Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

BAB II
KERANGKA TEORI
2.1. Pernikahan Dini
2.1.1

Pengertian Pernikahan Usia Dini

Perkawinan menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 1, perkawinan
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, (Jamali. A, 2006). Menurut
Puspitasari dalam Jamali. A (2006) perkawinan adalah suatu ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita, hidup bersama dalam rumah tangga,
melanjutkan keturunan menurut ketentuan hukum syariat Islam. Sedangkan menurut
Dlori (2005) mengemukakan bahwa : “ pernikahan dini merupakan sebuah
perkawinan dibawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimalpersiapan fisik, persiapan mental, juga persiapan materi. Karena demikian inilah
maka pernikahan dini bisa dikatakan sebagai pernikahan yang terburu-buru, sebab
segalanya belum dipersiapkan secara matang.
Pengertian lainnya, berdasarkan kampanye Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana (BKKBN) mengkampanyekan bahwa bila menikah di bawah
usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki disebut sebagai

pernikahan dini. Bila berbicara mengenai batasan usia anak/remaja, menurut UU
Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2012, yaitu mereka yang belum berusia delapan
belas tahun, maka siapapun yang menikah di bawah batas usia tersebut dapat

25
Universitas Sumatera Utara

dikatakan termasuk dalam pernikahan dini. Adapun lokasi penelitian yaitu di Desa
Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi
Sumatera utara. Konsep dan usia pernikahan dini desa ini terjadi dalam rata-rata usia
sekitar 15-19 tahun. Praktik pernikahan dini ini tentunya masih termasuk dalam
konsep pernikahan dini berdasarkan BKKBN dan Badan Perlindunggan Anak, maka
hal ini menarik untuk diteliti.
2.1.2

Faktor yang Mendorong Pernikahan Dini

Menurut Alfiyah (2010), ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya
perkawinan usia muda yang sering ditemukan di lingkungan masyarakat kita yaitu :
a. Ekonomi

Perkawinan usia muda terjadi karena adanya keluarga yang hidup digaris
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih
dibawah umur.
c. Faktor Orang Tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan
laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.

26
Universitas Sumatera Utara

d. Media Massa
Gencarnya expose seks dimedia massa menyebabkan remaja modern semakin
permisif terhadap seks.
e. Faktor Adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan
perawan tua sehingga segera dikawinkan.

f. Keluarga Cerai ( Broken Home )
Banyak anak-anak korban perceraian terpaksa menikah secara dini karena
berbagai alasan, misalnya: tekanan ekonomi, untuk meringankan beban orang tua
tunggal,membantu orang tua, mendapatkan pekerjaan, meningkatkan taraf hidup.
Dalam lokasi penelitian yang dilakukan, pada umumnya masyarakat yang
melakukan pernikahan dini karena faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor paksaan
orang tua dan faktor adat atau kebiasaan masyarakat setempat. Hal ini ditemukan dari
hasil observasi dan wawancara awal dengan masyarakat setempat.

2.2 Permasalahan Gender
Gender adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan
oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi terhadap pembedaan biologis laki-laki
dan perempuan (dalam Daulay, 2007). Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi
dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh
karena itu, gender dapat disesuaikan dan diubah. Isu – isu gender yang terkait pada

27
Universitas Sumatera Utara

para perempuan di masyarakat saat ini adalah Double borden (beban ganda),

Stereotype (pelabelan), Marjinalisasi, Subordinasi, Violence (tindak kekerasan). Isuisu tersebut selalu berkaitan dengan para perempuan secara umum karena masalahmasalah selalu muncul ketika perempuan memasuki ranah publik.
Berkaitan dengan gender, dalam ilmu Sosiologi juga membahas tentang ini.
Sosiologi gender adalah kajian terhadap persamaan hak dan kewajiban antar pria dan
wanita dalam suatu masyarakat Ilmu yang mempelajari tentang interaksi sosial antar
laki-laki dan perempuan. Suatu analisis kajian yang membahas tentang peranan antara
laki-laki dan perempuan yang saling berinteraksi dalam suatu masyarakat. Kajian
yang menghasilkan dari adanya konstruksi sosial seperangkat peran dari laki-laki dan
perempuan secara kultural dan merupakan llmu yang mempelajari kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan yang saling berinteraksi dalam suatu masyarakat (diakses
dari http://hasrin-fathir.blogspot.co.id/2013/09/sosiologi-gender.html diakses pada 28
Desember 2016, pukul 22.58 WIB).
Dalam masyarakat yang menjadi pelaku pernikahan dini di lokasi penelitian
juga memiliki masalah mengenai konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Bentukbentuk masalah gender yang menjadi sorotan utama di masyarakat ini khususnya
pelaku pernikahan dini kelompok perempuan yaitu stereotif berupa pelabelan,
marginalisasi berupa peminggiran hak perempuan dan violence berupa bentuk
kekerasan. Terkhusus di penelitian ini kajian utama terletak pada bentuk kekerasan
yang berupa kekerasan simbolik.

28
Universitas Sumatera Utara


2.3 Pemikiran Piere Bourdieu
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Teori Pierre Bourdieu yaitu teori
Habitus, Kapital, Ranah/Arena karena menurut peneliti teori Pierre Bourdieu relevan
untuk digunakan dalam mengkaji tentang penelitian mengenai Kekerasan Simbolik
dalam Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa
Kabupaten Deli Serdang. Bagi Bourdieu, konsep habitus dipakai untuk membongkar
mekanisme dan strategi dominasi yang dibatinkan yang selama ini selalu diamati dari
akibat-akibat di luar individu. Konsep arena merupakan konsep di mana pertarungan
para pemilik kapital dan strategi dominasi (dikuasai atau menguasai) hal itu terjadi
karena konsep ini tidak bisa dipisahkan dari habitus (situasi pengorganisasian sosial)
dan kepemilikan kapital (modalitas kekuasaan).
Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang dengannya orang
berhubungan dengan dunia sosial. Dalam berhubungan dengan dunia sosial, individu
tidak terlepas dari interaksi dan ruang sosial. Habitus yang ada pada waktu tertentu
merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode
histories yang relative panjang. Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh kehidupan
sosial. Tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Menurut
Bourdieu, habitus semata-mata “mengusulkan” apa yang sebaiknya dipikirkan orang
dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk sebaiknya dilakukan seperti halnya

makan, minum, berbicara, dan lain sebagainya.

29
Universitas Sumatera Utara

Selain konsep habitus, kelanjutan dari pemikiran Bourdieu adalah mengenai
kapital (modal). Kapital (modal) adalah hal yang memungkinkan kita untuk
mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis kapital,
seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya
(latar belakang dan jaringan) dan kapital simbolik (prestasi dan status). Kapital bisa
diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya. Setiap kapital
dalam konsep Bourdieu adalah berkaitan, juga bisa mengalami perubahan. Setiap
individu bisa melampaui batasan-batasan kapitalnya (ekonomi), demi menaikkan
kelas sosialnya di dunia sosial. Individu tersebut mempunyai modal budaya (menulis)
dan modal simbolik (prestasi). Dengan mempunyai modal budaya dan simbolik,
dapat menutupi modal ekonominya. Modal ekonomi akan individu dapati dengan
usaha menjuarai suatu lomba tulisan, jika menang menjadi modal simbolik (prestasi).
Modal simbolik ini lah yang membawa individu kepada modal sosial (jaringan
sosialnya dengan penulis atau penerbit lain). Jadi, modal saling berkaitan satu sama
lain, juga modal bisa berubah (meningkat) dan kelas sosial yang menggambarkan

status sosial individu di masyarakat. Ketika modal ini dikaitkan dengan pernikahan
dini maka dapat dikatakan bahwa modal sosial, modal budaya, modal ekonomi dan
modal simbolik yang dimiliki oleh salah satu atau kedua pasangan pernikahan dini
seperti status sosial di masyarakat tinggi, memiliki keluarga terpandang, memiliki
kepemilikan ekonomi dapat mempengaruhi terjadinya pernikahan dini yang terjadi di
kalangan remaja saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan habitus masyarakat yang ada
berupa kebiasaan masyarakat setempat dan kondisi lingkungan masyarakat yang ada.

30
Universitas Sumatera Utara

Setelah habitus dan kapital yang telah dijelaskan oleh Piere Bourdieu, ada
juga teori lainnya tentang ranah/ arena. Ranah adalah sejenis pasar kompetitif yang di
dalamnya berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan dan
dimanfaatkan. Dengan kata lain, ranah berarti pergaulan di kampus dan saat diskusi
mata kuliah di kelas. Praktik sosial seperti kuliah di kelas antara dosen dan
mahasiswa, yang terdiri dari beberapa individu menggambarkan habitus dan kapital
yang berbeda-beda .
2.4 Dominasi Maskulin dalam Pemikiran Piere Bourdieu
Dalam teori Perbedaan (difference) menjabarkan usaha manusia dalam tuturan

dan tulisan untuk membedakan makna sebagai "penanda". Artinya, kata dan konsep
mendapatkan makna hanya dalam referensi relasional dengan kata-kata dan penanda
lain yang menjelaskan makna secara berbeda dari mereka (dalam Sarup, 2008).
Misalnya, istilah maskulinitas memiliki makna hanya selama maskulinitas dibedakan
dan yang bukan maskulin, yaitu feminin (yang memerlukan pemaknaan hanya dalam
hubungannya dengan perbedaannya dengan maskulin). Sehingga secara sosiologis,
istilah laki-laki dan perempuan dalam hubungan satu sama lain dan memiliki makna
hanya dengan keterwakilannya terhadap istilah lain. Untuk menjadi "laki-laki tulen"
berarti menjadi nonfeminin sebaliknya juga demikian. Dilihat dari cara ini, kelelakian
dan keperempuanan tidak dicirikan oleh esensi invariant sosial dan biologis namun
hanva dalam konteks apa yang bukan mereka, yang "lain" dari mereka. Dalam
budaya patriarki kita, laki-laki bersifat dominan terhadap perempuan, yang berarti
bahwa perbedaan gender cenderung dicirikan bukan hanya dari perbedaan namun dan

31
Universitas Sumatera Utara

ketidakseimbangannya (http://www.kompasiana.com/udinsabaruddin/sekilas-teori-genderdan-feminisme_552a6ccff17e61a509d623e9 diakses pada 28 Desember 2016, pukul

22.34 WIB).

Persoalan gender selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan
dan di buku Dominasi Maskulin oleh Pierre Bourdieu mencoba menjelaskan tentang
analisis etnografis terhadap pembagian kerja berbasis gender yang berlaku dalam
masyarakat Qubail yang merepresentasikan budaya Mediterania. Bourdieu membahas
bagaimana konsep pembagian kerja berbasis gender dimulai dari perspektif
konstruksi sosial tubuh, kekerasan simbolik, hingga kekuatan yang terkandung dalam
struktur yang ada. Semuanya dijelaskan Bourdieu dalam kerangka pemaknaan
simbol. Misalnya tentang perempuan yang selalu diidentikkan dengan dapur, sumur,
dan kasur. Sedangkan lelaki yang selalu diidentikkan dengan kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan usaha keras. Konon hal-hal sederhana seperti itu, diterima begitu saja
oleh masyarakat, seperti yang diungkapkan Bourdieu di pendahuluan bukunya
"Sesungguhnya, tiada hentinya saya selalu terheran-heran dengan apa yang disebut
paradokz doxa: yaitu fakta bahwa tatanan dunia sebagaimana adanya itu secara
grosso modo ditaati, meskipun tatanan dunia itu hadir dengan makna-makna yang
unik maupun yang terlarang, dalam pengertian denotasi maupun kiasan, dengan
kewajiban-kewajiban dan sanksi-sanksinya." Lebih lanjut lagi Bourdieu berpendapat
bahwa "tatanan yang telah mapan itu dilestarikan dengan cara yang sedemikian
mudah, dengan perkecualian beberapa kecelakaan sejarah meskipun tatanan itu

32

Universitas Sumatera Utara

mencakup hubungan-hubungan dominasi yang ada di dalamnya, dengan segala
perlakuan istimewa, dengan privilese dan ketidakadilannya"
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa menurut Bourdieu dalam buku ini,
kekerasan simbolik yang dialami perempuan kadangkala tidak dipahami sebagai
sebuah kekerasan sebab kekerasan yang tidak terlihat secara fisik. Contoh
sederhananya yaitu: laki-laki mencaci perempuan ketika perempuan gagal melakukan
pekerjaan yang ditugaskan laki-laki kepadanya dan jika perempuan itu berhasil, lakilaki tidak akan memujinya (dalam Yuwono, 2010: 47). Disposisi-disposisi semacam
inilah yang menurut Bourdieu menjadi penyebab terlestarikannya dominasi maskulin.
Atau contoh sederhana lain, yaitu para orangtua yang tidak mengijinkan anak
perempuannya memilih jurusan yang "berbau lelaki" seperti teknik mesin misalnya,
adalah contoh konkret sehari-hari yang mudah kita temui. Tidak sedikit pula posisiposisi pekerjaan sulit diduduki oleh perempuan, sebab posisi-posisi tersebut telah
dianggap khusus untuk laki-laki.
Lebih lanjut Bourdieu membahas bahwa salah satu efek dominasi maskulin
yang bisa kita amati di keseharian yaitu dimana dominasi tersebut menjadikan
perempuan sebagai barang-barang simbolik. Secara sederhana misalnya bagaimana
perempuan merasa bangga dapat menjadi pasangan yang tampak membanggakan
pasangannya. Orang mengharap bahwa kalau bisa perempuan itu bersifat "feminin",
yaitu murah senyum, simpatik, penuh perhatian, tunduk, tidak banyak bicara, dll.

Bahkan disebutkan dalam buku ini, perempuan membutuhkan pandangan
orang lain agar dirinya menjadi ada dan hal itu lah yang menjadi alasan mengapa

33
Universitas Sumatera Utara

perempuan banyak menghabiskan waktu, uang, dan energi untuk kecantikan. Sebab
mereka terus diorientasikan untuk mendapatkan tubuh, wajah, dan penampilan yang
ideal menurut standart baku yang ada. Dalam era sekarang ini propaganda iklan-iklan
kecantikan tentu sangat mempengaruhi. Buku ini ibarat seperangkat alat analisis
untuk mengetahui logika-logika yang bekerja dalam tatanan sosial masyarakat secara
umum, meskipun yang dijadikan bahan riset Bourdieu adalah masyarakat Qubail,
namun prinsip-prinsip yang dibahas adalah prinsip-prinsip yang berlaku universal dan
sangat relevan dengan kondisi kekinian.

2.5 Kekerasan Simbolik dalam Pemikiran Piere Bourdieu
Selain teori-teori diatas, terdapat juga teori tentang kekerasan simbolik oleh
Piere Bourdieu. Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategorikategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang
kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang “adil.” Ini adalah
penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur
tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang
posisi pihak yang dominan ini sebagai yang “benar.” Kekerasan simbolik dalam arti
tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu
melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan
memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial (Jenkins, 2004:157).

34
Universitas Sumatera Utara

Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang secara paksa (dipaksakan)
seseorang yang menerimanya mendapat kepatuhan yang tidak dirasakannya sebagai
paksaan dengan bersandar pada harapan kolektif yang sudah tertanam secara sosial
(Fauzi, 2007). . Legitimasinya meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan
pemaksaan tersebut berhasil. Selama hal (sesuatu) diterima sebagai sesuatu yang sah,
selama itu pula (kebudayaan) melalui relasi (dominasi) kekuasaan memberikan
reproduksi yang terus-menerus dan sistematis. Kekerasan simbolik terjadi dalam
ruang-ruang sosial kehidupan masyarakat keseharian, tetapi mereka yang terkena
kekerasan simbolik tidak merasakannya, karena itu dianggap sah, sebagai bagian dari
tugas dan pekerjaan orang bawahan, yang dikuasai dan yang diperintah.
Dalam penelitian ini yang mengacu pada pelaku pernikahan dini, kerap
terjadinya bentuk-bentuk kekerasan yang berupa kekerasan simbolik seperti bentuk
ucapan kasar atau menyindir dan menyudutkan satu pihak pasangan. Praktik-praktik
kekerasan simbolik ini lah yang nantinya akan mengacu pada bentuk kekerasankekerasan lainnya seperti kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi.
2.6 Penelitian atau Pembahasan Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu ataupun referensi yang relevan dengan
penelitian ini, diantaranya Martono (2012) Kekerasan simbolik salah satunya terjadi
di dunia pendidikan, ketika seorang guru menyatakan harga dirinya lebih tinggi dan
harus dipatuhi oleh muridnya, ketika seorang guru menunjuk dan mengatakan peserta
didiknya bodoh. Kekerasan simbolik itu terjadi dan bisa juga muncul melalui gesture,

35
Universitas Sumatera Utara

tidak berupa kekerasan fisik, ketika seorang guru melihat peserta didiknya menyontek
dan langsung menatap peserta didiknya dengan tatapan sinis (dalam Martono, 2012)..
Bila kembali dikaitkan dengan pernikahan dini atau pernikahan usia muda yang
terjadi maka kekerasan simbolik juga kerap terjadi tetapi tidak dipahami dan
dirasakan secara langsung oleh pasangan muda ini. Seperti cara berbicara yang
sedikit meremehkan salah satu pihak atau penggunaan bahasa isyarat dalam
memerintah suatu pekerjaan.
Sumber referensi lainnya Effendi (2015) menyatakan bahwa adalah pekerjaan
yang didominasi oleh anak-anak yang ada di Desa Bogak dan sudah disosialisasikan
secara turun temurun disebut dengan anak itik. Sebagaimana anak-anak pada
umumnya, mereka banyak menghabiskan waktu untuk bermain bersama temantemannya dan menyelesaikan pendidikan mereka sebagai hak yang harus mereka
terima. Berbeda dengan “anak itik”, sebagian besar hak mereka sebagai anak-anak
tidak diberikan oleh masyarakat, namun hal itu tidak disadari oleh mereka ataupun
masyarakat. Hal yang demikian itu disebut juga sebagai kekerasan simbolik, yaitu
kekerasan yang tidak disadari karena berbagai simbol yang menutupinya.
Selanjutnya, kekerasan simbolik juga merupakan bagian yang ikut disosialisasikan
bersamaan dengan “anak itik” di Desa bogak (dalam Effendi, 2015). Dalam penelitian
ini menyatakan bahwa kekerasan simbolik ini tidak dirasakan oleh para pelakunya
dan membuat para anak menjadi korbannya. Hal ini juga dibuat sebagai acuan
penelitian bahwa kekerasan simbolik juga dapat terjadi di kalangan pasangan
pernikahan dini.

36
Universitas Sumatera Utara

Selain itu, sumber referensi lainnya Niko (2016), tulisan ini mengkaji tentang
perkawinan anak di daerah pedesaan yang masih menjunjung tinggi hukum adat di
Kalimantan barat. Studi kasus yang dilakukan di Desa Cowet Kalimantan Barat yang
mayoritas penduduknya etnis Dayak Mali. Isu tentang perkawinan anak di Indonesia
memang sudah lama bergejolak, namun upaya-upaya yang dilakukan untuk
menghentikannya masih dirasa kurang maksimal dikarenakan tidak adanya ketegasan
hukum. Justru sebaliknya, hukum seolah mendukung terhadap praktik perkawinan
anak di bawah umur. Praktik seperti ini memang sudah sejak ratusan tahun terjadi di
daerah desa pedalaman di Kalimantan Barat, sebagai akibat dari kemiskinan yang
terjadi. Dalam hukum adat Dayak Mali tidak ada ketentuan khusus yang menjadi
dasar hukum untuk pernikahan anak. Jika terdapat anak laki-laki atau perempuan
yang berumur di bawah 15 tahun hendak menikah, maka ketentuannya harus
mendapatkan izin dari orang tua kedua belah pihak (pihak antara laki-laki dan pihak
perempuan).
Dalam tulisan ini menyatakan bahwa,melalui adanya kemiskinan maka akan
menjadi salah satu faktor yang membuat pernikahan dini tetap terjadi di kalangan
masyarakat khususnya pedesaan (Niko, 2016). Ketika pernikahan dini terjadi dan
diiringi dengan masalah kemiskinan maka akan rentang terjadi kekerasan simbolik
diantara pasangan pernikahan dini ini yang mungkin saja akan berujung pada
kekerasan-kekerasan jenis lainnya. Melalui sumber referensi dan penelitian terdahulu
ini, maka peneliti hendak melakukan penelitian tentang kekerasan simbolik dalam
pernikahan dini di desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa.

37
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Studi Kualitatif Tentang Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

1 2 18

Studi Kualitatif Tentang Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 1 2

Studi Kualitatif Tentang Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

2 7 50

Studi Kualitatif Tentang Pernikahan Usia Dini Pada Masyarakat Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 0 4

Hubungan Pernikahan Dini Dengan Tumbuh Kembang Balita Di Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

0 0 18

Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

0 0 4

Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

0 0 3

Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

0 0 24

Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

0 0 1

Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

0 0 11