17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Workplace Well-being 1. Pengertian Workplace Well-being Workplace well-being merupakan sebuah konsep yang relatif baru dalam
bidang keilmuan managemen dan organisasi sehingga konseptual dan definisinya berbeda-beda (Brunette, 2013). Danna dan Griffin (1999) menyebut workplace
well-being dengan istilah health and well-being in the workplace, yaitu merujuk
kepada kesehatan fisik, dan kesehatan psikis pada pekerja yang menggambarkan adanya indikasi sehat atau sakit secara fisik, tingkatan emosional, dan tingkat epidemologi kesehatan mental. Menurut Page (2005) Workplace well-being adalah rasa sejahtera yang diperoleh pekerja dari pekerjaan karyawan yang terkait dengan perasaan pekerja secara umum (core affect) dan nilai intrisik maupun ekstrinsik dari pekerjaan (work value). Menurut Harter (2002) workplace well-
being merupakan kewajiban organisasi untuk membantu karyawannya dalam
memperoleh apa yang menjadi hak mereka dengan memberikan mereka kebebasan untuk meraihnya sehingga timbul emosi positif dari diri karyawan.
Lebih lanjut menurut Keyes, Schmidt, dan Harter (2002), bahwa kesejahteraan psikologis karyawan ditandai dengan kesehatan mental karyawan, sehingga menghasilkan karyawan yang lebih bahagia dan produktif.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka workplace well-being adalah rasa perasaan (emosi positif dan negatif) secara umum (core affect) serta nilai (work value) yang terkandung dalam pekerjaan (intrisik dan ekstrinsik).
2. Aspek Workplace Well Being
Page (2005) menyatakan bahwa workplace well-being dapat diukur berdasarkan 2 dimensi yaitu: a.
Core affect
Core affect merupakan keadaan yang mencakup rasa nyaman atau tidak
nyaman bercampur dengan gairah (passion) yang mempengaruhi aktivitas manusia (Page, 2005). Core affect terdiri dari dua aspek yaitu: 1)
Job satisfaction Kepuasan kerja adalah suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Sedangkan menurut Rivai (2003) kepuasan kerja merupakan evaluasi yang menggambarkan perasaan sikap senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja. Kepuasan kerja merupakan hasil dari tenaga kerja yang berkaitan dengan motivasi kerja (Munandar, 2012). 2)
Work related affect
Work related affect merupakan efek kesejahteraan psikologis pada
karyawan di tempat kerja didasarkan pada pengalaman subjektif yang terjadi, efek tersebut berupa efek negatif dan positif. Efek negatif adalah dimensi umum dari distres subjektif seperti marah, jijik, mencibir, rasa bersalah, ketakutan dan depresi. Sedangkan efek positif mencerminkan tingkat energi dari individu seperti kegembiraan dan antusiasme (Watson, dkk, 1989). b.
Work value
Work value merupakan nilai yang terkandung dalam pekerjaan yang mencakup nilai intrisik dan ekstrisik.
1) Intrisik
a) Tanggung jawab dalam bekerja
Tanggung jawab dalam bekeerja adalah kewajiban seseorang untuk melakukan fungsi yang diberikan kepadanya sesuai dengan kemampuan dan arahan. Tanggung jawab dalam bekerja meliputi menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, turut serta dalam melaksanakan budaya perusahaan, serta mampu memotivasi elemen perusahaan untuk mencapai tujuan bersama.
b) Makna pekerjaan
Makna kerja merupakan pilihan dan pengalaman individu dengan konteks organisasi dan lingkungan dimana individu bekerja. Individu yang memiliki makna terhadap pekerjaan akan memiliki tujuan dalam bekerja serta serta memiliki keterlibatan dalam membangun komunitas dalam bekerja.
c) Kemandirian dalam bekerja
Individu yang mandiri dalam melakukan pekerjaan dapat dipercaya untuk melakukan tugasnya tanpa bantuan orang lain.
d) Penggunaan kemampuan dan pengetahuan dalam bekerja
Dalam lingkungan pekerjaan individu diharapkan memiliki pengetahuan tentang pekerjaan yang dilakukan serta dapat menggunakan kemampuannya dalam bekerja.
e) Perasaan berprestasi dalam bekerja
Setiap pekerjaan dan tugas yang diberikan bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan pekerjaan itu memberikan perasaan berprestasi pada karyawan. 2)
Ekstrisik
a) Penggunaan waktu sebaik-baiknya
Seseorang yang mampu menggunakan waktu sebaik-baiknya yakni yang memiliki keseimbangan antara waktu kerja dan kehidupan pribadi.
b) Kondisi kerja
Individu yang merasa puas terhadap tempat kerja dan budaya kerja dalam lingkungan pekerjaannya.
c) Supervisi
Supervisi adalah bentuk perlakuan atasan kepada karyawan serta adanya dukungan kerja dari dari atasan.
d) Peluang promosi
Peluang promosi yaitu pemberian kesempatan kepada karyawan untuk berkembang atau jenjang yang lebih tinggi di tempat kerja.
e) Pengakuan kinerja yang baik
Perusahaan yang memiliki pengakuan kinerja yang baik adalah perusahaan yang secara objektif mampu membedakan perlakuan terhadap karyawan yang memiliki kinerja yang baik atau kurang baik.
f) Penghargaan sebagai individu di tempat kerja
Penghargaan sebagai individu ditempat kerja adalah adanya penerimaan diri karyawan oleh atasan serta adanya penerimaan diri karyawan oleh karyawan lainnya.
g) Uang
Uang merupakan dampak positif terhadap kinerja individu, tim dan organisasi. Uang secara positif dapat mendorong sebagian besar orang.
Dalam perspektif workplace well-being adanya kepuasan karyawan terhadap upah yang diterima.
h) Keamanan
Keamanan merupakan rasa puas karyawan terhadap posisi kerja yang di tempati serta memiliki rasa aman terhadap posisi kerja.
Menurut Danna, dkk. (1999), workplace well-being terdiri dari 3 aspek yaitu : a.
Life/ non-work satisfaction Keadaan yang menggambarkan tentang kesenangan individual yang meliputi kepuasan dan ketidakpuasan terhadap kehidupan sosial, kehidupan berkeluarga, kesenangan berekreasi, keadaan spiritual, serta kesejahteraan lain dalam kehidupan di luar lingkungan kerja. b.
Work/ job-related satidfaction
Work/ job-related satisfaction adalah kepuasan karyawan terhadap
variabel-variabel yang berkaitan dengan pekerjaannya. Variabel yang berkaitan dengan pekerjaannya yaitu puas atau ketidakpuasan terhadap upah, peluang promosi, kondisi kerja, dan rekan kerja.
c.
General Health Kesehatan secara umum merupakan sub-komponen workplace well-being yang merupakan kombinasi antara indikasi kesehatan mental/psikologi yang berdampak pada frustasi dan kecemasan serta kesehatan fisik/fisiologis yang berdampak pada gangguan kesehatan seperti tekanan darah tinggi kondisi jantung dan kesehatan fisik secara umum.
Berdasarkan aspek-aspek di atas, workplace well-being meliputi beberapa aspek yaitu core affect yang terdiri dari job satisfaction dan work related affect serta work value yang terdiri dari intrisik dan ekstrisik, life/non-work satisfaction,
work/ job-related satisfaction, dan general health. Peneliti memilih aspek yang
dikemukakan oleh Page (2005) yang terdiri dari core affect yang dibagi menjadi
job satisfaction dan work related affect serta work value yang dibagi menjadi
intrisik dan ekstrisik sebagai indikator untuk penyusunan skala karena lebih detail menjelaskan mengenai workplace well-being dan juga penelitian tersebut lebih baru dari penelitian sebelumnya.
3. Faktor-Faktor Workplace Well-being
Menurut Bakker dan Demerouti (2007) faktor yang mempengaruhi a.
Job Demands Menurut Bakker dan Demerouti (2007) tuntutan pekerjaan merujuk pada aspek-aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasi dari suatu pekerjaan yang membutuhkan usaha atau kemampuan secara fisik dan/atau psikologis yang terus-menerus dan oleh karena itu diasosiasikan dengan biaya fisik dan/atau psikologis tertentu.
b.
Job Control
Kontrol pekerjaan adalah otoritas yang dimiliki oleh karyawan untuk mengendalikan dan melakukan pengambilan keputusan dalam pekerjaannya dengan menggunakan skill yang dimiliki (Love, dkk, 2007). Fox, dkk (1993) menyatakan bahwa job control bagi karyawan dapat meliputi: kebebasan untuk melakukan pekerjaannya sesuai dengan job description, menentukan waktu istirahat, melakukan pengambilan keputusan. Lebih lanjut Fox, dkk (1993) mengungkapkan bahwa job control memiliki pengaruh terhadap kesehatan psikologis karyawan, karena karyawan yang memiliki job control yang tinggi dapat menurunkan tingkat tekanan pekerjaan yang tinggi, sementara karyawan yang memiliki job control yang rendah cenderung tidak memiliki kebebasan dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga dapat memicu timbulnya stres.
c.
Job resources
Menurut Bakker dan Demerouti (2005) pencapaian kerja mengacu pada aspek-aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasi dari pekerjaan yang biaya psikologis yang terkait, atau merangsang pertumbuhan pribadi dan pengembangannya.
Faktor
- – faktor yang mempengaruhi workplace well-being menurut Danna, dkk. (1999) antara lain : a.
Work Setting
Pengaturan tempat kerja dengan memperhitungkan keselamatan kerja, kenyamanan tempat kerja, keadaan psikologis serta hubungan antar karyawan dalam lingkungan kerja. Budaya organisasi pun termasuk penentu penting keselamatan dan kesehatan karyawan. Untuk itu work setting merupakan bagian integral dari setiap perusahaan untuk mewujudkan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.
b.
Personality Traits Personality traits merupakan kontrol pribadi atas kehidupan individu yang
memainkan peran penting dalam kesehatan dan kesejahteraan. Kontrol pribadi adalah fungsi kontrol objektif individu yang dirasakan secara umum. Kontrol yang dirasakan secara umum biasa juga disebut
“locus of control internal”
yaitu individu yang percaya pada perilakunya sendiri dan menentukan apa yang akan dikerjakan. Sedangkan orang dengan “locus control of internal” adalah orang yang percaya dengan keberuntungan atau pengaruh eksternal lain terhadap penentu yang terjadi di kehidupan karyawan.
c.
Occuptional stres
Selain adanya pengaruh ciri-ciri kepribadian dan faktor lain, stres juga individu, organisasi dan kemasyarakatan. Di dalam organisasi stres biasa dikenal dengan sebutan occuptional stres, yaitu stres yang terjadi dalam sistem kompensasi pekerja (King, 1995).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka faktor yang mempengaruhi
workplace well-being job demands, job control dan job resources, work setting,
personality traits, dan occuptional stres. Peneliti memilih job demands menjadi
variable predictor karena job demands merupakan faktor utama penentu
workplace well-being. Job demands yang tinggi cenderung menjadi pemicu
rendahnya workplace well-being (Love, dkk, 2007). Grebner, Semmer, dan Elfering (2005) menyatakan bahwa stresor pekerjaan (dalam hal ini, job demands) adalah satu hal yang mungkin menjadi penyebab buruknya well- being, kesehatan, dan performa kerja (job performance).
B. Persepsi terhadap Job Demands 1. Pengertian Persepsi terhadap Job Demands
Menurut Sobur (Soeyitno, 2003) persepsi adalah proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji dan memberikan reaksi kepada rangsangan panca indra. Pendapat lain dikemukakan oleh Walgito (2003) bahwa persepsi merupakan proses pengorganisasian atau penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas terintegrasi dalam diri individu.
Menurut Love, dkk (2007) job demands didefinisikan sebagai pemicu terjadinya beban pekerjaan yang terlalu banyak, dan terbatasnya waktu untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan adanya konflik pada tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan. Sedangkan menurut Robbins (2003) men definisikan job
demands adalah faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang dan dapat
memberi tekanan pada orang tersebut jika kecepatan tuntutan pekerjaan dirasakan berlebihan dan dapat meningkatkan kecemasan dan stres.
Menurut Ganster & Fusilier (Yperen & Hagedoorn, 2003) job demands didefinisikan sebagaimana seorang karyawan harus bekerja dengan cepat dan berusaha keras, serta memiliki banyak pekerjaan atau suatu hal yang harus dikerjakan dengan rentang waktu yang sedikit. Sedangkan menurut Schaufeli dan Bakker (2004) job demands mengacu pada aspek fisik, psikologis, sosial atau organisasi pada pekerjaan yang memerlukan dukungan upaya fisik dan psikologis (seperti, kognitif atau emosional) dan oleh karena itu dikaitkan dengan biaya fisik dan psikologis tertentu seperti tekanan kerja dan tuntutan emosional.
Berdasarkan definisi di atas disimpulkan bahwa persepsi terhadap job
demands adalah proses pengorganisasian dan interpretasi karyawan terhadap
aspek fisik, psikologis, sosial atau organisasi pada pekerjaan yang memerlukan upaya fisik dan psikologis (kognitif atau emosional).
2. Aspek-aspek Job Demands
Menurut Griffin dan Moorhead (2013) membagi job demands menjadi empat aspek, yaitu: a.
Tuntutan tugas (task demands) adalah stresor yang berkaitan dengan tugas spesifik yang dilakukan oleh individu. Stresor tuntutan tugas ini dibagi menjadi tiga, yaitu : 1)
Pekerjaan, berkaitan dengan ancaman fisik pekerjaan, kondisi tidak sehat terdapat dalam pekerjaan, misalnya pekerjaan yang memiliki resiko terhadap keselamatan nyawa dana kesehatan (misalnya, tambang, limbah, tegangan listrik).
2) Keamanan, pekerjaan yang membutuhkan kepastian terhadap karyawan.
Kepastian karir, kepastian lapangan pekerjaan dan kepastian upah. Sebagai contoh, stres kerja pada karyawan akan meningkat pada periode akhir kontrak tenaga outsourching. 3)
Kelebihan beban, kelebihan beban dapat terjadi ketika karyawan mempunyai lebih banyak pekerjaan daripada waktu dan kemampuan yang dia miliki. Kelebihan itu dapat berupa beban kuantitatif ataupun beban kualitatif.
b.
Tuntutan fisik (physical demands) adalah stresor yang berhubungan dengan situasi fisik pekerjaan, seperti kecakupan temperatur dan kenyamanan temapt kerja, serta tuntutan-tuntutan fisik yang diberikan kepada karyawan.
c.
Tuntutan peran (role demands) adalah stresor yang berhubungan dengan peran yang diharapkan untuk dimainkan oleh seseorang. Organisasi atau perusahaan mengharapkan seseorang dengan peran tertentu untuk bertindak dengan cara tertentu. d.
Tuntutan antar personal (interpersonal demands), adalah stresor yang berhubungan dengan tekanan kelompok, kepemimpinan dan konflik yang terjadi dalam interaksi rekan kerja dalam lingkungan perusahaan. Hal ini menyangkut hubungan antara atasan bawahan dan hubungan antara rekan kerja.
Menurut Schaufeli dan Bakker (2004) aspek-aspek Job Demands yaitu: a.
Work overload Work overload (beban kerja berlebihan) terbagi dua, yaitu quantitative dan qualitative overload . Quantitative overload adalah suatu hal yang
berhubungan secara langsung dengan jumlah pekerjaan, dsn sumber utama stres adalah tidak cocoknya jumlah pekerjaan dan waktu yang tersedia untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Qualitative overload adalah sebuah tuntutan pekerjaan terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan oleh karyawan.
Stres terjadi ketika pekerjaan yang harus dilakukan oleh pegawai terlalu sulit dan kompleks.
b.
Emotional demands Emotional demands (tuntutan emosional) merupakan job demands yang
berhubungan dengan emosional individu terhadap pekerjaan. Emotional
demands dapat juga didefinisikan sebagai aspek pekerjaan yang membutuhkan
upaya emosional terus-menerus karena kontak interaksi dengan klien. Emotional
demand mengacu pada komponen afektif dalam bekerja yang menempatkan
seseorang dalam situasi stres kerja.Dapat disimpulkan bahwa aspek job demands yaitu work overload,
emotional demands, task demands, physical demands, role demands dan
interpersonal demands . Berdasarkan aspek tersebut di atas maka peneliti memilih
aspek menurut Griffin dan Morehead (2013) yaitu task demands, physical
demands, role demands dan interpersonal demands sebagai indikator penyusunan
skala karena pendapat tersebut lengkap dan mudah dipahami. Selain itu juga aspek yang dikemukakan Griffin dan Morehead lebih ideal untuk menggambarkan keadaan karyawan di dalam penelitian ini.
C. Hubungan Antara Workplace well-being dengan Persepsi terhadap
Job Demands pada Karyawan
Menurut Page (2005) workplace well-being adalah rasa sejahtera yang diperoleh pekerja dari pekerjaan karyawan yang terkait dengan perasaan pekerja secara umum (core affect) dan nilai intrisik maupun ekstrinsik dari pekerjaan
(work value) . Rasa sejahtera pada karyawan adalah perasaan senang dan
termotivasi di tempat kerja dalam sebuah perusahaan (Lovell, 1977). Sedangkan aspek workplace well-being menurut Page (2005) adalah job satisfaction, work
related affcet, intrisik dan ekstrisik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bakker dan Demerouti (2007) diperoleh hasil bahwa faktor yang mempengaruhi workplace well-being adalah
job demands, job control, dan job resource. Job demands menjadi konstruk
penting dalam Job Strain Model (Karasek, 1979), maupun JDR atau Job Demands pada pekerjaan (Anwarsyah, 2012). Aspek-aspek job demands menurut Griffin, dkk meliputi task demands, physical demands, role demands dan interpersonal
demands .
Beberapa penelitian mendukung kedua variable tersebut memiliki hubungan. Jhonson, dkk. (2010) menjelaskan bahwa rendahnya level job demands dapat dikombinasikan dengan tingginya job control dan hubungan yang suportif di tempat kerja meningkatkan kesejahteraan pekerja (employee well-being). Love, dkk. (2007) menjelaskan bahwa job demands merupakan variabel yang menjadi prediktor yang signifikan terhadap kesejahteraan psikologis di tempat kerja
(workplace well-being).
Siagian (2003) mengungkapkan task demands yang tidak selaras dengan kemampuan seseorang akan menyebabkan individu mengalami stres. Stres merupakan respon dari diri seseorang terhadap tantangan fisik ataupun mental yang datang dari dalam atau luar diri individu (Nasrudin, 2010). Stres dari luar diri individu juga dapat dipicu oleh lingkungan pekerjaan. Stres karena lingkungan pekerjaan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada karyawan (Srivastava, 2012).
Lebih lanjut love, dkk. (2007) mengatakan bahwa tuntutan tugas yang berlebih (task demands) dapat memicu terjadinya kelelahan secara psikologis misalnya bekerja dalam waktu lama, beban pekerjaan yang terlalu banyak (work
overload) dan terbatasnya waktu untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Beban
kerja yang berlebih secara fisik atau mental, yaitu harus melakukan banyak hal menimbulkan beban yang berlebih (kuantitatif) adalah desakan waktu. Pada saat tertentu desakan waktu (deadline) justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja (Munandar, 2011). Namun, desakan waktu menimbulkan banyak kesalahan dan menyebabkan kondisi seseorang menurun maka akan berdampak pada buruknya workplace well-being (love, dkk, 2007).
Kerja yang dihadapkan pada tuntutan terhadap fisik (phsycal demands) akan menimbulkan kelelahan secara fisik, mantal dan reaksi emotional seperti sakit kepala, mudah marah, dan stres pada pekerjaan (Adhani, 2013). Kelelahan secara psikologis dan fisik akan mempengaruhi kesejahteraan (Daniels, 2000).
Efek kesejahteraraan psikologis yang berhubungan dengan pekerjaan akan menimbulkan kecemasan-kepuasan, serta depresi-antusias. Dampak inilah yang disebut oleh Daniels (2000) sebagai efek negatif atau positif dalam pekerjaan. Efek yang terjadi akibat dari pekerjaan mempengaruhi tinggi dan rendah workplace well-being.
Begitu juga dengan role demands yang tidak sesuai dengan peran yang seharusnya dimiliki oleh pekerja merupakan stresor di tempat kerja. Menurut Frichilia (2016), role demands penyebab terjadinya stres karyawan terdiri dari tiga jenis yaitu, self role distance adalah peran yang ditugaskan seseorang bertentangan dengan konsep diri orang tersebut, role expectation conflict adalah stres karena harapan yang berbeda dari orang lain terhadap peran yang dimiliki, dan ambiguitas peran merupakan ketidakjelasan yang ditugaskan kepada karyawan. Peran kerja yang sangat berubah-ubah menyebabkan stres kerja tidak sesuai dengan kompetensi dan skill yang dimiliki karyawan akan berdampak pada stres kerja yang bersangkutan. Hal ini membuktikan bahwa role demands menyebabkan efek negatif (stres) yang dapat menurunkan tingkat workplace well- being.
Stres juga dapat dipicu oleh lingkungan pekerjaan. Stres karena lingkungan pekerjaan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada karyawan. Seperti yang dikemukakan oleh Jones (dalam Srivastava, 2012) bahwa lingkungan pekerjaan, kurangnya dukungan dari perusahaan, hubungan interpersonal yang buruk akan menyebabkan terjadinya stres pada individu. Kepemimpinan dan konflik ini merupakan tuntutan antar personal (interpersonal
demands) yang harus dijalani oleh seorang karyawan ditempat kerja. Jadi, dapat
dikatakan bahwa interpersonal demands merupakan salah satu faktor penyebab efek negatif (stres, cemas, depresi) seorang pekerja.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa variabel
job demands merupakan prediktor yang signifikan terhadap workplace well-being.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Anwarsyah (2012). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwarsyah bahwa individu yang merasa tuntutan pekerjaannya positif akan merasakan workplace well-being yang tinggi karena mendapatkan pengalaman-pengalaman yang positif sehingga individu tersebut merasa kebutuhan dasarnya terpenuhi, sebaliknya individu yang merasa tuntutan pekerjaannya negatif maka workplace well being akan rendah. Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharany, dkk. (2016) memperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan job demands terhadap workplace well-being.
Dapat disimpulkan bahwa semakin negatif persepsi terhadap job demands maka semakin rendah workplace well being demikian sebaliknya semakin positif persepsi terhadap job demands maka semakin tinggi workplace well-being.
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan adalah adanya hubungan positif antara persepsi terhadap job demands dengan workplace well-being pada karyawan yang menerima upah di bawah UMP. Semakin positif persepsi terhadap job demands maka semakin tinggi workplace well-being. Sebaliknya, semakin negatif persepsi terhadap job demands maka semakin rendah workplace well-being.