Studi Kualitatif Tentang Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pernikahan Dini

2.1.1

Definisi Pernikahan Dini
Pengertian secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan institusi agung

untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga.
Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak
ke dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat disegala
bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap,dan cara berfikir
serta bertindak, namun bukan pula orang dewasa yang telah matang (Zakiah, 2004).
Menurut (Lutfiati, 2008;Nukman,2009) pernikahan dini adalah institusi agung
untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga,
pernikahan dibawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan
pernikahan.

UNICEF (2011) menyatakan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang
dilakukan pada usia kurang dari 18 tahun yang terjadi pada usia remaja. Pernikahan
dibawah usia 18 tahun bertentangan dengan hak anak untuk mendapat pendidikan,
kesenangan, kesehatan, kebebasan untuk berekspresi. Untuk membina suatu keluarga
yang berkualitas dibutuhkan kematangan fisik dan mental. Bagi pria dianjurkan
menikah setelah berumur 25 tahun karena pada umur tersebut pria dipandang cukup
dewasa secara jasmani dan rohani. Wanita dianjurkan menikah setelah berumur 20

tahun karena pada umur tersebut wanita telah menyelesaikan pertumbuhan dan rahim
melakukan fungsinya secara maksimal.
Pernikahan dini (early married) adalah pernikahan yang dilakukan oleh
pasangan atau salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang
berusia dibawah usia 19 tahun (WHO, 2010). Hal ini sesuai dengan Undang Undang
Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 menyatakan pernikahan di usia 18 tahun ke
bawah termasuk pernikahan dini (Lubis, 2008).
Dalam Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) bab 1 pasal 1 ayat 1
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan usia dini adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, batasan tersebut diatas jalan menegaskan bahwa
anak usia dini adalah bagian dari usia remaja.
2.1.2


Hukum Menikah Dini
Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub). Perintah untuk menikah

merupakan tuntutan untuk melakukan nikah. Namun tuntutan tersebut tidak bersifat
pasti atau keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin
dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut berupakan tuntutan
yang tidak mengundang keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak
wajib. Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, tergantung
keadaan orang melaksanakan hukum nikah.
Rasulullah SAW menyarankan kepada orang yang sudah mampu agar segera
menikah, sementara kepada yang belum mampu Rasulullah memberi jalan keluar
untuk menangguhkan pernikahan yaitu dengan melaksanakan Shaum, karena

shaummerupakan

benteng.

Ungkapan


ini

merupakan

isyarat

bahwa

kita

diperbolehkan menangguhkan pernikahan untuk lebih mematangkan persiapan. Oleh
karena itu para ahli Fiqih mendudukkan hukum pernikahan pada 4 hukum ;
1. Wajib nikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan mampu
secara fisik, psikis, dan material, serta memiliki dorongan seksual yang tinggi
sehingga

dikhawatirkan

kalau


pernikahan

itu

ditangguhkan

akan

menjerumuskannya pada zinah.
2. Sunnah (thatawwu’) menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami
dan sudah mampu secara fisik, psikis, dan material, namum masih bisa menahan
diri dari perbuatan zinah.
3. Makruh (tidak dianjurkan) menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau
suami, namun belum mampu secara fisik, psikis atau material. Karenanya, harus
dicari jalan keluar untuk menghindari diri dari zinah, misalnya dengan shaum dan
lebih meningkatkan taqarrub diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah lainnya.
4. Haram menikah bagi mereka yang seandainya menikah akan merugikan
pasangannya serta tidak menjadi kemaslahatan (kebaikan). Maupun menikah
dengan tujuan menyakiti pasangannnya.
Adapun menikah dini yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia

tua, hukumnya. Menurut Syara’ adalah sunnah atau mandub. Pernikahan dini
hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda
dan segar, seperti para pelajar, mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka
dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada

pada semua pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak
dari kondisi khusus, seperti kondisi pelajar yang masih sekolah, bergantung pada
orang tua dan belum mempunyai penghasilan sendiri, mahasiswa yang masih kuliah
yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Hukum umum tersebut yang paling terpenting adalah kewajiban memenuhi
syarat-syarat sebagai persyaratan sebuah pernikahan. Persiapan menikah dalam
tinjauan fiqih paling tidak diukur dengan (tiga) hal :
1. Kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan
dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, pada saat nikah,
maupun sesudah nikah.
2. Kesiapan materi atau harta, yang dimaksud harta disini ada dua macam, yaitu
harta sebagai mahar (mas kawin) dan harta sebagai nafkah suami kepada istrinya
untuk memenuhi kebutuhan pokok atau primer bagi istri yang berupa sandang,
pangan, dan papan. Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta
secara materil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada

istrinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada istrinya. Adapun
kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak yaitu setara dengan
kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain.
3. Kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu
menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shanaani dalam
kitabnya Subulus Salam jus III hal.109 menyatakan bahwa Al Ba’ah dalam hadits

anjuran menikah untuk para syahbab diatas, maksudnya adalah jimaa. Ini
menunjukkan keharusan kesiapan fisik sebelum menikah.
2.1.3

Jenis-Jenis Perspektif Pernikahan Dini

1.

Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi
Sebenarnya kekhwatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis

dan sosial bahwa pernikahan dini dan masih di bangku sekolah bukan suatu
penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama

untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa menikah bisa
menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak
terkendali.
Di sekitar kita ada banyak bukti empiris dan tidak perlu dipaparkan disini
bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi
motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang. Selain itu, menurut
bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik
untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai
kematangan yang puncak (Adhim, 2010). Pernikahanakan mematangkan seseorang
dan sekaligus

memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia,

yang pada gilirannya akan menjadikan manusia mampu mencapai puncak
pertumbuhan kepribadian yang mengesankan.
Rosa (2011) menemukan ternyata setelah diteliti pernikahan dini yang rentan
perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan kecelakaan (yang disengaja). Hal
ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan,

bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat. Dari kacamata

psikologi, pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari sebuah musibah yang
sedang mengancam kaum remaja, tapi ia adalah motivator untuk melejitkan potensi
diri dalam segala aspek positif.
2.

Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama
Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia 19-25 tahun,

maka bagaimana dengan agama?
Rasullah saw. Bersabda :
“ wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai baah, maka
kawinlah. Karena sesunguhnya kawin lebih bisa menjaga kemaluan. Bila tidak
mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah
kendali (dari gairah seksual) (HR. Imam yang lima).
Hadits diatas dengan jelas dialamatkan kepada Syabab (pemuda). Siapakah
syabab itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah
seorang yang telah mencapai aqil baligh dan usia belum mencapai tiga puluh tahun.
Aqil baligh bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi
wanita) atau telah mencapai usia 15 tahun.
Sekarang dengan kemajuan teknologi yang canggih, media informasi (baik

cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja,
maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh
anakinngusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, sahabat Abdullah bin
Mas’ud ra. Selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda yang masih

singel, dengan mengajak mereka berdoa bersama agar segera diberi istri yang
shalihah.
Salah satu faktor dominan yang serinng membuat kita terkadang takut
melangkah adalah kesiapan dari segi ekonomi. Ini memang wajar sebagai hamba
dalam sebuah rumah tangga ini.
2.1.4

Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Pernikahan Dini
Faktor penyebab terjadinya pernikahan dini dalam Rafidah (2009) yaitu :

1.

Faktor internal (faktor yang datang dari dalam diri seorang)
Adanya keinginan seorang melakukan perkawinan karena faktor ketertarikan
mempunyai pasangan untuk hidup di masyarakat dari dalam dirinya sendiri.

Alasan orang untuk menikah adalah stimulasi oleh dorongan-dorongan romantik,
hasrat untuk mendapatkan kemewahan hidup, ambisi besar untuk mencapai
status sosial yang tinggi, keinginan untuk mendapatkan asuransi hidup, untuk
mendapatkan kepuasan seks dengan partner, atau hasrat untuk melepaskan diri
dari belenggu kungkungan keluarga.

2.

Faktor eksternal (seseorang yang melakukan perkawinan berasal dari luar
dirinya)
a. Ekonomi
Dengan keadaan ekonomi keluarga yang terbatas dan adanya sifat apatis,
pasrah pada nasib maka terjadilah anak putus sekolah yang akhirnya kawin
walaupun berumur belasan. Hal ini di dukung oleh pendapat dari Piere De Bie
dari hasil penelitiannya yang mengemukakan bahwa pengeluaran untuk bahan

makanan lebih besar jika anak menegaskan bahwa harapan anak-anak untuk
dapat bersekolah berkurang.
b. Sosial budaya
Pola perkawinan di Asia Tenggara ditandai oleh latar belakang kebiasaan

setempat. Di pedesaan biasanya wanita akan segera dikawinkan setelah
mencapai umur akil baliq (yang ditandai dengan datangnya menstruasi).
Kemudian dari penelitian Pujiastuti(2010) di Kabupaten Karang Anyar
memperoleh gambaran bahwa adat perkawinan anak-anak pada masyarakat
suku Jawa dilatarbelakangi oleh kekuatan orangtua yang begitu kuat. Bahkan
telah menjadi kebiasaan bahwa orangtua akan mengawinkan

anak

perempuannya segera setelah anak memperoleh haid.
c. Pendidikan
Pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap usia perkawinan,
kenyataan seperti ini telah dikemukakan oleh Palmore dan Marzuki, dalam
penelitiannya menemukan adanya hubungan positif antara pendidikan dengan
umur perkawinan, rata-rata lambat kawin dibandingkan dengan mereka yang
tidak berpendidikan.
d. Wanita hamil sebelum menikah
Salah satu yang menyebabkan seseorang yang menikah dibawah umur adalah
wanita sebelum menikah sedangkan anak yang dikandungnya harus disahkan
sebelum lahir. Pentingnya hal ini ditekankan oleh Bronislow Malinowsky
yang mengemukakan suatu hukum sosial prinsip yang menekankan bahwa

“janganlah anak itu dilahirkan ke dunia tanpa seorang laki-laki atau seorang
ayah”. Tugas menjadi ayah yang bertanggung jawab, yaitu setiap anak yang
mempunyai peraturan yang menetapkan bahwa setiap anak harus mempunyai
bapak. Selain itu faktor wanita hamil diluar nikah yaitu disebabkan oleh faktor
lingkungan yang kurang baik, dimana dalam dasawarsa terakhir ini
perkembangan kemajuan ilmu teknologi berkembang sangan pesat sehingga
membawa perubahan-perubahan yang sangat berarti tetapi juga timbul
permasalahan yang sangat mengejutkan.
e. Kuatnya tradisi dan budaya
Dibeberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman
tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang
tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami
masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi
di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada
usia 12 tahun. Jauh dibawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang
diamanatkan undang-undang.
Peran orang tua dalam menentukan jodoh anaknya cukup besar. Setidaktidaknya terdapat 49%. Perkawinan wanita belia merupakan perjodohan yang diatur
oleh orang tua. Campur tangan orang tua dalam mencarikan dan menentukan
pasangan hidup anak perempuannya (terutama pada perkawinan pertama) umumnya
ditemukan di kalangan masyarakat jawa, terlebih lagi di daerah pedesaan (Sukron,
2003).

Praktek pernikahan dini sering dipengaruhi oleh tradisi lokal. Ternyata ada
juga fasilitas dispensasi. Pengadilan agama dan kantor urusan agama sering memberi
dispensasi jika mempelai wanita ternyata masih dibawah umur. Di Indonesia masih
sering terjadi praktek pernikahan dibawah umur. UU perkawinan dari tahun 1974
juga tidak tegas melarang praktek itu. Menurut UU perkawinan seorang anak
perempuan baru boleh menikah diatas umur 16 tahun, seorang anak lelaki diatas 18
tahun. Tetapi ada juga dispensasi. Jadi, Kantor Urusan Agama (KUA), masih sering
memberi dispensasi untuk anak perempuan di bawah 16 tahun.
Sutik, perempuan asal Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah ini, pertama kali
dijodohkan orang tuanya pada umur 11 tahun. Kuatnya tradisi turun-temurun
membuatnya tak mampu menolak. Terlebih lagi, Sutik juga belum mengerti arti
sebuah pernikahan. Sutik adalah satu dari sekian banyak anak perempuan di Wilayah
Tegaldowo, Rembang, yang dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Kuatnya
tradisi memaksa anak-anak perempuan desa ini melakukan pernikahan dini.
Mengakarnya tradisi pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan
kuat tentang mitos anak perempuan. Seperti diungkapkan Suwandi, pegawai pencatat
nikah di Tegaldowo Rembang Jawa Tengah, “adat orang sini kalau punya anak
perempuan sudah ada yang lamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai
tidak laku-laku”. Di daerah ini, anak umur belasan sudah menikah, bahkan banyak
yang sudah menyandang status janda karena orang tua tidak memperdulikan, apakah
anak bersedia dinikahkan atau tidak. Yang terpenting, menurut para orang tua, adalah
menikahkan terlebih dahulu, meski kemudian diceraikan. Berbagai cara biasa

dilakukan agar pernikahan terlaksana, dari memaksa perangkat desa untuk
mempermudah

urusan

administrasi,

memberi

uang

pelicin

hingga

harus

memanipulasi usia anak mereka. Seperti yang terjadi pada Sutik. Dalam surat
nikahnya tercatat berumur 16 tahun, meski sebenarnya Sutik menikah berusia 13
tahun (Mukson, 2013).
Hanum (2011) menyatakan bahwa nilai budaya lama yang menganggap
bahwa menstruasi merupakan tanda telah dewasanya seorang anak gadis masih
dipercaya oleh warga masyarakat, tidak hanya dikalangan orang tua saja melainkan
juga dikalangan kaum muda. Hal ini akan membentuk sikap positif masyarakat dan
kaum muda terhadap pernikahan dini. Perempuan dipedesaan diikuti dengan
pernikahan di usia muda yang mengantarkan remaja pada kehamilan dan persalinan.
Hal ini dapat meningkatkan resiko kematian maternal, yang mencakup 4 terlalu yaitu:
terlalu muda untuk melahirkan, terlalu tua, terlalu sering dan terlalu banyak
melahirkan anak. Umur ibu yang kurang dari 18 tahun meningkatkan resiko lahirnya
bayi “berat bayi lahir rendah” (BBLR) dapat juga beresiko terkena kanker leher
rahim, karena pada usia remaja, sel-sel rahim belum matang sehingga pertumbuhan
sel akan menyimpang dan tumbuh menjadi kanker.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Perempuan Indonesia
(KPI) Dr. Sukron Kamil UIN Cabang Rembang menyatakan bahwa, pernikahan dini
karena perjodohan saat usia sekolah masih terbilang tinggi. Pada tahun 2006-2010,
jumlah anak menikah dini (dibawah 15 tahun) masih meningkat. Beberapa penyebab
terjadinya pernikahan usia dini, 62% wanita menikah karena hamil diluar nikah, 21%

dipaksa orangtua menikah dini karena ingin memperbaiki keadaan ekonomi.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, salah satu penyebab pernikahan dibawah umur
adalah karena dipaksa orang tua. Hal tersebut memang sering terjadi. Perjodohan
yang diterima anak dengan keterpaksaan bukan hanya menimbulkan dampak buruk
bagi psikologisnya, tapi juga kesehatannya. Ancaman depresi pun dapat
menyerangnya (Mukson, 2013).
Dr. Sukron Kamil melanjutkan, beberapa fakta didapat dampak dari
perjodohan diusia dini yang berujung pada pernikahan dini adalah (Mukson, 2013):
1.

Kekerasan terhadap anak
Terkadang anak mengalami kekerasan dari orang tua atau keluarga apabila
menolak untuk dinikahkan. Bahkan ditemukan juga kasus setelah dinikahkan
anak mencoba bunuh diri dengan minuman cairan pestisida. Kekerasan juga
bukan hanya dari lingkungan keluarga namun juga dari pasangan yang umumnya
berusia lebih tua dari mereka.

2.

Tingkat perceraian yang tinggi
Lebih dari 50% pernikahan tidak berhasil dan akhirnya bercerai. Bahkan ada juga
kasus yang menjalani pernikahan hanya dalam hitungan minggu lalu berpisah.
Dan biasanya hal ini terjadi karena anak perempuan tidak mau melakukan
kewajiban sebagai istri dan kurangnya kesiapan masing-masing pasangan yang
mau menikah.

3.

Kemiskinan meningkat, karena belum siap secara ekonomi.

4.

Trafficking/ eksploitasi dan seks komersial anak.

Beberapa faktor yang mempengaruhi suatu perkawinan menurut Khoirul,
(2008) antara lain:
1. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan. Untuk meringankan beban orangtuanya maka anak perempuannya
dinikahkan dengan orang yang dianggap mampu.
2. Faktor orang tua
Orangtua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan lakilaki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
3. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modernkian
permisif terhadap seks. Faktor media massa banyak menyajikan adanya
pernikahan usia remaja saat ini. Adanya seks atau kenakalan remaja lainnya
seringkali

disebabkan

oleh

kurang

adanya

kemampuan

remaja

untuk

mengarahkan emosinya secara positif. Berkurangnya kemampuan remaja ini
berawal dari kurangnya dukungan yang posif. Selain itu, dipengaruhi lingkungan
teerdekat remaja itu sendiri, termasuk orang tuanya sendiri.
4. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan
perawan tua sehingga segera dinikahkan.

2.1.5

Dampak Pernikahan Dini pada Remaja
Resiko pernikahan dini berkaitan erat dengan beberapa aspek, baik yang

berupa dampak positif maupun dampak negatif.
2.1.5.1 Dampak Positif Pernikahan Dini
Fadlyana (2009) menulis tentang efek positif pernikahan dini, diantaranya :
1. Pernikahan dini akan meminimalisir terjadinya perbuatan asusila dan perilaku
menyimpang dikalangan muda-mudi. Presentase hubungan diluar nikah (zina)
dan perilaku homoseksual di daerah-daerah pedesaan, lebih kecil dibandingkan
dengan daerah-daerah perkotaan. Ini merupakan sebuah fakta yang begitu nyata.
Pernikahan dini sudah menjadi hal yang biasa di desa-desa. Anak-anak muda
yang melakukan liwath (hubungan sesama jenis), kebanyakan disebabkan oleh
adanya faktor yang menghalangi mereka untuk menikah secara dini, seperti nilah
mahar yang tinggi dan sebagainya.
2. Dekatnya jarak usia antara orang tua dan anak sehingga perbedaan umur di antara
mereka tidak terlalu jauh. Dengan begitu, orang tua masih cukup kuat
memperhatikan dan merawat anak-anak, sebagaimana anak-anak itu pun nanti
dapat mengurus dan melayani mereka. Carell yang mengkritik peradaban
materialistik berat melalui buku tersebut mengatakan : “semakin dekat jarak
waktu yang memisahkan antara dua generasi, semakin kuat pengaruh moral orang
tua terhadap anak-anak. Oleh karena itu, para wanita seharusnya menjadi ibu di
usia muda, agar mereka tidak terpisahkan dari anak-anak mereka oleh jurang
begitu lebar yang tidak mungkin ditutup sekalipun dengan cinta.”

3. Saat belum mampu menikah, anak-anak muda akan senantiasa dihinggapi
lintasan-lintasan pemikiran yang mengganggu. Pelampiasan nafsu akan menjadi
maksud dan tujuan yang paling penting. Apalagi saat mereka keluar bersama
teman-teman sepergaulan yang tidak baik, ditambah keadaaan perilaku mereka
sendiri yang buruk. Hal ini akan berdampak negatif terhadap agama mereka. Dan
bekas dari dampak negatif ini akan tetap ada sekalipun mereka telah menikah.
Ada sebagian dari mereka yang belum juga dapat mengatasi sisa dampak negatif
tersebut. Sedangan pernikahan dini akan menghindarkan mereka dari dampakdampak negatif itu dan memalingkan perhatian mereka kepada hal-hal yang lebih
utama untuk diri mereka sendiri. Olehkarena itu, banyak ditemukan anak-anak
muda belia dari pedesaan yang datang ke kota untuk berusaha dan bekerja keras,
mereka memeras keringan dan membanting tulang agar dapat mengirimkan uang
kepada istri, anak, dan orang tuanya di kampung. Disamping itu, juga ditemukan
anak-anak muda perkotaan yang lebih tinggi usianya, menghabiskan waktu
berjam-jam di depan internet, menjalin hubungan dengan perempuan, disaat
mereka sendiri masih menjadi beban tanggungan orang tua.
4. Memiliki tingkat kemungkinan hamil yang tinggi. Kehamilan pada masa menikah
bagi perempuan di usia dini lebih tinggi kemungkinannnya dibandingkan pada
usia lain sebagaimana yang dapat dilihat nanti dari keterangan para dokter.
5. Meningkatkan jumlah populasi suatu umat. Umat yang kaum mudanya
melakukan pernikahan dini, akan mengalami peningkatan jumlah populasi yang
lebih besar dari umat lain.

6. Meringankan beban para ayah yang dianggap fakir, dan menyalurkan hasrat sang
suami dengan cara yang syar’i.
7. Memenuhi kebutuhan sebagian keluarga, misalnya akan keberadaan seorang
perempuan yang mengurus dan menangani keperluan rumah tangga mereka.
8. Kemandirian kedua suami istri dalam memikul tanggung jawab, dengan tidak
bergantung kepada orang lain.
2.1.5.2 Dampak Negatif Pernikahan Dini
Resiko pernikahan dini berkaitan erat dengan beberapa aspek,yaitu (Maroon,
2011) :
1. Segi Kesehatan
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada
tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada
rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak.Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang
kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan
pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu
hamil usia 20 tahun kebawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum
waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental, kebutaan dan
ketulian.
a. Kanker Leher Rahim
Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun berisiko terkena kanker
leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matanng. Jika terpapar
human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi

kanker.Leher rahim adadua lapis epitel,epitel skuamosa dan epitel kolummer. Pada
sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda.
Epitel kolumner akan berubah menjadi epitelskuamosa. Perubahannya disebut
metaplasia. Jika HPV menempel, perubahan menempel menjadi dysplasia yang
merupakan awal dari kanker. Pada usia di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang,
sehingga resiko makin kecil.Gejala awal perlu diwaspadai, keputihan yang berbau,
gatal atau perdarahan setelah senggama. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau
prakanker, kanker leher rahim bisa melakukan tes Pasmear 2-3 tahun sekali.
b. Neoritis Depresi
Depresi berat atau neuritis depresi akibat pernikahan dini, bisa terjadi pada
kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si
remaja menarik iri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan
menjadi seorang yang schizofrenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang
adalah gila. Sedangkan depresi berat pada pribadi extrovert (terbuka) sejak kecil, si
remaja tordorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti,
perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis
kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.
Dalam pernikahan dini sulit dibedakan apakah remaja laki-laki atau remaja
perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas
labil, sulit kembali pada situasi normal. Sebaliknya, sebelum ada masalah lebih baik
diberi prevensi dari pada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya
orang mulai menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak,

berubah100%. Jika berdua tanpa anak, mereka masih bisa senang, apalagi kalau
keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa
remajanya dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan.
Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasarkan emosi
ataumungkin mengatas-namakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak.
Meski tidak terjadi married by accident (MBA) atau menikah karena “kecelakaan”,
kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah
dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja.
2. Segi Fisik
Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang
memerlukan keterampila fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan
mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang
berperan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Generasi
muda tidak boleh berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi pria, rasa
ketergantungan kepada orangtua harus dihindari.
3. Segi Mental/Jiwa
Pasangan usia muda belum siap bertangggung jawap secara moral, pada setiap
apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami
kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum
matang emosinya.
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks,
sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang

sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada
perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas keputusan hidupnya. Selain itu,
ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan
(Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya
yang melekat dalam diri anak.
4. Segi Pendidikan
Pendewasaan usia kawin ada kaitannya dengan usaha memperoleh tingkat
pendidikan yang lebih tinggi dan persiapan yang sempurna dalam mengurangi
bahtera hidup.
5. Segi Kependudukan
Perkawinan usia muda ditinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat
fertilitas (kesuburan) yang tinggi, sehingga kurang mendukung pembangunan di
bidang kesejahteraan. Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya
dalam masyakat patriarki yang bias jender, yang menempatkan perempuan pada
posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini
sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat
menghormati perempuan (Rahmata lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan
budaya patriarki yang

bias gender yang akan melahirkan kekerasanterhadap

perempuan.
6. Segi Kelangsungan Rumah
Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang masih rawan dan belum stabil,
tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak terjadinya

perceraian.

Berbagai

konsekuensi

yang

diakibatkan

dari

pernikahan

dini

dikemukakan dari beberapa penelitian. Menurut Shawky (2010) yang melakukan
penelitian di Jeda Arabia tentang pernikahan dini dan konsekuensi kehamilan,
hasilnya mengatakan mereka yang menikah usia dini akan berisiko dua kali untuk
mengalami keguguran secara spontan dan empat kali risiko mengalami kematian
janin dan kematian bayi.
Sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan
sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini. Positifnya ia mencoba
bertanggung jawap atas hasil perbuatanya yang dilakukan bersama pacarnya. Hanya
satu persoalannya, pernikahan dini sering dituntut perceraian. Mengapa pernikahan
dini yang umumnya dilandasi rasa cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh
remaja? Pernikahan dini mempunyai dua dampak buruk yang sangat berat. Dari segi
fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa
membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu perempuan masa hamil sebaiknya
dilakukan pada usis 20-30 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil.
Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah
orang mulai memasuki usia dewasa. Usia remaja boleh dikatakan berhenti pada usia
19 tahun. Dan usia 20-24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa muda
atau lead adolescent. Pada masa ini, mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa
dewasa yang lebih stabil. Maka, kalaupernikahan diakukan di bawah 20 tahun secara
emosi si remaja masih ingin bertualang menemukan jati dirinya. Bayangkan kalau
orang seperti itu menikah, ada anak, si istri harus melayani suami dan suami tidak

bisa kemana-mana karena harus bekerja untuk belajar bertanggung jawab terhadap
masa depan keluarga. Hal ini yang menyebabkan gejolak dalam rumah tangga
sehingga terjadi perceraian, dan pisah rumah.
Pada masyarakat kulit hitam maupun masyarakat kulit putih didapatkan
bahwa perkawinan dan kehamilan pada umur belia berkaitan dengan kondisi-kondisi
yang serba merugikan. Kondisi-kondisi tersebut yaitu : rendahnya tingkat pendidikan
wanita, rendahnya tingkat partisipasi kerja wanita dan pendapatan keluarga muda
yang rendah. Hal ini berdampak pada taraf kesejahteraan yang kurang
menugguntungkan. Bentuk-bentuk ketidakstabilan kehidupan berumah tangga, krisis
keluarga, terputusnya kelanjutan sekolah, masalah mengasuh anak dan problema
ekonomi merupakan bagian dari komplikasi yang diakibatkan dari perkawinan dan
kehamilan usia muda (Bronars, 2010; Furstenberg, 2010).
Kehamilan di kalangan remaja berimplikasi negatif terhadap tingkat
pendidikan yang dicapai oleh wanita, posisi ekonomi di kemudian hari dan partisipasi
angkatan kerja. Konsekuensi yang diakibatkan oleh pernikahan usia dini pada anak
perempuan adalah penolakan terhadap pendidikan, anak perempuan cenderung tidak
melanjutkan sekolah setelah menikah sehingga mendorong terjadinya kemiskinan,
mengalami masalah kesehatan termasuk kehamilan remaja (adolescent pregnancy),
dan terisolasi secara sosial. Selain itu konsekuensi dari pernikahan dini dan
melahirkan di usia remaja adalah berisiko untuk melahirkan bayi prematur dan berat
badan lahir rendah (Trussel, 2010; UNICEF, 2011; Aditya dkk, 2010).

Wanita yang menikah pada usia muda mempunyai waktu yang lebih panjang
berisiko untuk hamil. Perkawinan usia remaja berdampak pada rendahnya kualitas
keluarga, baik ditinjau dari segi ketidaksiapan secara psikis dalam menghadapi
persoalan sosial maupun ekonomi rumah tangga. Risiko lain adalah ketidaksiapan
mental untuk membina perkawinan dan menjadi orangtua yang bertanggung jawab.
Dampak lain dari perkawinan dini adalah kehamilan usia muda yang berisiko
terhadap kematian ibu dan bayinya karena ketidaksiapan calon ibu dalam
mengandung dan melahirkan bayinya (Wilopo, 2005).

2.2

Konsep Perkawinan
Defenisi perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun

1974 adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan undang-undang tersebut
dapat diketahui bahwa hubungan seksual yang dilakukan pasangan suami istri yang
telah disahkan dalam lembaga perkawinan.
WHO (2010) telah menetapkan bahwa usia 10-24 tahun merupakan batasan
remaja yang masih mendapat perhatian dan perlindungan oleh orangtua. Oleh karena
itu perkawinan dini dan kehamilan dini merupakan praktik yang merugikan dan
membahayakan perempuan dari segi medis dan psikis. Konvensi hak-hak anak
menentukan 18 tahun sebagai usia minimum untuk menikah bagi laki-laki maupun
perempuan. Adapun undang-undang perlindungan anak

menganggap, siapa saja

dibawah usia 18 tahun sebagai anak dan orangtua bertanggung jawab untuk
mencegah pernikahan di bawah umur (pasal 26). Undang-undang perkawinan juga
bertentangan dengan komitmen internasional dan undang-undang yang menghendaki
hak-hak yang sama untuk menikah dan menetapkan 18 tahun sebagai usia minimum
untuk menikah baik laki-laki maupun perempuan.
Pernikahan dipandang sebagai suatu yang

harus dipatuhi dan dapat

menyebabkan kondisi dan posisi perempuan lenah. Budaya setempat membatasi
ruangangerak perempuan. Bentuk pernikahan dini dapat pula sebagai pola yang
melindungi atau lebih tepatnya mengekang perempuan untuk dapat berkembang
dalam segala bentuk. Pernikahan dini dapat meningkat pada daerah-daerah krisis
perang dengan alasan untuk peningkatan ekonomi dan untuk menghindari bahaya
pelecehan dan perkosaan (UNICEF, 2010).
Mathur (2003) juga mengemukakan beberapa penyebab lain

yang

menimbulkan pernikahan dini. Penyebab tersebut antara lain yaitu peran gender dan
kurangnya alternatif (gender roles and lack ofalternatives).Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan peran yang diharapkan pada anak laki-laki dan terhadap
anak perempuan, serta kurang kesempatan yang diberikan pada pihak wanita seperti
kesempatan pendidikan, olahraga, dan pekerjaan. Penyebab kedua adalah nilai
virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pernikahan (value of virginitas
and fears abaut premarital sexual pregnant). Berkaitan dengan penyebab kedua,
penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa pernikahan dini terjadi sebagai solusi
kehamilan di luar nikah (premarital pregnancy) (Bennet, 1999).

Dalam UU PA pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa “perlindungan anak” adalah
segala kegiatan unntuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam deklarasi hak asasi manusia, dikatakan bahwa pernikahan harus dilakukan atas
persetujuan penuh kedua pasangan. Namun kenyataan yang dihadapi dalam
pernikahan dini ini, persetujuan menikah sering kali merupakan akumulasi dari
paksaan atau tekanan orangtua/wali anak, sehingga anak setuju untuk menikah
seringkali merupakan rasa bakti dan hormat pada orang tua. Orangtua beranggapan
menikahkan anak mereka berarti suatu bentuk perlindungan terhadap sang anak,
namun hal ini justru menyebabkan hilangnya kesempatan anak untuk berkembang,
tumbuh sehat, dan kehilangan kebebasan dalam memilih.
Pernyataan senada juga dikeluarkan oleh International Humanist Ethical
Union, bahwa pernikahan anak merupakan bentuk perlakuan salah kepada anak
(childs abuse). Dalam hal ini, mengingat berbagai konsekuensi yang dihadapi anak
terkait dengan pernikahan dini, maka pernikahan anak tentunya menyebabkan tidak
terpenuhinya prinsip “yang terbaik untuk anak”, sehingga hal ini merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi anak. Dalam UU perlindungan anak dengan jelas
disebutkan pula mengenai kewajiban orangtua dan masyarakat untuk melindungi
anak, serta kewajiban orangtua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak (pasal 26). Sanksi pidana berupa hukuman kurung penjara dan denda

diatur dalam pasal 77-90 bila didapatkan pelanggaran terhadap pasal-pasal
perlindungan anak.
2.2.1

Tujuan Perkawinan
Adapun tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974

adalah :
1. Untuk membentuk keluarga dan mengatur rumah tangga
Menurut ketentuan hukum agama yang berdasarkan Ketuhanan YME,
sehingga suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dalam mencapai kesejahteraan
spritual demi terwujudnya tujuan perkawinan. Rumahtangga merupakan landasan
pertama masyarakat yang besar, diatas dasar kecintaan dan kasih sayang. Pernikahan
merupakan suatu ikatan yang kokoh yang menjalin suami istri, yang tadinya tidak ada
ikatan, baik pertalian darah maupun pertalian keturunan, menjadi satu persekutuan
hidup yang begitu kokoh. Unsur yang mengikat tali perhubungan tersebut ialah
kecintaan dan kasih sayang.
2. Untuk memperoleh keturunan yang sah
Memperoleh keturunan dalam kehidupan manusia itu mengandung 2 segi
kepentingan, kepentingan diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum. Sudah
menjadi kodrat manusia, bahwa manusia mempunyai keinginan untuk memperoleh
keturunan. Katurunan akan menjadi belahan jiwa. Suami istri yang hidup sebagai
keluarga tanpa anak akan merasa sepi dan hampa.

3. Pada prinsipnya membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia akan
bersifat kekal dan tidak berakhir dengan perceraian.
Adapun yang dimaksud dengan keluarga disini adalah satu kesatuan yang
terdiri atas ayah, ibu, anak atau anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan
masyarakat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sangat penting
artinya kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tidak dapat lain, masyarakat yang
berbahagia akan terdiri atas keluarga-keluarga yang berbahagia pula. Membentuk
keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula
tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak
dan kewajiban orang tua. Untuk dapat mencapai hal ini maka diharapkan kekekalan
dalam perkawinan, yaitu bahwa sekali orang melakukan perkawinan, tidak akan
bercerai untuk selama-lamanya, kecuali cerai karena kematian.
Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam UU NO.1 tahun 1974 bila kita
rasakan adalah sangat ideal karena tujuan perkawinan itu tidak hanya melihat dari
segi lahiriah saja tetapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami
dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal
dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan Kehendak Tuhan YME.
Tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk memenuhi hajat dan
tabiat kemanusiaan berhubungan anatara laki-laki dan

perempuan dalam rangka

mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih sayang untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuanketentuan yang telah diatur dalam syariat. Dalam hukum Islam perkawinan juga

bertujuan menuruti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat yang mendirikan suatu rumah tangga yang damai dan teratur.
Sedangkan tujuan perkawinan menurut hukum adat adalah untuk melahirkan
generasi muda, melanjutkan garis hidup orang tua, mempertahankan derajat
memasuki inti sosial dalam masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara
individu. Bambang Suando mengatakan bahwa tujuan perkawinan menurut hukum
adat adalah secara sosiologi untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat setempat.
2.2.2

Syarat-Syarat Perkawinan
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa syarat-

syarat perkawinan tercantum pada pasal 6 sebagai berikut :
1. Perkawinan harus dilakukan menurut hukum agama
2. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan
3. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
4. Untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus
mendapat ijin orang tua.
Syarat-syarat perkawinan menurut pasal 7 yaitu :
1. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan atau penjabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak
pria maupun pihak wanita.

3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah satu atau kedua orangtua
tersebut dalam pasal (6) ayat (3) dan(4) UU ini, berlaku yang dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
2.2.3

Perkawinan Menurut Hukum Agama
Hadikusuma (2007) menyatakan bahwa pada umumnya menurut hukum

agama perbuatan suci(sakramen, samskara) yaitu suatu perikatan antara dua pihak
dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Kuasa, agar kehidupan
berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetanggga berjalan dengan baik dan
sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi
keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum
terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.
Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya, apa
yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan (dilarang). Oleh
karena pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang
berlangsung tidak seagama.
Perkawinan dalam arti”ikatan jasmani dan rohani” berarti suatu ikatan untuk
mewujudkan kehidupan yang selamat bukan saja didunia tetapi juga diakhirat, bukan
saja lahiriah tetapijuga batiniah, bukan saja gerak langkah yang sama dalam karya
tetapi juga gerak langkah yang sama dalam berdoa. Sehingga kehidupan keluarga
dalam rumah tangga itu rukun dan damai, dikarenakan suami dan istri serta anggota
keluarga berjalan seiring bersama pada arah dan tujuan yang sama.

Menurut hukum Islam perkawinan adalah akad (perikatan) antara wali wanita
dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali siwanita
dengan jelas dan ijab (serah) diterima (Kabul) oleh calon suami yang dilaksanakan di
hadapan dua saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan
tidak sah, karena bertentangan dengan hadis Nabi Muhamad SAW yang diriwayatkan
Ahmad yang menyatakan “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil”. Jadi perkawinan menurut agama Islam adalah perikatan antara wali perempuan
(calon istri) dengan calon suami perempuan itu,bukan perikatan antara pria dengan
wanita saja sebagai maksud pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 atau menurut hukum
Kristen, kata “wali” berarti bukan saja”bapak” tetapi juga termasuk “datuk” (embah),
saudara-saudara pria, anak-anak pria dari paman,kesemuanya menurut garis
keturunan pria (patrinial) yang beragama Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa
ikatan perkawinan dalam Islam berarti pula perikatan kekerabatan bukan perikatan
perseorangan.
Menurut Hukum Kristen Katolik, perkawinan adalah persekutuan hidup
antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan
bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali (Budyapranata, 1992). Jadi
perkawinan menurut Kristen Katolik adalah perbuatan yang bukan saja merupakan
ikatan cinta antara kedua suami istri, tetapi juga harus mencerminkan sifat Allah yang
penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan. Perkawinan itu adalah sah
apabila kedua mempelai sudah dibaptis (Kan.1055).

Menurut hukum Hindu, perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna
mendapatkan anak pria akan menyelamatkan orang tua dari neraka

Put, yang

dilangsungkan dengan upacara ritual menurut Agama Hindu Weda Smrti. Jika
perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut Hukum Hindu maka
perkawinan itu tidak sah (perhatikan G.Pudja,1974:9).
Menurut Hukum Perkawinan Agama Budha (HPAB) keputusan Sangha
Agung tanggal 1 Januari 1977 pasal 1 “perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin
anatara seorang pria sebagai seorang suami dan wanita sebagai istri yang
berlandaskan cinta kasih (Metta), Kasih sayang (Karuna) dan Rasa Sepenanggungan
(Mudita) dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (Rumah Tangga) bahagia
yang diberkati oleh Syanghyang Adi Budha/Tuhan yang Maha Esa, para Budha dan
para Bodhisatwa-Mahasatwa.” Perkawinan adalah sah apabila Hukum Perkawinan
Agama Budha Indonesia (pasal 2 HPAB).
2.2.4

Perkawinan Menurut Hukum Adat
Hadikusuma (2007) menyatakan bahwa hukum adat pada umumnya di

Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga
merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan
ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga
menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam
hubunan manusia dengan Tuhan (ibadah) maupun hubunan manusia sesama manusia
(mu’amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan selamat di akhirat.

Haar dalam Hadikusuma (2007) menyatakan bahwa perkawinan itu adalah
urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarat, urusan martabat, dan urusan
pribadi dan begitu pula ia menyangkut urusan keagamaan. Sebagaimana dikatakan
bahwa dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum
yang berhungan degan tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia
(hoogere wereldorde).
Perkawinan dalam arti “Perikatan Adat”, ialah perkawinan yang mempunyai
akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan
adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasan sanak” (hubungan anak-anak,
bujang-gadis) dan “rasan tuhan” (hubungan antara orangtua keluarga dari pada calon
suami, istri). Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan
kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga/kerabat) menurut hukum
adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran
serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari
kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan.
Sejauhmana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum dalam “perikatan
adat”,seperti pada kedudukan suami dan kedudukan suami dan kedudukan istri,
begitu pula dengan kedudukan anak dan pengangkatan anak, kedudukan anak tertua,
anak penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain, dan harta perkawinan,
yaitu harta yang timbul akibat terjadinya perkawinan, tergantung pada bentuk dan
sistem perkawinan adat setempat.

2.2.5

Batasan Usia untuk Suatu Perkawinan
Dalam hubungan dalam hukum menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974,

usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun
untuk pria (pasal 7). Jelas bahwa UU tersebut menganggap orang di atas usia tersebut
bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah, batasan usia ini
dimaksud untuk mencegah perkawinan terlalu dini. Walaupu begitu selama seorang
belum mencapai usia 21 tahun boleh menikah tanpa izin orang tua untuk menikahkan
anaknya. Setelah berusia di atas 21 tahun masih diperlukan izin orang tua untuk
menikahkan anaknya (pasal 6 ayat 2 UU No. 1/1974). Tampak disini bahwa
walaupun UU tidak menganggap mereka yang diatas usia 16 tahun untuk wanita dan
19 untuk pria bukan anak-anak lagi,tapi belum dianggap dewasa penuh. Sehingga
masih perlu izin untuk menikahkan mereka. Ditinjau dari segi kesehatan reproduksi,
usia 16 tahun bagi wanita, berarti yang bersangkutan belum berada dalam usia
reproduksi yang sehat.
Meskipun batasan

usia pria maupun wanita untuk melangsungkan

perkawinan telah ditetapkan UU, namun pelanggaran masih banyak terjadi di
masyarat terutama dengan cara menaikkan usia agar dapat memenuhi batas usia
minimal tersebut (Sarwono, 2006).
2.2.6

Aspek Sosial Budaya pada Setiap Perkawinan
Berdasarkan pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan

dilakukan secara bertahap. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan
pemgetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan,

hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan atau
ketidaktahuan seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap
kesehatan ibu dan anak. Pola makan misalnya, pada dasarnya adalah merupakan salah
satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlibat bahwa
setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan
anak yang disertai dengan kepercayaan akan pematangan, tabu, dan anjuran terhadap
beberapa makanan tertentu.
Pada aspek sosial budaya penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap,
yakni di antara :
1. Pada fase pertama adalah hukum bulan madu pasangan masih menjalani hidup
dengan penuh kebahagian, dan hal itu karena didasari rasa cinta di awal
perkawinan. Pada fase pengenalan kenyataan, pasangan mengetahui karakteristik
dan kebiasaan yang sebenarnya dari pasangan.
2. Pada fase kedua mulai terjadi krisis perkawinan terjadi proses penyesuaian akan
adannya perbedaan yang terjadi. Apabila sukses dalam menerima kenyataan maka
akan dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima kenyataan maka akan
dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima kenyataan. Apabila pasangan sukses
mengatasi problem keluarga dengan berapatasi dan membuat aturan dan
kesepakatan dalam rumah tangga maka fase kebahagiaan sejati akan
diperolehnya.
Menurut faktor pendorong keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas
subjek terletak dalam hal saling memberi dan menerima cinta, ekspresi afeksi, saling

menghormati dan menghargai, saling terbuka antara suami istri. Hal tersebut
mencermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan antar
pribadi dan pola-pola prilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri, serta
kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga
kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai.
Menurut aspek sosial budaya faktor pendukung keberhasilan penyesuaian
perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal saling memberi dan menerima cinta,
ekspresi efeksi, saling menghormati dan menghargai, saling terbuka antara suami
istri. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas
hubungan antara pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami maupun
istri, serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga
kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai.
Sedangkan menurut aspek sosial budaya faktor penghambat yang mempersulit
penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal dim

Dokumen yang terkait

Studi Kualitatif Tentang Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

1 2 18

Studi Kualitatif Tentang Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 1 2

Studi Kualitatif Tentang Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 0 4

Studi Kualitatif Tentang Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 1 4

Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

0 0 4

Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

0 0 3

Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

0 0 13

Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

0 0 24

Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

0 0 1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pernikahan merupakan salah satu tahap yang penting dalam siklus kehidupan - Studi Kualitatif Tentang Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 0 10