Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan kelompok yang terpenting dalam masyarakat. Secara
sosiologis, keluarga dapat diartikan sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah yang berada di dalam ikatan
perkawinan, darah dan adopsi (Soekanto, 2009). Secara historis keluarga terbentuk
paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, mempunyai ukuran yang
minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan.
Dengan kata lain, keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir
dan berada di dalamnya, yang berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut
karena tumbuhnya mereka ke arah pendewasaan di dalam masyarakat. Melalui
keluarga juga seorang anak di dalam keluarga akan mempersiapkan diri mereka untuk
mulai beranjak dewasa dan memilih untuk membentuk keluarga baru mereka sendiri
melalui ikatan perkawinan atau pernikahan.
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Menurut Undang-undang Perkawinan
No.1 tahun 1974 ). Di Indonesia masalah pernikahan dini menjadi masalah yang
dapat dikatakan sangat serius. Hukum perkawinan di negeri ini mengacu pada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana salah satu
1
Universitas Sumatera Utara
poin dalam undang-undang tersebut mensyaratkan, batas usia pernikahan adalah
minimal 16 tahun untuk perempuan. Poin dalam undang-undang tentang perkawinan
itu bertabrakan dengan kampanye Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
(BKKBN) dan Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementerian Agama
yang justru mengkampanyekan bahwa usia siap menikah ialah pada usia 21 tahun
untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Isu pernikahan dini adalah salah satu
topik yang menjadi perhatian penting pada kerangka kerjasama Sustainable
Development Goals. Pemerintah di seluruh dunia sudah bersepakat menghapus
perkawinan anak pada 2030 .
Bila berbicara mengenai batasan usia anak/remaja, menurut UU Perlindungan
Anak No. 23 Tahun 2012, yaitu mereka yang belum berusia delapan belas tahun,
maka siapapun yang menikah di bawah batas usia tersebut dapat dikatakan termasuk
dalam pernikahan dini. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan,
angka pernikahan usia dini di bawah usia 19 tahun, sebesar 46,7 persen. Pernikahan
di kelompok umur antara 10-14 tahun sejumlah hampir 5 persen. Sementara dari
sebuah situs, GirlsNotBrides.org, diperkirakan bahwa 1 dari 5 perempuan di
Indonesia menikah di bawah usia delapan belas tahun. Di samping itu, Indonesia
menempati urutan ke-37 di di antara negara-negara yang memiliki jumlah pernikahan
usia dini tertinggi di dunia (World Fertility Policies, United Nations, 2011).
Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas
Indonesia tahun 2015, angka pernikahan dini di Indonesia peringkat kedua di
kawasan Asia Tenggara. Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia di bawah
2
Universitas Sumatera Utara
umur 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah ini diperkirakan akan
meningkat menjadi 3 juta orang di tahun 2030. Melalui data Kepala Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKB) jumlah remaja Indonesia
yang sudah memiliki anak, cukup tinggi yakni 48 dari 1000 remaja. Angka ini masih
jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015,
dalam rangka menekan angka pernikahan usia dini yakni sebesar 38 per 1000 remaja.
Berdasarkan data-data tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat pernikahan usia muda
di Indonesia memang masih sangat tinggi.
Dari sisi sosial pernikahan dini merupakan salah satu faktor penyebab
tindakan kekerasan terhadap istri, ini timbul karena tingkat berfikir yang belum
matang bagi pasangan muda tersebut. Data statistik lengkap mengenai Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT atau domistik violence) Mitra Perempuan Women’s
Crisis Center di Yogyakarta menyebutkan selama periode 1994 sampai 2004,
menerima pengaduan 994 kasus kekerasan yang terdata, selanjutnya Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan menyabutkan 11,4% dari 217 juta penduduk Indonesia
atau setara dengan 24 juta perempuan mengaku pernah mengalami kekerasan dalam
rumah tangga (Dlori,2005).
Fenomena pernikahan di usia muda pada saat ini di masyarakat khususnya
Sumatera Utara masih relatif tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari data Badan Pusat
Statistik Sumatera Utara. Jumlah remaja usia 15 - 24 tahun berdasarkan data di Badan
Pusat Statistik (BPS) Sumut tahun 2014, sebanyak 2.514.109 orang. Dari jumlah
tersebut, 30-35 persen di antaranya melakukan pernikahan usia dini. Dalam fenomena
3
Universitas Sumatera Utara
pernikahan dini, ada kekerasan yang terjadi secara sadar dan di luar kesadaran yaitu
kekerasan simbolik yang (masih) kurang dikaji padahal itu ada dan hidup
berkembang di sekitar kehidupan manusia. Kekerasan yang tidak terasa itu adalah
kekerasan simbolik. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004: 157) kekerasan
simbolik adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna, termasuk dominasi
budaya (modal atau habitus budaya) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa
sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah. Legitimasinya meneguhkan relasi
kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama hal (sesuatu)
diterima sebagai sesuatu yang sah, selama itu pula (kebudayaan) melalui relasi
(dominasi) kekuasaan memberikan reproduksi yang terus-menerus dan sistematis.
Kekerasan simbolik terjadi dalam ruang-ruang sosial kehidupan masyarakat
keseharian, tetapi mereka yang terkena kekerasan simbolik tidak merasakannya,
karena itu dianggap sah, sebagai bagian dari tugas dan pekerjaan orang bawahan,
yang dikuasai dan yang diperintah. Hal ini sering terjadi di hubungan pernikahan dini
antara pasangan atau antara pihak keluarga dalam menilai pasangan pernikahan dini
di masyarakat tetapi tidak diketetahui oleh mereka bahwa hal yang mereka alami
adalah salah satu bagian dari kekerasan simbolik. Hal ini terjadi karena masyarakat
kita pada umumnya masih memiliki paham atau budaya patriarki. Patriarki adalah
sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang
sentral dalam organisasi sosial. Laki-laki memiliki otoritas terhadap perempuan,
anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan
dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan.
4
Universitas Sumatera Utara
Fenomena kekerasan simbolik seperti ini, dapat kita temui dalam pernikahan
dini yang terjadi di masyarakat saat ini. Banyak hal yang sebenarnya dalam
pernikahan dini yang dapat dikatakan menghasilkan kekerasan simbolik yang dapat
dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan tergantung dengan pihak mana
yang lebih mendominasi di dalam keluarga ini. Kekerasan simbolik dalam arti
tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu
melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan
memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial (Jenkins, 2004:157 ). Akibat dari
kekerasan simbolik, meskipun tidak langsung mengenai fisik korban, sangat
menyakitkan hati dan biasanya berlangsung lama. Berbagai sarana yang dipakai
orang untuk berinteraksi dengan orang lain bervariasi. Sarana itu bisa bersifat non
linguistik, seperti gerak-isyarat, kontak badan, ekspresi wajah, sikap tubuh, jarak
antar badan, benda sebagai alat peraga atau sarana linguistik yang berupa bahasa
verbal. Bahasa verbal merupakan sarana yang paing sering sering digunakan untuk
menyakiti korban dan sangat efektif dalam melampiaskan kekerasan simbolik
(Purwoko,2008). Bahkan tidak jarang kekerasan simbolik ini dapat menjadi awal
masuknya kekerasan-kekerasan lainnya seperti tindak kekerasan dalam rumah tangga
berupa kekerasan fisik atau psikis.
Kekerasan pada dasarnya bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan oleh siapa
saja. Kekerasan ini bisa terjadi ditengah keramaian, baik itu dipasar maupun di
tempat sunyi. Akan tetapi, sangat mengherankan apabila kekerasan itu terjadi dalam
sebuah rumah tangga yang seharusnya di dalam rumah tersebut sebagai tempat
5
Universitas Sumatera Utara
curahan kasih sayang antara suami dan istri, orang tua dan anaknya. Kekerasan dalam
rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang
terhadap orang lain, mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik
seksual dan psikologis termasuk pula ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan seseorang secara sewenang-wenang atau adanya penekanan
secara ekonomis, yang terjadi dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga
atau dalam istilah lainnya kekerasan domestik adalah kekerasan yang terjadi di dalam
rumah tangga dimana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki (suami) menganiaya
secara verbal maupun fisik pada kelompok perempuan (istri). Dari pengertian ini
maka dapat dilihat lingkup kekerasan domestik meliputi kekerasan fisik, psikis,
seksual dan ekonomi. Laki-laki (suami) biasanya pelaku kekerasan atau subyeknya,
sementara perempuan (istri) adalah sebagai sasaran kekerasan atau obyeknya.
Pada waktu yang lalu, terdapat dua lembaga yaitu Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia (PKBI) dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
yang mengajukan permohonan pada Mahkamah Konstitusi untuk menaikkan usia
pernikahan menjadi minimal berumur 18 tahun sesuai dengan peraturan perlindungan
anak yang berlaku di Indonesia. Hasil permohonan dan gugatan menaikkan batas usia
minimal untuk menikah bagi perempuan di Indonesia ditolak Mahkamah Konstitusi
dalam sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Penolakan ini adalah bukti adanya inkonsistensi hukum dengan berbagai
instrumen internasional dan nasional yang sudah ada dan tidak berpihak pada anak
(the best interest of children). Sementara Indonesia memiliki komitmen nasional dan
6
Universitas Sumatera Utara
internasional yang harus dijalankan untuk melakukan pencegahan dan penghapusan
pernikahan anak (dalam Candraningrum, 2016). Selain dari faktor agama yang
memperbolehkan terjadinya pernikahan dini di kalangan masyarakat, banyak juga
yang menggunakan panduan dari undang-undang ini sehingga angka pernikahan dini
tetap berlangsung dan terjadi di beberapa wilayah Indonesia khususnya di wilayah
desa Medan Sinembah Tanjung Morawa Deli Serdang Sumatera Utara.
Desa Medan Sinembah adalah salah satu desa yang terdapat dalam kecamatan
Tanjung Morawa yang dekat dengan wilayah desa Ujung Serdang dan Desa Lau
Manis. Desa Medan Senembah adalah salah satu Desa dari 25 Desa dan I kelurahan
di Kecamatan Tanjung Morawa. Penduduk Desa Medan Senembah ini mayoritas
beragama Islam yang pada umumnya terdiri dari suku Jawa dan berjumlah sekitar
7.500 jiwa. Sebagaimana di Desa – Desa lain, penduduk Desa Medan Senembah ada
yang bekerja sebagai PNS, TNI, Polri, Pegawai Swasta, Pedagang, Petani, Pengrajin
Sapu Ijuk, Buruh Harian Lepas dan banyak yang bekerja tidak tetap (mocok-mocok)
atau pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang sekedarnya untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangganya (sumber dari data monografi Desa Medan Sinembah,
2016). Berkaitan dengan masalah pernikahan dini yang tengah dibicarakan, tingkat
pernikahan dini di wilayah ini juga tergolong cukup tinggi dan pada umumnya
dilakukan oleh masyarakat beragama Islam. Informasi ini di peroleh ketika peneliti
melakukan obervasi dan wawancara dengan pemerintahan desa setempat. Tabel di
bawah ini adalah sebagian data pernikahan pasangan muda di Desa Medan Sinembah
pada tahun 2016 yang masuk dalam kategori pernikahan dini.
7
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1 Data Pernikahan Dini di Medan Sinembah 2016
No
.
Nama
Jenis
Kelamin
Agama
1.
Widya
Sapitri
Perempuan
Islam
Tahun
Kelahira
n
1998
2.
Batu
Kurniadi
Laki-laki
Islam
3.
Nur
Cahyaya
Perempuan
4.
Diki
Setiawan
5.
Usia
Pendidikan
Etnis
Pekerjaan
18
Tahun
SMA
Jawa
Belum
Bekerja
1997
19
Tahun
SMA
Jawa
Buruh Harian
Lepas
Islam
1998
18
Tahun
SMP
Jawa
Ikut
Tua
Laki-laki
Islam
1996
20
Tahun
SMA
Melay
u
Wiraswasta
YesiSilva
ni Nst
Perempuan
Islam
1997
19
Tahun
SMA
Manda
iling
Belum
Bekerja
6.
Pujiana
Rahayu
Perempuan
Islam
1998
18
Tahun
SMA
Jawa
Tidak
Bekerja
7.
Yohanes
Turnip
Laki-laki
Kriste
n
1998
18
Tahun
SMA
Batak
Toba
Supir
8.
Novita
Perempuan
Islam
1999
17
Tahun
SMP
Jawa
Belum
Bekerja
9.
Siti
Mardianti
Perempuan
Islam
1997
19
Tahun
SMA
Jawa
Ikut
Tua
Orang
10.
Nur Ulfa
Perempuan
Islam
1999
17
Tahun
SMP
Jawa
Ikut
Tua
Orang
11.
Andre
Rendika
Laki-laki
Islam
1998
18
Tahun
SMA
Melay
u
Buruh Harian
lepas
12.
Siti hazar
Perempuan
Islam
2001
15
Tahun
SMP
Jawa
Tidak
Bekerja
13.
Juari
Laki-laki
Islam
1994
22
Tahun
SMA
Melay
u
Wiraswasta
14.
Icha
Syahputri
Fitria
Anggi
Perempuan
Islam
1998
SMA
Jawa
Perempuan
Islam
1998
18
Tahun
18
Tahun
SMA
Jawa
Tidak
Bekerja
Tidak
Bekerja
15.
Orang
Sumber : data Monografi Desa Medan Sinembah,2016
8
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU
No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta point kampanye dalam BKKBN yang
menyatakan bahwa perempuan menikah pada usia 21 tahun dan laki-laki pada usia 25
tahun, maka dapat dikatakan bahwa di desa ini sesuai data sementara diatas terjadi
pernikahan dini yang cukup tinggi di desa ini. Berdasarkan informasi awal yang di
dapat dari pihak pemerintahan desa Medan Sinembah, biasanya terjadi pernikahan
dini sekitar 25-30 pasangan muda diantara 100-150 pernikahan setiap tahunnya.
Artinya ada perbandingan sekitar 1 : 3 untuk pelaku pernikahan dini dengan
pernikahan pada usia semestinya. Untuk itulah desa ini menarik untuk dilakukan
penelitian tentang pernikahan dini.
Pernikahan usia dini yang terjadi pada para remaja di masyarakat dapat
disebabkan oleh faktor sosial budaya yang ada di masyarakat. Selain dari faktor
tradisi yang berlangsung dari generasi ke generasi, ada juga faktor rendahnya tingkat
pendidikan sehingga tidak mengerti secara benar hal apa saja yang dapat terjadi dan
dampak dari pernikahan dini tersebut. Jika kita perhatikan mayoritas kasus
pernikahan dini ini kerap terjadi di kalangan masyarakat kelas bawah, dimana
sulitnya akses pendidikan dan juga minimnya perhatian orang tua terhadap
pentingnya pendidikan. Terkait dengan ini, tidak jarang terjadi dalam pernikahan usia
dini pada remaja kerap menimbulkan kekerasan simbolik yang sangat sulit dikenali
oleh masyarakat awam. Bila kekerasan fisik dan psikologis wujudnya dapat dengan
mudah dikenali, maka kekerasan simbolik ini sebaliknya (Martono, 2012: hal 1).
9
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian untuk mendeskripsikan pernikahan usia muda serta dampak pernikahan
usia muda tersebut dalam kehidupan berumah tangga. Praktik pernikahan dini ini
yang akhirnya akan melanggengkan dan mempertahankan praktik kekerasan simbolik
yang tertanam dari pemahaman masyarakat patriarkhi dalam rumah tangga yang tidak
disadari oleh pelakunya di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa
Kabupaten Deli Serdang. Dengan melihat kenyataan ini, maka mendorong peneliti
untuk melakukan penelitian dengan judul “Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan
Dini (Studi Deskriptif di desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa
Kabupaten Deli Serdang) “.
I.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini berfokus pada fenomena sosial yang terjadi di kelompok
masyarakat khususnya para anggota masyarakat baik tua ataupun muda pada saat ini,
yang telah melakukan pernikahan dini atau pernikahan usia muda. Dimana para
remaja ini dulunya, seharusnya mengisi waktu mereka dengan belajar dan
berkreatifitas bersama teman-teman sebayanya hingga dapat tumbuh dewasa dan
nantinya mampu untuk membangun rumah tangga sendiri. Ada sebuah hal menarik
yang terjadi di Desa Medan Sinembah dimana para remajanya baik laki-laki atau pun
perempuan banyak terlibat dalam pernikahan dini. Hal ini yang nantinya akan tetap
mempertahankan paham patriarki dan kekerasan simbolik namun hal itu tidak
10
Universitas Sumatera Utara
disadari oleh mereka ataupun masyarakat pada umumnya. Maka peneliti
menyimpulkan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik kekerasan simbolik dalam rumah tangga pelaku
pernikahan dini yang terjadi di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara?
2. Bagaimana pengaruh pernikahan usia dini terhadap kondisi sosial dan
munculnya kekerasan simbolik bagi pasangan usia muda di Desa Medan
Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi
Sumatera Utara.
I.3 Batasan Masalah
Dari penelitian yang berjudul “Pernikahan Dini dan Kekerasan Simbolik di
desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang” ,maka
batasan masalah/batasan konsep dari penelitian ini adalah mengenai pernikahan dini
yang terjadi pada sebagian masyarakat yang menyebabkan kekerasan simbolik pada
pasangan hasil pernikahan dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
11
Universitas Sumatera Utara
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan
Tujuan penelitian dibuat untuk mengungkap keinginan peneliti dalam suatu
penelitian (dalam Bungin, 2007: 77).). Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian
ini adalah :
1. Agar peneliti dan pembaca dapat mengetahui dan mendeskripsikan praktik
kekerasan simbolik dalam rumah tangga pelaku pernikahan dini yang terjadi
di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli
Serdang Provinsi Sumatera Utara.
2. Agar peneliti dan pembaca dapat mengetahui bagaimana pengaruh pernikahan
usia muda terhadap kondisi sosial dan munculnya kekerasan simbolik bagi
pasangan usia muda masyarakat yang terjadi di Desa Medan Sinembah
Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera
Utara.
I.4.2 Manfaat
1. Manfaat Teoritis
1. Memberikan pertimbangan bagi para remaja di Desa Medan Sinembah
Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera
Utara sebelum mengambil keputusan untuk menikah muda.
12
Universitas Sumatera Utara
2. Mengembangkan pemahaman remaja terhadap risiko pernikahan di usia muda
di kalangan masyarakat di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
3. Memberikan masukan kepada para remaja yang merencanakan pernikahan,
untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum melangsungkan
pernikahan di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa
Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi masyarakat umum, menambah wawasan bagi masyarakat mengenai
seluk-beluk pernikahan dini. Serta membentuk keluarga bahagia dengan
meminimalkan banyaknya pernikahan dini bagi yang belum matang usianya.
2. Bagi mahasiswa Sosiologi dan kaum akademisi, diharapkan dapat berguna
bagi tambahan referensi mengenai fenomena pernikahan dini di masyarakat
umum dan terkhusus di masyarakat daerah desa Medan Sinembah kecamatan
Tanjung Morawa.
1.5 Defenisi Konsep
Dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat diperlukan untuk
mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep-konsep yang penting dalam
penelitian ini adalah :
13
Universitas Sumatera Utara
a. Pernikahan Dini
Pernikahan dini disini adalah ‘pernikahan dini’ sebagai sebuah pernikahan
yang dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk
menikah dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, yaitu minimal 16
tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
b. Remaja
Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada tahap
transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO
adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Menteri Kesehatan RI tahun 2010, batas usia
remaja adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin.
c. Gender
Gender adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan
oleh budaya / masyarakat melalui interpretasi terhadap pembedaan biologis laki-laki
dan perempuan (Daulay , 2007). Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal
melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh karena
itu, gender dapat disesuaikan dan diubah.
d. Kekerasan Simbolik Piere Bourdieu
Menurut Bourdieu (Jenkins, 2004: 157) kekerasan simbolik adalah pemaksaan
sistem simbolisme dan makna, termasuk dominasi budaya (modal atau habitus
budaya) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami
14
Universitas Sumatera Utara
sebagai sesuatu yang sah. Legitimasinya meneguhkan
relasi kekuasaan yang
menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama hal (sesuatu) diterima sebagai
sesuatu yang sah, selama itu pula (kebudayaan) melalui relasi (dominasi) kekuasaan
memberikan reproduksi yang terus-menerus dan sistematis.
e. Dominasi Maskulin
Dominasi maskulin adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap
yang lebih lemah, yang dalam hal ini adalah penguasaan oleh maskulin yang berjenis
kelamin laki-laki kepada perempuan. Dominasi maskulin ini dianggap sebagai wujud
paradigmatik dari kekerasan simbolik yang berupa kekerasan yang tak kasat mata,
halus namun pervasive (menembus dan meresap) dan sering kali mendapat
persetujuan dari pihak yang akan dikuasai.
f. Budaya Patriarki
Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai
sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah memiliki otoritas
terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini
melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi
perempuan.
15
Universitas Sumatera Utara
1.6 Operasional variabel
Operasional variabel adalah suatu batasan yang diberikan kepada suatu
variabel dengan cara memberikan arti atau mempersepsikan kegiatan ataupun
memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut.
Menurut Umar (2003:63), variabel independent (bebas) adalah variabel yang me
jelaskan atau mempengaruhi variabel yang lain, sedangkan variable dependent
(tergantung) adalah variable yang yang dijelaskan atau yang dipengaruhi variable
independent. Variabel bebas (kekerasan simbolik) antara lain : gerak isyarat, kontak
badan, ekspresi wajah, sikap tubuh, jarak antar badan, benda sebagai peraga
atau sarana linguistik yang berupa bahasa verbal. Sedangkan variabel terikat
X1 (Pernikahan Dini) antara lain : kondisi ekonomi, pendidikan, pergaulan bebas,
kebiasaan masyarakat dan budaya patriarki pada masyarakat. Selanjutnya variabel
terikat lainnya X2 (Praktik Pernikahan Dini) antara lain : usia menikah, kematangan
sosial dan kematangan emosional.
16
Universitas Sumatera Utara
1.7 Kerangka Pemikiran
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara
konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan
dilakukan (Notoatmodjo, 2005). Teori menurut Sappiro (2000) Pernikahan dini
disebabkan oleh faktor Pengetahuan, pendidikan, dan penghasilan orang tua.
Untuk lebih jelasnya maka dapat dilihat pada kerangka konsep sebagai
berikut:
Variabel Bebas (X1)
PERNIKAHAN DINI
1. Kondisi Ekonomi
2. Kondisi
Pendidikan
3. Pergaulan bebas
4. Budaya Patriarki
5. Kebiasaan
Masyarakat
Variabel Terikat (Y)
KEKERASAN
SIMBOLIK
1.
2.
3.
4.
5.
Gerak Isyarat
Kontak Badan
Ekspresi Wajah
Tutur Bahasa
Sikap Tubuh
Variabel bebas (X2)
PRAKTIK
PERNIKAHAN
DINI
1. Usia
menikah
2. Kematangan
sosial
3. Kematangan
emosi
Sumber : olahan peneliti
17
Universitas Sumatera Utara
1.8 Bagan Operasional Variabel
Konsep
Dimensi
Pernikahan Dini
Kondisi ekonomi
Indikator
1. Pekerjaan
2. Jumlah penghasilan
3. Jumlah tanggungan
4. Tingkat pengeluaran
5. Kepemilikan rumah
6. Kepemilikan lahan
Kondisi Pendidikan
1. Tingkat pendidikan
2. Angka
putus
sekolah
Pergaulan Bebas
1. Perilaku seks bebas
2. Hamil di luar nikah
Budaya Patriarki
1. Mengutamakan
kepentingan
anak
laki-laki
2. Laki-laki
penentu
sebagai
keputusan
dalam keluarga
3. pekerjaan domestik
dikelola
oleh
perempuan
18
Universitas Sumatera Utara
4. anak
sebagai
laki-laki
pemegang
hak waris
Kebiasaan masyarakat
1. perjodohan
2. Paksaan dari Orang
Tua
Dominasi maskulin
1. Perempuan
dianggap
pada
cocok
pekerjaan
domestik,
seperti
pelayanan,
pengajaran
dan
pengasuhan
2. Perempuan
boleh
tidak
memiliki
otoritas
lebih
kepada laki-laki dan
menempatkan
dirinya
hanya
sebagai
asisten
(posisi
tersubordinasi)
19
Universitas Sumatera Utara
3. Dalam
bidang
pekerjaan
bersifat
yang
publik
seperti teknik dan
mesin
selalu
ada
kecenderungan
dalam
masyarakat
memberikan
tugas
ini kepada laki-laki
4. Secara tidak sadar
dalam
praktiknya,
perempuan
yang
didominasi
ini
menyetujui
dan
bahkan bangga jika
ia
didominasi
berhasil
oleh
laki-laki.
Sumber : berbagai sumber
20
Universitas Sumatera Utara
Konsep
Praktik Pernikahan Dini
Dimensi
Usia Menikah
Indikator
1. Bagi
perempuan,
melakukan
pernikahan
sebelum umurnya
mencukupi seperti
yang
disepakati
oleh BKKBN yaitu
usia menikah pada
perempuan adalah
usia 21 tahun ke
atas.
2. Bagi
laki-laki
Melakukan
pernikahan
sebelum umurnya
mencukupi seperti
yang
disepakati
oleh BKKBN yaitu
usia menikah pada
laki-laki
adalah
usia 25 tahun ke
21
Universitas Sumatera Utara
atas.
3. Pada
usia
umumnya
pernikahan
dini dilakukan pada
usia 14-20 tahun
Kematangan sosial
1. Interaksi
sosial
yang sehat
2. Penghargaan untuk
perasaan orang lain
3. Keterampilan
dalam
perawatan
diri
4. Sikap netral dalam
pengambilan
keputusan di dalam
dan di luar rumah
tangga
Kematangan emosional
1. Dapat
melakukan
kontrol diri
2. Menggunakan
kemampuan kritis
mental
22
Universitas Sumatera Utara
3. Melihat
segala
sesuatunya secara
obyektif
4. Dapat
mengarahkan
energi
emosi
ke
aktivitas-aktivitas
yang
sifatnya
kreatif
dan
produktif
5. Mampu
membedakan
perasaan
dan
kenyataan
6. Tidak
mudah
berubah pendirian
Sumber: berbagai sumber
Konsep
Kekerasan Simbolik
Dimensi
Gerakan Isyarat
Indikator
Gerakan
tubuh
bertujuan
mengancam
yang
untuk
atau
mengintimidasi
23
Universitas Sumatera Utara
Kontak Badan
Pemaksaan
hubungan
seksual(meraba,memcium,
meremas, menghisap)
Ekspresi Wajah
Menatap
dengan
sinis,
tatapan genit
Tutur Bahasa
Menggunakan
bahasa
kasar, menggunakan nada
suara tinggi, membentak
pasangan
Sikap Tubuh
Membuat
yang
tidak
bertujuan
mengancam
gertakan
posisi
tubuh
wajar
dan
untuk
seperti
menampar,
menendang, mencekik dsb.
Sumber: berbagai sumber
24
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan kelompok yang terpenting dalam masyarakat. Secara
sosiologis, keluarga dapat diartikan sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah yang berada di dalam ikatan
perkawinan, darah dan adopsi (Soekanto, 2009). Secara historis keluarga terbentuk
paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, mempunyai ukuran yang
minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan.
Dengan kata lain, keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir
dan berada di dalamnya, yang berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut
karena tumbuhnya mereka ke arah pendewasaan di dalam masyarakat. Melalui
keluarga juga seorang anak di dalam keluarga akan mempersiapkan diri mereka untuk
mulai beranjak dewasa dan memilih untuk membentuk keluarga baru mereka sendiri
melalui ikatan perkawinan atau pernikahan.
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Menurut Undang-undang Perkawinan
No.1 tahun 1974 ). Di Indonesia masalah pernikahan dini menjadi masalah yang
dapat dikatakan sangat serius. Hukum perkawinan di negeri ini mengacu pada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana salah satu
1
Universitas Sumatera Utara
poin dalam undang-undang tersebut mensyaratkan, batas usia pernikahan adalah
minimal 16 tahun untuk perempuan. Poin dalam undang-undang tentang perkawinan
itu bertabrakan dengan kampanye Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
(BKKBN) dan Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementerian Agama
yang justru mengkampanyekan bahwa usia siap menikah ialah pada usia 21 tahun
untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Isu pernikahan dini adalah salah satu
topik yang menjadi perhatian penting pada kerangka kerjasama Sustainable
Development Goals. Pemerintah di seluruh dunia sudah bersepakat menghapus
perkawinan anak pada 2030 .
Bila berbicara mengenai batasan usia anak/remaja, menurut UU Perlindungan
Anak No. 23 Tahun 2012, yaitu mereka yang belum berusia delapan belas tahun,
maka siapapun yang menikah di bawah batas usia tersebut dapat dikatakan termasuk
dalam pernikahan dini. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan,
angka pernikahan usia dini di bawah usia 19 tahun, sebesar 46,7 persen. Pernikahan
di kelompok umur antara 10-14 tahun sejumlah hampir 5 persen. Sementara dari
sebuah situs, GirlsNotBrides.org, diperkirakan bahwa 1 dari 5 perempuan di
Indonesia menikah di bawah usia delapan belas tahun. Di samping itu, Indonesia
menempati urutan ke-37 di di antara negara-negara yang memiliki jumlah pernikahan
usia dini tertinggi di dunia (World Fertility Policies, United Nations, 2011).
Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas
Indonesia tahun 2015, angka pernikahan dini di Indonesia peringkat kedua di
kawasan Asia Tenggara. Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia di bawah
2
Universitas Sumatera Utara
umur 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah ini diperkirakan akan
meningkat menjadi 3 juta orang di tahun 2030. Melalui data Kepala Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKB) jumlah remaja Indonesia
yang sudah memiliki anak, cukup tinggi yakni 48 dari 1000 remaja. Angka ini masih
jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015,
dalam rangka menekan angka pernikahan usia dini yakni sebesar 38 per 1000 remaja.
Berdasarkan data-data tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat pernikahan usia muda
di Indonesia memang masih sangat tinggi.
Dari sisi sosial pernikahan dini merupakan salah satu faktor penyebab
tindakan kekerasan terhadap istri, ini timbul karena tingkat berfikir yang belum
matang bagi pasangan muda tersebut. Data statistik lengkap mengenai Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT atau domistik violence) Mitra Perempuan Women’s
Crisis Center di Yogyakarta menyebutkan selama periode 1994 sampai 2004,
menerima pengaduan 994 kasus kekerasan yang terdata, selanjutnya Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan menyabutkan 11,4% dari 217 juta penduduk Indonesia
atau setara dengan 24 juta perempuan mengaku pernah mengalami kekerasan dalam
rumah tangga (Dlori,2005).
Fenomena pernikahan di usia muda pada saat ini di masyarakat khususnya
Sumatera Utara masih relatif tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari data Badan Pusat
Statistik Sumatera Utara. Jumlah remaja usia 15 - 24 tahun berdasarkan data di Badan
Pusat Statistik (BPS) Sumut tahun 2014, sebanyak 2.514.109 orang. Dari jumlah
tersebut, 30-35 persen di antaranya melakukan pernikahan usia dini. Dalam fenomena
3
Universitas Sumatera Utara
pernikahan dini, ada kekerasan yang terjadi secara sadar dan di luar kesadaran yaitu
kekerasan simbolik yang (masih) kurang dikaji padahal itu ada dan hidup
berkembang di sekitar kehidupan manusia. Kekerasan yang tidak terasa itu adalah
kekerasan simbolik. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004: 157) kekerasan
simbolik adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna, termasuk dominasi
budaya (modal atau habitus budaya) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa
sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah. Legitimasinya meneguhkan relasi
kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama hal (sesuatu)
diterima sebagai sesuatu yang sah, selama itu pula (kebudayaan) melalui relasi
(dominasi) kekuasaan memberikan reproduksi yang terus-menerus dan sistematis.
Kekerasan simbolik terjadi dalam ruang-ruang sosial kehidupan masyarakat
keseharian, tetapi mereka yang terkena kekerasan simbolik tidak merasakannya,
karena itu dianggap sah, sebagai bagian dari tugas dan pekerjaan orang bawahan,
yang dikuasai dan yang diperintah. Hal ini sering terjadi di hubungan pernikahan dini
antara pasangan atau antara pihak keluarga dalam menilai pasangan pernikahan dini
di masyarakat tetapi tidak diketetahui oleh mereka bahwa hal yang mereka alami
adalah salah satu bagian dari kekerasan simbolik. Hal ini terjadi karena masyarakat
kita pada umumnya masih memiliki paham atau budaya patriarki. Patriarki adalah
sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang
sentral dalam organisasi sosial. Laki-laki memiliki otoritas terhadap perempuan,
anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan
dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan.
4
Universitas Sumatera Utara
Fenomena kekerasan simbolik seperti ini, dapat kita temui dalam pernikahan
dini yang terjadi di masyarakat saat ini. Banyak hal yang sebenarnya dalam
pernikahan dini yang dapat dikatakan menghasilkan kekerasan simbolik yang dapat
dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan tergantung dengan pihak mana
yang lebih mendominasi di dalam keluarga ini. Kekerasan simbolik dalam arti
tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu
melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan
memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial (Jenkins, 2004:157 ). Akibat dari
kekerasan simbolik, meskipun tidak langsung mengenai fisik korban, sangat
menyakitkan hati dan biasanya berlangsung lama. Berbagai sarana yang dipakai
orang untuk berinteraksi dengan orang lain bervariasi. Sarana itu bisa bersifat non
linguistik, seperti gerak-isyarat, kontak badan, ekspresi wajah, sikap tubuh, jarak
antar badan, benda sebagai alat peraga atau sarana linguistik yang berupa bahasa
verbal. Bahasa verbal merupakan sarana yang paing sering sering digunakan untuk
menyakiti korban dan sangat efektif dalam melampiaskan kekerasan simbolik
(Purwoko,2008). Bahkan tidak jarang kekerasan simbolik ini dapat menjadi awal
masuknya kekerasan-kekerasan lainnya seperti tindak kekerasan dalam rumah tangga
berupa kekerasan fisik atau psikis.
Kekerasan pada dasarnya bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan oleh siapa
saja. Kekerasan ini bisa terjadi ditengah keramaian, baik itu dipasar maupun di
tempat sunyi. Akan tetapi, sangat mengherankan apabila kekerasan itu terjadi dalam
sebuah rumah tangga yang seharusnya di dalam rumah tersebut sebagai tempat
5
Universitas Sumatera Utara
curahan kasih sayang antara suami dan istri, orang tua dan anaknya. Kekerasan dalam
rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang
terhadap orang lain, mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik
seksual dan psikologis termasuk pula ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan seseorang secara sewenang-wenang atau adanya penekanan
secara ekonomis, yang terjadi dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga
atau dalam istilah lainnya kekerasan domestik adalah kekerasan yang terjadi di dalam
rumah tangga dimana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki (suami) menganiaya
secara verbal maupun fisik pada kelompok perempuan (istri). Dari pengertian ini
maka dapat dilihat lingkup kekerasan domestik meliputi kekerasan fisik, psikis,
seksual dan ekonomi. Laki-laki (suami) biasanya pelaku kekerasan atau subyeknya,
sementara perempuan (istri) adalah sebagai sasaran kekerasan atau obyeknya.
Pada waktu yang lalu, terdapat dua lembaga yaitu Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia (PKBI) dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
yang mengajukan permohonan pada Mahkamah Konstitusi untuk menaikkan usia
pernikahan menjadi minimal berumur 18 tahun sesuai dengan peraturan perlindungan
anak yang berlaku di Indonesia. Hasil permohonan dan gugatan menaikkan batas usia
minimal untuk menikah bagi perempuan di Indonesia ditolak Mahkamah Konstitusi
dalam sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Penolakan ini adalah bukti adanya inkonsistensi hukum dengan berbagai
instrumen internasional dan nasional yang sudah ada dan tidak berpihak pada anak
(the best interest of children). Sementara Indonesia memiliki komitmen nasional dan
6
Universitas Sumatera Utara
internasional yang harus dijalankan untuk melakukan pencegahan dan penghapusan
pernikahan anak (dalam Candraningrum, 2016). Selain dari faktor agama yang
memperbolehkan terjadinya pernikahan dini di kalangan masyarakat, banyak juga
yang menggunakan panduan dari undang-undang ini sehingga angka pernikahan dini
tetap berlangsung dan terjadi di beberapa wilayah Indonesia khususnya di wilayah
desa Medan Sinembah Tanjung Morawa Deli Serdang Sumatera Utara.
Desa Medan Sinembah adalah salah satu desa yang terdapat dalam kecamatan
Tanjung Morawa yang dekat dengan wilayah desa Ujung Serdang dan Desa Lau
Manis. Desa Medan Senembah adalah salah satu Desa dari 25 Desa dan I kelurahan
di Kecamatan Tanjung Morawa. Penduduk Desa Medan Senembah ini mayoritas
beragama Islam yang pada umumnya terdiri dari suku Jawa dan berjumlah sekitar
7.500 jiwa. Sebagaimana di Desa – Desa lain, penduduk Desa Medan Senembah ada
yang bekerja sebagai PNS, TNI, Polri, Pegawai Swasta, Pedagang, Petani, Pengrajin
Sapu Ijuk, Buruh Harian Lepas dan banyak yang bekerja tidak tetap (mocok-mocok)
atau pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang sekedarnya untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangganya (sumber dari data monografi Desa Medan Sinembah,
2016). Berkaitan dengan masalah pernikahan dini yang tengah dibicarakan, tingkat
pernikahan dini di wilayah ini juga tergolong cukup tinggi dan pada umumnya
dilakukan oleh masyarakat beragama Islam. Informasi ini di peroleh ketika peneliti
melakukan obervasi dan wawancara dengan pemerintahan desa setempat. Tabel di
bawah ini adalah sebagian data pernikahan pasangan muda di Desa Medan Sinembah
pada tahun 2016 yang masuk dalam kategori pernikahan dini.
7
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1 Data Pernikahan Dini di Medan Sinembah 2016
No
.
Nama
Jenis
Kelamin
Agama
1.
Widya
Sapitri
Perempuan
Islam
Tahun
Kelahira
n
1998
2.
Batu
Kurniadi
Laki-laki
Islam
3.
Nur
Cahyaya
Perempuan
4.
Diki
Setiawan
5.
Usia
Pendidikan
Etnis
Pekerjaan
18
Tahun
SMA
Jawa
Belum
Bekerja
1997
19
Tahun
SMA
Jawa
Buruh Harian
Lepas
Islam
1998
18
Tahun
SMP
Jawa
Ikut
Tua
Laki-laki
Islam
1996
20
Tahun
SMA
Melay
u
Wiraswasta
YesiSilva
ni Nst
Perempuan
Islam
1997
19
Tahun
SMA
Manda
iling
Belum
Bekerja
6.
Pujiana
Rahayu
Perempuan
Islam
1998
18
Tahun
SMA
Jawa
Tidak
Bekerja
7.
Yohanes
Turnip
Laki-laki
Kriste
n
1998
18
Tahun
SMA
Batak
Toba
Supir
8.
Novita
Perempuan
Islam
1999
17
Tahun
SMP
Jawa
Belum
Bekerja
9.
Siti
Mardianti
Perempuan
Islam
1997
19
Tahun
SMA
Jawa
Ikut
Tua
Orang
10.
Nur Ulfa
Perempuan
Islam
1999
17
Tahun
SMP
Jawa
Ikut
Tua
Orang
11.
Andre
Rendika
Laki-laki
Islam
1998
18
Tahun
SMA
Melay
u
Buruh Harian
lepas
12.
Siti hazar
Perempuan
Islam
2001
15
Tahun
SMP
Jawa
Tidak
Bekerja
13.
Juari
Laki-laki
Islam
1994
22
Tahun
SMA
Melay
u
Wiraswasta
14.
Icha
Syahputri
Fitria
Anggi
Perempuan
Islam
1998
SMA
Jawa
Perempuan
Islam
1998
18
Tahun
18
Tahun
SMA
Jawa
Tidak
Bekerja
Tidak
Bekerja
15.
Orang
Sumber : data Monografi Desa Medan Sinembah,2016
8
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU
No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta point kampanye dalam BKKBN yang
menyatakan bahwa perempuan menikah pada usia 21 tahun dan laki-laki pada usia 25
tahun, maka dapat dikatakan bahwa di desa ini sesuai data sementara diatas terjadi
pernikahan dini yang cukup tinggi di desa ini. Berdasarkan informasi awal yang di
dapat dari pihak pemerintahan desa Medan Sinembah, biasanya terjadi pernikahan
dini sekitar 25-30 pasangan muda diantara 100-150 pernikahan setiap tahunnya.
Artinya ada perbandingan sekitar 1 : 3 untuk pelaku pernikahan dini dengan
pernikahan pada usia semestinya. Untuk itulah desa ini menarik untuk dilakukan
penelitian tentang pernikahan dini.
Pernikahan usia dini yang terjadi pada para remaja di masyarakat dapat
disebabkan oleh faktor sosial budaya yang ada di masyarakat. Selain dari faktor
tradisi yang berlangsung dari generasi ke generasi, ada juga faktor rendahnya tingkat
pendidikan sehingga tidak mengerti secara benar hal apa saja yang dapat terjadi dan
dampak dari pernikahan dini tersebut. Jika kita perhatikan mayoritas kasus
pernikahan dini ini kerap terjadi di kalangan masyarakat kelas bawah, dimana
sulitnya akses pendidikan dan juga minimnya perhatian orang tua terhadap
pentingnya pendidikan. Terkait dengan ini, tidak jarang terjadi dalam pernikahan usia
dini pada remaja kerap menimbulkan kekerasan simbolik yang sangat sulit dikenali
oleh masyarakat awam. Bila kekerasan fisik dan psikologis wujudnya dapat dengan
mudah dikenali, maka kekerasan simbolik ini sebaliknya (Martono, 2012: hal 1).
9
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian untuk mendeskripsikan pernikahan usia muda serta dampak pernikahan
usia muda tersebut dalam kehidupan berumah tangga. Praktik pernikahan dini ini
yang akhirnya akan melanggengkan dan mempertahankan praktik kekerasan simbolik
yang tertanam dari pemahaman masyarakat patriarkhi dalam rumah tangga yang tidak
disadari oleh pelakunya di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa
Kabupaten Deli Serdang. Dengan melihat kenyataan ini, maka mendorong peneliti
untuk melakukan penelitian dengan judul “Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan
Dini (Studi Deskriptif di desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa
Kabupaten Deli Serdang) “.
I.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini berfokus pada fenomena sosial yang terjadi di kelompok
masyarakat khususnya para anggota masyarakat baik tua ataupun muda pada saat ini,
yang telah melakukan pernikahan dini atau pernikahan usia muda. Dimana para
remaja ini dulunya, seharusnya mengisi waktu mereka dengan belajar dan
berkreatifitas bersama teman-teman sebayanya hingga dapat tumbuh dewasa dan
nantinya mampu untuk membangun rumah tangga sendiri. Ada sebuah hal menarik
yang terjadi di Desa Medan Sinembah dimana para remajanya baik laki-laki atau pun
perempuan banyak terlibat dalam pernikahan dini. Hal ini yang nantinya akan tetap
mempertahankan paham patriarki dan kekerasan simbolik namun hal itu tidak
10
Universitas Sumatera Utara
disadari oleh mereka ataupun masyarakat pada umumnya. Maka peneliti
menyimpulkan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik kekerasan simbolik dalam rumah tangga pelaku
pernikahan dini yang terjadi di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara?
2. Bagaimana pengaruh pernikahan usia dini terhadap kondisi sosial dan
munculnya kekerasan simbolik bagi pasangan usia muda di Desa Medan
Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi
Sumatera Utara.
I.3 Batasan Masalah
Dari penelitian yang berjudul “Pernikahan Dini dan Kekerasan Simbolik di
desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang” ,maka
batasan masalah/batasan konsep dari penelitian ini adalah mengenai pernikahan dini
yang terjadi pada sebagian masyarakat yang menyebabkan kekerasan simbolik pada
pasangan hasil pernikahan dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
11
Universitas Sumatera Utara
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan
Tujuan penelitian dibuat untuk mengungkap keinginan peneliti dalam suatu
penelitian (dalam Bungin, 2007: 77).). Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian
ini adalah :
1. Agar peneliti dan pembaca dapat mengetahui dan mendeskripsikan praktik
kekerasan simbolik dalam rumah tangga pelaku pernikahan dini yang terjadi
di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli
Serdang Provinsi Sumatera Utara.
2. Agar peneliti dan pembaca dapat mengetahui bagaimana pengaruh pernikahan
usia muda terhadap kondisi sosial dan munculnya kekerasan simbolik bagi
pasangan usia muda masyarakat yang terjadi di Desa Medan Sinembah
Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera
Utara.
I.4.2 Manfaat
1. Manfaat Teoritis
1. Memberikan pertimbangan bagi para remaja di Desa Medan Sinembah
Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera
Utara sebelum mengambil keputusan untuk menikah muda.
12
Universitas Sumatera Utara
2. Mengembangkan pemahaman remaja terhadap risiko pernikahan di usia muda
di kalangan masyarakat di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
3. Memberikan masukan kepada para remaja yang merencanakan pernikahan,
untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum melangsungkan
pernikahan di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa
Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi masyarakat umum, menambah wawasan bagi masyarakat mengenai
seluk-beluk pernikahan dini. Serta membentuk keluarga bahagia dengan
meminimalkan banyaknya pernikahan dini bagi yang belum matang usianya.
2. Bagi mahasiswa Sosiologi dan kaum akademisi, diharapkan dapat berguna
bagi tambahan referensi mengenai fenomena pernikahan dini di masyarakat
umum dan terkhusus di masyarakat daerah desa Medan Sinembah kecamatan
Tanjung Morawa.
1.5 Defenisi Konsep
Dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat diperlukan untuk
mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep-konsep yang penting dalam
penelitian ini adalah :
13
Universitas Sumatera Utara
a. Pernikahan Dini
Pernikahan dini disini adalah ‘pernikahan dini’ sebagai sebuah pernikahan
yang dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk
menikah dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, yaitu minimal 16
tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
b. Remaja
Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada tahap
transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO
adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Menteri Kesehatan RI tahun 2010, batas usia
remaja adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin.
c. Gender
Gender adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan
oleh budaya / masyarakat melalui interpretasi terhadap pembedaan biologis laki-laki
dan perempuan (Daulay , 2007). Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal
melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh karena
itu, gender dapat disesuaikan dan diubah.
d. Kekerasan Simbolik Piere Bourdieu
Menurut Bourdieu (Jenkins, 2004: 157) kekerasan simbolik adalah pemaksaan
sistem simbolisme dan makna, termasuk dominasi budaya (modal atau habitus
budaya) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami
14
Universitas Sumatera Utara
sebagai sesuatu yang sah. Legitimasinya meneguhkan
relasi kekuasaan yang
menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama hal (sesuatu) diterima sebagai
sesuatu yang sah, selama itu pula (kebudayaan) melalui relasi (dominasi) kekuasaan
memberikan reproduksi yang terus-menerus dan sistematis.
e. Dominasi Maskulin
Dominasi maskulin adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap
yang lebih lemah, yang dalam hal ini adalah penguasaan oleh maskulin yang berjenis
kelamin laki-laki kepada perempuan. Dominasi maskulin ini dianggap sebagai wujud
paradigmatik dari kekerasan simbolik yang berupa kekerasan yang tak kasat mata,
halus namun pervasive (menembus dan meresap) dan sering kali mendapat
persetujuan dari pihak yang akan dikuasai.
f. Budaya Patriarki
Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai
sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah memiliki otoritas
terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini
melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi
perempuan.
15
Universitas Sumatera Utara
1.6 Operasional variabel
Operasional variabel adalah suatu batasan yang diberikan kepada suatu
variabel dengan cara memberikan arti atau mempersepsikan kegiatan ataupun
memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut.
Menurut Umar (2003:63), variabel independent (bebas) adalah variabel yang me
jelaskan atau mempengaruhi variabel yang lain, sedangkan variable dependent
(tergantung) adalah variable yang yang dijelaskan atau yang dipengaruhi variable
independent. Variabel bebas (kekerasan simbolik) antara lain : gerak isyarat, kontak
badan, ekspresi wajah, sikap tubuh, jarak antar badan, benda sebagai peraga
atau sarana linguistik yang berupa bahasa verbal. Sedangkan variabel terikat
X1 (Pernikahan Dini) antara lain : kondisi ekonomi, pendidikan, pergaulan bebas,
kebiasaan masyarakat dan budaya patriarki pada masyarakat. Selanjutnya variabel
terikat lainnya X2 (Praktik Pernikahan Dini) antara lain : usia menikah, kematangan
sosial dan kematangan emosional.
16
Universitas Sumatera Utara
1.7 Kerangka Pemikiran
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara
konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan
dilakukan (Notoatmodjo, 2005). Teori menurut Sappiro (2000) Pernikahan dini
disebabkan oleh faktor Pengetahuan, pendidikan, dan penghasilan orang tua.
Untuk lebih jelasnya maka dapat dilihat pada kerangka konsep sebagai
berikut:
Variabel Bebas (X1)
PERNIKAHAN DINI
1. Kondisi Ekonomi
2. Kondisi
Pendidikan
3. Pergaulan bebas
4. Budaya Patriarki
5. Kebiasaan
Masyarakat
Variabel Terikat (Y)
KEKERASAN
SIMBOLIK
1.
2.
3.
4.
5.
Gerak Isyarat
Kontak Badan
Ekspresi Wajah
Tutur Bahasa
Sikap Tubuh
Variabel bebas (X2)
PRAKTIK
PERNIKAHAN
DINI
1. Usia
menikah
2. Kematangan
sosial
3. Kematangan
emosi
Sumber : olahan peneliti
17
Universitas Sumatera Utara
1.8 Bagan Operasional Variabel
Konsep
Dimensi
Pernikahan Dini
Kondisi ekonomi
Indikator
1. Pekerjaan
2. Jumlah penghasilan
3. Jumlah tanggungan
4. Tingkat pengeluaran
5. Kepemilikan rumah
6. Kepemilikan lahan
Kondisi Pendidikan
1. Tingkat pendidikan
2. Angka
putus
sekolah
Pergaulan Bebas
1. Perilaku seks bebas
2. Hamil di luar nikah
Budaya Patriarki
1. Mengutamakan
kepentingan
anak
laki-laki
2. Laki-laki
penentu
sebagai
keputusan
dalam keluarga
3. pekerjaan domestik
dikelola
oleh
perempuan
18
Universitas Sumatera Utara
4. anak
sebagai
laki-laki
pemegang
hak waris
Kebiasaan masyarakat
1. perjodohan
2. Paksaan dari Orang
Tua
Dominasi maskulin
1. Perempuan
dianggap
pada
cocok
pekerjaan
domestik,
seperti
pelayanan,
pengajaran
dan
pengasuhan
2. Perempuan
boleh
tidak
memiliki
otoritas
lebih
kepada laki-laki dan
menempatkan
dirinya
hanya
sebagai
asisten
(posisi
tersubordinasi)
19
Universitas Sumatera Utara
3. Dalam
bidang
pekerjaan
bersifat
yang
publik
seperti teknik dan
mesin
selalu
ada
kecenderungan
dalam
masyarakat
memberikan
tugas
ini kepada laki-laki
4. Secara tidak sadar
dalam
praktiknya,
perempuan
yang
didominasi
ini
menyetujui
dan
bahkan bangga jika
ia
didominasi
berhasil
oleh
laki-laki.
Sumber : berbagai sumber
20
Universitas Sumatera Utara
Konsep
Praktik Pernikahan Dini
Dimensi
Usia Menikah
Indikator
1. Bagi
perempuan,
melakukan
pernikahan
sebelum umurnya
mencukupi seperti
yang
disepakati
oleh BKKBN yaitu
usia menikah pada
perempuan adalah
usia 21 tahun ke
atas.
2. Bagi
laki-laki
Melakukan
pernikahan
sebelum umurnya
mencukupi seperti
yang
disepakati
oleh BKKBN yaitu
usia menikah pada
laki-laki
adalah
usia 25 tahun ke
21
Universitas Sumatera Utara
atas.
3. Pada
usia
umumnya
pernikahan
dini dilakukan pada
usia 14-20 tahun
Kematangan sosial
1. Interaksi
sosial
yang sehat
2. Penghargaan untuk
perasaan orang lain
3. Keterampilan
dalam
perawatan
diri
4. Sikap netral dalam
pengambilan
keputusan di dalam
dan di luar rumah
tangga
Kematangan emosional
1. Dapat
melakukan
kontrol diri
2. Menggunakan
kemampuan kritis
mental
22
Universitas Sumatera Utara
3. Melihat
segala
sesuatunya secara
obyektif
4. Dapat
mengarahkan
energi
emosi
ke
aktivitas-aktivitas
yang
sifatnya
kreatif
dan
produktif
5. Mampu
membedakan
perasaan
dan
kenyataan
6. Tidak
mudah
berubah pendirian
Sumber: berbagai sumber
Konsep
Kekerasan Simbolik
Dimensi
Gerakan Isyarat
Indikator
Gerakan
tubuh
bertujuan
mengancam
yang
untuk
atau
mengintimidasi
23
Universitas Sumatera Utara
Kontak Badan
Pemaksaan
hubungan
seksual(meraba,memcium,
meremas, menghisap)
Ekspresi Wajah
Menatap
dengan
sinis,
tatapan genit
Tutur Bahasa
Menggunakan
bahasa
kasar, menggunakan nada
suara tinggi, membentak
pasangan
Sikap Tubuh
Membuat
yang
tidak
bertujuan
mengancam
gertakan
posisi
tubuh
wajar
dan
untuk
seperti
menampar,
menendang, mencekik dsb.
Sumber: berbagai sumber
24
Universitas Sumatera Utara