1)
Bentuk tubuh dan komposisinya 2)
Bentuk tubuh meliputi besar kecilnya tubuh, bagian-bagiannya, warna kulit, kelengkapan anggota badan. Sedangkan, komposisinya meliputi bagaimana letak dan kesesuaiannya dengan bagian-bagian tubuh lainnya. Penting dan tidaknya pengaruh kedua hal tersebut didalam pekerjaan tergantung jenis pekerjaannya.
3) Taraf kesehatan fisik pada umumnya
Taraf kesehatan individu pada umumnya berbeda. Perbedaan ini bisa dijumpai dalam kehidupan sehari-sehari. Misalnya ada orang yang mudah sekali diserang penyakit dan ada pula orang yang daya tahannya terhadap penyakit cukup kuat. Taraf kesehatan ini sangat menentukan produktivitas kerja, oleh karena didalam bekerja terdapat aktivitas fisik dan kesehatan didalam produktivitas kerja.
4) Kemampuan panca inderanya
Kemampuan fisik yang berujud kemampuan panca indera diperlukan didalam bekerja. Misalnya untuk bekerja dibagian perusahaan rokok diperlukan kemampuan penciuman yang baik. Di samping itu banyak sekali riset-riset yang diadakan menunjukan pengaruh gangguan sensoris terhadap kuantitas dan kualitas produksi.
Faktor Psikis, meliputi: 1)
Intelegensi Intelegensi diberi batasan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan sebaik-baiknya terhadap lingkungan.
Oleh karena itu tingkat intelegensi sesorang sangat menentukan kesuksesan bekerja. Orang-orang yang intelegensinya tinggi, sanggup memecahkan kesulitan yang dihadapinya dalam bekerja dan sebaliknya.
2) Bakat
Bakat ialah kemampuan dasar yang menentukan sejauh mana kesuksesan individu untuk memperoleh keahlian atau pengetahuan tertentu, apabila individu itu diberi latihan-latihan tertentu. Jadi apabila seseorang mempunyai bakat mekanik, bila Dia diberi latihan-latihan tentang mekanik Dia akan mudah untuk menguasai masalah mekanik dan sebaliknya.
3) Minat
Minat adalah sikap yang membuat orang senang akan objek situasi atau ide-ide tertentu. Hal ini diikuti oleh perasaan senang dan kecenderungan untuk mencari objek yang disenangi itu. Pola-pola minat seseorang merupakan salah satu faktor yang menentukan kesesuaian orang dengan pekerjaannya. Minat orang terhadap jenis pekerjaanpun berbeda-beda. Tingkat prestasi kerja seseorang ditentukan oleh perpaduan antara bakat dan minat. 4)
Kepribadian Pada pekerjaan-pekerjaan tertentu sifat-sifat kepribadian seseorang sangat berhubungan dengan kesuksesan dalam bekerja. Menurut Ulfah (2008) pengukuran kepribadian didalam bimbingan jabatan karyawan berguna bagi maksud-maksud sebagai berikut: a)
Bagi mereka yang penyesuaian kepribadiaanya tidak baik, mungkin akan mengalami kesukaran penyesuaian diri di dalam training ataupun dalam situasi kerja. b) Bagi mereka yang mempunyai sifat-sifat kepribadian tertentu yang mengganggu penyesuaian diri dengan posisi kerja bisa dilakukan usaha-usaha yaitu penempatan yang sesuai dengan kepribadiannya, diberi psikoterapi untuk penyesuaiannya.
5) Motivasi
Motivasi ialah faktor yang menyebabkan organisme berbuat seperti apa yang diperbuat. Menurut Ulfah (2008), motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan atau semangat kerja. Motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau activities) dan memberikan kekuatan (energy) yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ke tidak seimbangan dan semua kebutuhan dapat dipuaskan pada satu saat. 6)
Edukasi Yang dimaksud dengan edukasi disini ialah pendidikan formil di sekolah-sekolah atau kursus-kursus. Didalam bekerja seringkali faktor edukasi merupakan syarat paling cocok untuk memegang fungsi-fungsi tertentu. Untuk pekerjaan tertentu, pendidikan akademi sudah cukup, tetapi untuk pekerjaan lainnya menuntut tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Untuk tercapainya kesuksesan didalam bekerja dituntut pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang akan dipegangnya. b.
Faktor Eksternal Menurut Cooper (1983) dalam Rice (1999), faktor eksternal yang mempengaruhi tingkah laku individu dalam bekerja antara lain: kondisi pekerjaan, stres karena peran, faktor interpersonal, perkembangan karir, struktur organisasi, serta tampilan rumah dan pekerjaan. 1)
Kondisi pekerjaan, meliputi: beban kerja berlebihan secara kuantitatif; beban kerja berlebihan secara kualitatif; keputusan yang dibuat oleh seseorang; bahaya fisik; jadwal bekerja; kelelahan mental atau fisik; kelelahan yang amat sangat dalam bekerja (burnout); serta meningkatnya kesensitifan dan ketegangan. 2)
Stres karena peran, meliputi: ketidakjelasan peran; adanya bias dalam membedakan gender dan stereotype peran gender; pelecehan seksual; meningkatnya kecemasan dan ketegangan; serta menurunnya prestasi pekerjaan.
3) Faktor interpersonal, meliputi: hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang buruk; persaingan politik, kecemburuan dan kemarahan; kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan; meningkatnya ketegangan; meningkatnya tekanan darah; serta ketidakpuasan kerja.
4) Perkembangan karir, meliputi: promosi ke jabatan yang lebih rendah dari kemampuannya; promosi ke jabatan yang lebih tinggi dari kemampuannya; keamanan pekerjaannya, ambisi yang berlebihan sehingga mengakibatkan frustrasi; menurunnya produktivitas; kehilangan rasa percaya diri; meningkatkan kesensitifan dan ketegangan; serta ketidakpuasan kerja. 5)
Struktur organisasi, meliputi: struktur yang kaku dan tidak bersahabat; pertempuran politik; pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang; ketidakterlibatan dalam membuat keputusan; menurunnya motivasi dan produktivitas; serta ketidakpuasan kerja.
6) Tampilan rumah dan pekerjaan, meliputi: mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi; kurangnya dukungan dari pasangan hidup; konflik pernikahan; stres karena memiliki dua pekerjaan; meningkatnya konflik dan kelelahan mental; menurunnya motivasi dan produktivitas; serta meningkatnya konflik pernikahan.
B. Tipe Kepribadian
Seperti yang telah dikemukakan di atas menurut As’ad (1999) bahwa faktor tipe kepribadian adalah salah satu dari beberapa faktor internal dan tergolong dalam faktor psikis merupakan faktor yang dapat mempengaruhi stress kerja. Tidak semua orang yang mengalami stressor psikososial yang sama akan mengalami stres. Ternyata pada seseorang yang mempunyai tipe kepribadian tertentu yaitu tipe kepribadian “A” (A type personality) atau disebut pula sebagai pola perilaku tipe A (type “A” Behavior pattern) lebih rentan (vulnerable) terhadap stres. Sedangkan orang dengan tipe kepribadian “B” (“B” type personality or type “B” Behavio Patternr) lebih kebal
(immune) terhadap stres. Meskipun demikian tidak berarti orang dengan tipe kepribadian diluar kategori diatas tidak akan mengalami stres, atau dengan kata lain orang dengan tipe kepribadian “A” tadi risiko mengalami stres lebih besar dari pada tipe kepribadian lain. Tipe kepribadian (pola perilaku) menurut Hawari (2001), yaitu : dalam kaitannya dengan tipe kepribadian yang berisiko tinggi terkena stres (yaitu tipe “A”).
Sedangkan Goliszek (2005), dalam buku manajemen stres terdapat tiga tipe kepribadian yaitu kepribadian tipe A, tipe B dan tipe AB. Kepribadian tipe AB merupakan kebanyakan orang yang memiliki sebagian tipe A dan sebagian tipe B. Sebagian karena mengetahui cara berelaksasi serta tidak terlalu agresif dan kompetitif.
Hawari (2001), menggambarkan antara lain dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ambisius, agresif dan kognitif (suka akan persaingan), banyak jabatan rangkap.
2. Kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung dan marah (emosional).
3. Kewaspadaan berlebihan, kontrol diri kuat, percaya diri berlebihan (over confidence ).
4. Cara bicara cepat, bertindak serba cepat, hiperaktif, dan tidak dapat diam.
5. Bekerja tidak mengenal waktu (workaholic).
6. Pandai berorganisasi dan memimpin serta memerintah (otoriter).
7. Lebih suka bekerja sendirian bila ada tantangan.
8. Kaku terhadap waktu, tidak dapat tenang (tidak rileks), serba tergesa-gesa.
9. Mudah bergaul (ramah), pandai menimbulkan perasaan empati dan bila tidak tercapai maksudnya mudah sikap bermusuhan.
10. Tidak mudah dipengaruhi dan kaku (tidak fleksibel).
11. Bila berlibur pikirannya kepekerjaan dan tidak dapat santai.
12. Berusaha keras untuk dapat segala sesuatunya terkendali.
Sedangkan orang dengan kepribadian tipe “B” atau pola perilaku tipe “B” adalah kebalikan dari tipe “A” tersebut diatas, yaitu dengan ciri-ciri antara lain sebagai berikut :
1. Ambisinya wajar-wajar saja, tidak agresif dan sehat dalam berkompetisi serta tidak memaksakan diri.
2. Penyabar, tenang, tidak mudah tersinggung dan tidak mudah marah (emosi terkendali).
3. Kewaspadaan dalam batas yang wajar demikian pula kontrol diri dan percaya diri tidak berlebihan.
4. Cara bicara tidak tergesa-gesa, bertindak pada saat yang tepat, dan perilaku tidak hiperaktif.
5. Dapat mengatur waktu dalam bekerja (menyediakan waktu untuk istirahat).
6. Dalam berorganisasi dan memimpin bersikap akomodatif dan manusiawi.
7. Lebih suka bekerjasama dan memaksakan diri bila menghadapi tantangan.
8. Pandai mengatur waktu dan tenang (relaks), tidak tergesa-gesa.
9. Mudah bergaul, ramah dan dapat menimbulkan empati untuk mencapai kebersamaan (mutual benefit).
10. Tidak kaku (fleksibel), dapat menghargai pendapat orang lain, tidak merasa dirinya paling benar.
11. Dapat membebaskan diri dari segala macam problem kehidupan dan pekerjaan manakala sedang berlibur.
12. Dalam mengendalikan segala sesuatunya mampu menahan serta mengendalikan diri.
Kepribadian tipe AB seperti kebanyakan orang mempunyai sebagian karakteristik tipe A dan sebagian lagitipe B. Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman sehingga meningkatkan dirinya dalam upaya berelaksasi. Kepribadian tipe AB mempunyai perilaku yang baik karena hal itu memungkinkan seseorang untuk mencapai sasaran, termotivasi dan produktif. Selain itu seseorang dapat melakukan apapun yang dilakukan orang dengan tipe A tanpa harus merasa bermusuhan, agresif, tidak sabar atau merasa terancam (Goliszek, 2005). Kepribadian tipe AB dapat mencapai setiap yang diinginkan sekaligus mempertahankan ketenangan diri dan bersikap rileks adalah sesuatu hal yang dapat kita pelajari.
Menurut Robbins (2003) untuk mengukur kepribadian menggunakan model lima besar. Model ini menggambarkan lima faktor kepribadian. Lima faktor tersebut yaitu : 1.
Ekstroversi Mencakup tingkat kesenangan seseorang akan hubungan. Orang- orang ekstrovet cenderung suka berkelompok, tegas dan mampu bersosialisasi. Kaum introvert cenderung pendiam, pemalu dan tenang.
2. Kemampuan untuk bersepakat Kecenderungan individu untuk tunduk ke yang lain. Orang-orang yang berkemampuan tinggi untuk bersepakat bersifat kooperatif, hangat dan percaya.
3. Kemampuan untuk mendengarkan suara hati Merupakan ukuran dari keandalan. Orang yang sangat peka terhadap suara hati bersifat bertanggungjawab, terorganisir, dapat dipercaya, dan gigih.
4. Stabilitas emosi Stabilitas emosi ini membuka jalan bagi kemampuan seseorang untuk bertahan terhadap stress. Orang dengan stabilitas emosi yang positif cenderung tenang, percaya diri, dan merasa aman.
4. Keterbukaan terhadap pengalaman Mengukur kisaran minat dan kekaguman individu terhadap hal baru.
Orang yang secara ekstrem terbuka adalah orang yang kreatif, ingin tahu, dan secara artistik sensitive.
C. Perawat 1.
Pengertian Definisi tentang perawat dari beberapa sumber sebagaimana terdapat, antara lain: a.
Menurut International Council Of Nursing dalam Ali (2002), Perawat adalah seorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, penegakan penyakit serta pelayanan terhadap pasien.
b.
Menurut Taylor C. Lilis dalam Ali (2002), Perawat adalah seorang yang berperan dalam merawat dan membantu seorang dengan melindunginya dari sakit, luka dan proses perawatan.
c.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
HK.02.02/MENKES/148/1/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, definisi perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai denganperaturanperundang-undangan.
d.
Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Perawat profesional adalah tenaga keperawatan yang berasal dari jenjang pendidikan tinggi keperawatan (Ahli Madya, Ners, Ners Spesialis, Ners konsultan).
2. Perawat kritis Menurut American Association of Colleges Nursing (AACN)
(2006), perawat kritis adalah seorang perawat profesional berlisensi yang bertanggungjawab terhadap pasien kritis dan keluarganya untuk memperoleh perawatan yang optimal.
3. Peran perawat kritis Peran perawat kritis ada beberapa macam, diantaranya pemberi pelayanan perawatan, pendidik, peneliti dan perawat spesialis klinis
(AACN, 2006). Menurut Buku Uraian Tugas Dan Wewenang Perawat Di ruang Intensif RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo (2003), tugas perawat kritis adalah sebagai berikut: a.
Melaksanankan serah terima tugas setiap pergantian tugas.
b.
Menerima pasien baru sesuai ketentuan yang berlaku.
c.
Mengkaji kebutuhan pasien, menyusun pelayanan asuhan keperawatan intensif, memberikan tindakan asuhan keperawatan Intensif sesuai prosedur, dan menilai proses pelayanan asuhan keperawatan Intensif.
d.
Memonitor kondisi pasien, penatalaksanaan spesifik, sistem bantuan tubuh dan penunjang – penunjangnya.
e.
Menyiapkan pasien yang akan pindah ruangan, rujuk, atau pulang paksa serta menyelesaikan pasien meninggal dunia.
f.
Menciptakan suasana kerja kondusif.
g.
Memberikan pelayanan konseling keluarga.
h.
Melaksanakan peran advokasi perawat keperawatan Intensif. i.
Mengikuti pertemuan baik bersifat berkala maupun insidentil, ilmiah yang diadakan oleh kepala ruang perawatan Intensif. j.
Melaksanakan pencatatan dan pelaporan asuhan keperawatan.
4. Ruang Perawatan Intensif
Menurut Depkes (2003), ruang perawatan Intensif adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah, dengan peralatan khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera, atau penyulit- penyulit yang mengancam jiwa atau potensial mengancam jiwa dengan prognosis dubia.
Kemampuan minimal yang harus dimilik suatu ruang perawatan Intensif menurut Depkes RI (2003), adalah : resusitasi jantung paru; pengelolaan jalan nafas; terapi Oxigen; pemantauan ECG, oximetri terus- menerus; pemberian nutrisi enteral dan parenteral; pemeriksaan laborat khusus dengan cepat dan menyeluruh; pelaksanaan terapi titrasi; kemampuan melaksanakan tehnik khusus sesuai dengan kondisi pasien; memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat-alat portable selama transportasi pasien gawat; serta kemampuan fisiotherapi dada.
D. Kerangka Teori
Peningkatan kebutuhan akan tenaga kerja perawat yang handal merupakan kebutuhan mendesak yang dialami instansi rumah sakit, baik swasta maupun pemerintah.salah satu pelayanan sentral di rumah sakit adalah
bagian Intensive Care Unit (ICU), dimana perawat yang dibutuhkan pada pelayanan ICU merupakan sumber daya tenaga terlatih yang sangat spesifik (Hanafie, 2007). Perawat ICU adalah perawat yang melakukan perawatan khusus terhadap masalah-masalah yang mengancam nyawa. Seorang perawat
ICU adalah seorang perawat professional berlisensi yang bertanggungjawab untuk memastikan bahwa pasien dengan sakit akut atau sakit kritis beserta keluarganya menerima perawatan yang optimal sesuai standar (American
Association of Critical Care Nurses , 2008). Dinamika perawat ICU yang
kompleks dan kondisi pasien kritis tersebut yang sering memicu terjadinya stress kerja di ruang ICU (Hudak & Gallo, 2010).
Stress kerja merupakan suatu tekanan yang tidak dapat ditoleransi oleh individu baik yang bersumber dari dalam dirinya (fisik dan psikis individu) maupun dari luar dirinya (kondisi pekerjaan, stres karena peran, faktor interpersonal, perkembangan karir, struktur organisasi, serta tampilan rumah dan pekerjaan) (As’ad, 1999). Salah satu factor yang bersumber pada psikis adalah tipe kepribadian. Tipe Kepribadian merupakan pola perilaku perawat dalam menghadapi dan menerima kondisi dan beban kerja yang ada. Dimana tipe kepribadian ada 3 jenis yaitu tipe A, tipe AB, dan tipe B. Pada tipe kepribadian yang sangat mempengaruhi terjadinya stres adalah kepribadian tipe A karena memiliki perilaku lebih mudah stres, sedangkan kepribadian tipe B lebih tahan terhadap stres dan kepribadian tipe AB merupakan orang yang memiliki perilaku sebagian tipeA dan sebagian tipe B sehingga lebih mudah dalam beradaptasi tergantung mana yang lebih dominan (Goliszek, 2005).
Berasarkan uraian di atas dapat digambarkan kerangka teori sebagai berikut: Ruang
ICU Perawat Stres Kerja
ICU Perawat
Tipe Kepribadian
Faktor-faktor lain: a. fisik b. psikis c. kondisi pekerjaan d. peran e. interpersonal f. perkembangan karir g. struktur organisasi h. tampilan rumah dan pekerjaan
Gambar 2.1. Kerangka Teori (Berdasarkan teori As’ad, 1999; Cooper dalam Rice,1999) E.
Kerangka Konsep
Tipe Stres Kerja Kepribadian Perawat
Gambar 2.2. Kerangka KonsepF. Hipotesis
Ada hubungan tipe kepribadian dengan stress kerja perawat Ruang ICU RSUD Margono Soekarjo Purwokerto.