LARANGAN PERNIKAHAN SESUKU PADA SUKU MELAYUDALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KECAMATAN PERHENTIAN RAJA KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU) SKRIPSI

LARANGAN PERNIKAHAN SESUKU PADA SUKU MELAYUDALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI KECAMATAN PERHENTIAN RAJA KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU) SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh : Subkhan Masykuri 211 11 023 JURUSAN AHWAL AL-SYAKSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA TAHUN 2016

NOTA PEMBIMBING

  Lampiran : 4 Eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi Kepada Yth.

  Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga

  Di Salatiga Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

  Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara: Nama : Subkhan Masykuri Nim : 211 11 023 Fakultas/Jurusan : Fakultas

  Syari‟ah/Ahwal Al-Syakshiyyah Judul :

  “Larangan pernikahan sesuku pada suku melayu dalam perspektif hukum islam (Studi kasus di kecamatan Perhentian raja Kabupaten Kampar Provinsi Riau)”

  Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas agar segera dimunaqosyahkan. Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.

  Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

  Salatiga, Oktober 2016 Pembimbing Muh. Hafidz, M.Ag.

  NIP.19730801 200312 1003

PERNYATAAN KEASLIAN

  Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Subkhan Masykuri NIM : 211 11 023 Fakultas :

  Syari‟ah Jurusan : Ahwal Al-Syakshiyyah Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah

ditulis oleh orang lain atau pernah diterbitkan. Demikian juga skripsi

ini tidak berisi pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang

terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

  Salatiga, 22 September 2016 Subkhan Masykuri 211 11 001

  

MOTTO

“Bila Kamu Tak Tahan Lelahnya Belajar, Maka

Kamu Akan Menanggung Perihnya Kebodohan

  

(Imam Syafi’i)

  

PERSEMBAHAN

  Karya Ilmiah berupa Skripsi ini ku persembahkan kepada : 1.

  Al-Magfurllah Simbah KH. Zoemri RWS beserta Keluarga yang mendidikku di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah, untuk menjadi orang yang lebih baik.

  2. Kedua orang tua yang saya sayangi dan banggakan Bapak Muhammad Busri dan Ibu Siti Munikah yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya, dukungan serta doanya sehingga skripsi ini akhirnya selesai.

  3. Kakakku Aneka Purnama Sari yang selalu mendukung dan membimbing setiap langkahku .

  4. Teman-temanku yang selalu menyemangatiku, Rohman, Arba‟, Lasin, Dek Iis 5. Sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota

  Salatiga ..

  6. Semua santri Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah.

  7. Sahabat-sahabati Gerakan Angkatan 2011 (GANAS) PMII Kota Salatiga.

  8. Keluarga besar COBRA Salatiga 9.

  Bolo Kurowo STAR C, Bang Jack, Fajar, Uut, Weni, Udin, Dina, Eko, Aji, Romi

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kehadirat Allah Swt, yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan Solawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ahwal Al-Syakshiyyah di Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

  Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1.

  Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga.

  2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. Selaku Dekan Syari‟ah IAIN Salatiga.

  3. Bapak Sukron Makmun, S.HI. M.Si. Selaku Kepala Jurusan Ahwal Al- Syakshiyyah IAIN Salatiga.

  4. Muh Hafidz, M.Ag, Selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar dalam membimbing penulis.

  5. Evi Ariyani, M.H selaku dosen Pembimbing Akademik selama kuliah di IAIN Salatiga.

  6. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah menjadi perantara ilmu.

  7. Bapak Syahid Ridwan, Bapak Abdul Aziz, Bapak Ahmad Jalaluddin, Bapak Dzulfiddin, Iis Astriliani, Nelsum Febriani yang telah memberikan sambutan yang hangat, membantu, dan memberikan informasi dalam penelitian.

  8. Pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah Al-Magfurllah Simbah KH M Zoemri RWS beserta keluarga yang membina, mendidik, mencurahkan ilmu kepada penulis dengan penuh tulus, ikhlas dan sabar, dalam menuntut ilmu di pesantren.

  9. Seluruh Asatidz dan Asatidzah Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah yang memberikan memberikan ilmunya dengan penuh keikhlasan.

  10. Bapak Muhammad Busri dan Ibu Siti Munikah yang telah berkorban dalam segala hal demi kebahagiaan putranya, serta terima kasih atas ridho, do‟a, cinta dan kasih sayangnya sehingga putranya bisa menyelesaikan studi S1.

  11. Kakakku Aneka Purnama Sari yang selalu memberikan semangat dalam kuliah di IAIN Salatiga

  12. Teman-teman Ahwal Al-Syakshiyyahangkatan 2011 IAIN Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan.

  13. Semua santri PPTI Al Falah yang memberikan semangat dalam penulisan skripsi.

  14. Teman-teman COBRA Salatiga 15.

  Semua pihak yang ikut serta memberikan motivasi dan dorongan dalam penulisan skripsi ini.

  Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semuanya, khususnya kepada penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca. Dan pada akhirnya penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

  Salatiga, 22 September 2016 Penulis

  Subkhan Masykuri NIM 211 11 023

  

ABSTRAK

Subkhan Masykuri. 211 11 023.

  “Larangan Pernikahan Sesuku pada Suku Melayu dalam Perspektif Hukum Islam(Studi kasus di Kecamatan Perhentian RajaKabupaten kampar Provinsi Riau) . Skripsi. Fakultas

  Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Muh Hafidz, M.Ag. Kata kunci : Larangan Pernikahan Sesuku

  Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai sistem perkawinan yang berbeda. Sistem perkawinan menurut adat ada tiga, Pertama Exogami, yaitu seorang laki- laki dilarang menikahi perempuan yang semarga atau sesuku dengannya. Ia harus menikah dengan perempuan di luar Marganya (klan-Patrilineal). Kedua

  

Endogami, yaitu seorang laki-laki diharuskan menikah dengan perempuan dari

  lingkungan kerabatnya (suku, klan atau famili) dan dilarang menikahi perempuan diluar kerabat. Ketiga Eleutrogami, seorang laki-laki tidak lagidiharuskan atau dilarang untuk menikah dengan perempuan diluar atau didalam lingkungan kerabat atau suku, melainkan dalam batasan-batasan yang telah ditentukan hukum Islam dan hukum perundang-undangan yang berlaku. Dari ketiga system, suku melayu termasuk pada system perkawinan Exogami.

  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan langsung ke masyarakat sehingga diperoleh data yang akurat, jelas dan teknik pengumpulan data dengan cara wawancara bebas terpimpin, observasi dan dokumentasi. Kemudian setelah seluruh data yangdibutuhkan terkumpul maka selanjutnya dianalisis dengan menilai realita yang terjadi di masyarakat apakah sesuai dengan hukum-hukum yang ada pada Agama Islam.

  Larangan pernikahan sesuku yang ada pada suku melayu Riau telah ada sejak zaman dahulu ketika penghulu adat dan para luluhur telah mengucapkan Sumpah Sotih, maka secara otomatis seluruh masyarakat suku melayu tidak ada yang berani melanggar atau melakukan pernikahan sesuku karena mereka takut melanggar sumpah leluhur ataupun marabahaya yang akan dating dikemudian harinya, baik itu menimpa pelaku pernikahan sesuku maupun anak cucu mereka nantinya. Berdasarkan hasil analisis hukum Islam terhadap data penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa larangan pernikahan sesuku tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam karena didalam Al-

  Qur‟an dan Hadits tidak ditemukan larangan pernikahan sesuku atau saudara sesuku tidak termasuk kedalam orang- orang yang dilarang/haram untuk dinikahi, jadi hukum dari pernikahan sesuku adalah Mubah (boleh) tetapi, alangkah baiknya pernikahan sesuku/kerabat dekat untuk dihindari karena akan berdampak pada kualitas keturunan yang kurang baik.

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................... i NOTA PEMBIMBING .................................................................. ii PENGESAHAN .............................................................................. iii

  iv PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................

  MOTTO ......................................................................................... v PERSEMBAHAN ......................................................................... vi KATA PENGANTAR .................................................................. vii ABSTRAK ..................................................................................... x DAFTAR ISI ................................................................................. xi

  BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................

  1 B. Rumusan Masalah...........................................

  4 C. Tujuan Penelitian ...........................................

  4 D. Manfaat Penelitian .........................................

  4 E. Penegasan Istilah .............................................

  5 F. Metodologi Penelitian .....................................

  6 G.

  11 Sistematika Penulisan ...................................

  BAB II : PERNIKAHAN DAN LARANGAN PERNIKAHAN

  DALAM ISLAM 13151923 A.

  Telaah Pustaka ..............................................

  25 B. Pengertian dan Hukum Pernikahan………....

  C.

  Tujuan Pernikahan………………………......

  D.

  Rukun dan Syarat Pernikahan……………....

  E.

  Wanita-wanita yang Haram Dinikahi dan Pernikahan yang Dilarang dalam Islam…………………

  BAB III :PRAKTEK PERNIKAHAN DALAM SUKU MELAYU DI KEC. PERHENTIAN RAJA KAB. KAMPAR

  29 A. Deskripsi wilayah ………….…………………

  30 B. Keadaan pendidikan dan kehidupan beragama

  32 masyarakat.

  35 C. Keadaan sosial budaya…………………………

  37 D.

  41 Adat istiadat dalam suku melayu ………….....

  E.

  Factor-faktor dilarangnya pernikahan sesuku..

  F.

  Proses pernikahan adat suku melayu…….......

  BAB IV:LARANGANPERNIKAHAN SESUKU PADA SUKU MELAYU DI KEC. PERHENTIAN RAJA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Analisis pernikahan sesuku pada suku Melayu di

  43 Kec. Perhentian Raja………………………… B. Analisis pernikahan sesuku ditinjau dari perspektif

  48

  hukum Islam…………………………….........

  BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................

  53 B. Saran .............................................................

  55 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu pernikahan bermula dari adanya rasa kasih dan sayang yang

  sangat besar antara dua orang individu berlainan jenis. Bermula dari pernikahan itulah kemudian terjadi perkembangbiakan manusia di muka bumi ini, sebagaimana firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 1 berikut ini:

    

  Artinya : Hai manusia, bertaqwalah kepada tuhan kemu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah telah memperkembang biakan laki- laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (prliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

  Untuk memperbanyak jumlah kaum muslimin dan menjaga kelangsungan hidup umat manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus di muka bumi, serta untuk mengendalikan dorongan nafsu amarah yang selalu mengajak manusia berbuat kejahatan, maka Rasulullah mendorong, mengarahkan dan mengajarkan kepada kawula muda yang sudah berkemampuan untuk menikah sebagaimana sabda Rasulullah saw berikut ini:

  “Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu mempunyai kemampuan, maka segeralah menikah. Karena menikah itu dapat menahan pandangan mata dan memelihara kehormatan dan barang siapa yang tidak mampu hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa dapat mematahkan rongrongan nafsu birahi

  ”. (HR. Bukhari dan Muslim) Di dalam undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan jelas menyebutkan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa”. Oleh karena itu perkawinan harus dipertahankan oleh kedua belah pihak supaya tercapainya tujuan tersebut.

  Tidak terlepas dari semuanya, untuk menjalani kehidupan berumah tangga tidak kalah pentingnya dengan kemampuan seseorang untuk menempatkan diri dalam suatu masyarakat yang akan ditempatinya, yang tentunya akan terikat dengan ketentuan atau tatanan sosial budaya yang berlaku.

  Pada setiap daerah mempunyai tradisi dan system sosial budaya yang berbeda-beda, realitas tata tertib adat pernikahan antara masyarakat adat yang satu dengan yang lain, antara suku satu dengan suku yang lain, antara beragama islam satu dengan yang lain, begitu juga perbedaan antara pernikahan adat perkotaan dengan pedesaan. Adat istiadat yang sudah ada dan menjadi hukum adat setempat akan lebih kuat, karena bagi pelanggarnya akan dikenai sanksi adat yang berlaku ditempat tersebut.

  Seperti yang terjadi di dalam masyarakat atau beberapa adat bahwa seseorang yang memiliki suku bangsa yang sama dilarang untuk melakukan sebuah pernikahan, atau suatu suku satu dengan suku yang lain dilarang untuk menjalin Hubungan pernikahan. Hal-hal demikian tidak diperbolehkan, bahkan larangan keras, karena jika terjadi hal demikian menurut kepercayaan setempat akan terjadi sebuah bencana yang akan menimpa pelaku pernikahan, anak, cucu, bahkan akan berdampak buruk bagi kampung/desa.

  Dalam hukum Islam Pernikahan dapat dilakukan kepada siapapun seorang muslim dengan syarat tidak ada hubungan makhrom antara laki-laki dan perempuan dan dalam pernikahan tersebut tidak ada unsur paksaan. Sedangkan pernikahan dalam suku melayu, tidak diperbolehkan apabila menikah dalam satu suku meskipun tidak ada hubungan makhrom antara pihak laki-laki dan perempuan. Menurut kepercayaan warga setempat, apabila terjadi pernikahan satu suku, maka akan menimbulkan suatu bahaya.

  Apabila seorang laki-laki menikahi seorang gadis masih dalam satu marga dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak baik, bagi keberlangsungan suami dan istri tersebut dalam proses berumah tangga, juga bagi masyarakat Melayu dalam satu suku tersebut.

  Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan mukallaf seorang muslim sebagai pelakunya. Kalau ia (mukallaf) sudah dalam kondisi yang sangat memerlukan dan berkemampuan, maka hukumnya wajib. Kalau ia (mukallaf) tidak mampu, maka hukumnya menjadi makruh, jika ia berniat untuk menyakiti istri, maka hukumnya haram. Sedang hukum asli dari nikah adalah mubah atau diperbolehkan. Nikah hukumnyasunat bagi orang yang memerlukannya.

  Dari latar belakang tersebut maka penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai pernikahan dalam suku melayu dengan judul Larangan Pernikahan Sesuku Pada Suku Melayu Dalam Perspektif Hukum Islam Studi Kasus Di kecamatan Perhentian Raja.

  B. Rumusan Masalah 1.

  Bagaimana Praktik pernikahan pada suku Melayu? 2. Mengapa pernikahan Sesuku pada Suku Melayu Di Riau dilarang? 3. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai Larangan Pernikahan

  Sesuku pada suku Melayu di Riau?

  C. Tujuan Penelitian

  Agar tidak menyimpang dari masalah-masalah yang diutarakan tersebut di atas, dan penelitian yang dilakukan maka penulis sebutkan tujuan penelitian. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1.

  Untuk mengetahui praktik pernikahan pada suku Melayu 2. Untuk menjelaskan Faktor-faktor yang menyebabkan dilarangnya pernikahan Sesuku pada Suku Melayu di Riau

3. Untuk mengetahui pernikahan pada suku Melayu ditinjau dalam perspektif hukum Islam.

D. Manfaat Penelitian 1.

  Untuk mengetahui pandangan Islam tentang Pernikahan sesuku.

2. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan kususnya Pernikahan sesuku.

E. Penegasan Istilah

  Untuk memudahkan kejelasan dari judul skripsi ini, penulis akan menjelaskan istilah-istilah yang dipakai sehingga dapat diketahui gambaran awal kemana arah tujuan skripsi ini dibuat, sebagai berikut: 1.

  Nikah Nikah berasal dari bahasa Arab nakakha, yankikhu artinya kawin atau nikah. Adalah suatu ikatan antera laki-laki dan perempuan yang sah baik menurut hukum Islam maupun undang-undang. Dalam kamus besar bahasa Indonesia nikah dapat diartikan Ikatan (akad) perkawinan yang

  1 dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama.

  2. Marga/Sesuku Adalah suatu kelompok garis keturunan yang sering disebut dengan clan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia marga adalah kelompok kekerabatanyang eksogamunilinear, baik secara matrilineal

  2 maupun patrilineal.

  3. Suku Adalah kesatuan social yang terjadi karena perbedaan letakgeografis tempat tinggal, bahasa maupun kebudayaanya. Menurut 1 kamus besar bahasa Indonesia Suku dapat diartikan kesatuan social yang

  Departemen Pendidikan Nasional.2002.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.hlm. 782. 2 Ibid. hlm 775

  dapat dibedakan dari kesatuan social lain berdasarkan kesadaran akan

  3 identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa.

F. Metodologi Penelitian 1.

   Pendekatan dan Jenis Penelitian

  Dalam penelitian ini, agar data penulis mendapatkan data yang akurat guna menyakinkan rumusan masalah di atas, maka penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: a.

  Pendekatan Penelitian 1)

  Pendektan Sosiologis Adalah pendekatan yang dasar tujuannya permasalahan- permasalahan yang ada dalam masyarakat, yang berkaitan dengan permasalahan pernikahan secara umum dan juga pernikahan dalam satu marga.

  2) Pendekatan Yuridis

  Adalah pendekatan yang berorientasi pada gejala-gejala hukum yang bersifat normatif, lebih banyak bersumber pada data kepustakaan dan hukum adat yang berlaku pada suku melayu. Dengan pendekatan ini diharapkan sebagai usaha untuk mempelajari ketentuan hukum Islam maupun hukum adat.

  b.

  Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. 3 Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan

  Ibid. hlm 825 pendekatan yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek peneliti misalnya perilaku, persepsi, motifasi,

  4 tindakan dan lain-lain.

  2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang sangat penting, karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data yang ada di lapangan. Sedangkan status penelitian dalam hal pengumpulan data, diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalah pahaman diantara peneliti dan informan. Dalam penelitian yang dilakukan ini, peneliti hanya sekedar mengumpulkan data melalui wawacara dan observasi. Disini peneliti tidak termasuk dalam suku melayu.

  3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di desa Perhentian Raja (Pantai Raja), kecamatan kampar kiri hilir, Kabupaten Kampar, Riau. Peneliti memilih lokasi tersebut karena adat istiadat di desa tersebut masih kental.

  4. Sumber Data Data diperoleh dari informan yakni Ninik Mamak atau kepala Suku Melayu. Selain itu juga para masyarakat yang bermukim di Pekanbaru yang masih mempunyai garis keturunan Suku Melayu.

  5. Prosedur Pengumpulan Data 4 Lexi j Moleong. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

  hal. 6.

  Untuk mengumpulkan data guna mendapatkan keterangan yang jelas mengenai obyek yang diteliti, maka penulis menggunakan hal-hal berikut: a.

  Wawancara (Interview) Yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri data menggunakan wawancara dengan tetap berpijak pada catatan mengenai pokok-pokok yang akan ditanyakan, sehingga masih memungkinkan adanya variasi-variasi pertanyaan-pertanyaan yang

  5

  disesuaikan dengan situasi ketika wawancara dilakuka. Wawancara ini dilakukan kepada kepala adat dan warga suku melayu asli Riau serta tokoh adat.

  b.

  Observasi Observasi adalah suatu bentuk penerimaan data yang dilakukan dengan cara merekam kejadian, menghitung, mengukur

  6

  dan mencatat sesuai prosedur yang berstandar. Dalam penelitian yang kami lakukan, peneliti akan mengumpulkan data dari kepala adat dan melihat secara langsung warga suku melayu yang melakukan pernikahan satu marga ataupun yang melakukan pernikahan dengan lain marga.

  6. Analisis Data

  5 Sutrisno Hadi. 1981. Metodologi Recearch (Untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis, dan Disertasi). Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. hlm. 75. 6 Suharsimi Arikunto. 1997. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek).

  Jakarta:Rineka Cipta. hlm. 46.

  Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi- abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal. Gambaran atau informasi tentang peristiwa atas objek yang dikaji tetap mempertimbangkan derajad koherensi internal, masuk akal, dan berhubungan dengan peristiwa faktual dan realistik. Dengan cara melakukan komparasi hasil temuan observasi dan pendalaman makna, diperoleh suatu analisis data yang

  7

  terus-menerus secara simultan sepanjang proses penelitian. Metode berfikir yang digunakan dalam menganalisis adalah berdasarkan pada dasar-dasar yang bersifat umum kemudian meneliti persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Dari analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan

  8 yang pada hakikatnya merupakan jawaban atas permasalahan.

  Dalam penelitian ini, penulis akan meninjau lebih jauh larangan pernikahan satu marga pada suku melayu dalam perspektif hukum Islam.

  Karena menurut peneliti pernikahan satu marga tersebut dilarang sedangkan hukum Islam diperbolehkan.

  7. Pengecekan Keabsahaan Data 7 Burhan Bungin. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. hlm. 154. 8 Hadari Nawawi dan H.M. Martini Hadari. 1992. Instrumen penelitian Bidang Sosial.

  Yogyakarta: Gadjah Mada University Prss. hlm. 213.

  Peneliti menggunakan triangulasi dengan sumber sebagai teknik untuk mengeck keabsahan data. Menurut Moleong dalam bukunya yang dikutip dari Patton, Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berada dalam penelitian kualitatif, hal itu dapat dicapai dengan jalan membandingkan hasil wawancara dengan isi

  9 suatu dokumen yang berkaitan.

8. Tahap-Tahap Penelitian

  Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan beberapa tahapan, antara lain sebagai berikut: a.

  Tahap Sebelum Lapangan Yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti sebelum melakukan penelitian, seperti peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang Suku Melayu, Adat istiadat peraturan Suku Melayu, penyusunan proposal, menetapkan fokus penelitian dan lain-lain.

  b.

  Tahap Lapangan Yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mencari data-data yang diperlukan seperti wawancara kepada informan, melakukan observasi.

  c.

  Tahap Analisa Data

9 Moleong, Op. Cit., hlm . 330 .

  Yaitu ketika semua data telah terkumpul dan dirasa cukup oleh peneliti, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data-data tersebut dan menggambarkan hasil penelitian sehingga bisa memberi arti pada objek yang diteliti.

  d.

  Tahap Penulisan Laporan Yaitu setelah semua data telah terkumpul, dianalisis kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing, dan yang terahir dilakukan penulisan hasi penelitian tersebut sesuai dengan pedoman penulisan skripsi .

  G. Sistematika Penulisan

  Dalam penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai judul diatas, maka akan dirumuskan sistematika sebagai berikut: Bab pertama pendahuluan, yang merupaakan abstraksi dari keseluruhan isi skripsi, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

  Bab kedua, bagian ini menjelaskan tentang pernikahan dan larangan pernikahan dalam Islam yang meliputi pengertian dan hukum pernikahan, tujuan pernikahan, rukun dan syarat pernikahan, wanita yang haram untuk dinikahi dan pernikahan yang dilarang dalam hukum Islam.

  Bab ketiga menguraikan tentang praktek pernikahan dalam suku Melayu di kecamatan Perhentian raja, kabupaten Kampar yang meliputi lima sub bab. Sub bab yang pertama deskripsi wilayah Kecamatan Perhentian raja. Sub kedua berisikan keadaan pendidikan dan kehidupan beragama masyarakat kemudian pada sub bab ketiga menjelaskan tentang keadaan Sosial budaya yang ada pada suku Melayu yang ada di Kecamatan Perhentian raja. bab yang keempat yaitu adat istiadat suku Melayu yang meliputi Faktor- faktor dilarangnya pernikahan Sesuku dan tata cara proses pernikahan Sesuku pada Suku Melayu.

  Bab keempat merupakan analisis pernikahan suku melayu yang meliputi analisis pernikahan satu marga dalam suku melayu dan analisis pernikahan satu marga dalam suku melayu ditinjau dari perspektif hukum Islam.

  Bab kelima merupakan penutup dari penyusunan skripsi ini yang terdiri dari kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan saran-saran dalam rangka meningkatkan pengetahuan tentang hukum-hukum islam khususnya larangan pernikahan sesuku di Kecamatan Perhentian Raja Kabupaten kampar Riau.

BAB II PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM A. Telaah Pustaka Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lukmanul Khakim

  seorang mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Salatiga, beliau menganalisis “Fatwa larangan nikah antar Santri di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur‟an (BUQ) Gading, Desa Duren, kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang”. Beliau menjelaskan tentang pandangan santri, alumni dan masyarakat sekitar Pondok Pesantren tentang larangan pernikahan antar santri tersebut. Banyak dari mereka menaati aturan atau larangan tersebut dikarenakan takut dengan Guru serta tidak manfaatnya ilmu dikemudian hari.

  Tetapi yang menjadi alasan terkuat tidak dibolehkannya pernikahan antar santri adalah, Seluruh santri BUQ Gading dianggap menjadi satu keluarga

  10 yang dalam konsep Mahrom dilarang menikah.

  Penelitian yang dilakukan olehAdini Soraya yang berjudul “Pemberian Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Kasang Kabupaten Padang Pariaman

  ”. Dalam skripsi tersebut beliau menjelaskan tentang adat minang kabau yang menentukan bahwa orang Minangkabau dilarang kawin dengan orang dari suku yang Serumpun. Garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis Ibu, maka suku Serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis Ibu” yang disebut 10 Lukmanul Khakim. 2013. Fatwa larangan Nikah Antar Santri (studi Kasus Pondok

  

Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur‟an(BUQ) Gading, Desa Duren, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Salatiga: STAIN Salatiga. Hlm. 84. juga dengan istilah “eksogami matrilokal atau eksogami matrilineal”. Dan dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendikiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minangkabau dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian Serumpun yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minangkabau. Beliau menjelask an “pengertian serumpun disamakan dengan Sesuduik. Yang dimaksudkan dengan Sesuduik adalah satu kelompok dari beberapa Suku. Seperti Suduik nan5 , terdiri dari 5 (lima) suku yaitu Suku Jambak, Suku Pitopang, Suku Kutianyir, Suku Salo dan Suku Banuhampu. Kelima suku ini dianggap Serumpun, sehingga antara kelima suku ini tidak boleh melakukan pernikahan. Kalau sampai terjadi sebuah Perkawinan maka akan dikenai sanksi berupa dibuang sepanjng adat karena dianggap sebagai perkawinan endogamy atau perkawinan didalam

  11 serumpun sendiri.

  Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anif Khusnawati yang berjudul “Larangan Pernikahan antara Saudara Sepupu Pancer Wali di Kelurahan Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek Dalam Perspektif Hukum Islam.” Dalam skripsinya dijelaskan adat yang melarang pernikahan antara saudara sepupu pancer wali tidak termasuk dalam orang-orang yang haram untuk dinikahi menurut Al- qur‟an dan Hadis. Masyarakat mempunyai keyakinan terhadap buruknya keturunan dari hasil pernikahan tersebut. Sepupu pancer wali yaitu anak dari paman/bibi baik dari ayah maupun ibu,

11 Adini Soraya. 2010. Pemberian Sanksi Adat terhadap Perkawinan Sesuku dalam

  Kenagarian Kasang Kabupaten Padang Pariaman . Pekanbaru: Universitas Islam Riau. Hlm. 79 kedudukannya sama dengan mahram, tidak batal wudhu jika bersentuhan,

  12 jika terjadi pernikahan maka dilakukan fasakh nikah.

  Dari kajian yang telah kami lakukan bahwa karya-karya skripsi tersebut berbeda dengan penelitian ini, karena dalam penelitian ini penulis akan menitik beratkan pada Suku Melayu tepatnya di Daerah kota Pekanbaru, Riau.

B. Pengertian Pernikahan dan Hukum Pernikahan

  Pernikahan adalah sebuah upacara penyatuan dua jiwa menjadi sebuah keluarga melalui akad perjanjian yang diatur oleh agama. Oleh karena itu pernikahan menjadi sebuah upacara yang agung dan sakral. Menurut Imam

  13

  , pernikahan adalah akad yang mengandung kebolehan untuk Syafi‟i melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu. Menurut Imam Hanafi yaitu akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan seorang

  14 perempuan selama tidak ada halangan syara‟.

  Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

  pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria 12 dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

  Anif Khusnawati, 2007, Larangan Pernikahan antara Saudara Sepupu Pancer Wali di

Kelurahan Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek Dalam Perspektif Hukum Islam,

Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Hlm. 95 13 Abdul Aziz Dahlan, 2001, Ensiklopedia Hukum Islam, jakarta: ichtiar Baru van Hoeve, hal. 132 14 Ibid., Hlm. 133

  keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

  Slamet Abidin memberikan makna pernikahan sebagai suatu antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah diteta pkan oleh syara‟ untuk menghalalkan percampuran antara keduanya sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu

  15 sebagai teman hidup dalam rumah tangga.

  Hukum asal pernikahan adalah mubah, tetapi dapat berubah sesuai dengan keadaan pelakunya, bisa menjadi wajib, sunat, makruh ataupun

  16 haram.

  Hukum pernikahan asalnya adalah mubah.Mubah merupakan hukum asal pernikahan, yaitu suatu perbuatan yang diperbolehkan mengerjakannya, tidak diwajibkan dan tidak juga diharamkan. Bagi laki-laki yang terdesak alasan-alasan mewajibkan segera menikah, atau alasan-alasan yang menyebabkan ia harus menikah maka hukumnya mubah. Menurut ulama Hanbali mubah hukumnya, bagi orang yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah.

  Hukum pernikahan dapat berubah menjadi wajib, yaitu apabilaSeseorang yang sudah mampu dari segi biaya dan nafsunya sudah sangat mendesak untuk menikah, jika tidak menikah dikhawatirkan dirinya 15 Slamet Abidin dan H. Aminuddun, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia.

  Hlm. 11-12 16 Ibid., Hlm. 33

  akan terjerumus dalam lembah perzinaan, untuk menjauhkan dirinya dariperbuatan haram maka wajib baginya untuk menikah.

  Imam Qurtuby berkata, “bujangan yang sudah mampu menikahdan takut dirinya dan agamanya, sedangkan untuk menyelamatkan dirinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan pernikahan maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia menikah. Jika nafsunya mendesak, sedang ia tidak mampu untuk menafkahi istrinya maka Allah nanti akan melapangkan rezekinya.”

  Ulama Malikiyyah mengatakan bahwa, “menukah itu wajib bagi yang menyukainya dan takut terjerumus ke jurang perzinaan jika ia tidak menikah, sedangk an berpuasa ia tidak sanggup.”

  Hukum pernikahan dapat berubah menjadi sunnah. Melakukan pernikahan hukumnya sunnah, apabila orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah, tetapi jika ia tidak menikah tidak dikhawatirkanakan terjerumus ke lembah perzinaan.

  Ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah sepakat bahwa menikah itu sunnah bagi orang yang menyukainya, tetapi tidak takut terjerumus ke lembah perzinaan.Ulama Malikiyah berpendapat bahwa menikah itu Sunnah bagi orang yang kurang menyukainya, tetapi menginginkan keturunan karena ia mampumelakukan kewajiban dengan memberi rizki yang halal serta mampu melakukan hubungan seksual.

  Sedangkan ulama Syafi‟iyah mengangap bahwa menikah itu sunnah bagi orang yang melakukanya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan melanjutkan keturunan.

  Hukum pernikahan dapat menjadi makruh. Melakukan pernikahan hukumnya makruh bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya walaupun tidak merugikanya karena ia kaya, ataupun ia mempunyai kemampuan untuk menikah tetapi tidak mempunyai kemauan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.

  Menurut ulama malikiyyah, menikah itu hukumnya makruh bagi seorang yang tidak memiliki keinginan dan takut kalau tidak mampu memenuhi kewajibanya kepada istrinya.Sedangkan menurut ulama syafiiyah, menikah itu hukumnya makruh bagi orang-orang yang mempunyai kekhawatiran tidak mampu memberikan kewajiban kepada istrinya.

  Hukum pernikahan dapat menjadi haram. Melakukan pernikahan hukumnya haram bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan serta tidak mempunyau tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan melenyarkan dirinya dan istrinya. Begitu juga jika seorang menikah dengan tujuan menelatarkan orang lain, wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan orang lain.

  Al-Qurtuby menyatakan bahwa jika seorang laki-laki tidak mampu menafkahi istrinya dan membayar maharnya, serta tidak mampu memenuhi hak-hak istrinya sebelum ia dengan terus terang menjelaskan keadaan itu kepadanya atau sampau datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hal istrinya.

  Begitu juga kalau karena suatu hal ia menjadi lemah tidak mampu mengauli istrinya maka ia wajib menerangkan dengan terus terang agar calon isteri tidak tertipu olehnya.

C. Tujuan Pernikahan

  Pernikahan sebagai amal perbuatan yang disunnahkan tentu mengandung beberapa tujuan. Secara umum tujuan pernikahan ada beberapa hal. Pertama, Membentuk keluarga sakinnah mawaddah dan rohmah. Tujuan utama pernikahan adalah untuk memperoleh kehidupan yang tenang (sakinah,) cinta (mawaddah) dan kasih sayang

  (rohmah) yang dapat tercapai jika semua tujuan sudah terpenuhi

  dengan kata lain, tujuan lain sebagai pelengkap untuk memenuhi tujuan utama ini. Tujuan untuk memperoleh kehidupan yang tenang

  (sakinnah) cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rohmah) ini terdapat

  17

  dalam firman Allah yang berbunyi:

    Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya 17 kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-

  

Khoiruddin Nasution.2005. hukum Perkawinan Indonesia. Yogyakarta:Academia &

tazzafa. Hlm. 38

  Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya kepada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum 18 yang berfikir.

  Kedua, mendapatkan dan melangsungkan keturunan. Setiap

  pasangan yang telah melaksanakan pernikahan tentu mempunyai keinginan untuk mendapatkan anak/keturunan yang sah. Walaupun kehidupan rumah tangga yang serba berkecukupan, tetapi tidak mempunyai keturunan, kehidupan rumah tangga belum sempurna, serta terasa sepi dan hampa. Keinginan untuk mendapatkan keturunan ini disebabkan anak-anak itulah yang diharapkan dapat membantu ibu dan bapaknya pada hari tuanya kelak. Setiap orangtua tentu mengharapkan anak-anak yang soleh dan berbakti kepada orang

  19 tuanya.

  Dapat diambil pengertian bahwa anak merupakan penolong bagi orang tua baik baik bagi kehidupanya didunia maupun diakhirat kelak. Selain itu anak juga merupakan penerus generasi, penyambung keturunan yang akan selalu berkembang untuk meramaikan dan memakmurkan bumi.

  Karena manusia mempunyai pikiran, perasaan, kesopanan, kesusilaan, serta mempunyai hak dan kewajiban, maka untuk menyambung keturunan hanya dengan melaksanakan ikatan

  18 19 Ar-Rum (30) : 21 Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberti.hal.13-14. perkawinan yang sah yang mempunyai peraturan-peraturan yang telah ditentukan.

  Ketiga, Pemenuhan kebutuhan Biologis (Seks). Hal ini

  dijelaskan dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi: 

   

   

  Artinya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalianpun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga terangbagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitufajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam, tetapi janganlah kalian campuri mereka itu sedang kalian beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-

  20 ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

  Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa seorang pria (suami) merupakan pakaian bagi istri-istrinya dan begitu juga sebaliknya.

  Allah Awt tidak menyukai pria dan wanita yang menyalurkan naluri seksualnya sama seperti makhluk lainnya. Oleh karena itu Allah Swt mengatur hubungan pria dan wanita sedemikian rupa dalam sebuah 20 pernikahan yang sah. Disamping pernikahan untuk pengatur naluri

  Al-Baqarah (2) : 187 seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab.

  Keempat, Menjaga kehormatan. Menjaga kehormatan sejalan