EVALUASI PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BERDASARKAN ASPEK TATA KELOLA KELEMBAGAAN DAN TATA KELOLA USAHA DI HKm SENGGIGI KABUPATEN LOMBOK BARAT SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Kehutanan PUTRI RAHMAH DIANTI

  

EVALUASI PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN

BERDASARKAN ASPEK TATA KELOLA KELEMBAGAAN

DAN TATA KELOLA USAHA DI HKm SENGGIGI

KABUPATEN LOMBOK BARAT

  

SKRIPSI

PUTRI RAHMAH DIANTI

NIM. C1L 013 072

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

UNIVERSITAS MATARAM

2017

  

EVALUASI PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN

BERDASARKAN ASPEK TATA KELOLA KELEMBAGAAN

DAN TATA KELOLA USAHA DI HKm SENGGIGI

KABUPATEN LOMBOK BARAT

  

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Kehutanan

PUTRI RAHMAH DIANTI

  

NIM. C1L 013 072

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

UNIVERSITAS MATARAM

2017

HALAMAN PERNYATAAN

  Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Putri Rahmah Dianti NIM : C1L 013 072 Judul Skripsi : Evaluasi Pengelolaan Hutan

  Kemasyarakatan Berdasarkan Aspek Tata Kelola Kelembagaan dan Tata Kelola Usaha di HKm Senggigi Kabupaten Lombok Barat.

  Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini sepenuhnya hasil karya sendiri dan saya tidak melakukan plagiat atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Jika terdapat karya orang lain, saya akan mencantumkannya dalam daftar pustaka. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini merupakan dan sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku di perguruan tinggi ini. Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar tanpa paksaan dari pihak manapun.

  Mataram, Juli 2017 Yang Membuat Pernyataan Putri Rahmah Dianti

  NIM. C1L 013 072

HALAMAN PERUNTUKKAN

  Karya ilmiah ini kutujukan kepada Bapak dan Mama tercinta,

Saudara dan Keponakanku tersayang.

  

RINGKASAN

  DIANTI, Program Studi Kehutanan Universitas Mataram, 2017. Evaluasi Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan berdasarkan Aspek Tata Kelola Kelembagaan dan Tata Kelola Usaha di HKm Senggigi Kabupaten Lombok Barat dibawah bimbingan Dr. Ir. Markum, M.Sc. dan Indriyatno, S.Hut., MP.

  Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Keberadaan HKm diharapakan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja pengelolaan HKm berdasarkan aspek tata kelola kelembagaan dan usaha serta faktor pendukung dan penghambat pengelolaan HKm.

  Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2017 di HKm Senggigi Kabupaten Lombok Barat. Responden berjumlah 23 orang yang diperoleh menggunakan metode kuota sampling dan purposive

  

sampling, dan dianalisis dengan metode deskriptif. Hasil penelitian

  menunjukkan bahwa (1) Evaluasi pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKm) Senggigi berdasarkan aspek tata kelola kelembagaan dan tata kelola usaha memperoleh nilai sejumlah 392,39 dan masuk ke dalam kriteria baik. (2) Faktor pendukung pengelolaan HKm Senggigi yang paling mendominasi antara lain adanya IUPHKm dan sebagai sumber pendapatan utama. Sedangkan faktor penghambat pengelolaan HKm Senggigi yang paling mendominasi antara lain tidak adanya dukungan pemerintah terkait pemasaran HHBK serta adanya gangguan satwa liar.

  

Kata kunci: Evaluasi, Hutan Kemasyarakatan (HKm), Tata Kelola

Kelembagaan dan Usaha.

  

ABSTRACT

  Dianti. Forestry Studies Mataram University, 2017. Evaluation of Community Forestry Management based on Aspects of Institutional and Business in Senggigi, West Lombok Regency under the guidance of Dr.

  Ir. Markum., M.Sc. and Indriyatno., S.Hut., MP. Community Forestry (CF) is a state-owned forest with a main purpose of empowering the local people. The existence of CF is expected to improve the welfare of the community, especially the people who live around the forest area. This study aims to determine the performance of CF management based on the aspects of institutional and business governance as well as supporting and inhibiting factors of CF management. The study was conducted in March until April 2017 in Senggigi, West Lombok regency. Respondents amounting to 23 people were obtained using the method of sampling quota and purposive sampling, and analyzed by descriptive method. The results showed that (1) The evaluation of community forest management of Senggigi based on the aspects of institutional governance and business governance received a score of 392.39 which falls within the Good criteria. (2)Dominant supporting factors of Senggigi management include: the existence of Business Forest Management Permit and main sources of income. While the dominant inhibiting factors of Senggigi management include absence of government support relating to the socialisation of Non-Timber Forest Products, as well as wildlife disruption.

  

Key words: Community Forest, Evaluation, Instutional and business.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur atas kehadirat Allah Subhaanahu wa Ta’aala yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Evaluasi Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan berdasarkan Aspek Tata Kelola Kelembagaan dan Tata Kelola Usaha di HKm Senggigi Kabupaten Lombok Barat”. Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan, bimbingan dan dukungan baik moril maupun materiil serta saran-saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

  1. Bapak Dr. Ir. Markum M.Sc dan Bapak Indriyatno S.Hut., M.P. selaku Dosen Pembimbing Pertama dan Pembimbing Kedua yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dari persiapan dan pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi.

  2. Ibu Febriana Tri Wulandari S.Hut., MP selaku Dosen Penguji.

  3. Ketua Program Studi Kehutanan beserta staf yang telah memberikan bantuan guna kelancaran penulis selama menempuh perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

  4. Bapak dan mama tercinta, saudara dan keponakan tersayang, serta dae dan yaya terbaik, yang telah banyak memberikan kasih sayang, dukungan dan do’anya selama ini. Semoga segala bantuan mereka mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

  5. Rekan-rekan Forester 2013 serta semua pihak yang telah memberikan dukungan serta semangat sejak awal perkuliahan hingga akhir penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan, akan tetapi penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi peneliti serta pembaca yang berminat mengkaji masalah yang sama.

  Mataram, Juli 2017 Putri Rahmah Dianti

  

DAFTAR ISI

Halaman

  15

  14

  3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

  14

  3.3 Bahan dan Alat

  14

  3.4 Sasaran Penelitian

  14

  3.5 Jenis dan Sumber Data

  14

  3.6 Variabel Penelitian

  15

  3.7 Teknik Pengumpulan Data

  3.8 Penentuan Responden

  14

  15

  3.9 Analisis Data

  16

  4. HASIL DAN PEMBAHASAN

  18

  4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

  18

  4.2 Gambaran Umum Responden

  20

  4.3 Hasil Evaluasi

  22

  4.6 Faktor pendukung dan penghambat pengelolaan HKm Senggigi 34

  4.5 Temuan penting terkait instrumen evaluasi pengelolaan HKm

  3.1 Metode Penelitian

  3. METODOLOGI PENELITIAN

  HALAMAN JUDUL i

  1.3 Tujuan Penelitian

  HALAMAN PERNYATAAN ii HALAMAN PENGESAHAN iii HALAMAN PERUNTUKKAN iv RINGKASAN v

  KATA PENGANTAR vi

  DAFTAR ISI vii

  DAFTAR TABEL ix

  DAFTAR GAMBAR x

  DAFTAR LAMPIRAN xi

  1. PENDAHULUAN

  1

  1.1 Latar Belakang

  1

  1.2 Rumusan Masalah

  5

  5

  12

  1.4 Manfaat Penelitian

  6

  2. TINJAUAN PUSTAKA

  7

  2.1 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)

  7

  2.2 Hutan Kemasyarakatan (HKm)

  8

  2.3 Masyarakat Desa Hutan dan Kelompok Tani Hutan

  10

  2.4 Kelembagaan

  12

  2.5 Evaluasi

  40

  5. KESIMPULAN DAN SARAN

  41

  5.1 Kesimpulan

  41

  4.2 Saran

  41 DAFTAR PUSTAKA

  42 LAMPIRAN

  

DAFTAR TABEL

  8. Hasil Analisa Data variabel Keberhasilan Kelembagaan

  14. Faktor penghambat pengelolaan HKm Senggigi

  34

  13. Faktor pendukung pengelolaan HKm Senggigi

  33

  12. Penilaian kinerja pengelolaan HKm Senggigi

  32

  11. Hasil analisa data aspek tata kelola usaha

  30

  10. Hasil Analisa Data Variabel Pemberdayaan Masyarakat

  28

  9. Hasil Analisa Data Variabel Kewajiban Lain

  26

  25

  No. Judul Halaman

  7. Anggota Kelompok HKm GAPOKTAN Mertesari

  23

  6. Hasil Analisa Data Variabel Perencanaan

  19

  5. Kelas Kelerengan HKm Senggigi

  19

  4. Jenis Tanah di Lahan HKm Senggigi

  18

  3. Peruntukkan Lahan di Desa Senggigi

  17

  2. Kriteria dan Kategori Nilai Evaluasi HKm Senggigi

  16

  1. Jumlah Anggota GAPOKTAN Mertesari

  37

  

DAFTAR GAMBAR

  No. Judul Halaman

  1. Umur Responden

  20

  2. Jenis Kelamin Responden

  21

  3. Pekerjaan Responden

  21

  4. Status Responden

  22

DAFTAR LAMPIRAN

  57

  65

  10. Analisis Data Penilaian Kriteria dan Indikator Evaluasi Pengelolaan HKm Senggigi Berdasarkan Aspek Tata Kelola Kelembagaan Dan Usaha

  61

  9 Dokumentasi Penelitian

  60

  8 Peta Blok Kerja IUPHKm Senggigi

  59

  7 Nama Responden dan Status Keanggotaan

  No Judul Halaman

  1 Penilaian Skoring Per Variabel Penelitian

  55

  5 Skor Tabulasi Variabel Pemberdayaan Masyarakat

  54

  4 Skor Tabulasi Variabel Kewajiban Lain

  52

  3 Skor Tabulasi Variabel Keberhasilan Kelembagaan

  51

  2 Skor Tabulasi Variabel Perencanaan

  45

  6 Skor Tabulasi Variabel Tata Kelola Usaha

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Deforestasi dan degradasi hutan masih menjadi masalah krusial yang dihadapi oleh sektor kehutanan saat ini. Laju deforestai dari tahun 2013 hingga 2014 di Indonesia ialah 0,4 juta ha/tahun (KEMENLHK, 2015). Banyak faktor yang memicu terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, diantaranya adalah kondisi sosial masyarakat sekitar kawasan hutan yang relatif masih rendah, masih terbatasnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan, konflik tenurial yang sering berujung pada perebutan lahan, serta tidak seimbangnya permintaan dan persediaan kayu yang berpengaruh terhadap perkembangan industri perkayuan nasional (Hakim et al. 2010). Melalui hal ini dapat kita ketahui bahwa sektor kehutanan Indonesia memerlukan sebuah reformasi dalam pembangunan kehutanan Indonesia agar permasalahan-permasalahan tersebut dapat teratasi. Perhatian pemerintah terhadap pengelolaan hutan di Indonesia pada kenyataanya sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat melalui banyaknya peraturan serta kebijakan yang dikeluarkan setiap tahun terkait pembangunan sektor kehutanan Indonesia. Melihat kondisi sektor kehutanan Indonesia yang semakin memprihatinkan, pemerintah Indonesia mengambil langkah baru dalam sistem pembangunan kehutanan Indonesia dengan tujuan untuk memperbaiki sektor kehutanan Indonesia. Pemerintah menyadari peran masyarakat dalam pengelolaan hutan sungguh besar sehingga pemerintah memutuskan memilih perhutanan sosial sebagai salah satu alternatif untuk menghadapi persoalan yang ada disektor kehutanan Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hakim et al. (2010) bahwa perhutanan sosial merupakan salah satu program yang dimiliki oleh Kementerian kehutanan dalam rangka kegiatan pemberdayaan masyarakat yang memiliki tujuan untuk mengubah prinsip pembangunan kehutanan Indonesia dari timber based forest management menjadi community based forest management.

  Bentuk pengelolaan hutan sebelumnya telah dijabarkan ke dalam serangkaian peraturan menteri yang mengakomodir pengelolaan hutan oleh masyarakat seperti yang diamanatkan dalam PP 6 Tahun 2007 Jo. PP 3 Tahun 2008. Dalam rangka mendukung implementasi dari PP 6 Tahun 2007 Jo. PP 3 Tahun 2008 tersebut maka terbitlah Permenhut No. P. 37/Menhut-II/2007 yang telah direvisi menjadi P. 52/Menhut- II/2011 tentang revisi ketiga terkait pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan, revisi ketiga ini khusus mengenai Pasal 8 terkait peran UPT Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Pehutanan Sosial dalam pengajuan HKm (Rahmina et al. 2012) dan revisi terakhir pada Permen LHK No.

  83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang perhutanan sosial. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara pengelola hutan dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu bentuk program perhutanan sosial yang telah berkembang dalam konteks pengelolaan hutan Indonesia serta telah mengikuti proses dan dinamika kehidupan masyarakat dan kelembagaan pedesaan pada tingkat lapang (Hakim et al. 2010). PP No.6/2007 menyebutkan bentuk dari PHBM terbagi menjadi beberapa jenis diantaranya Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK).

  FKKM (2015) dalam Sudarsono (2016) menyatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mentargetkan 12,7 juta ha perhutanan sosial, meliputi HKm, HD, HTR, dan HD pada 2014- 2019. Target luasan perhutanan sosial itu belum termasuk Kemitraan Kehutanan. Target minimal perhutanan sosial adalah seluas 12,7 juta ha di areal hutan lindung, produksi terbatas dan produksi tetap. Hingga 2015, luas Penetapan Area Kerja (PAK) dan Ijin HKm, HD dan HTR mencapai 1,382,956.09 ha. Sementara area kerja yang sudah mendapat ijin usaha pemanfaatan baru seluas 308,433 ha. Dengan demikian luas PAK masih tersisa 840.287,09 ha.

  Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat, dengan sasaran adalah kawasan hutan lindung dan hutan produksi; belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan; menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat sert a ijin diberikan kepada “Kelompok Masyarakat

  Setempat” (Rahmina et al. 2012). Salah satu propinsi yang telah melaksanakan praktik HKm adalah propinsi Nusa Tenggara Barat. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) termasuk daerah yang aktif mengusulkan Penetapan Areal Kerja (PAK) untuk Hutan Kemasyarakatan (HKm). Data yang ada di Kemenhut (2014) dalam Markum et al. (2015), menunjukkan bahwa NTB telah mendapatkan penetapan areal kerja (PAK) seluas 24.601,5 ha, dan dari luas tersebut, sebesar 34,59% sudah ditindaklanjuti dengan penerbitan Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) oleh Bupati. Keberadaan IUPHKm di NTB bukan hanya atas kerjasama pemerintah dengan masyrakat semata, namun HKm secara tidak langsung menjadi tempat kolabarasi berbagai pihak untuk membangun sinergi pengelolaan HKm di NTB. Selain aktif mengusulkan PAK HKm, propinsi Nusa Tenggara Barat juga memberikan dukungan inisiasi HKm melalui penerbitan kebijakan terkait Hkm guna membangun kesepahaman dan menyatukan persepsi dan komitmen para pihak dalam penyelenggaraan HKm yang ada di propinsi Nusa Tenggara Barat, hingga tahun 2014 total 23 kebijakan daerah propinsi Nusa Tenggara Barat yang dikeluarkan terkait pengelolaan HKm. Pasang surut dalam implementasi HKm di propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Nandini (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa implentasi program HKm pada hutan lindung dan hutan produksi di pulau Lombok memang sudah memberikan dampak bagi masyarakat walaupun kontribusi yang diberikan terhadap pendapatan masyarakat oleh keberadaan HKm belum dirasa optimal. Pendapat yang berbeda diberikan oleh Markum et al. (2015), program HKm sesungguhnya telah memberikan kontribusi dalam mengurangi jumlah rumah tangga miskin di NTB. Diperkirakan, dari seluruh jumlah penduduk miskin yang berhasil dientaskan selama tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 (dari 26 % turun menjadi 17,24 %), maka minimal 8,5% dari total penurunan tersebut, atau sebanyak 29.672 penduduk miskin telah terentaskan karena kontribusi dari program HKm. Kabupaten Lombok Barat merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang memiliki kawasan hutan seluas 41.980,90, dapat dikatakan sebanyak 39,83% dari keseluruhan luasan daratan kabupaten Lombok Barat merupakan kawasan hutan (Nusa Tenggara Barat dalam Angka, 2015), dengan kondisi tersebut maka sektor kehutanan di Kabupaten Lombok Barat mempunyai peran dan posisi penting dalam pembangunan daerah. Peran strategis dari keberadaan kawasan hutan tersebut dapat dilihat dari tingginya suplay sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan irigasi maupun rumah tangga di wilayah Pulau Lombok. Selain itu, kawasan hutan juga dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan sehingga kelestarian hutan di Kabupaten Lombok Barat semestinya harus tetap dijaga dan dipelihara. Disisi lain, gagasan dan berbagai praktek pengelolaan sumberdaya hutan yang menjadi

percontohan bagi Indonesia lahir di kabupaten ini, seperti praktek pengelolaan jasa lingkungan, Praktek pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat (PHBM) maupun inisiasi pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (Ichsan et al. 2014). Hutan Kemasyarakatan (HKm) Senggigi merupakan salah satu bentuk praktik perhutanan sosial dalam pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang telah memiliki IUPHHKm seluas 226 Ha sejak tahun 2011 berdasarkan keputusan Bupati Lombok Barat No. 789/45/DIHUT/2011. Keberadaan HKm Senggigi diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada disekitar kawasan hutan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya alam. Secara tidak langsung HKm Senggigi telah menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat disekitar kawasan hutan.

  Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh hasil pengelolaan HKm Senggigi dari aspek kelembagaan dan aspek usaha. Aspek kelembagaan dan aspek usaha merupakan hal yang memegang peranan penting dalam pengelolaan HKm. Hakim et al . (2010) menyebutkan Aspek kelembagaan menjadi penting dalam rencana pemberdayaan masyarakat di dalam dan disekitar hutan sedangkan Markum et al. (2015) menyatakan Kelembagaan atau kelompok bagi masyarakat pengelola HKm di Provinsi NTB adalah sebuah perekat komunikasi dan media silaturrahmi. Hal ini terjadi karena adanya kolaborasi yang baik antar para pihak yang dimulai sejak adanya inisiasi pembentukan HKm. Aspek usaha memiliki peranan penting dalam tujuan pengelolaan HKm yang ingin mensejahterahkan masyarakat disekitar kawasan hutan yang ikut mengelola kawasan secara langsung mapun tidak langsung. Melalui kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat disekitar kawasan hutan, Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang berada disekitar kawasan hutan akan memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat. Keberadaan HKm diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat disekitar kawasan hutan sehingga masyarakat sejahtera dan hutan dapat terus lestari. Nandini (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa aspek ekonomi (usaha) masih berada dalam kategori sedang dalam pengelolaan HKm Darussadiqien Lombok hal ini karena HKm belum memberikan kontribusi yang nyata terhadap pendapatan masyarakat. Menurut peraturan menteri kehutanan No.83 Tahun 2016, HKm adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat yang izin pengelolaannya diberikan selama kurun waktu 35 tahun. Dengan kurun waktu tersebut pengelola HKm wajib melakukan monitoring pengelolaan selama satu tahun sekali serta melakukan evaluasi secara berkala selama lima tahun sekali. Kegiatan monitoring dan evaluasi ini dilakukan guna memperoleh data dan hasil sejauh mana kemajuan dari pengelolaan HKm berdasarkan IUPHHKm yang telah diterbitkan. Sehingga hasil dari monitoring dan evaluasi tersebut diharapkan mampu membantu pengelola dalam menetukan arah pengelolaan yang lebih baik dari sebelumnya serta dapat menentukan apakah IUPHHKm selanjutnya dapat diperpanjang atau tidak. Sudarsono (2016) menyatakan evaluasi pengelolaan HKm dapat dilakukan oleh pihak pemberi izin setiap satu tahun sekali.

  Dalam prosesnya, pengelolaan HKm senggigi tentu saja memiliki hambatan ataupun permasalahan yang dihadapi selama proses pengelolaan HKm Senggigi berlangsung. Oleh karena itu, selain memperoleh hasil evaluasi dari aspek kelembagaan dan aspek usaha, penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan saran atau masukan terkait permasalahan yang terdapat dalam pengelolaan HKm Sengigi. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Evaluasi Pengelolaan HKm berdasarkan Aspek Kelembagaan dan Tata Kelola

  Usaha di HKm Senggigi Kabupaten Lombok Barat.”

1.2. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat diperoleh rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah pengelolaan HKm Senggigi dari aspek kelembagaan dan usaha?

  2. Apa sajakah yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pengelolaan HKm Senggigi?

  1.3. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:

  1. Mengetahui kinerja pengelolaan HKm Senggigi dari aspek kelembagaan dan usaha.

  2. Mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pengelolaan HKm Senggigi.

  1.4. Manfaat Penelitian

  Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian adalah sebagai berikut:

  1. Bagi pemerintah, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi informasi baru mengenai pengelolaan HKm Sengigi sehingga dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam proses pengambilan kebijakan terkait pengelolaan HKM Senggigi.

  2. Bagi pengelola HKM, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan yang sesuai untuk mengelola HKM Sengigi menjadi lebih baik lagi kedepannya.

  3. Bagi pembaca, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan yang berkualitas dan sangat bermanfaat terkait dengan pengelolaan hutan yang ada di HKM Senggigi khususnya.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)

  Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu bentuk program perhutanan sosial yang telah berkembang dalam konteks pengelolaan hutan Indonesia serta telah mengikuti proses dan dinamika kehidupan masyarakat dan kelembagaan pedesaan pada tingkat lapang (Hakim et al. 2010). PHBM adalah sistem pengelolaan hutan yang memberikan hak, kewajiban dan tanggungjawab masyarakat setempat untuk mengelola hutan. PHBM merupakan wujud keberpihakan negara agar hasil dari pembangunan kehutanan menetes kepada masyarakat paling bawah (Sudarsono, 2016).

  Beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat antara lain (Rahmina et al. 2012):

  1. Mempunyai akses atau hak secara sah dalam pemanfaatan dan pemungutan hutan selama masa izin berlaku dan hak ini dapat diperpanjang,

  2. Usaha pengelolaan hutan termasuk hasil hutan non kayu dapat bermanfaat untuk menambah sumber pendapatan desa dan keluarga,

  3. Bila hutan tersebut dikelola dengan pola pengelolaan yang lestari, produk hasil hutan yang diproduksi dimungkinkan untuk memperoleh sertifikasi. Harga jual produk yang sudah disertifikasi ini biasanya akan lebih tinggi daripada produk yang tidak disertifikasi.

  4. Peningkatan kapasitas organisasi masyarakat baik kelompok dan perseorangan dalam bentuk kegiatan penyuluhan, sosialisasi, pelatihan, pertemuan-pertemuan kelompok dan berbagi pengalaman dan pengetahuan antar sesama pelaku PHBM, Penyuluh Kehutanan, dan pendamping.

  5. Dalam pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, masyarakat akan memperoleh pendampingan dan bimbingan teknis dalam pembentukan dan pengembangan organisasi atau lembaga pengelola hutan di tingkat desa, bimbingan administrasi dan manajerial, ataupun bimbingan dalam aspek teknis kehutanan dan pengolahan hasil hutan dari para Penyuluh Kehutanan atau pendamping lain yang relevan.

  6. Pendanaan yang dikelola oleh masyarakat/kelompok/ koperasi dan dialokasikan untuk pelaksanaan pengembangan Hutan Desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan hutan rakyat;

  7. Melalui peranserta dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat, masyarakat telah berkontribusi dalam program pelestarian hutan di Indonesia.

2.2. Hutan Kemasyarakatan (HKm)

  Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 83 Tahun 2016 Hutan Kemasyarakatan merupakan hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Rahmina et al. (2012) juga menyebutkan Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat, dengan sasaran adalah kawasan hutan lindung dan hutan produksi; belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan; menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat; serta izin diberikan kepada “Kelompok Masyarakat Setempat”. Areal kerja Hutan Kemasyarakatan adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara lestari yang memegang IUPHKm pada hutan lindung maupun IUPHHK HKm pada hutan produksi. Dalam PERMENLHK No. 83 Tahun 2016 dikatakan bahwa Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatran yang selanjutnya disingkat

  IUPHHKm merupakan izin usaha yang diberikan kepada kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat untuk memanfaatkan hutan pada kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan produksi.

  Hutan kemasyarakatan merupakan hutan negara dengan sistem pengeloaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat tanpa menggangu fungsi pokoknya. Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan nilai ekonomi, nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan masyarakat setempat. Hutan Kemasyarakatan ditujukan atau bisa dimanfaatkan oleh masyarakat petani di sekitar kawasan hutan yang memiliki ketergantungan pada kawasan hutan tersebut dengan sistem pendekatan areal kelola/hamparan kelola. Dalam hal ini, Hutan Kemasyrakatan memberikan kepastian hukum atas status lahan kelola bagi masyarakat yang membutuhkannya. Hutan Kemasyarakatan juga bertujuan agar hutan lestari masyarakat sejahtera. Konsep Hutan Lestari melalui pola-pola pengelolaan di lahan HKm diharapkan dapat dinikmati oleh masyarakat sehingga meningkatkan kesejahteraan hidup mereka melalui penganekaragaman hasil dari tanaman yang ditanam di lahan HKm, Hakim et al. (2010). Dalam pengelolaan HKm, kelompok tani diharuskan menanam tanaman dengan sistem MPTS (Multi Purpose Trees Species). Manfaat penerapan sistem tanam yang multi-guna seperti ini diharapkan dapat dinikmati oleh masyarakat sehingga meningkatkan kesejahteraan hidup mereka melalui keanekaragaman hasil dari tanaman yang ditanam di lahan HKm. Cahyaningsih., Pasya., Warsito., (2006) telah membagi manfaat HKm kedalam tiga aspek diantaranya manfaat HKm bagi masyarakat, Manfaat HKm bagi pemerintah serta manfaat HKm terhadap fungsi Hutan dan Restorasi Habitat.

  Manfaat HKm untuk masyarakat antara lain (1) Pemberian izin kelola HKm memberikan kepastian hak akses untuk turut mengelola kawasan hutan. Masyarakat atau kelompok tani HKm menjadi pasti untuk berinvestasi dalam kawasan hutan melalui reboisasi swadaya mereka, (2) Menjadi sumber mata pencarian dengan memanfaatkan hasil dari kawasan hutan. Keanekaragaman tanaman yang diwajibkan dalam kegiatan HKm menjadikan kalender musim panen petani menjadi padat dan dapat menutupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga petani HKm. (3) Kegiatan pengelolaan HKm yang juga menjaga sumber-sumber mata air dengan prinsip lindung, berdampak pada terjaganya ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan rumahtangga dan kebutuhan pertanian lainnya. (4) Terjalinnya hubungan dialogis dan harmonis dengan pemerintah dan pihak terkait lainnya. Diskusi-diskusi dan komunikasi yang dibangun dan dilakukan melalui kegiatan HKm telah menghasilkan komunikasi yang baik dan harmonis antar para pihak, yang dulu merupakan sesuatu hal yang jarang ditemukan. (5) Adanya peningkatan pendapatan non tunai dalam bentuk pangan dan papan.

  Manfaat HKm untuk Pemerintah antara lain (1) Kegiatan HKm memberikan sumbangan tidak langsung oleh masyarakat kepada pemerintah, melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan swadana. (2) Adanya peningkatan pendapatan pemerintah daerah untuk pembangunan hutan lestari masyarakat sejahtera. (3) Kegiatan teknis di lahan HKm, yang mewajibkan kelompok melakukan penerapan pengolahan lahan berwawasan konservasi (menerapkan terasiring, guludan, rorak, dll), dan melakukan penanaman melalui sistem MPTS, membawa pembaikan pada fungsi hutan. (4) Kegiatan HKm berdampak kepada pengamanan hutan (menurunkan penebangan liar (illegal logging), kebakaran hutan, dan perambahan hutan). Kegiatan pengamanan hutan tersebut, tercantum dan merupakan bagian dari program kerja masing-masing kelompok HKm. (5) Terlaksananya tertib hukum di lahan HKm (berdasarkan aturan dan mekanisme kerja kelompok).

  Manfaat HKm terhadap fungsi Hutan dan restorasi habitat antara lain (1) Terbentuknya keanekaragaman tanaman (tajuk rendah, sedang, dan tinggi). (2) Terjaganya fungsi ekologis dan hidro-orologis, melalui pola tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan. (3) Terjaganya blok perlindungan yang dikelola oleh kelompok pemegang ijin HKm yang diatur melalui aturan main kelompok. (4) Kegiatan HKm juga menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya, beserta habitatnya.

  Dalam proses pelaksanaan pengelolalaan HKm, tantangan merupakan hal yang sudah tidak biasa lagi bagi para pengelola. Markum et al. (2015) telah memaparkan beberapa tantangan pengelolaan HKm kedepannya meliputi: (1) Kemajuan dalam Pemberian ijin Penetapan Areal HKm (land tenure

  

based), belum diimbangi dengan upaya Pembinaan Tata

Kelola Lahan secara berkelanjutan (land use management based).

  (2) Kasus Illegal logging dan perambahan hutan di lokasi HKm dan sekitar HKm masih banyak. (3) pengemanan dan penegakan hukum yang belum efektif. (4) Tata kelola HKm sudah berhasil secara ekonomi namun belum berhasil secara konservasi (5) Meningkatnya pencapaian produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) belum didukung oleh pengembangan bisnis yang terintegrasi. (6) Kebijakan tentang kemitraan kehutanan dan UU tentang Pemerintahan Daerah telah menyebabkan situasi ketidak pastian terhadap proses perizinan dan pembinaan HKm.

2.3. Masyarakat Desa Hutan dan Kelompok Tani Hutan

  Desa Hutan didefinisikan sebagai wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan, atau disekitar kawasan hutan (Perum Perhutani 2001). Masyarakat desa hutan adalah sekelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumber daya hutan untuk mendukung kehidupannya. Sedangkan pihak yang berkepentingan adalah pihak-pihak yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya PHBM selain Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan, yaitu Pemerintah, LSM, Lembaga Ekonomi Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan dan Lembaga Donor (Awang et al. 2008).

  Departemen Kehutanan (1999) menyebutkan bahwa masyarakat sekitar hutan adalah kelompok-kelompok orang warga negara yang bermukim didalam maupun disekitar hutan dan memiliki ciri-ciri sebagai suatu komunitas, baik oleh kekerabatan, kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejahteraan, keterkaitan tempat tinggal bersama, maupun faktor komunitas lainnya. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga Negara Republik Indonesia yang tinggal disekitar kawasan hutan dibuktikan dengan kartu tanda penduduk atau yang bermukim di dalam kawasan hutan Negara dibuktikan dengan memiliki komunitas sosial berupa riwayat penggarapan kawasan hutan dan bergantung pada hutan serta aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan (PERMENLHK No. 83 tahun 2016).

  Menurut Permenhut No. 57 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani Hutan, Kelompok Tani Hutan merupakan kumpulan petani atau perorangan warga negara Indonesia berserta keluarganya yang mengelola usaha di bidang kehutanan di dalam dan di luar kawasan hutan yang meliputi usaha hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan, baik di hulu maupun di hilir.

  Menurut Swadaya (1988) dalam Suratiyaningrum (2013) sebagai perkumpulan orang disekitar hutan, Kelompok tani hutan mempunyai tujuan, sebagai berikut:

  1. Membina dan mengembangkan usaha anggota di bidang : proses produksi, pengelolaan, dan pemasaran hasil usaha,

  2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota,

  3. Ikut serta membangun dan melestarikan hutan melalui kerjasama dengan Perum Perhutani,

  4. Memberikan pelayanan/menyalurkan kepada anggota yang menyangkut kebutuhan,

  5. Usaha produktif, misalnya dalam hal usaha tani : pupuk, insektisida, dan alat-alat pertanian,

  6. Meningkatkan kesejahteraan anggota, merupakan tujuan akhir terbentuknya Kelompok Tani Hutan.

  2.4. Kelembagaan

  Kelembagaan adalah suatu perangkat peraturan dan organisasi yang membuat serta mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut dalam suatu hubungan yang teratur diantara orang-orang yang menetukan hak-haknya mengenai suatu sistem pengorganisasian dan pengawasan terhadap pemakaian sumberdaya. Sistem ini memiliki batas-batas hukum, hak pemilikan dan aturan perwakilan sehingga kelembagaan dapat memberikan peluang yang dapat dipilih oleh masyrakat (Departemen Kehutanan, 1992). Sedangkan definisi kelembagaan menurut Djogo et al. (2003) adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antar organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerja sama dan mencapai tujuan bersama.

  Dalam rangka mewujudkan tata kelola HKm yang baik harus ditunjang oleh adanya kolaborasi yang baik antara kelembagaan yang ada, khususnya antara pemerintah, pemerintah daerah, LSM, pelaku usaha, dan kelompok masyarakat. Kolaborasi diperlukan dalam rangka mendukung penguatan peran kelembagaan pada tingkat masyarakat atau kelompok dalam mengelola arus informasi untuk anggotanya agar lebih dinamis (Markum et al. 2015). Cahyaningsih et al. (2006) menyebutkan rencana kelembagaan dalam Hutan Kemasyarakatan meliputi hal-hal antara lain : (1) Adanya jadwal pertemuan reguler kelompok. (2) Kegiatan pendataan/pengkayaan data kelompok dan ada proses yang diperbaharui. (3) Program monitoring dan evaluasi berkala yang bertujuan memantau terlaksananya rencana kerja berdasarkan yang telah disepakati bersama. (4) Rencana kegiatan pengembangan usaha ekonomi produktif.

  2.5. Evaluasi

  Evaluasi adalah kegiatan penilaian secara terpadu yang dipergunakan sebagai upaya rekfleksi (bercermin diri), intropeksi (koreksi diri), perbaikan kinerja, pembinaan, dan sebagai media belajar bersama; serta bukan sebagai alat represif (menekan dan memaksakan kehendak). Monitoring dan evaluasi (monev) HKm partisipatif adalah upaya pengendalian secara partisipatif, melibatkan para pihak terkait, terhadap pelaksanaan HKm dalam rangka mengetahui peningkatan kemajuan/ perkembangan/ pencapaian/ hambatan pengelolaan HKm dari rencana kerja yang telah dibuat dan sebagai media belajar bersama (Cahyaningsih et al. 2006). Awang et al. (2008) juga menjelaskan Kegiatan penilaian (evaluasi) dimaksudkan untuk menganalisis sampai seberapa jauh kegiatan fisik dan non fisik dalam pengelolaan lahan HKm, pada jangka pendek, menengah, panjang apakah telah sesuai dengan kesepakatan bersama antara para pihak. Apabila ada perbedaan dan tidak tercapai target-target pekerjaan yang seharusnya dicapai, maka kegiatan evaluasi harus mendapatkan penyebabnya mengapa kegiatan tidak sesuai atau sesuai dengan perencanaan dan bagaimana solusi selanjutnya. Menurut Tjoetra (2008) dalam Sudarsono (2016), manfaat Monev adalah: a. mengenali sejak dini dan menemukan masalah-masalah penting agar tidak semakin meluas dan menimbulkan krisis baik dalam organisasi, anggota pengelola hutan maupun lingkungan.

  b. menilai dan menemukan kebutuhan-kebutuhan baru untuk memperbaiki program atau kegiatan-kegiatan berikutnya.

  c. melacak perkembangan, kemajuan pelaksanaan proyek/program dan pengelolaan organisasi sesuai dengan tujuan/strategis/visi/misi organisasi.

  d. membantu organisasi secara berkala dalam melakukan penilaian diri terhadap hubungan antara visi, misi dan posisi strategis organisasi.

  e. menarik pelajaran-pelajaran penting dari pengalaman pelaksanaan program yang lalu sebagai basis perencanaan program selanjutnya.

3. METODOLOGI PENELITIAN

  3.1. Metode Penelitian

  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu penelitian yang berfungsi untuk mendeskripsi atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti, melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya (Sugiyono, 2014).

  3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

  Penelitian ini dilaksanakan di kawasan HKm Senggigi kabupaten Lombok Barat. Lokasi ini sengaja dipilih sebagai lokasi penelitian karena HKm ini salah satu HKm yang terletak di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sebelum menjadi HKm, kawasan Hutan Senggigi merupakan kawasan Hutan Lindung. Untuk mempermudah masyarakat dalam mengelola hutan, maka pada tahun 2011 diterbitkanlah IUPHKm. Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti merasa lokasi HKm Senggigi sudah relevan dengan tujuan penelitian untuk melakukan evaluasi HKm Senggigi berdasarkan aspek kelembagaan dan aspek usaha.

  Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan dari bulan Maret sampai bulan April tahun 2017.

  3.3. Bahan dan Alat

  Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain adalah profil HKm Senggigi, data iklim, data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait dan kuisioner. Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah ATK, talley sheet, kamera, dan tape recorder.

  3.4. Sasaran Penelitian

  Sasaran dalam penelitian ini antara lain pengurus dan anggota kelompok tani HKm Senggigi yang aktif menggarap lahan HKm Senggigi yang terikat dibawah Gapoktan Merta Sari dan KPHL Rinjani Barat.

  3.5. Jenis dan Sumber Data

3.5.1. Jenis Data

  Pada penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif dalam penelitian ini ialah hasil skoring evaluasi pengelolaan HKm Senggigi. Sedangkan data kualitatif dalam penelitian ini ialah dokumen-dokumen terkait pengelolaan HKm Senggigi.

3.5.2. Sumber Data

  Sumber data pada penelitian ini ada dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini ialah keterangan responden dari hasil wawancara dan total skoring dari Instrument Monev. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini ialah dokumen-dokumen terkait pengelolaan HKm Senggigi.

  3.6. Variabel Penelitian

  Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah:

  a. Tata kelola kelembagaan, yang terdi dari sub-sub variabel diantaranya: Perencanaan

  • Kelembagaan -

  Kewajiban lain, dan

  • Pemberdayaan masyarakat.
  • b. Tata kelola usaha HKm Senggigi.

  c. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Tata Kelola Kelembagaan dan Usaha HKm Senggigi

  3.7. Teknik Pengumpulan data

  a. Observasi yaitu pengumpulan data melalui kunjungan dan penilaian langsung kelapangan terhadap kondisi biofisik kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan kondisi tata kelola kawasan lahan (Sudarsono, 2016).

  b. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara

  c. Pemeriksaan Dokumen Pemeriksaan dokumen dilakukan dengan memeriksa ketersediaan dan kelengkapan isi dokumen RU dan RKT (Sudarsono, 2016).

  3.8. Penentuan Responden

  Penentuan sampel responden pada penelitian ini menggunakan Purposive Sampling dan Sampling Quota. Purposive Sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.

  Penggunaan purposive sampling dalam menentukan kriteria responden yang dipilih. Responden yang dipilih untuk diwawancarai harus memenuhi kriteria diantaranya responden menjadi pengurus dalam Gapoktan Mertesari dan merupakan anggota aktif (rutin mengikuti pertemuan kelompok, aktif menggarap lahan yang ada di kawasan). Sampling kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan (Sugiono, 2014). Populasi dalam penelitian ini berjumlah 509 orang yang diperoleh dari total keseluruhan anggota GAPOKTAN Mertesari. Pembagian anggita kelompok GAPOKTAN Mertesari dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1. Jumlah Anggota GAPOKTAN Mertesari

  Jumlah No. Nama Kelompok

  Anggota

  1. Angen

  44

  2. Lestari

  41

  3. Patuh

  42

  4. Susah Seneng

  42

  5. Beriuk Tinjal

  55

  6. Cinta Damai

  57

  7. Baru Ures

  44

  8. Beriuk Maju

  50

  9. Kasoh Begawean

  96

  10. Suka Maju