BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN - Prasasti Pradnya Dewantara BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar

  prostat yang dapat menyebabkan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli(Basuki B Purnomo,2008).

  Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran progresif dari

  kelenjar prostat , bersifat jinak disebabkan oleh hypertrophi beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika (Arif mutakin dan kumala sari,2011).

  Hiperplasia prostat jinak (BPH)adalah pembesanan prostat yang

  jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2008).

  BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria.

  (Smeltzer dan Bare, 2007).

  Kesimpulan dari beberapa pengertian BPH diatas adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker yang memanjang ke atas ke dalam kandung

  9 kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra disebabkan oleh penuaan.

B. ETIOLOGI

  Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan (Purnomo , 2007).

  Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :

  1. Dihydrotestosteron Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .

  2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.

  3. Interaksi stroma

  • – epitel Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.

  4. Berkurangnya sel yang mati Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

  5. Teori sel stem Menerangkan bahwa terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stoma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Basuki B Purnomo,2008).

C. TANDA DAN GEJALA

  Obstruki prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih (Arora P. Et al,2006).

  1. Gejala iritatif meliputi :

  a. Peningkatan frekuensi berkemih

  b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)

  c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)

  d. Nyeri pada saat miksi (disuria)

  2. Gejala obstruktif meliputi :

  a. Pancaran urin melemah

  b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik c. Kalau mau miksi harus menunggu lama

  d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih

  e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus

  f. Urin terus menetes setelah berkemih

  g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia karena penumpukan berlebih. h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.

  3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.

  Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :

  a. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari

  b. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.

  c. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

  D. ANATOMI Gambar 2.1. Sistem Reproduksi Pria.

Gambar 2.2. Pembesaran ProstatGambar 3.3. Kelenjar Prostat (Muyad, 2009).

E. FISIOLOGI

  1. Testis Testis dibentuk di dalam abdomen fetus kira-kira 28 minggu kehidupan intrauteri, dan turun ke dalam scrotum dan ditopang oleh funiculus spermaticus sebelum lahir. Kegagalan testis untuk turun disebut cryporchismus, dan keadaan ini merupakan penyebab sterilitas pada pria, karena produksi sperma memerlukan suhu yang lebih rendah daripada suhu tubuh normal.

  Testes baru akan berfungsi penuh sampai ada rangsangan oleh glandula pituitaria anterior pada saat pubertas. (Syaifuddin. 2006).

  2. Epididimis Epididymis merupakan pipa halus yang berkelok-kelok, masing-masing panjangnya 6 meter, yang menghubungkan testis dengan vas deferens. Tubulus tadi mempunyai epitel bercilia yang melapisi bagian dalam guna membantu spermatozoa bergerak menuju vas deferens. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perjalanan sperma dari testis ke luar tubuh melalui sistem saluran.

  Dalam rangka (proksimal distal) saluran acessory adalah epididimis, duktus deferens, saluran ejakulasi, dan uretra.

  (Verrals, Sylvia. 2011).

  3. Vas Deferens Vas deferens berbentuk tabung yang masing-masing panjangnya 45 cm, yang mengangkut spermatozoa dari epididymis ke urethra pars prostatica. Tidak seperti epididymis, vas deferens tidak mempunyai pelapis epitel bercilia karena sekresi vesicula seminalis dan prostat merupakan medium untuk membantu pengangkutan spermatozoa. Spermatozoa disimpan di dalam vas deferens, disini terjadi pemasakan dan peningkatan motilitasnya (Evelyn C, 2009).

  4. Vesikel Seminalis Sepanjang vesikel seminalis, yang merupakan kantong terkonvusi (berkelok-kelok) yang bermuara ke dalam duktus ejaculator menghasilkan secret berupa cairan kental dan basa yang kaya akan fruktosa yang berfungsi untuk melindungi dan memberi nutrisi sperma, yang meningkatkan pH ejakulat dan mengandung prostaglandin yang menyebabkan gerakn spermatozoa lebih cepat, sehingga lebih cepat sampi ke tuba fallopi. Setengah lebih sekresi vesik seminalis dalah semen (Wibowo, 2012).

  5. Kelenjar Prostat Prostat merupakan bangunan yang berbentuk kerucut yang panjangnya 4 cm, lebarnya 3 cm dan tebalnya 2 cm dengan berat kira-kira 8 gram. Prostat mengelilingi bagian atas urethra dan terletak dalam hubungan langsung dengan cervix vesicae urinaria.

  Prostattersusun atas jaringan kelenjar dan serabut-serabut otot involunter dan bereda di dalam kapsul fibrosa (Wibowo, 2012). Prostat adalah kelenjar berbentuk donat tunggal seukuran lubang persik. Ini mengelilingi tentang uretra hanya kalah dengan kandung kemih. Tertutup oleh kapsul jaringan conective tebal, terdiri dari 20- 30 senyawa kelenjar tubuloalveolar diembed dalam massa (stroma) dari otot polos dan jaringan ikat padat (Wibowo, 2012).

  6. Glandula Bulbourethtalis (Cowper) Kelenjar bulbouretral (cowper) adalah sepasang kelenjar yang ukuran dan bentuknya menyerupai kacang polong. Kelenjar ini mensekresi cairan basa yang mengandung mucus kedalam uretra penis untuk melumasi dan melindungi serta ditambahkan pada semen (spermatozoa+secret) (Wibowo, 2012).

  7. Skrotum Adalah kantong longgar yang tersusun atas kulit, fasia, dan otot polos yang membungkus dan menopang testis di luar tubuh yang pada suhu optimum untuk produksi spermatozoa. Ada otot dartos yaitu suatu lapisan serat dalam fasia dasar yang berkontraksi untuk membentuk kerutan pada kulit scrotal sebagai respon terhadap udara dingin atau eksitasi seksual. Ada dua kantong scrotal, yang setiap scrotal berisis satu testis tunggal yang dipisahkan oleh septum internal (Verrals, Sylvia. 2011).

  8. Penis Penis adalah organ yang berfungsi untuk tempat keluar urine, semen serta sebagian organ kopulasi. Untuk sebagian besar waktunya, penis tergantung linglai antara kedua paha, tergantung ke bawah di depan scrotum. Penis memanjang pada ujung distalnya membentuk bangunan seperti buah jati Belanda, yang disebut glans penis (Verrals, sylvia. 2011)

  9. Corpora Cavernosa Corpora cavernosa adalah dua ruangan yang mengisi sebagian besar penis. Ruang

  • – ruang ini terisi jaringan spons yang mencakup otot, ruang terbuka, pembuluh darah dan arteri. Ereksi terjadi ketika corpora cavernosa terisi dengan darah dan berkembang.Ereksi ini mengancangkan pembuluh darah sehingga darah terjebak dan tidak bisa meninggalkan penis, memungkinkan penis untuk tetap tegak selama beberapa menit. Setelah ejakulasi terjadi atau jika gairah seks memudar, proses detumescence terjadi, di mana otak akan mengurimkan sinyal yang memungkinkan darah meninggalkan penis, akibatnya penis menjadi lemas kembali (Verrals, Sylvia. 2011).

  10. Selaput Albugin Adalah sebuah membran yang mengelilingi corpora cavernosa. Membran ini berfungsi untuk menjaga darah tetap berada di dalam penis selama ereksi terjadi (Verrals, Sylvia. 2011).

  11. Uretra Uretra adalah tabung yang menjadi saluran tempat urin keluar. Proses ejakulasi juga melalui uretra. Letaknya menyusun batang penis di bawah corpora cavernosa dan melebar pada ujung uretra yang disebut meatus. Meatus terletak di glans (kepala penis) (Verrals, Sylvia. 2011).

  12. Corpus Spongiosum Corpus spongiosum adalah salah satu bagian anatomi penis ruang yang engelilingi uretra. Ruangan ini menjadi penuh dengan darah selama ereksi (Verrals, Sylvia. 2011).

  13. Glans (kepala penis) Kepala penis berbentuk seperti kerucut. Kepala penis sangat sensitif dan biasanya tertutup oleh kulup kecuali pada penis yang ereksi. Kepala penis memiliki beberapa fungsi yaitu meningkatkan peluang untuk pembuahan telur, menciptakan gesekan saat berhubungan seks, dan bertindak sebagai penumbuk atau penekan di dalam vagina selama hubungan seksual (Verrals, Sylvia. 2011).

  14. Kulup Kulup adalah selubung kulit yang dapat terbuka di bagian atas. Saat bayi, kulup sangat ketat dan biasanya tidak bisa ditarik.

  Kulup akan mengandur setelah usia bayi bertambah. Saat ereksi, kulup penis akan tertarik sepenuhnya sehingga menampakkan kepala penis secara polos. Kulit kepala penis sangat sensitif, dan fungsi dari kulup adalah untuk melindunginya (Verrals, Sylvia. 2011).

  15. Frenulum Organ anatomi ini adalah salah satu area yang sangat sensitif pada penis, lokasinya terletak di bagian bawah glans

  (kepala penis) (Verrals, Sylvia. 2011).

  16. Smegma Yaitu cairan pelumas alami yang dikeluarkan untuk membuat penis tetap lembab. Smegma ditemukan di bawah kulup penis (Verrals, Sylvia. 2011).

F. PATOFISIOLOGI

  Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan.

  Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada prostat.

  Teori-teori tentang terjadinya BPH :

  1. Teori Dehidrosteron (DHT) Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrosteron (DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel yang menyebabkan inskripsi pada

  RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesa protein. (Mitchell, 2009).

  2. Teori hormon Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami hiperplasia yamg disebabkan oleh sekresi androgen yang berkurang, estrogen bertambah relatif atau aabsolut. Estrogen berperan pada kemunculan dan perkembangan hiperplasi prostat.

  3. Faktor interaksi stroma dan epitel Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast growth factor ( -FGF) dapat menstimulasi sel stroma

  

  dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase.  -FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi dan infeksi.

  4. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berploriferasi dan membentuk jaringan prostat.

  Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

  Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :

  a. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema yang terjadi pada prostat yang membesar.

  b. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.

  c. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi.

  Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.

  d. Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.

  e. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur. f. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter, g. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.

  h. Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah submukosa pada prostat yang membesar. i. Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal. j. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme infektif. k. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis. l. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia dan hemoroid.

  Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul

  fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Baradero, dkk 2007).

  Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih

  (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria (Purnomo, 2011).

  Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik 16 menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

  1. Urinalisa Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik (Wibowo, 2012).

  Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml

  2. Pemeriksaan darah lengkap Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.Pemeriksaan darah mencakup Hb(normal), leukosit(normal), eritrosit(normal), hitung jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit(normal), BUN, kreatinin serum (Wibowo, 2012).

  3. Pemeriksaan radiologis Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal. BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin (Wibowo, 2012).

H. KOMPLIKASI

  Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal (Wibowo, 2012).

  Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harusmengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Wibowo, 2012).

I. PENATALAKSANAAN UMUM

  Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat.

  Jenis pengobatan pada BPH antara lain :

  1. Observasi (watchfull waiting) Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan.

  Nasehat yang diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur.

  2. Terapi medikamentosa

  a. Penghambat adrenergik  (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.

  b. Penghambat enzim 5- -reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.

  3. Terapi bedah

  a. TURP (Transurethral resection of the prostate) adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.

  TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus- menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika .

  (Anonim,FK UI,2005).

  Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar (Mitchell, 2009).

  TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.

  b. TUIP (Transurethral incision of the prostate) Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gram/kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya. c. Prostatektomi terbuka Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi.

  Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu : Retensi urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, tanda obstruksi berat seperti hidrokel, ada batu saluran kemih.

J. PATHWAY

  Perubahan usia Ketidakseimbangan produksi esterogen dan testosterone

  Kadar testeron menurun kadar testosterone meningkat Mempengaruhi DNA dalam inti sel hyperplasia sel stoma pada jaringan prostat

  Proliferasi sel prostat BPH

  Obstruksi saluran kemih yang bermuara ke vesika urinaria Retensi urin

  Prosedur pembedahan pre op post op kurang informasi tentang operasi kemungkinan operasi

  

Kurangnya

Cemas/ansietas pengetahuan

  luka operasi aktifitas terganggu

  Intoleransi aktivitas Nyeri Akut Resiko infeksi

  (Mulyadi. 2009)

K. FOKUS INTERVENSI KEPERAWATAN 1. PRE OP

  a. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses bedah.

  Tujuan : pasien tampak rileks. Kriteria Hasil : NOC :

  anxiety self control anxiety level coping

  1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas.

  2) Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas.

  3) Vital sign dalam batas normal. 4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan.

  Intervensi : NIC :

  Anxiety reduction

  1) Gunakan pendekatan yang menenangkan 2) Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien

  3) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur 4) Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis 5) Identifikasi tingkat kecemasan 6) Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan 7) Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi 8) Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi 9) Barikan obat untuk mengurangi kecemasan

  b. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi Tujuan : pengetahuan pasien bertamabah NOC :

  Kowlwdge : disease process Kowledge : health Behavior Kriteria Hasil :

  1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan.

  2) Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar.

  3) Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya.

  NIC :

  Teaching : disease Process

  1) Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik.

  2) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat. 3) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat.

  4) Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat. 5) Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat. 6) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat.

  7) Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat.

2. Post operasi

  a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP).

  Tujuan : nyeri berkurang/hilang NOC :

  Pain Level, Pain control, Comfort level Kriteria Hasil :

  1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan). 2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri.

  3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri).

  4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang. 5) Tanda vital dalam rentang normal. NIC :

  Pain Management

  1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.

  2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan. 3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien.

  4) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.

  5) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal).

  6) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi. 7) Ajarkan tentang teknik non farmakologi. 8) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri. 9) Tingkatkan istirahat. 10) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil.

  b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan Tujuan : agar tidak terjadi infeksi NOC :

  Immune Status Knowledge : Infection control Risk control

  Kriteria Hasil :

  1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 2) Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya, 3) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 4) Jumlah leukosit dalam batas normal 5) Menunjukkan perilaku hidup sehat

  NIC : Infection Control (Kontrol infeksi)

  1) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain 2) Pertahankan teknik isolasi 3) Batasi pengunjung bila perlu 4) Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien 5) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawtan 6) Tingktkan intake nutrisi

7) Berikan terapi antibiotik bila perlu

  c. Intoleransi aktifitas berhubungn dengan hambatan fisik Tujuan : agar aktifitas normal NOC :

  1) Energy conservation 2) Self Care : ADLs

   Kriteria Hasil :

  1) Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR 2) Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri

  NIC :

  Energy Management

  1) Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas 2) Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat 3) Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan 4) Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien 5) Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan 6) Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek 7) Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang 8) Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas.