Narasi Simbolik Karya Seni Rupa Tiga Seniman Medan

45

BAB II
LATAR BELAKANG KEBUDAYAAN DAN PENGALAMAN
BERKESENIAN TIGA SENIMAN SENI RUPA MEDAN

Pada bab ini, latar belakang kebudayaan dari tiga seniman seni rupa yang
diteliti sekaligus meliputi pengalaman berkeseniannya amatlah penting diulas,
adalah untuk melihat gagasan dan nilai-nilai budaya yang diterapkan dalam karya
masing-masing. Seperti ungkapan Uhi (2016: 161) yang menyatakan bahwa:
Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana persepsi manusia
terhadap lingkungan serta masyarakatnya, seperangkat nilai yang
menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia
luarnya, bahkan memotivir setiap langkah yang hendak dan harus
dilakukannya, serta menyangkut pola hidup, juga mengenai tata cara
kemasyarakatan.
Hakikatnya manusia adalah homo-esteticus, alasanya makhluk yang
memiliki kegandrungan untuk menciptakan objek budaya rupa yang indah.
Kehadiran budaya rupa yang telah dipertimbangkan aspek-aspek kepatutannya itu
bukanlah sebuah artefak yang mati. Karya-karya itu dibuat sedemikian rupa
sehingga diyakini memancarkan nilai-nilai keindahan yang memperkaya

kehidupan. Nilai-nilai keindahan tersebut tidaklah sekedar pelengkap, melainkan
memiliki nilai simbolis yang luas. Banyak di antaranya berkaitan denga nilai-nilai
yang lebih universal seperti nilai spiritual, nilai moral, dan nilai-nilai etika
(Sachari, 2002: 128-129). Manusia yang memiliki sifat dari sisi homo-esteticus
yang dipaparkan oleh Sachari, dimaksudkan sebagai makhluk yang memiliki sifat
yang suka terhadap keindahan, bukan hanya sebagai penikmat karya seni, tetapi

Universitas Sumatera Utara

46

juga sebagai makhluk yang mamiliki kemampuan untuk mencipta dan
mengkreasikan karya seni.
―Kata budaya berasal dari bahasa latin cultura, yang berarti sampai atau
mengolah/membudayakan‖ (Kim, Yang dan Hwang, 2010: 16). Seni diciptakan
dan dihadirkan untuk kehadiran manusia akan kontemplasi, yaitu suatu proses
bermeditasi, merenungkan atau berpikir penuh dan mendalam untuk mencari
nilai-nilai, makna, manfaat dan tujuan atau niat suatu hasil penciptaan (Mustopo,
1988: 122).
Untuk melihat aspek sosiohistoris dan kebudayaan dari tiga seniman yang

diteliti berkaitan dengan karyanya, pada bab ini pendekatan etnografi sangatlah
relevan digunakan karena metode ini sering digunakan untuk pendekatan
penelitian kebudayaan. Etnografi merupakan bagian dari cabang ilmu antropologi
yang bertujuan untuk menggali kehidupan masa lalu seseorang atau kelompok.
Pengertian Etnografi dalam KBBI (2007: 309) adalah: ―(1) deskripsi tentang
kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup; (2) ilmu tentang pelukisan kebudayaan
suku-suku bangsa yang tersebar di muka bumi.‖ Kuntjara (2006:75), menjelaskan
bahwa istilah yang digunakan dalam metode ini bermacam-macam, ada yang
menggunakan istilah sejarah lisan, studi kasus, wawancara mendalam sejarah
kehidupan, wawancara biografikal, sejarah kehidupan, dan narasi personal.
Etnografi merupakan bahasa deskripsi, ruang lingkupnya adalah
mendeskripsikan manusia dan produk-produk dari hasil kebudayaan ekspresif
manusia, berupa: seni kerajinan (craf), patung, lukis, tenun, batik, arsitektur dan
lain sebagainya sampai seni pertunjukan (seni tari, musik, teater dan drama).

Universitas Sumatera Utara

47

Dalam kajian etnografi pada bab ini, peneliti memfokuskan kepada ―latar

belakang kebudayaan dan biografi tiga seniman yang diteliti‖, berkaitan dengan
karyanya secara emik5 dan etik6 untuk mempelajari prilaku budaya dari ketiga
seniman yang diteliti. Dalam konteks penelitian ini adalah untuk menemukan
ideologi dan gagasan dalam berekspresi ke dalam karya seni rupa serta hubungan
dengan kebudayannya, lingkungannya dan sosialnya.

2.1

Latar Belakang Kebudayaan Masyarakat Urban di Medan
Penelitian ini, dibatasi dengan kajian etnografi sebagai latar belakang dari

tiga seniman seni rupa Medan yang diteliti, yaitu berupa deskripsi yang mengulas
tentang kebudayaan yang mewakili bekaitan tentang produk karya seni rupa yang
dihasilkan, berupa: budaya Karo oleh Rasinta Tarigan dengan karya seni lukisnya;
budaya Batak Toba oleh Mangatas Pasaribu dalam karya seni rupanya; dan latar
budaya Jawa (Deli) oleh M. Yatim Mustafa dalam karya seni lukisnya.
Sebelum memasuki ruang lingkup pembahasan mengenai latar belakang
kebudayaan mereka, alangkah baiknya dibahas mengenai kondisi geografis kota
Medan, sejarah berdirinya kota Medan, serta etnik-etnik yang ada di Sumatera
Utara. Sebagaimana Medan—ibukota Sumatera Utara memiliki masyarakat yang

heterogen, dikelompokkan berdasarkan kelompok-kelompok etnik natif (asli) yang
Dalam etnografi, ―emik‖ merupakan perspektif native, yang mencatat atau
mendeskripsikan pandangan dari si prilaku yang diteliti, berkaitan dengan konteks penelitian. Pada
penelitian dengan pendekatan ―emik‖, peneliti haruslah benar-benar menggunakan bahasa
ungkapan yang diteliti. Pandangan dari peneliti tidak diperlukan di sini.
6
Sedangkan dalam penelitian etnografi yang menggunakan ―Etik‖ adalah apa yang dilihat
dan dinilai oleh peneliti tentang yang diteliti, tergantung pada perbedaan-perbedaan fenomena
yang ditemukan. Prinsip-prinsip ―etik‖ adalah kerangka dari berbagai prediksi tentang prilaku dari
tingkatan masyarakat. Dalam hal ini, deskripsi bahasa yang digunakan adalah bahasa si peneliti.
5

Universitas Sumatera Utara

48

berasal dari kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara, juga terdapat etnik pendatang
yang berasal dari nusantara, dan etnik pendatang dunia. Mengulas hal ini untuk
sekedar mengetahui latar belakang budaya apa saja yang ada di sekitaran Medan
dan Sumatera Utara.


2.1.1 Kondisi geografis kota Medan dan Sumatera Utara
Sumatera Utara merupakan sebuah provinsi yang berada di Pulau
Sumatera Republik Indonesia yang beribukota Medan. Pada sisi Utara berbatasan
dengan Nangroe Aceh Darussalam, pada sisi Timur berhadapan dengan Selat
Malaka, pada sisi Selatan berbatasan dengan Sumatera Barat dan Provinsi Riau,
pada sisi Barat berhadapan dengan Samudra Hindia. Sumatera Utara juga berada
di jalur perdagangan Internasional, karena dekat dengan Malaysia dan Singapura.

Peta 2.1
Peta wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Sumber: http://www.sejarah.com

Universitas Sumatera Utara

49

Ditinjau dari letak wilayah geografis dan letak topografinya, wilayah
Sumatera Utara terletak diantara 10-40 Lintang Utara dan 980-1000 Bujur Timur
dengan Luas wilayah mencapai 71.680,68 km2 atau 3,72 % dari luas wilayah

Sumatera Utara yang memiliki 162 pulau, yaitu 6 pulau di Pantai Timur dan 156
pulau di Pantai Barat.7

Peta 2.2
Peta wilayah administratif kota Medan.
Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan
(http://www/disdukcapil.pemkomedan.go.id).

Sumatera Utara terdiri dari beberapa Kabupaten yang memiliki budaya
etniknya sendiri. Hal ini, disebabkan karena pada masa lampau, pengklasifikasian
wilayah regional digunakan untuk membaginya kedalam wilayah etnik. Seperti
pada zaman Belanda yang membagi wilayah Sumatera Timur dan Tapanuli.
7

Lihat di http://www.sejarah.com.

Universitas Sumatera Utara

50


Wilayah yang paling terkenal di Sumatera Utara sebagai destinasi wisata
adalah Danau Toba yang merupakan danau terbesar se Asia. Selain itu, Sumatera
Utara terkenal akan keberagaman etnik dari masyarakatnya, serta hasil sumber
daya alamnya, baik dalam perikanan maupun pertanian.
Berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia no. 35 tahun 1992
tentang pembentukan beberapa kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II
Medan, wilayah kota Medan kini terbagai atas 21 kecamatan dan 151 kelurahan
dan 2.001 lingkungan. Wilayah kota Medan merupakan dataran rendah dengan
topografi yang senderung miring ke Utara dan menjadi tempat pertemuan dua
sungai, yaitu sungai Babura dan sungai Deli. Secara administratif, pada sebelah
Utara berbatasan dengan Deli Serdang dan Selat Malaka, sebelah Selatan, Barat
dan Timur berbatasan dengan kabupaten Deli Serdang (Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Pemerintahan Kota Medan).8

2.1.2 Sejarah kota Medan
Pada zaman dahulu, wilayah kota Medan terkenal dengan nama Tanah
Deli9, dengan kondisi tanah berawa-rawa yang diperkirakan luasnya mencapai
4000 hektar. Orang yang pertama sekali membuka perkampungan Medan adalah
Guruh Patimpus, yaitu seorang bersuku Karo yang menikah dengan putri kerajaan
Brayan yang memeluk agama Islam. Lokasi perkampungan kecil tersebut berada

di Tanah Deli dengan masyarakatnya yang beretnik Melayu. Pada awal

8

Disadur dari disdukcapil Medan yang diterbitkan pada tanggal 10 November 2013, di
http://www.disdukcapil.pemkomedan.go.id.
9
Dahulu, sebutan Tanah Deli merupakan wilayah mulai dari Sungai Ular Deli Serdang
sampai ke Sungai Wampu di Langkat.

Universitas Sumatera Utara

51

perkembangannya, perkampunagn yang didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring
Pelawi dan istrinya pada tahun 1590 yang disebut dengan ―Medan-Putri‖10.
Karena letaknya yang berada di wilayah Tanah Deli, orang selalu menyebutnya
dengan Medan-Deli.
Asal mula kata Medan mempunyai beberapa versi, ada yang
menyebutnya berasal dari kata ‖Medina‖ (asal tempat di Arab/Timur Tengah) dan

ada pula yang menyebutnya berasal dari bahasa India ―Meiden‖. Tetapi bila
melihat dari peran Guru Patimpus yang seorang tabib, kata Medan sendiri relevan
bila disebutkan berasal dari bahasa Karo yaitu: ―Madan” yang berarti sembuh.
Sekitar tahun 1612, sejarah perluasan kota Medan tidak luput dari
datangnya panglima Aceh (bernama Gocah Pahlawan) di Tanah Deli utusan dari
Sultan Iskandar Muda (sultan Aceh) yang menjajah kesultanan Deli, yang berhasil
membuka negeri baru di kawasan Sungai Lalang hingga berhasil memperluas
wilayah kekuasannya hingga wilayah kecamatan Percut Sei Tuan dan kecamatan
Medan Deli. Selain itu, Gocah Pahlawan juga berhasil mendirikan kampungkampung, diantaranya: Gunung Klarus, Kota Bangun, Sampali, Pulau Brayan,
Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Pada Tahun 1863 orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di
Tanah Deli yang sempat menjadi primadona. Sejak itu perekonomian terus
berkembang hingga menjadikan Medan-Putri sebagai pusat perekonomian dan
pemerintahan di Sumatera Utara. ditandai pada tahun 1879 dipindahnya ibukota
Asisten Residen Deli dari Labuhan Batu ke Medan, kemudian pada 1887 ibukota
10

Kampung Medan-Putri merupakan kampung kecil yang posisinya berada di pertemuan
antara sungai Deli dan sungai Babura. Lokasinya tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang.
Karena letaknya yang strategis menjadikan wilayah Medan Putri menjadi pelabuhan transit.


Universitas Sumatera Utara

52

Residen Sumatera Timur pindah dari Bengkalis ke Medan, juga pindahnya istana
Kesultanan Deli dari kampung Bahari Labuhan ke Medan pada tahun 1891 yang
juga selesainya pembangunan istana Maimoon yang sekaligus pula pindahnya
ibukota kesultanan Deli.

2.1.3 Etnik-etnik di kota Medan
Kota Medan sebagai kota urban, penduduknya terdiri dari keberagaman
etnik yang terdiri dari etnik-etnik lokal, etnik-etnik pendatang nusantara dan
etnik-etnik pendatang mancanegara. Penduduk Medan membawa latar belakang
kebudayaan (etnik native) yang melekat di dalam darah dan warisan dari orang tua
dan leluhur-leluhur mereka. Penduduknya meliputi Etnik asli Sumatera Utara,
yaitu: Melayu, Pakpak Dairi, Simalungun, Batak Toba, Karo, Mandailing,
Angkola, dan Pesisir. Selain itu, Sumatera Utara juga meliputi masyarakat yang
ber-etnik pendatang nusantara, meliputi: Alas, Gayo, Aceh, Minangkabau, Jawa,
Sunda, Banjar, Bugis, dan lain-lain. Selain etnik asli dan pendatang nusantara,

Sumatera Utara juga memiliki masyarakat yang berasal dari etnik pendatang
dunia, di antaranya berasal dari Cina (Tionghoa), Tamil, Punjabi, dan berbagai
etnik Eropa.

2.2 Kebudayaan Karo dan Seni Lukis
2.2.1 Kondisi geografis dan wilayah administratif tanah Karo
Karo adalah salah satu nama sebuah suku atau etnis yang ada di Sumatera
Utara. Masyarakat yang bersuku Karo ini lahir dan tumbuh di Tanah Karo (Taneh

Universitas Sumatera Utara

53

Karo) yang terbentang di dataran tinggi sekitar Gunung Sinabung, Gunung
Sibayak dan Bukit Barisan. Wilayahnya yang terkenal adalah Kabanjahe dan
Berastagi, terkenal karena keindahan dan kesejukan udara pegunungannya,
sekaligus sebagai tempat pariwisata bagi turis lokal dan mancanegara.

Peta 2.3
Peta wilayah administratif Tanah Karo.
Sumber: karo-karo.go.id

Wilayah etnik Tanah Karo kemudian oleh pemerintah dijadikan sebagai
Kabupaten Karo dengan ibukota Kabanjahe, dengan kecamatan-kecamatan
meliputi: kecamatan Mardinding, Laubaleng, Tigabinanga, Juhar, Barusjahe,
Tigapanah, Simpang Empat, Payung, Kutabuluh, Munte, Merek, Merdeka, Naman
Teran, Tiganderket, Dolat Rayat, dan Berastagi (Badan Pusat Statistik Kabupaten
Karo, 2013)11.
Ditinjau dari kondisi topografi luasnya mencapai 212.725 hektar yang
terletak di dataran tinggi Bukit Barisan dengan elevansi terendah + 140 meter di
atas permukaan laut dan terendah + 2.451 meter di atas permukaan laut (Gunung
11

Lihat di http://www.st2013.bps.go.id/st2013esya/booklet/st1211.pdf

Universitas Sumatera Utara

54

Sinabung). Sebagian besar wilayah Kabupaten Karo berada pada ketinggian
/elevansi + 140 – 1.400 meter di atas permukaan laut.12
Tanah Karo merupakan daerah yang banyak menghasilkan sayur-mayur,
buah-buahan dan bunga-bunga segar. Hasil panennya, dikenal bukan saja untuk
memenuhi kebutuhan rakyat Sumatera Utara, tetapi juga untuk (di eksport) ke
Malaysia dan Singapura.

2.2.2 Sejarah masyarakat suku Karo
Banyak versi yang menyatakan tentang asal-usul orang Karo. Ada yang
menyatakan bahwa suku Karo merupakan pecahan dari suku Batak, ada pula yang
menyatakan bahwa suku Karo bukanlah Batak, melainkan berasal dari India yaitu
dari seorang panglima India bernama Karo dan putri Raja India. Bahkan ada pula
yang menyatakan bahwa asal mula suku Karo sama dengan asal mula suku
Melayu.
Suku Karo duhulu dipercaya memiliki sejarah dan persamaan dengan
budaya Melayu karena didasari oleh sejarah yang sama, yaitu berawal pada
kerajaan yang sama, yaitu kerajaan Haru (Takari dan Dja‘far, 2014: 89). Suku
Karo yang dulunya berasal dari kerajaan Haru yang akhirnya terbelah dua akibat
kehancuran kerajaan tersebut karena ulah Belanda, satu sisi menjadi suku Melayu
yang tinggal di wilayah pesisir atau dataran rendah dan sisi lain adalah suku Karo
yang tinggal di wilayah pegunungan.

12

Badan Pusat Statistik (BPS) Pemerintah Tingkat II Kabupaten Karo, yang peneliti kutip
dari Erdansyah, 2013, hal. 11.

Universitas Sumatera Utara

55

Kebenaran tentang hubungan kerajaan Haru dengan orang Karo bisa
diterima bila melihat menurut sejarah asal mula kata Karo yang berasal dari Haru
dan Haro yang lama-lama menjadi Karo. Nasution menjelaskan catatan Elisa
Ginting bahwa suku Karo masuk ke wilayah Sumatera Timur ketika zaman batu.
Terjadi perpindahan orang Tiongkok Selatan Hindia Belakang dan bangsa-bangsa
Hindia Belakang terdesak dan kemudian banyak pindah ke Selatan, antara lain
Campa, Siam maupun Kamboja. Kemudian ada yang menyebar melalui Malaya
dan hijrah ke Sumatera. Menurut Prof. G. Ferrnad, perpindahan suku tersebut
terjadi pada kira-kira tahun 1500 tahun SM yang disebut dengan ras Proto Malay
(Melayu Tua). Sedangkan pendapat Prof. Dr. Kern, perpindahan ras Proto Malay
ini terjadi kira-kira 4000 SM dan perpindahan ras Detro Malay terjadi kira-kira
2000 tahun SM (Nasution, 2016: 2-3).

2.2.3 Agama suku Karo
Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen di Tanah Karo, masyarakat
Karo dahulunya menganut aliran animisme13 atau kepercayaan tradisional yang
disebut dengan Parbegu yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Pamena
(Kineteken Si Pemena) yang mengsakralkan dan menghormati roh leluhur. Kini,
masyarakat Karo banyak yang memeluk agama Islam, Budha, Kristen protestan,
dan Kristen Katolik.
Kineteken si Pemena yang dikonotasikan sebagai ―kepercayaan asli‖ orang
Karo, yang dalam ungkapan bahasa Indonesia disebut dengan ―belum masuk
13

Animisme merupakan kepercayaan dalam masyarakat yang percaya kepada roh-roh
manusia yang telah meninggal, roh-roh halus lainnya yang bersifat gaib yang memiliki kekuatan
penolong.

Universitas Sumatera Utara

56

agama‖ yang tidak diekspresikan secara sistematis, tidak ada kitap suci, serta
tidak ada dogma di dalamnya. Unsur yang relevan adalah yang disebut dengan
begu yang diartikan sebagai roh-roh seseorang atau leluhur yang telah lama
meninggal (tendi) (Ginting, 2014: 11).
Agama Islam masuk ke tanah Karo melalui pesisir pantai Sumatera dan
Nangroe Aceh Darussallam. Sedangkan agama Kristen di bawa masuk dan
diperkenalkan oleh misionaris Belanda yang bernama NZG (Nederlandch
Zendeling Genooscapt) sejak tahun 1894 atas dukungan oleh J.T.H. Gremers yang
seorang Direktur Perkebunan Tembakau Deli Maatschappij pada saat itu. Agama
Nasrani atau Kristen masuk melalui desa Buluh Awar, kecamatan Sibolangit,
kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara (Ginting, 2014: 81).

2.2.4

Budaya Karo
Masyarakat Karo terkenal memiliki karakter mudah akrab, ramah, penuh

dengan tata sopan santun dengan bahasa yang berdialek lembut berirama. Tandatanda kelembutan dialek orang Karo dapat disimak dari nyanyian, tarian dan
musik masyarakat Karo, seperti pada Parkolong-kolong di upacara perkawinan
adat Karo. Apabila ditinjau dari segi dialek masyarakat Karo, dapat dibedakan
atas tiga dialek yang membedakan dari mana asal orang Karo tersebut, yaitu
berdasarkan letak geografisnya. Seperti yang dituliskan oleh Bangun (1988: 65)
yang membagi dialek orang Karo atas tiga bagian, diantaranya cakap gununggunung, cakap kalak julu dan cakap kalak Karo jahe. Dijelaskan bahwa: (1)
Dialek gunung-gunung atau cakap gunung-gunung berasal dari daerah kecamatan

Universitas Sumatera Utara

57

Munthe, Juhar, Tigabinanga, Kutabuluh, dan Mardinding. (2) Dialek Kabanjahe
atau cakap kalak julu merupakan dialek yang terdapat di kecamatan Kabanjahe,
Tigapanah, Simpang Empat dan Barusjahe, dan (3) Dialek jahe-jahe atau cakap
kalak Karo jahe yang meliputi wilayah kecamatan Pancurbatu, Biru-Riru,
Sibolangit, Lambekeri, Namorambe, serta kabupaten Langkat Hulu seperti
Salapian, Kuwala, Bahorok, dan lain-lain.
Di Medan, tokohnya yang terkenal adalah Guruh Patimpus Sembiring
Pelawi. Guruh patimpus merupakan seseorang tabib bersuku Karo yang
mendirikan perkampungan Medan-Putri di wilayah Tanah Deli pada 1 Juli 1590.
Guru Patimpus dulunya beragama Pamena, yang kemudian memeluk agama Islam
dan menikah dengan putri kerajaan Pulo Brayan.
Dalam konsep konsep kekerabatan masyarakat Karo dikenal dengan
sebutan Tutur Siweluh, yang merupakan konsep penuturan (Partuturan dalam
istilah Batak Toba), yang terdiri dari delapan golongan, yakni: (1) Puang
Kalimbubu, (2) Kalimbubu, (3) Senina, (4) Sembuyuk, (5) Senina Sipemeren, (6)
Senina Sipengalon/Sedalanen, (7) Anak Beru, dan (8) Anak beru Menteri.
Masyarakat Karo telah dikukuhkan oleh sistem kekerabatan, yaitu: merga silima,
rakut sitelu, dan tutur siwaluh. Merga Silema yaitu pengelompokkan masyarakat
ke dalam lima merga, berupa merga (1) Tarigan, (2) Sembiring, (3) Karo-karo, (4)
Parangin-angin dan (5) Ginting. Dari setiap kelima merga ini, terbagi lagi ke
dalam merga-merga kecil (sub merga).
Rakut Sitelu (sangkep nggeluh atau dalikan si telu) yang secara metaforik
diartikan sebagai ―tungku nan tiga‖ atau ―tiga tungku‖ yaitu ―tiga dalam satu

Universitas Sumatera Utara

58

ikatan kelengkapan hidup‖. Filosofinya merupakan sebuah kisah suatu kondisi
yang menyatakan: ―ketika sedang memasak di dapur, periuk haruslah ditempatkan
di atas tungku yang berkaki tiga. Kalau kaki tungku kurang dari tiga, maka pasti
periuk itu jatuh dan pecah.‖ Jadi, dalam masyarakat Karo, ungkapan Rakut Sitelu
tersebut adalah bagian atau lembaga inti dalam masyarakat Karo yang terdiri dari
3 kelompok, yaitu: (1) Kalimbubu (keluarga pemberi istri), (2) Anak Beru
(keluarga yang mengambil atau menerima/istri) dan (3) Senina (keluarga inti
semerga) (Bangun, 1988: 611-62).

2.2.5

Budaya rupa suku Karo

`

Suku Karo memiliki banyak karya rupa, di antaranya adalah: rumah adat

Karo, benda-benda rumah tangga dalam bentuk wadah dari anyaman bambu, uis
(kain tenun khas Karo), gundala-gundala (topeng khas Karo), gana-gana14
(patung khas Karo), sertali (perhiasan yang terbuat dari perak), pisau tumbuk lada
(pisau khas Karo), perlatan musik Karo dan lain sebagainya. Karya seni rupa yang
dihasilkan oleh budaya Karo yang paling menonjol dan monumental adalah rumah
adat Karo, yang saat ini sudah mulai berkurang jumlahnya dan bisa dihitung oleh
jari. Kini, pemerintah lokal seperti Kabanjahe dan Berastagi masih menggunakan

14

Gana-gana (patung khas Karo) yang terkenal adalah gana-gana saringitgit yang sangat
seram, sehingga orang yang membuatnya pun takut melihatnya. Berdasarkan penelusuran Usaha
Ginting yang dituliskan dalam tesisnya, Gana-gana kini sudah tidak bisa ditemukan kembali, baik
di dalam museum-museum negeri maupun swasta, ataupun pada toko-toko souvenir maupun toko
barang antik (Ginting, 2014, hal. 89). Gana-gana merupakan bentuk ganti dari orang yang
dinyatakan bahaya oleh guru atau tendi dari seseorang yang dinyatakan bahaya digantikan oleh
gana-gana yang umumnya terbuat dari pohon pisang dan kayu dengan melalui ritual Upacara
Perselisihi (Ginting dan Ginting , 2014, hal. 40).

Universitas Sumatera Utara

59

sebagian dari rumah adat Karo, yaitu gerga-nya untuk menghiasi bangunan
modern, seperti pada kantor Bupati Tanah Karo.
Estetika rumah adat Karo dapat dilihat dari dua sisi, yaitu pada estetika
arsitektur bangunan dan pada gerga (ragam hiasnya). Selain dari segi estetika,
rumah adat Karo memiliki fungsi identitas yang memiliki makna simbolis yang
membedakannya dengan etnis lain (bersifat ciri khas) yang dapat dikenali dari
konstruksi atapnya yang besar serta tinggi, terbuat dari bahan kayu dan ijuk.
Selain sebagai identitas wilayah admisnistratif kesukuan, rumah adat Karo dapat
juga menunjukkan status sosial dari pemiliknya dilihat dari ukuran besar
bangunan dan tinggi atapnya, yang memiliki anjungan (kepala kerbau) juga dapat
dilihat dari gerga-nya. Sebab, dari besarnya kayu-kayu yang digunakan juga oleh
banyak dan indahnya gerga pada rumah adat Karo, menunjukkan kemampuan
pemilik rumah untuk membayar pengrajin.
Hal ini sesuai dengan tulisan Erdansyah (2013: 29-30), yang menjelaskan
hasil wawancara dengan narasumber dalam penelitiannya, yang menyatakan,
bahwa:
Keberadaan gerga yang sebelumnya sudah berkembang sebagai
kerajinan pada kalangan masyarakat Batak Karo kemudian digunakan
untuk memperindah rumah adat raja-raja Batak Karo, khususnya pada
masa kerajaan Lingga, yaitu Raja Sendi Sibayak Lingga dan putranya,
yaitu Raja Kalilong Sebayak Lingga. Oleh karena itu, rumah adat Batak
Karo disebut juga ―Rumah Gerga‖ atau ―rumah raja‖.
Rumah adat Karo, yang memiliki kemiringan pada dinding (derpih) hingga
45o dan atapnya yang didesain berpola menjulang yang tinggi dengan kemiringan
45o ini memiliki nilai fungsional untuk menyesuaikan dengan kondisi iklim tanah
Karo yang dingin dengan angin yang kencang. Estetika keindahan rumah adat

Universitas Sumatera Utara

60

Karo juga diperindah dengan adanya ragam hias-nya. Ragam hias rumah adat
Karo meliputi: melmelan yang diposisikan paling bawah, yang terdiri dari susunan
beberapa gerga, yaitu: Tapak Raja Sulaiman, Bidu Natogog, Embun Sikawiten,
Bunga Gundur, Pantil Manggis, Teger Tudung, Takal Dapur dan Tutup Dadu
(Erdansyah 2013: 68).
Di samping ragam hias gerga yang diletakkan di bawah bangunan, pada
dinding-dinding rumah juga dipasang gerga pengreret yang menyerupai bentuk
cicak berkepala dua, yaitu kepala cicak terbentuk dari dua arah depan dan
belakang yang tidak mempunyai bagian ekor. Pengreret dibuat dari bahan ijuk
yang dipintal seperti benang dan dibentuk di antara dinding-dinding rumah.
Masyarakat percaya, pengreret dapat menangkal niat-niat jahat yang datang dari
orang lain melalui celah-celah dinding.
Bila ditinjau dari seni lukis, ragam hias (gerga) yang memperindah rumah
adat Karo, memiliki unsur lukis didalamnya karena terdapat unsur bentuk dan
mewarnai, sekaligus memiliki makna simbolis yang menyiratkan tentang
kosmologi budaya Karo. Seperti pola sulur-suluran dedaunan dan bunga yang
disebut dengan mel-melan.
Orang Karo juga memiliki budaya rupa yang sangat khas, yaitu kain tenun
seperti songket pada orang Melayu atau ulos pada Batak Toba. Kain tenus khas
Karo ini disebut dengan ―uis‖ yang digunakan untuk pakaian sehari-hari dan
pakaian ritual adat, baik adat kelahiran, perkawinan, maupun kematian.
Uis Karo terbagi dalam beberapa jenis yang memiliki warna dan kegunaan
yang berbeda-beda, diantaranya adalah: uis julu, uis teba, uis arinteneng, uis

Universitas Sumatera Utara

61

batujala, uis kelam-kelam, uis bekah buluh, gobar dibata, uis pementing, gatip
gewang, gatip jongkit, gatip cukcak, uis gara-gara, uis parembah, uis jujungjujungen, uis nipes ragi mbacang, uis nipes padang rusak, uis nipes mangiring,
dan uis nipes benang iring (Tarigan, 2010: 156-161). Warna-warna pada uis Karo
juga beragam, yang paling banyak berwarna dasar hitam dan merah, yang
bercorak hitam, emas, kuning dan putih.

2.2.6 Budaya Karo dalam karya seni lukis seniman Medan
Karya seni lukis sebagai karya fine art banyak kembali menggali unsurunsur budaya (culture) yang bersifat tradisi. Budaya Karo dalam karya seni lukis
sering dan pernah dilukiskan oleh seniman senior Medan, yaitu almarhum M.
Saleh yang melukiskan tentang suasana perkampungan Karo yang dilukiskannya
secara dekoratif dengan warna-warna tanah yang hangat serta terkesan mistis.
Seni lukis yang menggali unsur-unsur tradisi tampak pada simbol-simbol
budaya Karo yang digambarkan oleh para seniman seni lukis di Medan pada
kanvasnya. Diantaranya adalah Rasinta Tarigan yang selalu menggambarkan
tentang perkampungan Karo yang ditandai dengan rumah adat khas Karo, topeng
Karo (gundala-gundala), ragam hias Tapak Raja Sulaiman juga memunculkan
figur-figur pengantin perempuan Karo di antara simbol-simbol segitigasegitiganya juga salib sebagai simbol religius dari mayoritas orang Karo yang
memeluk agama Kristen.
Unsur-unsur tradisi Karo amat menarik dilihat dalam karya seni lukis
kendati ekspresi berkesenian yang muncul dalam bentuk karya seni rupa modern

Universitas Sumatera Utara

62

berupa sapuan kuas bercat minyak di atas kanvas. Hal tersebut mengkonotasikan,
walaupun budaya modern akibat pengaruh Barat mengisi setiap sendi kehidupan,
unsur-unsur tradisi Karo sangat melekat di dalam diri mereka yang bersuku Karo
sebagai identitas diri dan kebanggaan sebagai orang Karo, hal ini memunculkan
rasa cinta kepada warisan leluhur yang harus dijaga, yang bukan hanya dalam
benda-benda budayanya saja, tetapi juga dalam kepribadian mereka.

Gambar 2.1
Karya seni lukis Rasinta Tarigan.
Sumber Foto: Rasinta Tarigan.

Hal tersebut di atas juga terjadi pada putra Karo, yaitu Teradim Sitepu
yang saat ini menetap di Medan. Pada karyanya yang berjudul ―Pengantin Karo‖,
yang dilukiskan secara geometrik dipadu dengan pointilis dengan warna-warna
hangat berunsur merah, jingga, kuning dan coklat. Teradim banyak melukiskan
tentang sesuatu yang bertema Karo, seperti bencana alam gunung Sinabung yang

Universitas Sumatera Utara

63

menimpa tanah Karo, hingga memunculkan lukisan berjudul ―Mengungsi‖.
nuansa tentang Kedamaian, keindahan dan keluhuran budaya Karo juga
dilukiskan dalam lukisannya yang berjudul ―Kampung Karo‖ yang bersifat
illustratif, dan masih banyak lagi karyanya yang menggambarkan rumah adat
Karo.

Gambar 2.2
Karya Teradim Sitepu, ―Pengantin Karo‖, 60 x 60 cm, akrilik di atas kanvas.
Sumber foto: Fitri Evita.

Seniman Medan lain yang sering melukiskan tentang kebudayaan culture
Karo adalah Nelson Tarigan. Lahir pada 9 April 1961, merupakan dosen di seni
rupa Unimed. Nelson Tarigan merupakan lulusan dari seni rupa IKIP Medan dan
lulusan tahun 2004 dari magister antropologi sosial di Unimed. Ungkapan estetika
dalam karyanya kerap tampil naturalistik dan realistik dengan banyak
mengkombinasikan warna kuning dan coklat. Karyanya menceritakan tentang

Universitas Sumatera Utara

64

suasana keindahan perkampungan Karo yang ditandai dengan rumah-rumah adat
Karo. Karya-karya realisnya juga kerap menampilkan figur-figur beretnik Karo.

Gambar 2.3
Karya Nelson Tarigan, tentang suasana kampung Karo, cat minyak di atas kanvas.
Sumber foto: Fitri Evita.

Akibat meletusnya Gunung Sinabung di Tanah Karo, banyak dari
seniman-seniman lukis di Medan yang melukiskan tentang tentang keindahan,
eksotisme & kepiluan gunung Sinabung dalam lukisan, baik dalam keadaan
tenang, maupun ketika meletus, seperti: Gunung Sinabung dalam lukisan Rasinta
Tarigan yg sudah dikoleksi oleh: Jon Karya Sukatendel (anggota DPRD Karo),
dan lukisan Sinabung oleh Teradim Sitepu, Nazwir Nazar, almarhum Panji

Universitas Sumatera Utara

65

Sutrisno, Suhendra Hamid, Sayang Bangun, serta lukisan Rumah adat Karo oleh
Soenoto HS. dan masih banyak lagi.

Gambar 2.4
Karya Nazwir Nazar, ―Tanah Karo‖, 2016, 35 x 20 cm, cat minyak di atas kanvas.
Sumber foto: Nazwir Nazar.

Gambar 2.5
Karya Nazwir Nazar, ―Gunung Sinabung di Tanah Karo‖ 2016, 35 x 20 cm,, cat minyak
di atas kanvas
Sumber foto: Nazwir Nazar.

Universitas Sumatera Utara

66

2.3

Kebudayaan Batak Toba dan Seni Rupa

2.3.1 Kondisi geografis dan wilayah administratif Batak Toba

Peta 2.4
Peta wilayah Batak Toba.
Sumber foto: www.togapardede.wordpress.gif

Kebudayaan Batak Toba memiliki wilayah yang meliputi Kabupaten
Tapanuli Utara, kabupaten Toba Samosir, kabupaten Humbang Hasundutan,
kabupaten Samosir, yang seluruh kabupaten tersebut berada diposisi mengitari
Danau Toba. Luas dari wilayah kebudayaan Batak Toba disebutkan oleh
Pemerintah Provinsi SUMUT (1982: 35) adalah 10.605 km 2 yang pada umumnya
terletak pada ketinggian 70 – 2.300 meter di atas permukaan laut. Posisinya
adalah berada 20 - 30 Lintang Utara dan 980 – 99,50 Bujur Timur.

Universitas Sumatera Utara

67

2.3.2 Sejarah masyarakat Batak Toba
Parlindungan dalam Erdansyah (2013: 12-14), menjelaskan bahwa: Orang
Batak berasal dari suatu ras, yaitu Proto Malayan Tribes yang berasal dari
pegunungan Burma/Siam (Thailand). Bangsa Batak telah hidup selama 12.000
tahun dengan suku-suku bangsa Proto Malayan Tribes lainnya, yaitu suku bangsa
Karen, Igorot, Toradja, Bontoc, Ranau, Meo, Tayal, Wadjo, dan masing banyak
lagi suku-suku lainnya. Orang Proto Malayan Tribes secara bergelombang
mendarat di pantai Barat pulau Andalas dan kemudian terpecah menjadi tiga
gelombang, yang pertama berlayar sampai ke pulau Nias, Simelur, Mentawai,
Siberut, bahkan sampai ke Enggano. Kedua, masuk sampai ke pedalaman
Sumatera melalui sepanjang sungai Simpag Kiri hingga ke Kutacane dan
menduduki semua pedalaman Aceh. Ketiga, mendarat melalui sungai Sorkam
(antara Barus dan Sibolga), kemudian menuju ke wilayah yang lebih tinggi, yaitu
Pusuk Buhit (sebuah tempat di wilayah tepi Barat Danau Toba). Pada gelombang
ke-tiga ini, suku Batak terpisah menjadi beberapa suku, di antaranya yang disebut
dengan Batak Karo.

2.3.3 Kebudayaan Batak Toba dan pesebarannya
Batak Toba sebagai sebuah nama etnik atau klan Batak yang berada di
wilayah sekitar Danau Toba dapat dikenali dari bahasa yang digunakan yang
cenderung bernada keras dan terkadang lembut berirama. Selain itu, mereka juga
dapat dikenali dari identitas pada nama belakang (marga) sebagai simbol sub klan
yang merupakan identitas turun temurun dari garis ayah (patrilinear).

Universitas Sumatera Utara

68

Dengan adanya simbol marga sebagai identitas turun temurun yang
melekat pada nama-nama orang Batak Toba, menjadikan orang Batak Toba harus
turut

dan

tunduk

kepada

koridor-koridur

peraturan

tentang

hubungan

kekeluargaan/kekerabatan yang melarang menikah dengan se-marga. Karena
marga yang dibawa sebagai identitas, orang Batak-Toba sangat mudah
beradaptasi dan berkumpul di lingkungan manapun karena bisa menemukan
kerabat se-marga atau partuturan-nya, karena hanya dengan menyebut marga
saja, rasa persaudaraan secara otomatis akan terkontak dan terhubung satu sama
lain.
Batak Toba memiliki falsafah Dalihan Na Tolu (somba Marhula-hula,
Mangat Mardongan Yubu, dan Elek Marboru) yang merupakan pranata tata
hubungan interaksi sekaligus landasan pola tingkah laku terhadap sesama. Ketiga
unsur Dalihan Na Tolu melahirkan panggilan kekeluargaan atau panggilan
kekerabatan Batak Toba (partuturan) yang menunjukkan strata, ikatan
kekeluargaan/kekerabatan berdasarkan nilai-nilai luhur dan kesopanan. Tuturan
(panggilan sistem kekeluargaan/kerabat) tersebut meliputi: Ompung, bapa, inong,
anak boru, angkang, anggi, lae, tunggane, eda, inang bao, namboru, amang boru,
inang baju, tante, tulang, nantulang. Arti dan maknanya dijelaskan oleh Hutasoit
dalam bukunya berjudul ―Keluhuran Budaya Batak-Toba‖, sebagai berikut.
Bapak/ayah (bapa, among, parsinuan), ibu (inang, inong pangintubu),
mertua (simatua doli, simatua boru), kakek (ompung doli, ompung bao
doli), nenek (ompung boru,ompung boru bao), abang (angkang, haha),
adik (anggi), kakak/abang ipar (haha doli, haha boru), adik ipar (anggi
boru, eda), saudara bapak/ayah (amangtua, amang uda), saudari bapak
(namboru, amang borui), saudari ibu/mamak (inang baju, tante), besan
(amang bao, inang bao), ipar (lae, tunggane), istri (tunggane boru),

Universitas Sumatera Utara

69

suami (tunggane doli), saudara laki-laki ibu/mamak (tulang, nantulang)
dan lain sebagainya (Hutasoit, 2011: 8).
Pada saat ini, masyarakat Batak Toba menganut agama Kristen Protestan,
Kristen Katolik, Islam, dan Parmalim, dengan mayoritas masyarakatnya menganut
agama Kristen Protestan. Penyebaran agama Kristen awalnya dibawa masuk oleh
Pendeta Burton dan Ward pada tahun 1824 pada kawasan Silindung (sekarang
Tarutung), yang mula-mula tidak diterima oleh masyarakat Batak Toba. Hingga
berganti-ganti pendeta yang datang untuk melakukan penginjilan dari tahun
ketahun. Puncaknya pada tahun 1862, dengan dipimpin oleh Dr. Ingwer Ludwig
Nomensen, penginjilan di tanah Batak terjadi dengan pesat, kemudian melakukan
penyebaran atau perluasan (penginjilan) pada tahun 1903 yang berhasil di daerah
Simalungun dan Tanah Karo.
Kini, mayoritas orang Batak Toba beragama Kristen Protestan. Dalam
budaya Batak Toba yang menganut agama Kristen Protestan tetap tidak
menghilangkan unsur kebudayaan Batak Toba yang melekat dalam diri mereka,
yaitu: adanya ―Buku Ende‖ yang merupakan sebuah buku yang berisi lagu-lagu
pujian dalam bahasa Batak yang secara umum dipakai dalam kebaktian gereja
Kristen Batak di Indonesia, juga dalam ritual ritus peralihan seperti kelahiran,
pernikahan hingga kematian.

2.4.2 Parmalim
Agama asli Batak Toba yang disebut dengan Parmalim merupakan sebutan
kepada pelaku sebuah kelompok komunitas religius lokal Batak Toba yang
ajarannya disebut dengan Ugamo Malim, sebelumnya diturunkan oleh Raja

Universitas Sumatera Utara

70

Sisingamangaraja XII, yang dahulunya Raja Sisingamangaraja memiliki Agama
Hamalimon yang artinya kesucian dan kebersihan. Selain Raja Sisingamangaraja
ada tokoh-tokoh lain yang amat berperan dalam Parmalim, yaitu: Guru Somalaing
Pardede, yaitu seorang tokoh yang kharismatik, sebagai tokoh spiritual, tokoh dan
ahli politik, ahli strategi yang selalu nekad melakukan aksi pengorganisasian
Hamalimon. Tokoh yang satunya adalah Raja Mulia Napospos yang sebelum
menjadi pemimpin Parmalim Hutatinggi, beliau adalah Raja Parbaringin Bius
Laguboti.
Dalam Ugamo Malim, ada beberapa Figur Supranatural dalam jajaran
Parmalim Nasiak Bagi Hutatinggi, yaitu: (1) Debata Mulajadi Na Bolon, (2)
Debata Na Tolu (Batara Guru Doli, (3) Sori Sohaliapan dan Bala Bulan, (4) Si
Boru Deak Parujar, (5) Naga Padoha Ni Aji, (6) Boru Saneang Naga, (7) Patuan
Raja Uti, (8) (Tuhan) Simarimbulubosi.
Debata Mulajadi Na Bolon dipercaya sebagai pencipta alam semesta yang
tak berwujud, yang mengutus manusia sebagai perantaranya, yaitu Raja
Sisingamangaraja yang juga dikenal dengan nama Raja Nasiak Bagi. Raja Nasiak
Bagi adalah istilah untuk kesucian atau Hamalimon serta jasa-jasa sang Raja
hingga akhir hayat yang tetap setia mengayomi bangsa Batak. Dengan begitu,
Ugamo Malim meyakini Raja Sisingamangaraja dan utusan-utusannya mampu
menghantarkan bangsa Batak kepada Debata atau Tuhan. Disebutkan dalam buku
Harahap, (2016: 125), bahwa Raja Nasiak Bagi merupakan tokoh reinkarnasi dari
roh Raja Sisingamangaraja, atas Kuasa Debata Mulajadi Na Bolon, setelah masa
kematian Raja Sisingamangaraja. Wujud Raja Nasiak Bagi juga merupakan

Universitas Sumatera Utara

71

penjelmaan dari wujud Samarimbulubosi yang telah mengalami kematian
sebanyak tiga kali15.
Parmalim atau Ugamo Malim, resmi diakui oleh pemerintah Belanda pada
tahun 1921, yang kemudian memiliki Parmalim School yang berdiri pada tahun
1931. Kemudian pemerintah Indonesia mengakui Parmalim pada tahun 1980 di
bawah Menteri Pendidikan dan Pariwisata (P dan K), yang penelitiannya
dilakukan oleh budayawan Usman pelly. Kini, komunitas Ugamo Malim sudah
tersebar keseluruh Indonesia.16

Gambar 2.6
Upacara Sipaha Lima pada hari ritual Pameleon Bolon yang dilaksanakan oleh ummat Parmalim.
Sumber foto: Fitri Evita (2016).

Parmalim Hutatinggi Laguboti sebagai pusat dari komunitas Parmalim
yang tersebar di seluruh Indonesia mempunyai tujuh aturan atau ajaran, antara
lain:
15

Untuk lebih jelasnya tentang konsep teistik yang menjadi landasan ritual peribadatan
keberagamaan Parmalim dapat dilihat pada buku Harahap yang berjudul ―Hatani Debata‖ yang
diterbitkan di bulan Juli 2016, hal. 92-113.
16
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

72

1) Marari Sabtu (ibadah yang dilakukan setiap hari Sabtu).
2) Martutu Aek (penabalan nama kepada anak yang baru lahir).
3) Pasahat Tondi (Permohonan pengampunan kepada yang telah meninggal
selama 40 hari).
4) Mardebata (Pengucapan syukur dan meminta pengampunan atas dosadosa sendiri, anak dan orang tua).
5) Mangana Paet (makan yang pahit), adalah acara puasa selama satu hari
satu malam (24 jam) dimulai dengan memakan pahit dahulu dan berbuka
dengan memakan yang pahit-pahit juga.
6) Sipaha Sada (hari kelahiran Tuhan Si Marim Bulu Bosi sekaligus tahun
baru orang Batak).
7) Sipaha Lima (bulan ke lima pada kalender Batak, yang dilaksanakan
selama 3 hari berturut-turut, merupakan hari pengurbanan kerbau/lembu).
Selain ke-7 aturan wajib di atas, seorang Parmalim harus menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti menghormati dan mencintai sesama
manusia, menyantuni fakir miskin, tidak boleh berbohong, tidak boleh memfitnah,
dilarang berzina, dilarang mencuri, dan kelakuan-kelakuan buruk lainnya. Diluar
hal tersebut, seorang Parmalim juga diharamkan memakan daging babi, daging
anjing, daging kucing dan sejenisnya. Manjaga alam adalah wajib bagi komunitas
Parmalim Hutatinggi Laguboti, seperti apabila menebang pohon, maka wajib
menanamnya kembali.

Universitas Sumatera Utara

73

2.3.4 Seni rupa dalam budaya Batak Toba
Karya seni rupa yang bersifat tradisi dalam budaya Batak Toba banyak
ditemukan, diantaranya dalam karya arsitekturnya, yaitu bentuk rumah adat-nya
yang memiliki gorga (ragam hias pada rumah). Selain itu Batak-Toba juga
memiliki karya-karya kerajinan yang memiliki kosmologi simbolis pada seni
patungnya, pada tongkat-tongkat khas Batak-Toba, pada seni pertunjukannya
(seperti Sigale-gale), pada seni perhiasannya dan pada kain ulos-nya.
Ciri khas rumah adat Batak-Toba yang terbuat dari kayu adalah memiliki
bentuk yang besar dengan ciri atapnya yang terbuat dari ijuk berbentuk tinggi
menjulang, dengan bentuk melengkung ke atas yang kedua sisinya menjulang
tinggi ke-atas berhiaskan patung Ulupaung17, yaitu patung berukir yang berbentuk
menyerupai atau stilasi kepala kerbau yang diwarnai hitam, merah dan putih,
sebagai simbol bahwa penghuni rumah selalu ingat dan hormat kepada leluhur.
Bentuk karya seni rupa yang bersifat tradisi pada etnik Batak Toba tampak
pada patung Singa-singa18, patung Gaja Dompak19, patung Ulupaung, juga pada
ukiran gorga yang diukir berbentuk sulur-suluran yang dicat berwarna merah,
hitam dan putih. Ukiran Gorga mempunyai banyak ragamnya, diantaranya Gorga
Silinggom, Gorga Silintong, Gorga Silonggi, dan masih banyak lagi jenisnya yang
masing-masing memiliki arti.

17

Gorga/patung Ulupaung berjumlah dua buah, yang satu disebut Ulupaung ginjang yang
diletakkan dibagian atas yang tidak jauh dari puncak bangunan, dan yang paling bawah disebut
dengan Ulupaung (lihat Siahaan, 2015, hal. 42)..
18
Patung Singa-singa patung penghias rumah berbentuk berupa stilasi kepala singa yang
biasanya diukir berpasangan, diyakini berfungsi sebagai menjaga dan mengawal rumah (Ibid, hal.
38).
19
Patung Gaja Dompak merupakan patung yang memiliki fungsi yang sama dengan
patung Singa-singa.

Universitas Sumatera Utara

74

Karya seni rupa tradisi dalam budaya Batak Toba lainnya juga terdapat
pada tongkat-tongkat para Raja Batak Toba, yaitu Tunggal Panuluan yang terbuat
dari kayu berbentuk panjang yang diukir berbentuk 3 dimensi dengan ukiran
patung-patung berbentuk figur-figur Batak yang sedang duduk tersusun
menunggangi binatang, dari bentuk yang paling kecil dibawah hingga ke yang
paling besar pada bagian atas yang dihiasi oleh rambut. Tunggal panuluan
panjangnya berkisar antara 150 - 175 cm dengan garis tengah sekitar 5 cm yang
diukir menggunakan kayu donggala atau piu-piu tangguli20.
Berbeda dengan Tunggal Panuluan, masyarakat tradisi Batak Toba juga
memiliki Tungkot Malehat yang agak berbeda dan lebih sederhana, dengan
ukuran yang lebih pendek. Bahannya terbuat dari bambu atau kayu, dengan
variasi ukiran yang lebih beragam yang memiliki khas hiasan berupa patung dan
rambut yang ditempelkan diujung tongkat beserta gelang dari logam. Tungkot
Malehat umumnya dimiliki oleh raja (datu) dan memiliki kekuatan magis yang
lebih besar dari tunggal panuluan.21
Di Batak Toba ada wadah tempat obat/menyimpan ramu-ramuan yang
disebut dengan naga morsarang, terbuat dari ukiran tanduk kerbau sebagai batang
tubuh yang dihias sangat indah, dan dengan tutupnya terbuat dari kayu berukir
menyerupai wajah binatang dan wajah manusia yang distilasi dan dideformasi
dengan mata yang melotot sangat lebar, hidung mancung dan dagu menonjol ke
depan. Tepat di atas tubuh dan kepalanya diukir beberapa bentuk figur manusia

20

Untuk lebih mengenal tentang bentuk dari tongkat tunggal panuluan, dapat dilihat pada
buku karangan Siahaan, yang berjudul ―Warisan Leluhur Yang Terancam Punah‖, 2015, hal. 202 –
206.
21
Tungkot Malehat,Ibid, hal. 207 - 219.

Universitas Sumatera Utara

75

dengan posisi menunggang singa atau kuda. Jumlah yang menunggang tidak
selalu sama, ada kalanya hanya seorang, tetapi ada yang sampai berjumlah enam
orang.22
Karya seni rupa yang berkaitan dengan seni rupa pertunjukan adalah
boneka Sigale-gale (penari yang lemah gemulai) yang diciptakan oleh seorang
orang tua yang memiliki anak tunggal laki-laki yang sudah meninggal dunia
sebelum berumah tangga. Hal ini dilatar belakangi karena kepercayaan orang
Batak Toba, yang dijelaskan oleh Siahaan (2015: 374) bahwa: ―menurut
kepercayaan orang Batak, nasib buruk yang dialami sebuah keluarga jika putra
tunggalnya meninggal sebelum berumah tangga.‖ Diciptakanlah boneka Sigalegale yang cukup besar untuk menghilangkan duka lara ayahnya, yang digerakkan
seperti bermain dan menari seolah-olah anak itu sedang bermain.
Patung-patung pada Budaya Batak dahulu sebelum masuk agama dibuat
berlandaskan akan ketakutan penduduk terhadap serangan roh jahat, maka
dibuatlah patung-patung berbentuk manusia yang bersifat sebagai penjaga. Selain
itu, ditemukan juga patung nenek moyang, patung penolak bala/pengawal
kampung, Pohung penjaga kebun, patung peramal, patung batu, dan patung
penjaga kuburan (sarkofagus).
Selain karya seni rupa tradisi berbentuk patung, ukiran, dan ragam hias,
Batak Toba juga memiliki kain tenun khas yang disebut dengan ulos. Menurut
Siahaan (2015: 146) bahwa: ―di Toba terdapat jenis ulos yang sangat istimewa,
namanya Ulos Jugia atau ulos na sora pipot yang artinya ulos yang tidak

22

Nagamorsarang, Ibid, hal. 221 – 236.

Universitas Sumatera Utara

76

bernoda.‖ Penggunaan Ulos Jugia memiliki aturan dan tidak boleh dipakai oleh
sembarang orang, kecuali yang sudah ―saur matua” yang atinya semua anaknya,
baik laki-laki dan perempuan harus sudah menikah dan memiliki anak dan cucu.
Berarti, harus sudah memiliki cicit.

2.3.6 Karya seni rupa bertema budaya Batak Toba
Upaya melestarikan unsur budaya rupa Batak Toba dalam seni rupa
tampak dari peran Unimed (Universitas Negeri Medan) di program studi seni
rupa, khususnya pada mata kuliah ragam hias, seni kriya, seni lukis, seni grafis
dan seni fotografi. Upaya untuk mengangkat budaya leluhur Batak Toba banyak
muncul pada karya-karya seni lukis (fine art) mahasiswa seni rupa di Unimed,
seperti Ferdinan Sibagariang, Hareanto Pasaribu, Salomo Fredicho Purba dan
alumni-alumni seni rupa Unimed lainnya, seperti: Mangatas Pasaribu, Bom Brata
Simbolon, Lenni S.R Pasaribu, juga oleh pelukis-pelukis Medan seperti Andreas
Manik, Alwan Sanrio, Farida Lisa Purba, dan Oloan Situmorang. Bukan hanya
tentang keluhuran budaya Batak Toba saja yang menjadi gagasan dalam
berkreativitas dalam seni murni. Pargonsi23 dan keindahan Danau Toba juga tak
luput masuk ke dalam karya-karya para perupa Medan, baik dalam karya seni
lukis, maupun fotografi. Narasi simbolik dari karya seni lukisnya juga ada yang

23

Pargonsi merupakan sekumpulan beberapa orang yang memainkan alat musik khas Batak
(gondang). Bagi masyarakat parmalim, peran musik khususnya gondang sangatlah penting dalam
setiap upacara ritual yang dilaksakan. Komposisi musikal dalam pertunjukan gondang yang
disajikan pargonsi merupakan bagian dari ungkapan ―doa‖ (tonggo) yang ditujukan bagi Sang
Pencipta (raja mula jadi na bolon) serta berbagai kekuatan supranatural yang mereka yakini.

Universitas Sumatera Utara

77

menyiratkan kritik terhadap pemerintah wilayah administratif Danau Toba yang
tidak turut menjaga lingkungan Danau Toba.
Lukisan bertema Batak juga menjadi inspirasi Oloan Situmorang pelukis
realis yang merupakan pensiunan dosen di seni rupa Unimed ini pernah
melukiskan tentang ritual upacara ―Pameleon Bolon” ummat Parmalim pada
acara ‖Si Paha Lima‖, lengkap dengan borotan, dan kerbaunya, yang
dilukiskannya secara illustratif dengan gaya dekotarif yang digarapnya dengan
warna tanah yang hangat dengan kesan kedalaman warna yang menyiratkan
kesakralan sebuah ritual dengan latar belakang keindahan alam tanah Batak Toba.
Mangatas Pasaribu, seorang dosen di seni rupa Unimed, juga kerap
mengangkat tema budaya Batak Toba, baik dalam karya seni lukis, seni instalasi
dan performance art, dengan mengangkat simbol-simbol, filosofi dan kosmologi
warna-warna Batak. Karyanya dalam karya seni lukis diantaranya yang berjudul
―Pesta Bolon‖, ―Gejolak Amarah‖, ―Hulubalang‖ dan masih banyak lagi, yang
dilukiskan dengan komposisi yang sederhana dengan menggunakan kosmologi
warna Batak Toba: merah, hitam dan putih.

Universitas Sumatera Utara

78

Gambar 2.7
Karya Mangatas Pasaribu, ―Hulu Balang‖, 90 x 70 cm, cat minyak di atas kanvas.
Sumber foto: Mangatas Pasaribu.

Pelukis muda yang selalu mengangkat tema Batak di antaranya adalah
Ferdinan Sibagariang alumni seni rupa di Unimed, yang lahir di Siborong-borong
pada 9 Februari 1984. Ferdinan selalu terlibat dalam pagelaran pameran ―Jong
Batak Art Festival‖, dan sejak mahasiswa memang selalu mengangkat tema
simbolik dari budaya Batak yang digarapnya dengan cat minyak di kanvas dengan
teknik pewarnaan yang tipis dan transparant seperti menggunakan cat air, judul
lukisan Ferdinan di antaranya ―Guru Mangalipa‖ (sebutan untuk sang raja) dan
―Tonggo Panggoaran‖, serta banyak lagi.
Dalam karya ―Tonggo Panggoaran‖, yang berarti ―doa untuk anak
pertama laki-laki‖, merupakan sebuah karya yang dipersembahkan untuk anaknya
yang masih di dalam kandungan. Pada lukisan ditemukan ikan yang dalam istilah
Batak merupakan ―dekke simudur-udur‖ yaitu sebagai simbol pembawa ke hal-hal
yang baik, simbol rezeki, kesehatan dan keberlimpahan. Si bayi laki-laki yang

Universitas Sumatera Utara

79

duduk di atas perahu orang Batak yang pada kepalanya menyerupai ―ulupaung”
(punak di atas rumah adat Batak) disimbolkan akan sebuah perjalanan yang
meninggalkan kampung halaman (merantau) yang diiringi dengan simbol ―desa
nawalu‖ (arah delapan mata angin), yang dimaksudkan agar kemanapun si anak
merantau, dia akan menemukan arah tujuannya (berhasil/sukses), juga ditemukan
adanya simbol ―Hariara Sundung Dilangit” (pohon hayat Batak) yang berkisah
tentang kosmologi budaya Batak, adanya simbol tali merupakan tali pusat yang
menghubungkan si ibu dengan bayinya. Penulis bertanya, ―Mengapa lukisan itu
berwarna hitam?‖, Ferdinan menyebutkan karena ―karya ini merupakan doa yang
belum tentu bisa dikabulkan Tuhan‖.

Gambar 2.8
Karya Ferdinan Sibagariang, ―Tonggo Panggoaran‖, 2016, 30 x 30 cm, tinta di kanvas.
Sumber foto: Ferdinan Sibagariang.

Pelukis lainnya yang melukis beberapa karya lukis yang terinspirasi
dengan budaya Batak Toba adalah: Hareanto Pasaribu, mahasiswa seni rupa

Universitas Sumatera Utara

80

Unimed kelahiran Sibolga, yang memiliki skill teknikal yang tinggi dalam
melukis realis. Sebagai mahasiswa yang masih mencoba kemungkinankemungkinan berkarya dengan beberapa alternatif berekspresi kesenian, Hareanto
juga terinspirasi oleh budaya Batak Toba atau memperoleh stimulus dari karya
dosennya Mangatas Pasaribu. Untuk memenuhi hasratnya dalam melukiskan
sesuatu yang terinspirasi oleh budaya Batak, Hareanto melukiskannya secara
imajinatif suryalistik dipadu abstraksi geometrik dengan mengangkat warnawarna Batak, seperti pada lukisannya yang berjudul ―Ulubalang”,“Gundalagundala”, ―Nagamosarang‖, dan masih banyak lagi, yang karya-karya tersebut
pernah dipamerkan pada ―Jong Batak Art Festival‖.

Gambar 2.9
Karya Hareanto Pasaribu, ―Ulubalang‖, 2013, 100 cm x 100