BAB II LANDASAN TEORI A. STRESS KERJA 1. Definisi Stress Kerja - Tingkat Stres Kerja Ditinjau Dari Beban Kerja Pada Air Traffic Controller (ATC)

BAB II LANDASAN TEORI A. STRESS KERJA

1. Definisi Stress Kerja

  Stress adalah respon adaptif terhadap suatu situasi yang dianggap sebagai tantangan atau ancaman bagi well-being seseorang (Defrank & Ivancevich, 1998 dalam McShane & Von Glinov, 2003). Stres dapat didefinisikan sebagai suatu situasi di mana transaksi mengarahkan seseorang untuk mempersepsikan ketidaksesuaian antara tuntutan (demand) dengan sumber dayanya (resources) (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Sarafino, 2011).

  Sehingga ketika seseorang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan suatu tuntutan tersebut, mereka akan merasa stres (Sarafino, 2011). Sedangkan menurut Sarafino (2011), stres merupakan situasi di mana tuntutan mengarahkan seseorang untuk mempersepsikan ketidaksesuaian antara tuntutan fisik dan psikologis dengan sumber daya yang dimiliki.Hampir semua orang mengalami stres yang berhubungan dengan pekerjaan mereka yang disebut sebagai stres kerja (Sarafino, 2011).

  Stres kerja adalah pengalaman stres yang berkaitan dengan pekerjaan (King, 2007). Menurut Rice (1987), stres kerja adalah karakteristik lingkungan kerja yang menjadi ancaman bagi pekerja. Grandjean (1998) mendefinisikan stres kerja sebagai suatu keadaan emosional atau mood yang merupakan hasil dari ketidaksesuaian antara tuntutan dan kemampuan seseorang untuk mengatasinya. Menurut Rogers & Cobb (dalam Wijono 2010) stres kerja merupakan ketidaksesuaian antara keahlian dan kemampuan seseorang dengan tuntutan pekerjaan. Van Harrison & Pinneau (Wijono, 2010) berpendapat bahwa stres kerja adalah karakteristik yang berasal dari lingkungan pekerjaan di mana merupakan proses ancaman bagi pekerja. Sedangkan menurut Kavaganh, Hurst dan Rose (Wijono, 2010) berpendapat bahwa stres kerja adalah ketidaksesuaian antara persepsi individu dengan kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan. Menurut Beer dan Newman (Luthans, 1998), stres kerja adalah suatu kondisi akibat interaksi antara individu dengan pekerjaan mereka, yang muncul karena adanya ketidaksesuaian karakteristik dan perubahan-perubahan yang tidak jelas dalam perusahaan.

  Smith (Wijono 2010) mengatakan bahwa stres kerja dapat ditinjau dari beberapa sudut yaitu stres kerja merupakan hasil dari keadaan tempat kerja, faktor organisasi berupa keterlibatan dalam tugas dan faktor organisasi, kemampuan melakukan tugas, waktu kerja yang berlebihan, tanggung jawab dari pekerjaannya, adanya tantangan dari tugas. Menurut Rice (1992), seseorang dapat dikategorikan mengalami stres kerja jika, urusan stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah dapat juga menjadi penyebab stres kerja. Selain itu Selye

  (Rice, 1992) menyatakan bahwa stres kerja merupakan suatu sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi tertentu dari individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.

  Jadi stres kerja dapat disimpulkan sebagai suatu keadaan yang disebabkan oleh ketidaksesuaian antara kemampuan pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang dipersepsikan pekerja di mana hal ini dipengaruhi oleh faktor- faktor yang berasal dari lingkungan kerja.

2. Simtom Stress Kerja

  Menurut Rice (1987) terdapat tiga simtom stres kerja yaitu: 1. Simtom psikologis, berupa a.

  Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah marah b.

  Perasaan frustasi, marah dan kebencian c. Emosi yang hipersensitif dan hiperaktif d.

  Perasaan tertekan e. Kurang efektif dalam komunikasi f. Menarik diri dan depresi g.

  Merasa terisolasi dan terasingkan h. Kebosanan dan ketidakpuasan kerja i. Kelelahan mental dan menurunnya fungsi intelektual j. Kehilangan konsentrasi k.

  Kehilangan spontanitas dan kreativitas l. Self esteem yang rendah

2. Simtom fisik, berupa a.

  Peningkatan denyut jantung dan tekanan darah b.

  Penyakit cardiovascular c. Peningkatan sekresi hormon adrenaline dan noradrenaline d.

  Penyakit gastrointestinal seperti maag e. Masalah pernapasan f. Peningkatan jumlah keringat g.

  Penyakit kulit h. Sakit kepala i. Kanker j. Cidera tubuh k.

  Kelelahan fisik l. Ketegangan otot m.

  Gangguan tidur n. Kematian 3. Simtom perilaku, berupa; a.

  Prokrastinasi dan menghindari pekerjaan b.

  Penurunan prestasi dan produktivitas kerja secara keseluruhan c. Meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-obatan d.

  Sabotase langsung pada pekerjaan e. Meningkatnya kunjungan ke klinik f. Makan berlebihan sebagai pelarian yang mengarah ke obesitas g.

  Tidak nafsu makan sebagai bentuk dari penarikan diri yang mungkin dikombinasikan dengan tanda-tanda depresi h.

  Kehilangan nafsu makan dan berat badan i. Peningkatan perilaku beresiko seperti mengemudi dan perjudian j. Agresi, perusakan, dan pencurian k.

  Memburuknya hubungan dengan keluarga dan teman l. Bunuh diri atau mencoba bunuh diri

3. Aspek Stres Kerja

  Ada beberapa aspek yang dapat meningkatkan stress kerja (Sarafino, 2010) yaitu: a.

  Lingkungan kerja fisik Stress meningkat ketika pekerjaan tersebut berada dalam level ekstrim seperti kebisingan, suhu, kelembaban dan penerangan yang berada pada level ekstrim (McCoys & Evans, 2005).

  b.

  Kurangnya kontrol yang dirasa Seorang pekerja merasa stres ketika mereka memiliki sedikit kesempatan untuk mempelajari keahlian baru dan membuat keputusan bagi orang lain (Fitzgeralds et.al, 2003).

  c.

  Hubungan interpersonal yang buruk Seorang pekerja mengalami stres kerja ketika teman kerja atau kliennya memperlakukan mereka secara tidak adil (Fitzgeralds et.al, 2003). d.

  Merasa tidak diakui dalam pekerjaan Pekerja merasa stres ketika mereka tidak dipromosikan padahal mereka yakin kalau mereka berhak terhadap promosi tersebut (steptoe & Ayers, 2004).

  e.

  Kehilangan pekerjaan Seseorang merasa stres ketika mereka kehilangan pekerjaan atau di PHK.

  4. Sumber Stres Kerja

  Sumber stres adalah suatu keadaan, situasi atau peristiwa yang menyebabkan stres. King (2007) berpendapat bahwa sumber utama stres kerja adalah konflik peran dan beban kerja.

  Tosi (dalam Wijono, 2010) mengungkapkan bahwa terdapat lima macam faktor yang menyebabkan stres kerja yaitu

  1. Faktor yang berkaitan dengan pekerjaan dari individu Ada beberapa tugas yang dapat menyebabkan stres kerja seperti pekerjaan yang mengancam kesehatan atau pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan beracun.

  2. Tanggung jawab individu Tanggung jawab yang lain dapat membuat stres (Cooper & Marshall, 1976; Wijono, 2010). Ketika seseorang tidak memiliki kepercayaan diri dan menganggap tidak memiliki kemampuan dalam menghadapi situasi yang menjadi tanggung jawabnya, maka individu tersebut mengalami stres kerja.

  3. Faktor organisasi Suatu organisasi dapat menyebabkan stres. Adapun ciri-ciri organisasi yang menjadi sumber stres adalah taraf perubahan organisasi, tingkat organisasi, batas peran dan keadaan yang sulit dalam organisasi.

  4. Tekanan peran Adanya ketidakjelasan dan konflik dalam peran dapat menyebabkan stres kerja. Lebih spesifik lagi, Greenberg (2002) menyatakan bahwa stres juga meningkat ketika seseorang merasa ada ketidakjelasan di dalam pekerjaannya. Misalnya terlalu banyak atau terlalu sedikitnya pekerjaan, ambiguitas peran dan ketidakjelasan tuntutan dalam pekerjaan (Schaufeli & Peeters, 2000).

  5. Kesempatan untuk terlibat dalam tugas Ketika seorang individu memiliki partisipasi yang banyak dalam mengambil keputusan maka akan mengalami stres rendah.

  Menurut Moos (dalam King, 2007) terdapat empat karakteristik pekerjaan yang menyebabkan stres kerja yaitu tuntutan tugas yang tinggi seperti beban kerja berat dan tekanan waktu; tidak memiliki kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan; kurang kejelasan mengenai kriteria kinerja; tingkat kntrol yang tinggi.

  Rollinson (2005) menyatakan terdapat 4 faktor utama penyebab stres yakni lingkungan, faktor organisasi, faktor hubungan sosial dan faktor individu itu sendiri dalam konteks organisasi.

  a.

  Faktor lingkungan Faktor lingkungan dapat berasal di luar karyawan atau organisasi yang berpotensi mengganggu karyawan atau organisasinya. berupa faktor sosial politik yang dapat berupa pemerintahan yang baru, iklim politik dan bagaimana interaksi orang-orang di sekitar; faktor teknologi karena perkembangan teknologi yang pesat sehingga karyawan sulit beradaptasi yang dapat menyebabkan stres; faktor pekerjaan dan keluarga, terjadi ketika masalah pekerjaan dibawa ke rumah oleh individu atau anggota keluarga yang lain dapat memicu munculnya stres bagi anggota keluarga yang lain (Jones & Fletcher dalam Rollinson, 2005). Selain itu adanya ambiguitas peran dengan tuntutan yang berbeda pada saat berada di tengah keluarga dan rekan kerja juga dapat menjadi salah satu faktor stres bagi seorang karyawan ( Lewis & Cooper, dalam Rollinson 2005).

  b.

  Faktor organisasi Stres juga dapat berasal dari organisasi, dimana seluruh aspek dari organisasi berpotensial membangkitkan stres pada karyawan. Adanya kebingungan peran mengenai pekerjaan, batasan kekuasaan dan ketidakpastian dalam pekerjaan dapat menjadi penyebabnya.

  c.

  Faktor sosial dalam konteks organisasi

  Stres bisa terjadi dari hasil hubungan seorang karyawan dengan atasannya. Adanya instruksi yang kurang jelas, kurangnya dukungan secara fisik maupun emosional dan kurangnya penghargaan dari atasan dapat membuat karyawan merasa bekerja di bawah tekanan (Schuller, 2002). Selain itu Argyris dalam Rollinson (2005) menyebutkan bahwa adanya yang terjadi konflik dengan rekan kerja dapat menjadi faktor stres pada karyawan, seperti kurangnya rasa saling menghargai, kurangnya rasa saling percaya dan tidak adanya simpati satu dengan yang lainnya.

  d.

  Faktor individu dalam konteks organisasi Pada faktor individu, ada beberapa faktor yang berpengaruh pada stres kerja karyawan, berupa kondisi fisik dan penyakit yang akan mempengaruhi bagaimana tubuh merespon; job design yang berkaitan dengan setting atau shift pekerjaan, di mana karyawan yang bekerja pada

  

shift malam akan merasa tekanan yang lebih tinggi karena terganggunya

  kebutuhan biologis yang harus beristirahat pada malam hari; pekerjaan dengan konsentrasi tinggi yang rentan mengalami kecemasan akibat tanggung jawab yang dipikul dan pekerjaan yang rutin sehingga menjadi terbiasa serta tidak merasa adanya tantangan dalam pekerjaan pun dapat menyebabkan stres (Makin et al dalam Rollinson, 2005).

B. BEBAN KERJA

1. Definisi Beban Kerja

  Menurut Permendagri No. 12/2008, beban kerja adalah besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan/unit organisasi dan merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma waktu (Utomo, 2008). Menurut Mempan (1997) pengertian beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu (Dhania, 2010).

  Gawron (2008) mendefinisikan beban kerja sebagai sejumlah tuntutan tugas sebagai usaha dan kegiatan atau prestasi yang dilakukan individu di dalam bekerja. Menurut Hart and Staveland (Dhania, 2010) beban kerja merupakan hubungan antara sejumlah kemampuan proses mental atau sumber daya dalam menyelesaikan suatu tugas.

  Menurut Gopher & Doncin (dalam Maya, 2012) beban kerja merupakan suatu konsep yang disebabkan adanya keterbatasan kapasitas dalam memproses informasi. Saat menghadapi suatu tugas, individu diharapkan dapat menyelesaikan tugas tersebut pada suatu tingkat tertentu. Namun ketika keterbatasan yang dimiliki individu tersebut menghambat tercapainya hasil kerja pada tingkat yang diharapkan, ini berarti telah terjadi kesenjangan antara tingkat kemampuan dan tingkat kapasitas yang dimiliki. Kesenjangan ini menyebabkan timbulnya kegagalan dalam kinerja (performance failures).

  Pengertian beban kerja dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu secara subyektif dan secara obyektif. Beban kerja secara obyektif adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas yang dilakukan. Beban kerja subyektif adalah ukuran yang dipakai seseorang terhadap pertanyaan tentang beban kerja yang diajukan, tentang perasaan kelebihan jam kerja, ukuran dan tekanan pekerjaan dan kepuasan kerja (Groenewegen & Hutten, 1991; Mike, 2011). Beban kerja subjektif merupakan bagaimana seseorang mempersepsikan beban kerja tersebut.

  Beban kerja adalah kemampuan tubuh pekerja dalam menerima pekerjaan. Dari sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang diterima seseorang harus sesuai dan seimbang terhadap kemampuan fisik maupun psikologis pekerja yang menerima beban kerja tersebut. Beban kerja dapat berupa beban kerja fisik dan beban kerja psikologis. Beban kerja fisik dapat berupa beratnya pekerjaan seperti mengangkat, merawat, mendorong.

  Sedangkan beban kerja psikologis dapat berupa sejauh mana tingkat keahlian dan prestasi kerja yang dimiliki individu dengan individu lainnya (Manuaba, 2000).

  Jadi dapat disimpulkan bahwa beban kerja adalah persepsi pekerja mengenai sekumpulan kegiatan yang harus diselesaikan pekerjaan dalam batas waktu tertentu baik berupa beban kerja fisik maupun psikologis.

2. Jenis Beban Kerja

  Menurut McShane & Von Glinov (2003), beban kerja terbagi ke dalam dua jenis yaitu a.

  Beban kerja sedikit, ketika pekerja menerima sedikit pekerjaan atau tugas yang membuatnya tidak mampu mengeluarkan kemampuan yang dimiliki secara maksimal.

  b.

  Beban kerja berlebih, ketika pekerja menerima kelebihan beban kerja.

  Sedangkan menurut Berry (1998) beban kerja berlebih dan beban kerja sedikit dapat dideskripsikan ke dalam bentuk kuantitatif dan kualitatif: a.

  Beban berlebih kuantitatif yaitu pekerjaan yang terlalu banyak untuk dikerjakan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah desakan waktu di mana tugas tersebut harus diselesaikan secepat mungkin. pada saat tertentu deadline ini dapat menghasilkan motivasi dan prestasi, tetapi juga dapat menimbulkan banyak kesalahan dan mengganggu kesehatan seseorang.

  b.

  Bebab berlebih kualitatif yaitu pekerjaan yang terlalu sulit untuk dikerjakan, di mana pekerjaan ini menitikberatkan pada pekerjaan otak dan pekerjaannya semakin majemuk. Sehingga dapat menyebabkan kelelahan mental serta reaksi-reaksi emosional dan fisik c.

  Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif yaitu pekerjaan yang terlalu sedikit untuk dikerjakan. Beban terlalu sedikit dapat mengganggu kesejahteraan psikologis, di mana pekerjaan yang banyak melakukan pengulangan gerak akan menimbulkan rasa bosan dan rasa monoton yang dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian sehingga akan berbahaya jika pekerja gagal bertindak apabila terjadi keadaan yang darurat.

  d.

  Beban kerja terlalu sedikit kualitatif yaitu pekerjaan yang terlalu mudah untuk dikerjakan. Di mana pekerja tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan keterampilannya sehingga dapat menurunkan semangat dan motivasi pekerja (Sutherland & Cooper, 2000)

  Beban kerja yang terlalu berlebihan dan sedikit dapat menyebabkan stress (Munandar, 2001). Beban kerja dapat dibedakan menjadi beban kerja terlalu sedikit/banyak “kuantitatif” yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit dalam waktu tertentu dan beban kerja terlalu berlebih/sedikit “kualitatif” ketika seseorang tidak mampu melaksanakan suatu tugas atau tugas tidak menggunakan keterampilan dari tenaga kerja.

  1. Beban berlebih kuantitatif; harus melakukan terlalu banyak hal yang biasanya disebabkan oleh desakan waktu

  2. Beban terlalu sedikit kuantitatif; sedikitnya pekerjaan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang dan juga pekerjaan yang berulang dapat menimbulkan rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan sebagai sumber stres.

  3. Beban berlebihan kualitatif; adanya kemajemukan tugas yang harus diselesaikan pekerja. Stress muncul ketika mereka tidak mampu melaksanakan kemajemukan pekerjaann tersebut.

  4. Beban terlalu sedikit kualitatif; stress muncul ketika pekerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang dimiliki.

  3. Dampak dari Beban Kerja

  Beban kerja yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan stres kerja bagi karyawan baik secara fisik maupun psikis seperti sakit kepala, gangguan pencernaan (Manuaba, 2000). Tak hanya beban kerja yang terlalu berlebihan, beban kerja yang terlalu sedikit juga dapat menyebabkan stres kerja (McShane & Glinov, 2003). Seperti pengulangan gerak yang menimbulkan kebosanan bagi karyawan (Manuaba, 2000).

C. AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC)

  Air Traffic Controller atau yang disebut sebagai pemandu lalu lintas udara

  merupakan pekerja yang bertanggung jawab terhadap rute pesawat, menghindari tabrakan di udara, menggunakan radar untuk melacak posisi pesawat yang tepat, menjaga keamanan di wilayah udara yang menjadi tanggung jawabnya dan memberikan rute yang paling efisien bagi penerbangan (AGCAS, 2012).

  Tugas dari Air Traffic Controller adalah menginstruksi dan memberi informasi pada pilot melalui radio untuk menjaga agar penerbangan menjadi nyaman, efisien dan tepat waktu (NATS, 2013). Selain itu tugas Pemandu Lalu Lintas Udara (ATC/Air Traffic Controller) yang tercantum di dalam Annex 2 (Rules of the Air) dan Annex 11 (Air Traffic Services) Konvensi Chicago 1944 adalah mencegah tabrakan antar pesawat, mencegah tabrakan pesawat dengan penghalang penerbangan, mengatur arus lalu lintas udara yang aman, cepat dan teratur kepada pesawat terbang, baik yang berada di ground atau yang sedang terbang / melintas dengan menggunakan jalur yang telah ditentukan (Pustekkom, 2007).

  Menurut Mulyadi Abdi, Deputy Senior General Manager PT. Angkasa Pura II Bandara Soekarno Hatta, menyebutkan terdapat empat tingkatan petugas ATC yaitu junior air traffic control, senior air traffic control, radar controller dan supervisor ATC (Handrini, 2013; kompasiana.com). Adapun tugas dari masing-masing tingkatan sebagai berikut: 1.

  Junior air traffic control, yaitu pengawas pada unit aerodrome control

  service atau tower control bertugas untuk memandu pesawat yang bergerak di

  kawasan bandara dan pergerakan pesawat saat berada di ruang udara bandara dengan ketinggian maksimal 2.500 kaki.

  2. Senior air traffic control, yaitu pengawas unit approach control service yang bertugas melayani lalu lintas penerbangan dari tinggal landas menuju jalur penerbangan en-route yang direncanakan atau dari tahapan en-route menuju pendaratan di bandara. Pesawat yang masuk ke dalam pengawasan layanan

  approach control berada pda ketinggian di atas 2.500 kaki – 24.500 kaki.

  Dalam pengawasan ini, petugas ATC berada di suatu ruangan dengan memakai peralatan yang ada tanpa melihat landasan.

  3. Radar controller, yaitu pengawas di unit area control service bagian sistem radar yang bertugas mengawasi pesawat yang berada di ketinggian lebih dari 24.500 kaki.

4. Supevisor ATC yang bertugas memimpim kegiatan pemandu lalu lintas penerbangan di dalam ATC.

D. TINGKAT STRES KERJA DITINJAU DARI BEBAN KERJA PADA

AIR TRAFFIC CONTROLLER

  Dalam bekerja hampir setiap orang mempunyai stres yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Salah satu pekerjaan yang memiliki stres kerja tinggi adalah Air Traffic Controller (ATC). Hal ini sejalan dengan pendapat Mohler (1983), seorang Air Traffic Controller (ATC) memiliki pengalaman yang tinggi terhadap stres di tempat kerja (Berry, 1998). Selye (dalam Rice, 1992) menyatakan bahwa stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa gejala pada fisiologis, psikologis, dan perilaku.

  Adapun gejala yang ditimbulkan oleh stres kerja dapat dilihat dari berbagai faktor yang menunjukkan perubahan berupa; perubahan fisiologis, ditandai dengan adanya gejala-gejala berupa gangguan tidur, ketegangan otot, kelelahan fisik, sakit kepala; perubahan psikologis, ditandai dengan kecemasan yang terus-menerus, perasaan tertekan,perasaan frustasi dan marah, menarik diri dan depresi, kehilangan konsentrasi, kebosanan dan ketidakpuasan kerja; Perubahan perilaku, ditandai dengan prokrastinasi, penggunaan obat-obatan dan alkohol, agresi, memburuknya hubungan dengan keluarga (Rice, 1987). Hal ini didukung dengan penelitian terhadap ATC, di mana satu per tiga dari sample mengalami hipertensi, setengahnya mengalami masalah psikis, dan setengahnya menjadi seorang peminum (Rose, Jenkins, & Hurst, 1978; Berry, 1998) yang merupakan gejala dari stress kerja.

  Ada beberapa sumber stres kerja, di mana salah satunya merupakan beban kerja. Menurut King (2007), beban kerja merupakan salah satu sumber stres kerja selalin konflik peran. Sarafino (2011) juga berpendapat bahwa tuntutan berupa tugas-tugas dapat menyebabkan stres kerja bagi individu. Adapun tuntutan tersebut berupa jenis dari pekerjaan itu sendiri dan beban kerja (Sarafino, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Shouksmith & Burrough (1988; Berry, 1998) di Selandia Baru dan Kanada mengenai ATC, diperolah bahwa sampel memdeskripsikan penyebab dari stres berupa peralatan yang minim, ketakutan adanya kecelakaan, lingkungan kerja yang minim, dan beban kerja yang tinggi selama puncak lalu lintas udara (Berry, 1998).

  Beban kerja yang dirasakan setiap pekerja berbeda-beda tergantung persepsi dari masing-masing pekerja. Beban kerja yang terlalu berlebihan dan terlalu sedikit dapat menyebabkan stress kerja (Munandar, 2001). Beban kerja dapat dibedakan menjadi beban kerja terlalu sedikit/banyak “kuantitatif” yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit dalam waktu tertentu dan beban kerja terlalu berlebih/sedikit “kualitatif” ketika seseorang tidak mampu melaksanakan suatu tugas atau tugas tidak menggunakan keterampilan dari tenaga kerja. Menurut A.S. Munandar (2001:381; Lesmana, 2010) beban kerja berlebih merupakan salah satu faktor timbulnya stres kerja. Stres yang terjadi pada ATC dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat akibat dari kelalaian ATC itu sendiri (Lesmana, 2010).

E. HIPOTESA

  Berdasarkan pemaparan diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “ada perbedaan tingkat stres kerja ditinjau dari beban kerja pada Air Traffic Controller

Dokumen yang terkait

Tingkat Stres Kerja Ditinjau Dari Beban Kerja Pada Air Traffic Controller (ATC)

19 154 103

WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara Faktor Penyebab Kelelahan dan Stres Kerja Terhadap Personel Air Traffic Controller (ATC) di Bandar Udara “X”

1 0 16

BAB I LANDASAN TEORI A. Stres Kerja A.1. Definisi Stres Kerja - Pengaruh Tuntutan Kerja dan Hubungan Atasan -Bawahan terhadap Stres Kerja

0 2 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perbedaan Stres Kerja Ditinjau Dari Sistem Kerja Shift Pada Perawat RSUPH Adam Malik Medan

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN - Perbedaan Stres Kerja Ditinjau Dari Sistem Kerja Shift Pada Perawat RSUPH Adam Malik Medan

0 0 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Moril Kerja - Perbedaan Moril Kerja Ditinjau Dari Shift Kerja Pagi Dan Malam Pada Karyawan PT.PLN (Persero) Operator Gardu Di Kota Medan

0 1 14

BAB II LANDASAN TEORI A. Employee Engagement 1. Definisi Employee Engagement - Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

0 1 20

BAB II LANDASAN TEORI A. Keterikatan Kerja 1. Definisi Keterikatan Kerja - Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis terhadap Keterikatan Kerja Karyawan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero): (The Influence of Quality of Work Life and Psycho

0 0 25

BAB II LANDASAN TEORI A. STRES KERJA 1. Definisi Stres Kerja - Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Stres Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Kanwil Kementrian Agama Medan

0 2 14

BAB II LANDASAN TEORI - Stres Kerja pada Karyawan PT. X yang Mengalami Decline Stage

0 0 24