BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FORMULASI SEDIAAN LULUR KRIM ANTIOKSIDAN EKSTRAK BIJI KOPI HIJAU ARABIKA (Coffea arabica, L.) SERTA UJI SIFAT FISIKNYA - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan

  sebelumnya. Fidrianny et al (2016) melakukan penelitian tentang aktivitas antioksidan ekstrak biji kopi hijau arabika terhadap DPPH. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak etanol biji kopi hijau arabika mempunyai aktivitas antioksidan ditunjukkan dengan nilai IC

  50

  sebesar 0,7 – 134,56 µg/ml.

  B. Landasan Teori 1. Tinjauan Umum Biji Kopi Hijau Arabika a. Klasifikasi Gambar 2.1. Coffea arabica, L.

  Kopi Arabika merupakan tanaman perdu tahun yang secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Sub kingdom : Trachebionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Coffea Species : Coffea arabica L.

  (Rahardjo, 2012)

b. Morfologi Tanaman

  Tanaman kopi Arabika merupakan jenis tanaman berkeping dua (dikotil) dan memiliki akar tunggang. Pada akar tunggang, ada beberapa akar kecil yang tumbuh ke samping (melebar) yang sering disebut akar lateral. Pada akar lateral ini terdapat akar rambut, bulu – bulu akar, dan tudung akar (Panggabean, 2011).

  Kopi Arabika merupakan jenis kopi tertua yang dikenal dan dibudidayakan di dunia dengan varietas-varietasnya. Kopi Arabika menghendaki iklim subtropik dengan bulan-bulan kering untuk pembungaannya. Di Indonesia, tanaman kopi Arabika cocok dikembangkan di daerah-daerah dengan ketinggian antara 800-1500 m di atas permukaan laut (mdpl) dan dengan suhu rata-rata 15-24ºC. Pada suhu 25ºC, kegiatan fotosintesis tumbuhannya akan menurun dan akan berpengaruh langsung pada hasil kebun. Mengingat belum banyak jenis kopi Arabika yang tahan akan penyakit karat daun, dianjurkan penanaman kopi Arabika tidak di daerah-daerah di bawah ketinggian 800 mdpl (Sihombing,2011).

  Menurut Hiwot (2011), kopi Arabika merupakan tanaman berbentuk semak tegak atau pohon kecil yang memiliki tinggi 5 m sampai 6 m dan memiliki diameter 7 cm saat tingginya setinggi dada orang dewasa. Selain itu, kopi Arabika memiliki warna kulit abu - abu, tipis, dan menjadi pecah - pecah dan kasar ketika tua. Daun kopi Arabika berwarna hijau gelap dan dengan lapisan lilin mengkilap. Daun ini memiliki panjang empat hingga enam inci dan juga berbentuk oval atau lonjong. Daun kopi Arabika juga merupakan daun sederhana dengan tangkai yang pendek dengan masa pakai daun kopi Arabika adalah kurang dari satu tahun.

  Menurut Budiman (2012), bunga kopi Arabika memiliki mahkota yang berukuran kecil, kelopak bunga berwarna hijau, dan pangkalnya menutupi bakal buah yang mengandung dua bakal biji. Benang sari pada bunga ini terdiri dari 5

  • – 7 tangkai yang berukuran pendek. Kopi Arabika umumnya akan mulai berbunga setelah berumur ± 2 tahun, buah tanaman kopi terdiri atas daging buah dan biji. Daging buah terdiri atas tiga lapisan, yaitu kulit luar (eksokarp), lapisan daging (mesokarp) dan lapisan kulit tanduk (endokarp) yang tipis tapi keras. Buah kopi umumnya mengandung dua butir biji, tetapi kadang
  • – kadang hanya mengandung satu butir atau bahkan tidak berbiji (hampa) sama sekali.

  Keunggulan dari kopi arabika itu sendiri antara lain bijinya berukuran besar, beraroma harum, dan memiliki cita rasa yang enak, tetapi kelemahannya rentan terhadap penyakit karat daun/HV (Hemelia vastatrix) (Anggara dan Marini, 2011).

c. Kandungan Kimia Kopi jenis arabika memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi.

  Menurut (Nicoli et al., (1997); Del et al., (2002); dan Nebesny (2003)) salah satunya pada biji kopi hijau arabika, banyak senyawa yang terkandung dalam biji kopi hijau arabika yang berperan sebagai antioksidan diantaranya adalah asam clorogenik, asam ferulat, asam kafeat, asam n-kumarat, kafein, trigonelina, dan antioksidan volatil berupa furan dan pirol (Alexander et al, 2013). Polifenol merupakan senyawa kimia yang bekerja sebagai antioksidan kuat di dalam kopi (Almada 2009, dan Lelyana 2008). Kadar polifenol pada biji kopi arabika bervariasi antara 6 - 7 %, sedangkan pada robusta sekitar 10 % (Septianus, 2011).

2. Ekstraksi

  Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi menjadi 3 yaitu, simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral (Depkes RI, 1989).

  Simplisia yang disari mengandung zat aktif yang dapat larut dan zat aktif yang tidak larut seperti serat, karbohidrat dan protein. Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara penyari dengan bahan yang mengandung zat tertentu (Depkes RI, 1986).

  Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1986). Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tetentu dan menggunakan medium pengekstraksi (menstrum) yang tertentu pula (Agoes, 2007). Berdasarkan sifatnya ekstrak dibedakan menjadi 4 (Voigt, 1995) yaitu :

  a. Ekstrak encer (extractum tenue) Sediaan ini memiliki konsistensi semacam madu dan dapat dituang. Pada saat ini ekstrak encer sudah tidak terpakai lagi.

  b. Ekstrak kental (extractum spissum) Sediaan ini liat (kuat) dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30%.

  c. Ekstrak kering (extractum siccum) Sediaan ini memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan.

  Melalui penguapan cairan pengekstraksi dan pengeringan sisanya akan terbentuk suatu produk, yang sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%.

  d. Ekstrak cair (extractum fluidum) Dalam hal ini diartikan sebagai ekstrak cair, yang dibuat sedemikian rupa sehingga satu bagian simplisia sesuai dengan dua bagian (kadang-kadang juga satu bagian) ekstrak cair.

  Ekstraksi adalah suatu proses menarik kandungan kimia yang dapat larut dengan pelarut yang sesuai. Dengan mengetahui senyawa aktif yang dikandung oleh simplisia maka akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

  Macam

  • –macam metode ekstraksi antara lain :

  1. Maserasi Maserasi adalah penyarian dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Digunakan untuk menyari zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengembang dalam penyari. Contoh cairan penyari yaitu air, etanol, air-etanol (Depkes RI, 2000).

  2. Infudasi Infundasi adalah proses penyarian yang digunakan untuk menyari zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Infundasi dilakukan dengan cara menambahkan serbuk dengan air secukupnya dalam penangas air selama 15 menit yang dihitung mulai suhu di dalam panci mencapai 90 °C sambil sesekali diaduk, infus disaring sewaktu masih panas dengan menggunakan kain flanel. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan jamur (Depkes RI, 1986).

  3. Sokhletasi Sokhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 1986).

  4. Perkolasi Istilah perkolasi berasal dari bahasa Latin per yang artinya melalui dan yang artinya merembes, secara umum dapat dinyatakan sebagai

  colare

  proses dimana obat yang sudah halus diekstraksi dalam pelarut yang cocok dengan cara melewatkan perlahan-lahan melalui obat dalam suatu kolom. Obat yang dimampatkan dalam alat ekstraksi khusus yang disebut perkolator, dan ekstrak yang telah dikumpulkan disebut perkolat (Ansel, 1989).

3. Krim

  Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, krim adalah sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatifnya cair diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini, batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau disperse mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol yang berantai panjang dalam air yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika (Depkes RI, 1995).

  Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe krim ada 2 yaitu: krim tipe air dalam minyak (A/M) dan krim minyak dalam air (M/A). Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumya berupa surfaktan-surfaktan anionik, kationik dan nonionik (Anief, 2008).

  Sifat umum sediaan semi padat terutama krim ini adalah mampu melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama sebelum sediaan ini dicuci atau dihilangkan. Krim yang digunakan sebagai obat umumnya digunakan untuk mengatasi penyakit kulit seperti jamur, infeksi ataupun sebagai anti radang yang disebabkan oleh berbagai jenis penyakit (Anwar, 2012). Krim merupakan sistem emulsi sediaan semipadat dengan penampilan tidak jernih, berbeda dengan salep yang tembus cahaya. Konsistensi dan sifatnya tergantung pada jenis emulsinya, apakah jenis air dalam minyak atau minyak dalam air (Lachman et al., 1994).

  Krim terdiri dari emulsi minyak dalam air sehingga dapat dicuci dengan air serta lebih ditujukan untuk pemakaian kosmetik dan estetika. Krim digolongkan menjadi dua tipe, yakni: 1. Tipe A/M, yakni air terdispersi dalam minyak. Contohnya cold cream.

  Cold cream adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk memberi rasa dingin dan nyaman pada kulit.

  2. Tipe M/A, yakni minyak terdispersi dalam air. Contohnya, vanishing

  cream. Vanishing cream adalah sediaan kosmetik yang digunakan

  untuk membersihkan, melembabkan dan sebagai alas bedak (Widodo, 2013).

4. Lulur krim Lulur krim adalah perawatan tubuh dengan menggunakan lulur.

  Produk lulur berupa krim yang mengandung butiran

  • – butiran kasar di dalamnya. Bahan alami yang dapat digunakan sebagai bahan lulur antara lain bengkoang, beras giling kasar, belimbing, jeruk nipis, pepaya, bunga- bungaan, daun-daunan, biji cokelat, kopi dan kedelai (Tranggono & Latifah, 2007).

  Lulur krim bertujuan untuk mengangkat sel-sel kulit mati, kotoran dan membuka pori-pori sehingga dapat bernapas serta kulit menjadi lebih cerah dan putih. Sekarang ini begitu banyak jenis lulur yang beredar di masyarakat dengan berbagai khasiat dimulai dari menghaluskan kulit, meremajakan kulit hingga memutihkan kulit (Ery, 2012). Manfaat yang dapat diperoleh luluran adalah mencerahkan kulit tubuh, mengencangkan kulit, menghilangkan penyakit kulit, menghilangkan bau badan dan menenangkan syaraf dan pikiran (Gumpita, 2013). Pemakaian lulur memerlukan waktu jadi tidak langsung terlihat hasilnya, butuh proses panjang untuk mencerahkan kulit badan. Segi keamanan, lulur tradisional sangat terjamin dibandingkan dengan produk lulur pemutih produk industri (Suya, 2009).

  Selain itu, lulur krim juga berfungsi mengangkat sel kulit mati di permukaan kulit tubuh yang kasar dan kusam, selain itu juga berfungsi membantu mempercepat pergantian sel-sel kulit tubuh yang baru, bersih dan sehat. Lulur adalah perawatan yang dilakukan oleh terapis dengan cara menggerakan telapak tangan memutar sambil mengusap permukaan kulit yang sudah diberi produk lulur. Perawatan ini dapat dilanjutkan dengan perawatan body masker. Perawatan ini diakhiri dengan bath terapy, dan pengolesan lotion, body cream atau body butter untuk memaksimalkan hasil perawatan (Tranggono & Latifah, 2007).

  Luluran adalah aktivitas menghilangkan kotoran, minyak atau kulit mati yang dilakukan dengan pijatan diseluruh badan. Hasilnya dapat langsung terlihat, kulit lebih halus, kencang, harum, dan sehat bercahaya (Fauzi & Nurmalina, 2012). Melakukan perawatan lulur dapat membantu kita untuk menyehatkan dan merawat kulit agar tidak terlihat gelap,selalu bersih, halus dan cerah (Darwati, 2003). Menurut Achroni (2012), dengan menggunakan lulur maka sel kulit mati yang menumpuk di permukaan kulit akan terangkat sehingga kulit tidak terlihat gelap, bersih, halus dan cerah.

5. Uraian bahan

  a. Lemak kakao (Lemak coklat) Lemak coklat adalah lemak coklat padat yang diperoleh dengan pemerasan panas biji Theobroma cacao L, yang telah dikupas dan dipanggang. Pemerian lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatik, rasa khas lemak, agak rapuh. Kelarutan sukar larut dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam kloroform P, dalam eter P dan

  o o

  dalam eter minyak tanah P. Suhu lebur 31 sampai 34

  C. Khasiat dan kegunaannya sebagai zat tambahan (Depkes RI, 1979).

  b. Minyak zaitun Minyak zaitun adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan dingin biji masak Olea europaea L. Pemerian cairan, kuning pucat atau kuning kehijauan, bau lemak, bau tengik, rasa khas, pada suhu rendah sebagian atau seluruhnya membeku. Kelarutan sukar larut dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam kloroform P, dalam eter P, dan dalam eter minyak tanah P. Khasiat dan kegunaan sebagai zat tambahan (Depkes RI, 1979).

  c. Setil alkohol Setil alkohol dalam krim digunakan sebagai bahan pengemulsi dan bahan pengeras dalam sediaan topical (krim). Setil alkohol dapat meningkatkan viskositas krim dan meningkatkan kestabilan sediaan pada emulsi minyak dalam air dengan mengkombinasikannya dengan emulgator yang larut dalam air. Sebagai bahan pengeras, konsentrasi umum yang digunakan adalah 2-10 % dan sebagai bahan pengemulsi digunakan konsentrasi 2-5%. Bahan ini sangat mudah larut dalam etanol 95% dan eter. Kelarutannya akan meningkat jika suhunya dinaikkan. Titik lelehnya adalah 45-52% (American Pharmaceutical Association, 2001).

  d. Asam stearat Asam stearat merupakan asam lemak jenuh yang digunakan untuk formulasi oral dan topikal dalam sediaan farmasi. Asam stearat digunakan sebagai bahan pengemulsi pada sediaan topikal. Kelarutan mudah larut dalam benzena, kloroform, eter, dan etanol 95% serta tidak larut dalam air (Rowe et al., 2009).

  e. Propil paraben Propil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C

10 H

  12 O 3 . Pemerian serbuk hablur putih, tidak

  berbau, tidak berasa. Kelarutan sangat sukar larut dalam air, larut dalam 3,5 bagian etanol (95%) P, dalam 3 bagian aseton P, dalam 140 bagian gliserol P dan dalam 40 bagian minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Khasiat dan kegunaan sebagai zat pengawet (Depkes RI, 1979).

  f. Propilenglikol Pemerian cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis, higroskopik. Kelarutan dapat campur dengan air, dengan etanol (95%) P, dan dengan kloroform P, larut dalam 6 bagian eter P, tidak dapat campur dengan eter minyak tanah P, dan dengan minyak lemak. Jarak didih pada suhu 185 C sampai 189 C tersuling tidak kurang dari 95,0 % v/v. Khasiat dan kegunaan sebagai zat tambahan, juga sebagai pelarut (Depkes RI, 1979).

  g. Metil paraben Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C

  8 H

  8 O

  3. Pemerian serbuk hablur halus, putih,

  hamper tidak berbau, tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal. Kelarutan larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dan dalam 3,5 bagian etanol (95%) P, dan dalam 3 bagian aseton P, mudah larut dalam eter P, dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60 bagian gliserol P panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih. Suhu lebur 125 C sampai 128 C. Kegunaan dan khasiat sebagai zat tambahan juga sebagai zat pengawet (Depkes RI, 1979).

  h. Tepung/Pati Beras (Amylum oryzae) Pati beras adalah pati yang diperoleh dari biji Oryza sativa L.

  Pemerian serbuk sangat halus, putih, tidak berbau, tidak berasa. Kelarutan : keasaman-kebasaan (Depkes RI, 1979). i. Trietanolamin (TEA)

  Pemerian berupa cairan kental bening atau berwarna kuning pucat, jernih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, bersifat higroskopis. Bahan ini mudah larut dalam air, metanol dan aseton. Titik lebur antara 20-21°C. Bahan ini berfungsi sebagai pengemulsi dan pengatur pH pada sediaan topikal (Rowe., et al, 2009). j. Aqua destilata (Air suling) Air suling dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum.

  Pemerian cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa. BM 18,02. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik (Depkes RI, 1979). k. Vitamin C

  Pemerian berupa serbuk atau hablur, putih atau agak kuning, tidak berbau, rasa asam. Vitamin C bisa menjadi gelap karena pengaruh cahaya. Vitamin C mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%), praktis tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam benzen (Depkes RI, 1979).

6. Radikal Bebas

  Para ahli biokomia menyebutkan bahwa radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan (Winarsi, 2007). Radikal bebas yang ada pada tubuh dapat mengalami serangkaian reaksi yang berlangsung terus menerus hingga radikal bebas hilang dari dalam tubuh. Hilangnya radikal bebas dari dalam tubuh dikarenakan bereaksi dengan radikal bebas lain sehingga menjadi suatu senyawa yang stabil, atau hilangnya bisa juga karena sistem kerja antioksidan (Winarsi, 2007).

  Menurut Winarsi (2007), tahap-tahap reaksi radikal bebas adalah sebagai berikut :

  1. Tahap Inisiasi Merupakan tahap yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas.

  Misalnya :

   Fe + H

  2 O

  2 Fe + OH + .OH Cl-Cl  Cl. + Cl.

  2. Propagasi Yaitu perpanjangan radikal bebas, radikal yang terbentuk pada tahap ini mengawali sederetan reaksi yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas baru. Reaksi-reaksi ini disebut tahap propagasi. Jumlah berulangnya tahap propagasi disebut rantai panjang (chain length).

  R

  2 -H + R 1 . R 2 . + R 1 -H

  R -H + R . R . + R -H

  3

  2

  

3

  2

  3. Terminasi Tahap terminasi yaitu tahap bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkal radikal, sehingga potensi propagasinya rendah. Tahap terminasi digambarkan sebagai berikut :

  R

  1 . + R 1 . R 1 -R

  1 R 2 . + R 1 . R 2 -R

  1 R . + R . R -R

  2

  2

  

2

  2 Radikal bebas dapat menyebabkan penyakit, misalnya penuaan

  dini. Pada umumnya semua sel jaringan organ tubuh dapat menangkal serangan radikal bebas karena di dalam sel terdapat sejenis enzim khusus yang mampu melawannya, tetapi karena manusia secara alami mengalami degradasi atau kemunduran seiring dengan peningkatan usia, akibatnya pemunahan radikal bebas tidak dapat terpenuhi dengan baik, maka akan terjadi kerusakan jaringan secara perlahan-lahan. Misalnya kulit menjadi keriput karena kehilangan elastisitas jaringan kolagen serta otot. Untuk mencegah hal ini diperlukan antioksidan yang mampu menetralisir radikal bebas atau mencegah terbentuknya radikal bebas dalam tubuh (Kustanto, 2009).

7. Antioksidan

  Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi, 2007).

  Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibedakan menjadi tiga kelompok (Winarsi, 2007), yaitu :

  1. Antioksidan primer Antioksidan primer disebut juga dengan antioksidan endogenus dan antioksidan dan antioksidan enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Enzim-enzim tersebut menghambat pembentukkan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai (polimerasi), kemudian mengubahnya ke produk yang lebih stabil.

  2. Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau non-enzimatis. Antioksidan kelompok ini disebut juga pertahanan preventif. Dimana terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara dirusak pembentukannya. Mekanisme kerjanya adalah memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan menyapu radikal bebas tersebut (free radical

  ).

  scavenger

  3. Antioksidan tersier Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA- repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekular yang rusak akibat reaktifitas radikal bebas.

  Antioksidan meredam radikal bebas dengan memberikan satu atau lebih elektronnya pada radikal bebas sehingga menjadi molekul normal kembali. DPPH digunakan sebagai model radikal bebas. Radikal bebas DPPH akan ditangkap oleh senyawa flavonoid. Flavonoid akan dioksidasi oleh radikal bebas DPPH menghasilkan bentuk radikal yang lebih stabil, yaitu radikal dengan kereaktifan rendah. Flavonoid mendonorkan atom hidrogen dari cincin aromatiknya untuk mengurangi radikal bebas yang bersifat toksik. Reaksi ini menghasilkan senyawa radikal baru yang stabil dan DPP-Hidrazin

  (Mun’im et al., 2009).

Gambar 2.2 . Donasi proton dari antioksidan ke radikal DPPH (Mun’im et al., 2009) 8. Uji Penangkapan Radikal Bebas Dengan Metode DPPH (1,1- Diphenyl-2-Picrylhydrazyl)

  Metode yang paling sering digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan tanaman obat adalah metode uji dengan menggunakan radikal bebas DPPH. Tujuan metode ini adalah mengetahui parameter konsentrasi yang ekuivalen memberikan 50 % efek aktivitas antioksidan (IC ). Hal ini dapat dicapai dengan cara menginterpretasikan data

  50 eksperimental dari metode tersebut.

Gambar 2.3. Rumus bangun DPPH

  DPPH merupakan radikal bebas yang dapat bereaksi dengan senyawa yang dapat mendonorkan atom hidrogen, dapat berguna untuk pengujian aktivitas antioksidan komponen tertentu dalam suatu ekstrak. Karena adanya elektron yang tidak berpasangan, DPPH memberikan serapan kuat pada 517 nm. Ketika elektronnya menjadi berpasangan oleh keberadaan penangkap radikal bebas, maka absorbansinya menurun secara stokiometri sesuai jumlah elektron yang diambil. Keberadaan senyawa antioksidan dapat mengubah warna larutan DPPH dari ungu menjadi kuning (Dehpour, et al, 2009). Perubahan absorbansi akibat reaksi ini telah digunakan secara luas untuk menguji kemampuan beberapa molekul sebagai penangkap radikal bebas. Metode DPPH merupakan metode yang mudah, cepat dan sensitif untuk pengujian aktivitas antioksidan senyawa tertentu atau ekstrak tanaman (Koleva, et

  al , 2002 dan Prakash, et al, 2010).

  Setiap molekul yang dapat menyumbangkan elektron atau hidrogen akan bereaksi dan memudarkan DPPH. Intensitas warna DPPH akan berubah dari ungu menjadi kuning oleh elektron yang berasal dari senyawa penangkap radikal bebas (Nihlati et al., 2011). DPPH (1,1- difenil-2-pikrilhidrazil) merupakan radikal bebas, jadi metode DPPH digunakan secara luas untuk menguji kemampuan senyawa yang berperan sebagai pendonor elektron atau hidrogen (Prakash,2001).

Tabel 2.1. Tingkat kekuatan antioksidan dengan metode DPPH Intensitas Nilai IC 50 (ppm)

  Sangak aktif < 50 Aktif 50-100

  Sedang 101-250 Lemah 250-500

  (Sumber : Jun, et al., 2006) 9.

   Spektrofotometri Ultraviolet Visibel

  Spektrofotometri adalah metode untuk analisis baik kuantitatif maupun kualitatif. Prinsip dari pembacaan spektrofotometri adalah jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Suatu senyawa dapat dideteksi dengan spektrofotometri adalah jika mempunyai gugus kromofor, yaitu merupakan semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak. Senyawa kompleks akan mempunyai serapan pada panjang gelombang yang lebih panjang karena energi radiasi yang dibutuhkan oleh senyawa tersebut lebih kecil dan akan terbaca pada panjang gelombang yang lebih panjang. Oleh karena itu, senyawa kompleks terbaca pada panjang gelombang sinar tampak (Gandjar & Rohman, 2007).

  Prinsip penentuan spektrofotometri UV-Vis adalah aplikasi hu kum “Lambert-Beer” yang menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Sudjadi, 2007).

  A = a.b.c

  Keterangan : A = absorbansi sampel a = absorptivitas b = tebal kuvet c = konsentrasi sampel

  Dalam hukum Lamber-Beer berlaku syarat (Gandjar & Rohman, 2007) sebagai berikut : 1. Sinar yang digunakan dianggap monokromatis.

  2. Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang luas yang sama.

  3. Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut.

  4. Tidak terjadi peristiwa fluorosensi atau fosforisensi.

  5. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan.

  Panjang gelombang yang digunakan dalam analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk pemilihan panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu, kurva tersebut disebut sebagai kurva baku (Gandjar & Rohman, 2007).

  Spektrofotometri serapan adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati monokromatik yang diserap zat. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang gelombang 190-380 nm) atau pada daerah sinar tampak (panjang gelombang 380-780 nm). Meskipun spektrum pada daerah ultraviolet dan daerah cahaya tampak dari suatu zat yang tidak khas, tetapi sangat cocok untuk penetapan kuantitatif, dan untuk beberapa zat berguna untuk membantu identifikasi (Depkes RI, 1979).

  Instrumen yang digunakan menurut Gandjar dan Rohman (2007) untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut “spektrometer” atau spektrofotometer. Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:

  1. Sumber-sumber lampu Lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190-350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten di gunakan untuk daerah visibel (pada panjang gelombang antara 350-900 nm).

  2. Monokromator Digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam komponen- komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan intrumen melewati spektrum.

  3. Optik-optik Dapat didesain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam spektrofotometer berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan dalam satu kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi.

  4. Sel absorpsi (kuvet), pada pengukuran di daerah tampak kuvet kaca atau kuvet kaca corex dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah UV kita harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Umumnya tebal kuvetnya adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder juga dapat digunakan. Kita harus menggunakan kuvet yang tertutup untuk pelarut organik. Sel yang baik adalah kuarsa dan gelas hasil leburan serta seragam keseluruhannya (Underwood, 2002).

  5. Detektor, peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang (Underwood, 2002).

C. KERANGKA KONSEP

  Biji kopi hijau arabika diekstraksi Metode Sokhletasi

  Lulur krim ekstrak etanol biji kopi hijau arabika Antioksidan

  Ekstrak kental yang mengandung senyawa fenolik Uji sifat fisik Pengujian aktivitas penangkapan radikal bebas terhadap DPPH

  Lulur krim antioksidan yang memenuhi persyaratan Pengujian aktivitas penangkapan radikal bebas terhadap DPPH ekstrak etanol biji kopi hijau arabika

  Menggunakan Menghasilkan

  Yang berkhasiat sebagai Diformulasi

  Menghasilkan

Gambar 2.4. Kerangka Konsep D.

   HIPOTESIS

  Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

  1. Biji kopi hijau arabika dapat diformulasikan menjadi sediaan lulur krim yang memiliki persyaratan fisik yang baik.

  2. Sediaan lulur krim biji kopi hijau arabika memiliki aktivitas penangkapan radikal bebas terhadap DPPH.

Dokumen yang terkait

OPTIMASI SEDIAAN KRIM EKSTRAK KERING ETANOL BIJI KOPI ROBUSTA (Coffea canephora L.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN dengan BASIS VANISHING CREAM

8 51 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FORMULASI SEDIAAN KRIM EKSTRAK ETANOL DAUN KEMANGI DAN AKTIVITASNYA TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa - repository perpustakaan

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ketombe 1. Definisi - FORMULASI SHAMPO ANTIKETOMBE EKSTRAK TEH HITAM DAN TEH HIJAU SERTA UJI AKTIVITASNYA TERHADAP Pityrosporum ovale - repository perpustakaan

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FORMULASI SEDIAAN KRIM ANTI ACNE DARI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI TERHADAP Staphylococcus epidermidis DAN Propionibacterium acnes - repository perpustakaan

0 2 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - DAYA TABIR SURYA DAN ANTIOKSIDAN FORMULA KRIM EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.) DAN DAUN TEH (Camellia sinensis L.) - repository perpustakaan

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu - UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN UJI TOKSISITAS AKUT DERMAL SEDIAAN SABUN CAIR WAJAH ANTIJERAWAT EKSTRAK ETANOL BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) - repository perpustakaan

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FORMULASI, SIFAT FISIK, STABILITAS DAN AKTIVITAS TABIR SURYA KRIM EKSTRAK ETANOL TONGKOL JAGUNG MERAH (Zea mays L.) - repository perpustakaan

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FORMULASI SEDIAAN KRIM TABIR SURYA EKSTRAK DAUN SIRSAK(Annona muricata L.) DAN UJI AKTIVITAS PERLINDUNGAN SINAR UV SECARA IN VITRO - repository perpustakaan

0 0 16

FORMULASI SEDIAAN KRIM TABIR SURYA EKSTRAK DAUN SIRSAK(Annona muricata L.) DAN UJI AKTIVITAS PERLINDUNGAN SINAR UV SECARA IN VITRO - repository perpustakaan

4 15 7

FORMULASI SEDIAAN LULUR KRIM ANTIOKSIDAN EKSTRAK BIJI KOPI HIJAU ARABIKA (Coffea arabica, L.) SERTA UJI SIFAT FISIKNYA - repository perpustakaan

1 3 19