1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI ANAK-ANAK DALAM KELUARGA PERNIKAHAN USIA DINI DI KECAMATAN PULUNG KABUPATEN PONOROGO SKRIPSI

  

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI ANAK-ANAK DALAM KELUARGA

PERNIKAHAN USIA DINI DI KECAMATAN PULUNG KABUPATEN

PONOROGO

SKRIPSI

  

OLEH :

ERNA NUR INDAH

NIM : 210314010

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO

JULI 2018

  

ABSTRAK

Erna, Nurindah. 2018. Pendidikan Agama Islam Bagi Anak-Anak Dalam Keluarga

Pernikahan Usia Dini Di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo

  . Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, Institut Agama Islam Negeri Ponorogo. Pembimbing Skripsi: Dr. H. Sutoyo, M.Ag

  Kata Kunci : Pendidikan Agama Islam, Keluarga, Pernikahan Dini

  Pendidikan agama Islam bagi keluarga merupakan usaha orang tua sebagai orang yang bertanggungjawab dalam keluarga untuk membimbing jasmani dan rohani anak secara bertahap yang mencakup aspek duniawi dan ukhrawi berdasarkan hukum agama Islam agar anak dapat berkembang secara maksimal sesuai ajaran Islam.

  Kebanyakan dari orang tua yang menikahkan anaknya di usia dini kehilangan pendidikan dan harapan-harapan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Dan ketika mereka mempunyai keturunan keluarga pernikahan usia dini kekurangan bekal ilmu untuk mendidik anak- anaknya sesuai dengan syari‟at Islam. Penelitian dilakukan untuk mengetahui (1) sikap keluarga pernikahan usia dini terhadap pendidikan agama

  Islam anak-anaknya di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo, (2) cara pernikahan usia dini terhadap pendidikan agama Islam anak-anaknya di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian studi khasus. Tenik mengumpulkan data penulis menggunakan observasi, wawancara, dokumentasi.

  Hasil dari penelitian ditemukan bahwa banyaknya masyarakat di daerah tersebut yang menikah di usia dini yang karena disebabkan kondisi ekonomi dan pendidikan orang tuanya yang rendah. (1) Sikap keluarga pernikahan usia dini terhadap pendidikan agama Islam anak-anaknya di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo, kepedulian orangtua terhadap pendidikan agama anaknya telihat dengan jelas dalam sikap orangtua sudah cukup mendukung dari segi pendidikan Agamanya. Dengan memasukannya melalui lembaga pendidikan Agama untuk mengajari jasmani dan rohani anak sesuai dengan syari‟at Islam, tetapi orangtua keluarga pernikahan dini belum sepenuhnya mampu merubah akhlak anak dan menjadikan anak-anaknya memiliki pribadi yang Islami dan sholeh-sholehah. (2) Mengenai cara keluarga pernikahan usia dini terhadap pendidikan agama Islam anak-anaknya di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo, sebagai berikut: cara yang orangtua lakukan dengan memasukan anak-anaknya ke dalam lembaga pembelajaran Al-

  Qur‟an seperti TPQ, MI dan lain sebagainya. Disekolah anak akan diberikan pembelajaran membaca dan menulis oleh guru disekolahnya akan tetapi sangat disayangkan para orangtua pernikahan usia dini tidak bisa membimbing dan melatih perkembangan pembelajaran anaknya selepas sekolah, dan para orangtua pernikahan usia dini hanya mengandalkan guru disekolah.

PENDAHULUAN A.

   Latar Belakang Masalah

  Orangtua merupakan pendidikan utama dan pertama bagi anak-anak mereka, dan merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Oleh karena itu,

  1

  bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam keluarga. Peran pendidikan dalam rumah tangga yaitu pendidikan anak yang mewajibkan orangtua untuk memberikan pendidikan untuk anak-anaknya. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa keluarga merupakan “pusat pendidikan” yang pertama dan terpenting karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai kini, keluarga selalu

  2 mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia.

  Tujuan pendidikan dalam rumah tangga adalah agar anak mampu berkembang secara maksimal. Itu meliputi seluruh aspek perkembangan

  3

  anaknya, yaitu jasmani, akal, dan rohani Seluruh uraianmengenai tanggung jawab orangtua dalam pendidikan Islam merupakan kajian aksiologis dalam pendidikan karena fungsi orangtua dan para pendidik adalah menentukan masa depan generasi penerus agama, bangsa, dan negara.

  Setiap manusia ketika mulai dewasa, mereka akan berfikir untuk membangun rumah tangga melalui pernikahan. Pernikahan merupakan akad atau 1 Saiful Bahari, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 85. 2 3 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), 239.

  perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita supaya halal dalam hubungan kelamin antara kedua belah pihak atas dasar sukarela dan keridhoan dua belah pihak untuk mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi Allah.

  Kesejahteraan hidup rumah tangga atau keluarga merupakan dambaan dan tujuan hidup setiap manusia. Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana di kalangan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat ini tergantung pada kesejahteraan keluarga yang terbentuk melalui sebuah perkawinan.

  Tujuan perkawinan yang pertama dan utama adalah memperoleh keturunan atau anak. Terwujudnya tujuan ini, bukan hanya merupakan tuntunan

  

syar’i, melainkan juga realisasi dari keinginan-keinginan fitriah setiap individu,

  baik laki- laki maupun wanita yang normal. Sebagaimana firman Allah „Azza wa Jalla dalam surat An-Nahl:72.                      

   Artinya:

  “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu- cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah

  4 mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"

  4

  Dan yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang

  .

  berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah SWT Secara psikologis dan biologis tujuan perkawinan adalah mendorong manusia untuk memperoleh anak, dalam rangka melanjutkan keturunan dan sejarah umat manusia. Tanpa keturunan, jenis manusia akan punah di planet bumi ini.

  Di Indonesia, kasus perkawinan anak di bawah umur bukanlah persoalan baru. Praktik ini sudah berlangsung lama dengan begitu banyak pelaku tidak hanya di pedalaman, namun juga di kota besar. Penyebabnya pun bervariasi, mulai dari faktor ekonomi, rendahnyapendidikan, dangkalnya pemahaman budaya dan doktrin agama tertentu, hingga hamil terlebih dahulu (yang popular dengan istilah married by accident). Nenek moyang kita dahulu banyak yang menikah di usi a “dini”. Bahkan kala itu, perkawinan di usia “matang” akan mendatangkan stigma dan citra negatif di mata masyarakat, di mana perempuan 5 yang tidak segera menikah akan dinilai sebagai perawan Mayoritas

  kaseb”.

  yang terjadi di kalangan masyarakat, orang tua lebih memilih untuk menikahkan anaknya daripada meneruskan di jenjang pendidikan. Bagi mereka, menikahkan anak dapat mengurangi beban kehidupan, karena salah satu tanggung jawabnya telah terselesaikan. 5 Hanafi Yusuf, kontroversi perkawinan anak di bawah umur (Bandung: Mandar Maju, 2011),

  Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seseorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi dari pada jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.

  Berhubung dengan itu batasan usia yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanakan perkawinan adalah yang matang jiwa raganya. Dalam

pasal 7 ayat 1 diterangkan “perkawinan hanya diizinkan kepada pria 19 tahun

  6

  dan wanita 16 tahun. Dari batasan umur ini secara fisiologis memang sudah dikatakan mampu tapi dari segi psikologis seseorang yang menikah di usia ini belum bisa dikatakan dewasa tetapi masih usia remaja.

  Namun demikian jika belum mencapai 21 tahun, calon pengantin baik pria maupun wanita diharuskan memperoleh izin dari orang tua/wali yang diwujudkan dalam bentuk surat izin sebagai salah satu syarat untuk melangsungkan perkawinan. Bahkan bagi calon pengantin yang usianya kurang

  7 dari 16 tahun harus memperoleh dispensasi dari pengadilan.

  Undang-undang diciptakan untuk mengatur dan menjamin kepentingan masyarakat yang merupakan ijtihad dari pembuat undang-undang itu sendiri demi kemaslahatan rakyat yang sesuai dengan sosiokultur bangsa Indonesia, oleh karena itu hukum harus dapat membaca situasi masyarakat yang dalam hal ini 6 Muhammad Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU. No 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam (Jakarta, 1986), 4. 7 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan , Bandung: Al-Bayan, 1994. (Bandung: Al-

  menjadi obyek daripada hukum dan sendi-sendi hukum antara lain memperhatikan kemaslahatan, keadilan, dan tidak membebani pengguna hukum

  8 tersebut.

  Bila ditinjau lebih lanjut, banyaknya kasus kegagalan dalam mendidik anak dan keluarga antara lain disebabkan karena dinilai kurang berpendidikan, kedewasaan, dan kemampuan melaksanakan tanggung jawab dalam sebuah keluarga. Mengingat besarnya tanggung jawab yang dijalani oleh kedua calon mempelai. Hal ini juga berakibat pada keturunan yang dihasilkan dalam sebuah perkawinan tersebut, dikarenakan kurangnya kematangan jiwa kedua calon mempelai ditinjau dari segi psikis yang tidak optimal.

  Kematangan seseorang ini dapat dikaji melalui pendekatan psikologi. Psikologi secara umum adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan jiwa manusia yang normal, dewasa, dan

  9 beradab.

  Tetapi tidak semua orang yang usianya sudah matang dan sukses dalam segala hal bisa membentuk keluarganya menjadi keluarga yang sangat diidam- idamkan (keluarga sakinah). Apalagi seseorang yang masih muda, masih dini, masih banyak tergantung dengan orang tuanya terutama dalam hal ekonomi sangat tipis untuk bisa membentuk keluarganya menjadi keluarga yang sakinah

8 Tengku Muhammad Hasby As-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1967) , 7.

  9 dengan posisi usia yang masih dini dan belum memiliki pekerjaan, tergantung pada orang tua tetapi tidak banyak dan jarang.

  Fenomena perkawinan anak di bawah umur itu tidak terjadi begitu saja. Cara pandang masyarakat yang sangat sederhana, bahkan cenderung salah dalam mempresepsikan perkawinan, tidak lahir dari ruang hampa. Artinya, ada banyak variabel faktor yang menjadi penyebab dari semua ini. Dalam soal ini pendidikan memberi andil yang cukup besar.

  Kebanyakan mereka yang menikah di usia dini ini adalah anak-anak yang berpendidikan rendah, psikologi yang belum matang dan kebanyakan masyarakat tidak mengetahui pentingnya pola pendidikan yang harus difahami oleh setiap orang sebelum berkeluarga. Agar keluarga yang akan ditempuhnya menjadi keluarga sakinah, mawaddah warrohmah yang tentunya akan membawa kepada kebahagiaan dunia akhirat.

  Dengan demikian dari berbagai penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa pendidikan Agama Islam sangatlah penting bagi anak dalam pernikahan usia dini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian meneliti dengan judul “Pendidian Agama Islam Bagi Aanak-anak Dalam Keluarga

  Pernikahan Usia Dini Di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo

  B. Fokus Masalah

  Berdasarkan dari permasalahan di atas, maka penelitian ini difokuskan pada pendidikan agama Islam bagi anak-anak dalam keluarga pernikahan usua dini di Kecematan Pulung Kabupaten Ponorogo.

  C. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian di atas, maka di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana sikap keluarga pernikahan usia dini terhadap pendidikan agama Islam anak-anaknya di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo? 2. Bagaimana Cara keluarga pernikahan usia dini terhadap pendidikan agama

  Islam anak-anaknya di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo? D.

   Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:

  1. Mengetahui sikap keluarga pernikahan usia dini terhadap pendidikan agama Islam anak-anaknya di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo 2. Mengetahui cara pernikahan usia dini terhadap pendidikan agama Islam anak- anaknya di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo

E. Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara peraktis, yaitu sebagai berikut:

1. Bagi peneliti a.

  Untuk menambah wawasan peneliti agar berfikir kritis guna melatih kemampuan dalam memahami dan menerapkan dalam kehidupan dimasa depan.

  b.

  Sebagai bahan dokumentasi dan penambah wawasan sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuwan tentang kelemahan dan kelebihan pernikahan dini.

2. Bagi masyarakat dan orang tua a.

  Supaya masyarakat dapat mengetahui segi positif dan negatif pernikahan dini.

  b.

  Agar orang tua lebih selektif dan hati-hati dalam menikahkan anaknya.

F. Sistematika Penulisan

  Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut: BAB I, Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, sistematika penulisan. BAB II, Kajian teoritik tentang Pendidikan Agama Islam bagi Anak-Anak dalam Keluarga Pernikahan Usia Dini di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo BAB III, Membahas tentang metode penelitian, pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran penelitian, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data.

  BAB IV, Membahas tentang gambaran umum, diskripsi Pendidikan Agama Islam bagi Anak-Anak dalam Keluarga Pernikahan Usia Dini di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo. BAB V, Analisis tentang Pendidikan Agama Islam bagi Anak-Anak Dalam Keluarga Pernikahan Usia Dini di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo. BAB V, penulis membuat penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran sebagai bahan masukan dalam dunia pendidikan.

BAB II PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI ANAK-ANAK DALAM KELUARGA PERNIKAHAN USIA DINI A. Telaah Hasil Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian tersebut ada beberapa telaah pustaka yang

  peneliti temukan. Telaah pustaka tersebut yaitu:

  10 Pertama,skripsi Erlyna Prehatmisari

  dengan judul “Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga Usia Muda”. Dengan hasil penelitian masih banyak faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menikah dalam usia muda dan dalam skripsi ini juga menjelaskan pengaruh pendidikan agama Islam pada keluarga yang menikah di usia muda. terbaru ini lebih pada sistem mendidiknya agar keluarga pernikahan dini ini menjadi keluarga berkualitas tentunya dibawah rambu-rambu sang illahi. Penelitian pola pendidikan agama Islam lebih pada keluarga pernikahan dini menjadi keluarga yang berpendidikan formal dan nonformal sebagai wujud bahwa pentingnya ajaran Islam dalam sebuah keluarga apalagi dalam keluarga pernikahan dini yang masih belum matang dalam segi psikologi, pendidikan dan ekonominya.

10 Erlyna Prehatmisari, Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga Usia Muda (Skripsi:

  11 Kedua, Skripsi Aimatun Nisa

  dengan judul “Upaya Membentuk Keluarga Sakinah Bagi Keluarga Pernikahan Dini” ini hanya terfokus pada perbandingan 2 keluarga dalam membentuk upaya keluarga sakinah. Persamaan hanya terdapat pada makna dan nilai yang terkandung pada keluarga pernikahan dini dan perbedaan terdapat pada tujuan penelitian yakni penelitian terdahulu menyajikan tentang upaya untuk membentuk keluarga sakinah sedangkan peneliti terfokus pada strategi pendidikan agama Islam di keluarga pernikahan dini.

12 Ketiga,skripsi Habibi

  dengan judul “Tinjauan Hukum Islam dan Psikologi Terhadap Batas Usia Minimal Perkawinan”. Penelitian ini menjelaskan hasil batasan umur minimal untuk menikah berdasarkan hukum Islam.Penelitian pola pendidikan agama Islam lebih pada keluarga pernikahan dini menjadi keluarga yang berpendidikan formal dan nonformal sebagai wujud bahwa pentingnya ajaran Islam dalam sebuah keluarga apalagi dalam keluarga pernikahan dini yang masih belum matang dalam segi psikologi, pendidikan dan ekonominya.

  11 Amiatun Nisa, Upaya Membentuk Keluarga Sakinah Bagi Keluarga Pernikahan Dini (Skripsi: Universitas Muhammadiyyah Surakarta , 2014). 12 Habibi, Tinjauan Hukum Islam dan Psikologi Terhadap Batas Usia Minimal

B. Kajian Teori 1. Pendidikan Agama Islam a. Pengertian pendidikan Agama Islam

  Dalam bahasa Indonesia, istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu

  “paedagogie” yang berarti

  bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan

  “education” yang berarti pengembangan

  atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan 13 “tarbiyah” yang berarti pendidikan.

  Dalam konteks islam, pendidikan secara bahasa (lughatan) ada tiga kata yang digunakan. Ketiga kata tersebut, yaitu (1)

  “al-ta’lim, (2) “al-ta’di,

  (3)

  “at-tarbiyah”. Ketiga kata tersebut memiliki makna yang saling

  berkaitan saling cocok untuk pemaknaan pendidikan dalam Islam. Ketiga kata itu mengandung makna yang amat dalam, menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling

  14 berkaitan satu sama lain.

  Pengertian ta‟lim menurut Abd. al-Rahman sebatas proses 13 penstrasferan penegtahuan antara manusia. Ia hanya dituntut untuk 14 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), 84.

  menguasai penegtahuan yang ditransfer secara kongnitif dan psikomotorik, akan tetap tidak dituntut pada domain akfektif. Ia hanya sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang disebabkan pemberian pengetahuan.

  Pada masa sekarang termasuk yang paling populer dipakai orang adalah

  “tarbiyah” karena term tarbiyah meliputi keseluruhan kegiatan

  pendidikan (tarbiyah) yang berarti suatu upaya yang dilakukan dalam mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna dalam etika, sistematis dalam berfikir, memiliki ketajaman intusi, giat dalam berakresi, memiliki teloransi pada yang lain berkompetensi dalam hal yang baik, mengungkapkan dengan dan bahasa lisan dan tulisan yang baik dan benar serta memiliki beberapa keterampilan. Sedangkan istilah yang lain merupakan bagian dari kegiatan tarbiyah. Dengan demikian maka istilah

  15 pendidikan Islam disebut tarbiyah Islamiyah.

  Berdasarkan beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan di atas, serta beberapa pemahaman yang diperoleh dari beberapa istilah dalam pendidikan Islam, seperti

  tarbiyah, ta’lim, ta’dib dan istilah

  lainnya, dalam pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: “Proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai-nilai Islam kepada peserta didik 15 melalui upaya pengajaran, pembiasan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan

  16 kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.

b. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam

  Dasar-dasar dalam uraian ini adalah landasan atau pijakan yang dijadikan tempat berjalannya ilmu pendidikan Islam. Pada prinsipnya ilmu pendidikan Islam berfungsi mengembangkan pendidikan Islam itu sendiri.

  17 Oleh karena itu, harus diaplikasikan pada hal-hal berikut:

  1) Pendidikan Islam harus diorentasikan pada upaya mengejawantahkan nilai-nilai ilahiah dalam pribadi setiap peserta didik.

  2) Pendidikan Islam adalah upaya manusia untuk menginternalisasikan sifat- sifat Allah yang ada pada dirinya.

  3) Pendidikan Islam sesungguhnya diorientasikan umat Islam pada upaya mengenal Allah, mendekati-Nya, dan menyerahkan diri kepada-Nya.

  4) Kemutlakan Allah dalam segala dimensi-Nya harus tampak dalam seluruh komponen pendidikan Islam, baik dalam tujuan, materi, dan komponen pendidikan lainnya.

  5) Dimensi kebenaran Allah mengisyaratkan bahwa hanyalah. Dia Sumber kebenaran,melahirkan cara pandamg epsistemologis tentang apa yang disebut dengan pengetahuan: tidak ada pemegtahuan yang dianggap benar

  16 17 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kalam Mulia, 2015), 105.

  Beni Ahmad dan Hendra Akhdiyat , Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, jika tidak bersumber dan tidak merujuk tanda-tanda Allah, baik quniyah maupun qauliyah. Hal itu berlaku juga dalam ilmu pendidikan Islam.

  Dengan empat pandangan di atas, dasar utama ilmu pendidikan Islam adalah ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan secara langsung maupun tindakan langsung dengan ilmu pengetahun dan pendidikan. Dasar yang kedua diambil dari hadis atau As-Sunnah Rasulullah SAW. Yang memerintah umat Islam untuk mencari ilmu dan mengembangkan pendidikan Islam. Dasar ketiga dapat diambil dari pandangan para sahabat yang menjadi atsar bagi umat Islam. Dasar keempat berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Undang-undang tentang sistem

  18 pendidikan nasional di Indonesia.

  Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar, sebagaimana ajaran Islam. Fisafat pendidikan Islam bersumber pokok pada al- Qur‟an dan Hadis. Adapun sumber-sumber lain terdiri dari atas:

  qiyas syari’i dan ijma’ulama

  yang ada sepanjang masa. Adapun dasar yang kokoh tersebut, terutama al- Qur‟an dan Sunnah, lebih memantapkan dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam. Keabsahannya untuk dijadikan pedoman hidup dan kehidupan yang benar memang telah mendapat jaminan dari Allah SWT (QS.11: 2). Selain itu, keutuhan al-

  Qur‟an sebagai sumber yang otentik wahyu Illahi, terjaga sepanjang masa. Firman Allah SWT.

  “sesungguhnya kami telah menurunkan al- 18 Qur‟an dan sesungguhnya kami tetap memeliharanya”. (QS. 15: 9).

  Dalam redaksi yang senada, Rasulullah memperkuat keabsahan kedua sumber tersebut melalaui sebdanya “kutinggalkan untuk kamu dua perkara (sumber), dan tidaklah akan tersesat selama-lamanya selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu kitabullah dan Sunnah Rasulnya”. (H.R. 19 Bukhari dan Muslim).

c. Tujuan Pendidikan Agama Islam

  Tujuan yaitu sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan. Karena itu tujuan pendidikan Islam yaitu sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan pendidikan Islam.

  Ahmad D. Marimba mengemukakan dua macam tujuan yaitu tujuan

  20 sementara dan tujuan akhir.

  1) Tujuan Sementara

  Yaitu sasaran sementara yang harus dicapai oleh umat Islam yang melaksanakan pendidikan Islam. Tujuan sementara di sini yaitu, tercapainya baerbagai kemampuan seperti kecakapan jamaniah, pegetahuan membaca, menulis, pengetahuan ilmu-ilmu kemasyarakatan, kesusilaan, keagamaan, kedewasaan jasmani –rohani dan sebagainya.

  19 20 Ramayilis dan Samsul Nizal, filsafat Pendidikan Islam, 9.

  2) Tujuan akhir

  Adapun tujuan akhir pendidikan Islam yaitu terwujudnya kepribadaian muslim, sedangkan kepribadian muslim disini adalah kepribadaian yang seluruh aspek-aspeknya merealisasikan atau mencerminkan ajaran Islam.

  Dapat disimpulkan yang dimaksud dengan kepridadian muslim ialah pridadi yang seluruh aspek-aspek yakni baik tingkah luarnya, kegiatan-kegiatan jiwanya, maupun filsafat hidup kepercayaannya menunjukkan pengabdian Tuhan, penyerahan diri kepada-Nya.

  21 d.

   Prinsip Pendidikan Agama Islam

  Dalam menentukan tujuan pendidikan Islam sesungguhnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip pendidikan. Dalam hal ini, paling tidak ada lima prinsip dalam pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai Al-

  Qur‟an dan Hadis, sebagai berikut.

  1) Prinsip Intergrasi (Tauhid)

  Prinsip ini memandang adanya wujud kestuan antara dunia dan akhirat. Untuk itu, pendidikan akan meletakkan porsi yang seimbang untuk mencapai kebahagiaan di dunia sekaligus di akhirat (

  I’malu lid dunyaka ka annaka ta’isyu Abadan, wa I’malu lil akhiratika ka’annaka tamutu ghadan ). 21

  2) Prinsip Keseimbangan Prinsip ini merupakan konsekuensi diri prinsip intrgrasi.

  Keseimbanagan yang proposional antara muatan ruhaniah dan jasmaniah, antara ilmu murni (pure science) dan ilmu terapan (aplicated science), antara teori dan praktik, dan antara nilai-nilai yang menyangkut aqidah, syari’ah dan akhlaq.

  3) Prinsip Pemasaran dan Pembebasan

  Prinsip ini dikembangkan dari nilai tahuid, bahwa Tuhan adalah Esa. Oleh karena itu, setiap individu dan bahkan semua mahluk hidup diciptakan oleh pencipta yang sama (Tuhan). Perbedaan hanyalah membebaskan manusia dari belenggu nafsu dunia menuju pada nilai tauhid yang bersih dan mulia. Manusia dengan pendidikannya diharapkan biasa bebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, kejumudan, dan nafsu hayawaniyah -nya sendiri.

  4) Prinsip Kontinuitas dan Berkelanjutan (Istiqomah)

  Dari prinsip inilah kemudian dikenal konsep pendidikan seumur hidup (ling life education). Belajar dalam Islam adalah suatu kewajiban yang tidak pernah dan tidak boleh berakhir. Seruan membaca (

  iqra’) yang

  ada dalam Al- Qur‟an merupakan perintah yang tidak mengenal batas waktu. Dengan menuntut ilmu secara continue dan terus-terusan, diharapkan akan munculkesadaran pada diri manusia akan diri dan

  5) Prinsip Kemaslahatan dan Keutamaan

  Jika ruh tauhid telah berkembang dalam sistem moral dan akhlak seseorang dengan keberhasilan hati dan kepercayaan yang jauh dari kotoran, ia akan memiliki daya juang untuk membela hal-hal yang maslahat atau berguna bagi kehidupan. Sebab, nilai tauhid hanya bisa dirasakan apabila ia telah dimanifestasikan dalam gerak langkah manusia

  22 untuk kemaslahatan dan keutamaan manusia sendiri.

  Menurut Abuddin Nata, maka dapat dikemukakan, bahwa yang dimaksud dengan prinsip pendidikan Islam adalah kebenaran yang dijadikan pokok dasar dalam merumuskan dan melaksanakan pendidikan Islam. Dengan prinsip ini, maka pendidikan Islam akan memiliki

  23 perbedaan karakter dengan pendidikan diluar Islam.

  Perkembangan usia anak dan mentalitas anak menjadi tanggung jawab keluarga. Orangtua diharapkan membentuk lingkungan keluarga yang Islam karena anak mudah meniru seluruh perbuatan anggota keluarga yang dilihatnya. Anak akan merekam dan melakukan tindakan- tindakan sebagai hasil rekamannya. Oleh karena itu, semua aktivitas

  24 dalam keluarga harus dipantau dan diarahkan.

  22 23 Wiyani, Navan Ardy, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 29. 24 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2010), 101-102.

d. Metode Dan Teknik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

  Kata metode berasal dari bahasa Yunani. Secara etiomologi, kata metode berasal dari dua suku kata perkataan, yaitu meta dan hodos. Meta berarti “memulai” dan hodos berarti “jalan” atau “cara”. Dalam bahasa Arab, kata metode dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan, maka langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan dalam rangka pembentukan kepribadian peserta didik.

  Metode dan teknik mempunyai pengertian yang berbedameskipun tujuannya sama. Metode adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan, sementara teknik adalah cara mengerjakan sesuatu”. Dengan demikian,

  25 metode mempunyai pengertian yang lebih luas dan konsepsional.

  Dalam Al-Quran surat Al-Hayar ayat 2 dikatakan :                                          

     Artinya: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab

  dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama[1463]. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat 25 mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah

  mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang

  26 yang mempunyai wawasan”

  Islam menganjurkan kepada umatnya agar mempunyai pandangan luas, melihat dan menerima pendapat atau ilmu dari siapapun asalkan ilmu tersebut mendatangkan keuntungan dan kemanfaatan bagi kehidupan manusia dan ilmu tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

2. Pernikahan Usia Dini a. Pengertian Pernikahan.

  Secara bahasa pernikahan terambil dari kata nakaha, yankihu,

  nakahan, wanikaahan, yang mempunyai arti berhimpun, bersatu, dan

  berkumpul. Dalam kamus bahasa Indonesia nikah diartikan sebagai janjian 27 antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi. Menurut Tihami dan Sohari Sahrani, pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan

  28 hidupnya.

  26 Al- 27 Qur‟an, Al-Haysr: 2. 28 M. Fadlillah, Menikah Itu Indah ( Yogyakarta: Elangit7 publishing, 2014) 2.

  Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fiqih Nikah Lengkap (Jakarta:

  Adapun menurut syarak, nikah adalah akad serah terima anata laki- laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtrea. Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata; inikah

  

atau tazwji . Hal ini sesuai dengan ungkapan yang ditulis oleh Zakiyah

  Darajat dan kawan-kawan yang memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:

  اَمُه اَىْعَم ْوَأ ِجْيِو ْزَتلاِوَأ ِحاَكَىلا ِظْفَلِب ٍئْط َو َةَحاَبِإ ُهَمَضَتَي ٌدْقَع

  Artinya:

  “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hukum kelamin dengan lafaz nikah atau tazwiji atau yang semakna 29 keduanya”.

  Perkawinan usia dini adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang belum baliq. Apabila batasan baliqh itu ditentukan dengan hitiungan tahun maka perkawinan belia adalah perkawinan di bawah usia 15 tahun menurut mayoritas ahli fiqih, dan dibawah 17/18 tahun menurut

  30

  pendapat Abu Hanifah. Menurut pasal Bab II, pasal 7 Tentang syarat- syarat perkawinan yaitu: 1)

  Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) 29 tahun. 30 Ibid., 9.

  2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta disepensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminat oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

  Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orangtua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak 31 mengarungi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6). Walaupun demikian, masih terbuka terjadinya pernikahan di bawah umur melalui dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua dari pihak pria maupun pihak perempuan (pasal 7 ayat 2).

  Para ulama dari empat mazhab sepakat mengeni bolehnya perkawinan pasangan anak laki-laki yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil pula, apabila akadnya dilakukan oleh walinya. Tetapi para ulama berbeda akadnya dilakukan oleh walinya. Pendapat jalesnya sebagai

  32

  berikut : 1)

  Abu Hanifah Abu Hanifa berpendapat bahwa perkawinan anak-anak itu boleh. Setiap wali, baik yang dekat maupun yang jauh dapat menjadikan wali anak perempuannya yang masih kecil dengan anak laki-laki yang 31 masih kecil. Wali ayah atau kakek lebih di utamakan, karena akadnya 32 Undang-Undang dasar RI Nomer 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

  Sa‟id Thalib, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amanah, 2010), berlaku dengan pilihan kedua anak tersebut setelah keduanya dewasa. Apabila akadnya dilakukan oleh wali bukan ayahnya dan kakeknya, misalnya oleh saudaranya, pamannya, maka kedua anak tersebut harus memilih untuk terus atau membatalkan perkawinannya setelah keduanya dewasa.

  2) Imam Syafi‟i

  Imam Syafi‟i perpendapat bahwa perkawinan anak yang masih kecil itu diperbolehkan seperti pendapat Abu Hanifah. Tetapi yang berhak mengawinkan hanya ayah atau kakeknya. Bila kedudukannya tidak ada. Maka hak mengawinkan anak yang masih kecil itu tidak dapat pindah kepada wali lainya. 3)

  Imam Malik Imam Malik r.a. berpendapat bahwa perkawinan anak perempuan yang masih kecil dengan laki-laki yang juga masih kecil hanya dapat dilaksanakan oleh wali yang menerima wasiat dari ayahnya sebagai penghormatan kepada keinginan ayahnya sewaktu masih hidup atau setelah meninggalnya itu diperbolehkan.

  Demikianlah pendapat para Imam yang terkenal dalam Islam tentang adanya perkawinan anak-anak. Tetapi adapula sekelompok ulama yang melarang adanya pernikahan anak-anak sebelum mereka sampai pada usia kawin, mereka beralasan dengan firman Allah:

              

      Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang

  belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan

   33 ucapkanlah kepada mereka kata- kata yang baik.”

  Kalau mereka anak-anak kecil boleh kawin sebelum baliqh maka ayat ini tidak ada gunanya. Mereka juga berkata: kedua anak itu belum perlu kawin, karena tujuan perkawinan adalah untuk pelepasan syahwat dan untuk memperoleh keturunan sedang anak-anak kecil tidak membutuhkan tujuan itu. Alasan kegiatnya: yaitu adanya akibat akad yang tidak baik, yaitu si anak berkewajiban melaksanakan isi akad yang

  34 tidak mereka buat.

  4) Hadis

  Namun sebagaimana disebutkan dalam hadis yang dikutip, bahkan sekalipun si ayah memaksa menikahkan anaknya yang tak seusia dengan keginginan si anak, maka setelah dia dewasa. Perkawinan itu dapat dibatalkan kalau memang si gadis sangat mengingininya, seorang anak perempuan kecil juga demikian bila setelah dewasa dia

  33 34 QS. An-Nissa:5 Sa‟id Thalib, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amanah, 2010), mendapatkan bahwa pasangannya tidak cocok, maka perkawinan itu dapat dibatalkan”. (HR. Abu Daud).

  35 b.

   Rukun Pernikahan

  1) Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yakni mempelai laki- laki dan mempelai perempuan.

  

36

  2) Adanya wali. 3) Adanya 2 orang saksi. 4) Dilakukan dengan shighat tertentu.

c. Syarat Pernikahan

  Adapun syarat dua mempelai itu ialah: 1)

  Syarat Pengantin Pria Syarat Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, ialah: a) Calon suami beragama Islam.

  b) Terang bahwa calon suami itu benar betul laki-laki.

  c) Orangtuanya diketahui dan tertentu.

  d) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.

  e) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu bahwa calon istrinya halal baginya. 35 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 1996), 45. 36 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Moderen (Yogyakarta: Graha Ilmu,

  f) Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.

  g) Tidak sedang melakukan Ihram.

  h) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.

i) Tidak sedang mempunyai istri empat.

2) Syarat calon pengantin perempuan.

  a) Baragama Islam atau Ahli Kitab.

  b) Terang bahwa ia wanita, bukan Khuntsa.

  c) Wanita itu tertentu oarangnya.

  d) Halal bagi calon suami.

  e) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam masa iddah.

  f) Tidak dipaksa/iktiyar.

  g) Tidak dalam keadaan Ihram Haji atau Umrah.

  37 d.

   Manfaat Pernikahan

  Seperti ibadah-ibadah yang lainnya, pernikahan juga memiliki banyak manfaat bagi pelakunya. Tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga bermanfaat kelak di akhirat. Barang siapa dapat segera melangsanakan pernikahan, maka ia akan mendapatkan berbagai macam kemanfaatan dari Allah SWT. Adapun manfaat-manfaat pernikahan yang akan diperoleh yaitu:

  38 37 Ibid., 54. 38

  1) Memberikan ketenangan

  Manfaat yang akan dipatahkan oleh orang yang telah menikah ialah ia akan mendapatkan ketenangan jiwa. Apabila selama ia membujang kegundahan jiwa, karena belum mendapatkan tempat yang pas untuk menyalurkan curahan hati dan kasih sayang, sekaligus nafsu seksual tersebut otomatis akan dapat terobati. 2)

  Terhindar dari perbuatan zina Manusia adalah mahluk Allah swt yang paling sempurna. Selain dibekali akal pikiran, manusia juga dibekali nafsu seksual. Nafsu akan terus bergejolak menyelimuti diri setiap orang dalam berbagi keadaan dan menuntut untuk segera disalurkan. Oleh karenanya, salah satu solusi untuk menghindari godaan tersebut, islam menganjurkan agar setiap orang yang telah memiliki kemampuan lahir dan batin untuk segera menikah. Dengan menikah seseorang akan dapat terhindar dari perbuatan zina yang dilaknat oleh Allah swt.Sebagaimana Rasulullah saw telah bersabda: “Wahai pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah cukup biaya(kemampuan), maka hendaknya menikah. Karena sesungguhnya menikah itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara kehormatannya (kemaluannya).

  Barang siapa belum mampu, hendaknya di berpuasa, karena puasa itu adalah perisai bagainya” (HR. Bukhari dan Muslim).

  3) Menyempurnakan Agama

  Setiap orang tentunya meningkatkan agamanya sempurna dihadapan Allah swt. Untuk menyempurnakan agama tersebut, maka seseorang diperintahkan untuk menikah. Orang yang rajin beribadah, seperti sholat, puasa, dan zakat belum dikatakan sempurna agamanya, manakala ia belum menikah. Untuk itu, orang meningkatkan agamanya sempurna, hendaklah ia segera menikah. Rasulullah saw telah bersabda: “Barang siapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaknya ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang se paruhnya” (HR. Thabrani dan Hakim). 4)

  Mendapatkan pertolongan Allah swt Diantara bentuk ketaatan kepada Allah saw ialah dengan melaksanakan pernikahan. Karena pernikahan dalam islam merupakan perintah Allah saw dan Rasul-Nya. Bararti oarang yang telah menikah secara tidak langsung kelak di akhirat akan mendapatkankan pertolongan dari Allah swt. Dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda: “Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah swt, yaitu: pejuang dijalan Allah, mukatib (budak yang memerdekakan dirinya sendiri dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah dikarenakan mau menjauhkan dirinya dari yang haram” (HR. Tirmidzi).

  5) Dibanggakan Nabi Muhammad Saw

  Salah satu wujud cinta Nabi kepada orang yang menikah adalah beliau akan membanggakan di hadapan para nabi kelak di akhirat.

  Rasulullah saw telah bersabda: “Menikah dengan perempuan yang mencintaimu dan yang bisa memberikan keturunan, sesungguhnya aku akan membanggakanmu sebagai umat yang terbanyak di hadapan nabi pada hari kiamat” (HR.Abu Dawud).

  6) Mendapatkan rizqi yang banyak