Narasi Simbolik Karya Seni Rupa Tiga Seniman Medan

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Narasi sebagai ranah disiplin ilmu bidang sastra menjadi mungkin dan
menarik untuk disandingkan dan masuk dalam ranah kajian seni rupa. Narasi yang
merupakan sebuah cerita bersifat abstraksi formalistik dalam karya sastra, masuk
ke dalam ranah seni rupa melebur dan terintegrasi yang direfleksikan melalui
tanda-tanda atau simbol-simbol hasil imajinasi yang diciptakan oleh seniman ke
dalam karya seni, sehingga bisa diapresiasi oleh penikmat seni, dan dikritisi oleh
kritikus seni. Tak jarang kemudian seniman kembali memaparkan relasi kodekode/simbol-simbol yang dimunculkan dalam karyanya hingga menjadi sebuah
narasi verbalistik.
Simbol merupakan kesepakan atau konvensi. Setiap kebudayaan
cenderung dibuat atau dimengerti oleh para warganya berdasarkan konsep-konsep
yang mempunyai arti tetap dalam jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan
simbol-simbol, seseorang biasanya selalu melakukannya berdasarkan aturanaturan untuk membentuk, mengkombinasi bermacam-macam simbol, dan
menginterpretasikan simbol-simbol yang dihadapi. Seperti yang disebutkan oleh
Cobley dan Jansz (2002: 33): ―simbol adalah tanda terhubung dengan objek
tertentu semata-mata karena kesepakatan, misalnya kata bendera‖.

Secara historis, jejak narasi yang melekat dengan karya seni rupa di
Indonesia dapat kita lihat pada seni tradisi, di antaranya, yaitu: pertunjukan
―wayang beber‖ di Jawa, yang kemudian berangkat dari figur-figur simbolik pada

Universitas Sumatera Utara

2

wayang beber. Sunan Kalijaga memunculkan ―wayang kulit‖ sebagai wujud
integrasi dalam seni pertunjukan yang di dalamnya ada unsur narasi historik dan
narasi simbolik. Dalam seni lukis dapat kita lihat pada ―seni lukis tradisional Bali
gaya Kamasan‖ yang kemudian berkembang memunculkan gaya baru ―seni lukis
gaya Batuan‖ yang mendapat pengaruh gaya melukis aliran Barat (seni rupa
modern), yang kemudian kita kenal sebagai ―gaya tradisional Ubud‖ dan ―gaya
tradisional Pengosekan‖ sampai munculnya gaya-gaya baru dalam seni lukis
dengan berusaha keluar dari tradisi, berusaha mencari kebaruan dalam berkarya
seni.
Karya seni rupa yang mengandung karya narasi simbolik selalu menjadi
amat menarik bagi pencintanya, baik bagi kalangan awam maupun profesional
karena terdapat cerita dan pemaknaan di dalamnya. Simbol-simbol yang

digambarkan menjadi misteri serta menarik untuk dikaji dan diteliti guna
diperoleh kesimpulan terhadap makna yang terkandung pada karya dan gagasan
apa yang ada pada si senimannya.
Raden Saleh sebagai pelopor seni rupa modern Indonesia adalah pelukis
realis yang pertama sekali mendapatkan pengaruh Barat dan Eropa dalam karya
seni lukisnya. Tema mengkritik kondisi Indonesia pada masa itu memiliki narasi
simbolik yang kuat pada karyanya, seperti lukisannya yang terkenal berjudul
―Banjir di Jawa‖, ―Pertarungan Antara Banteng dan Singa‖ dan ―Penangkapan
Diponegoro‖. Dalam lukisannya, ―Banteng‖ ditafsirkan sebagai simbol bangsa
Nusantara dan ‗singa‘ ditafsirkan sebagai simbol dari bangsa Belanda. Latar
belakang munculnya narasi simbolik kritik Raden Saleh pada karya lukisannya

Universitas Sumatera Utara

3

dimulai karena dari diskriminasi yang dialaminya, menyebabkan perceraiannya
dengan istrinya (seorang janda Jerman), yang dalam perjalanannya kemudian
menghantarkannya ke dalam jeruji penjara. Raden Saleh disebut-sebut sebagai
pelukis pertama di Indonesia yang Nasionalis.

Banyak seniman besar di Indonesia yang namanya melambung sampai ke
mancanegara dengan memunculkan gagasan narasi simbolik pada karya seni rupa
kontemporer. Sebut saja; Heri Dono, Krisna Murti, Tisna Sanjaya, Agus Suwage,
S. Teddy, Nyoman Nuarta, Nindityo Adipurnomo, Mella Jaarsma dan masih
banyak lagi yang selain menjadi kebanggaan Indonesia khususnya dalam bidang
seni rupa murni, dan menjadi inspirasi bagi seniman-seniman muda untuk
berkompetisi dalam skala Nasional dan International.
Di Medan, banyak ditemukan seniman seni murni yang gagasan
kreatifnya memiliki narasi simbolik dalam karya seninya. Sebut saja karya Endra
Kong, perupa muda yang mengangkat sebuah kritik sosial terhadap kondisi
Indonesia dengan menarasikan dan memunculkan simbol singkong atau tela
dalam lukisannya yang berjudul ―Telo Budur‖, hingga berlanjut pada tema yang
sama berjudul ―Haji Ubi‖.
Ada lagi Rasinta Tarigan yang selalu menonjolkan figur dan ikon tradisi
budaya Karo serta segitiga-segitiga sebagai simbol spiritual kebudayaan Karo
dalam lukisannya, yang bagi masyarakat awam terkesan seperti lukisan abstraksi
geometris (kubistis)

yang dipadu dengan objek dan figur-figur


yang

dilukiskannya. Ternyata, setelah dilakukan apresiasi dan wawancara singkat,
karya Rasinta merupakan simbol-simbol dari latar belakang budaya Karo yang

Universitas Sumatera Utara

4

melekat dalam dirinya, yaitu kreativitas seni sebagai responsi budaya (art for
culture device).
Di Medan, terdapat seniman realis terkenal yaitu M. Yatim Mustafa,
bersuku Jawa. Dia sangat produktif sebagai pelukis realis, naturalis serta still life.
Dalam setiap lukisannya, tidak hanya menonjolkan teknik tinggi dengan
menonjolkan kreativitas seni sebagai responsi artistik (art for art sake), namun
juga untuk memenuhi hasratnya dalam art for art. Yatim terkadang menghadirkan
narasi-narasi simbolik dalam lukisannya dan menggambarkan kehidupan sosial
yang sebenarnya terjadi pada kehidupan seseorang dalam karya realisnya
sekaligus sebagai kritik sosial.
Seniman lain, dari akademisi sekaligus dosen di jurusan seni rupa Unimed

adalah Mangatas Pasaribu yang selalu mengangkat tema Batak Toba dengan
mengangkat ikon karakter warna hitam, merah dan putih dalam karya seninya,
baik itu seni lukis di kanvas ataupun pada performance art dan dalam karya seni
instalasinya. Dalam karyanya, warna hitam, merah, dan putih dikonotasikan
sebagai simbol warna orang Batak Toba. Selain berkarya dengan gaya surealis
yang berada dalam estetika modern, Mangatas juga kerap tampil dengan gaya seni
rupa kontemporer pada karya Performance art dan seni instalasinya.
Ada juga seniman yang berkarya berpola narasi simbolik yang memiliki
kecenderungan bergaya abstraksi dengan penyusunan estetika elementer
kesenirupaan modern art dalam karyanya, yaitu Syahruddin Harahap seorang
dosen seni rupa Unimed, dan masih banyak lagi seniman-seniman Medan yang
didukung dengan teknik baik dan berkarakter, dalam berkarya memiliki

Universitas Sumatera Utara

5

kecenderungan menuangkan gagasannya dengan berkreativitas seni sebagai
responsi budaya (art for culture device) dan responsi seni (art for art) juga
mempunyai konsep berpola narasi simbolik, sebut saja diantaranya Cecep

Priyono, Budi Siagian, Alwan Sanrio, Jonson Pasaribu, Soehandono Hadi, dan
masih banyak lagi.
Dari kecenderungan seniman-seniman (perupa) Medan yang menuangkan
ide/gagasannya dengan berkreativitas seni sebagai responsi budaya (art for
culture device) berpola narasi simbolik ini perlu teliti dan dikaji, karena di Medan,
beberapa buku yang membahas tentang seniman-seniman Medan sudah ada,
namun yang mengkaji seni rupa dari aspek narasi simbolik dengan metode
semiotika dan hermeneutika belum ada.
Subjek penelitian dalam tesis ini bersifat penciptaan dan pengkajian seni
rupa dalam ruang lingkup seni murni, yang mana penciptaan dalam arti kajian
tentang penciptaan seni tetapi konteksnya riset dengan menempatkan tiga seniman
Medan dan karyanya sebagai subjek kajian dalam kategori: ―seniman yang
memiliki kecenderungan tema narasi simbolik dalam karyanya yang memiliki
keberagaman ideologi kebudayaan Sumatera Utara‖. Dengan harapan, karya
seniman yang dikaji representatif disatu sisi dan di sisi lain, pembahasannya
menjadi lebih mendalam.
Dalam penelitian ini, dipilih seniman-seniman yang memiliki eksistensi
dalam berkarya seni rupa berpola narasi simbolik, memiliki profesionalitas dan
produktivitas dalam berkarya, dan karya-karya mereka diakui oleh masyarakat
sebagai karya yang memiliki nilai-nilai yang menyiratkan kehidupan masyarakat


Universitas Sumatera Utara

6

setempat. Tentunya banyak pihak-pihak yang dimintai argumentnya mengapa
seniman dan karya tertentu yang dipilih, sementara yang lain tidak.
Berdasarkan diskusi penulis dengan beberapa pakar seni rupa di Medan,
akhirnya seniman-seniman yang diteliti adalah: Rasinta Tarigan, Mangatas
Pasaribu, dan M. Yatim Mustafa, mewakili karakteristik keberagaman idiologi
Sumatera Utara, yaitu etnisitas kesukuan yang melekat dalam diri mereka. Rasinta
dengan simbol-simbol ideologi budaya Karo, Mangatas dengan simbol-simbol
budaya Batak-nya, dan Yatim seorang suku Jawa dengan ideologinya. Ketiganya,
sama-sama memberikan peranan penting dalam perkembangan seni rupa di
Medan.
Beragamnya budaya native yang ada di Sumatera Utara, khususnya
seniman-seniman seni rupa yang memiliki latar belakang budaya beragam, di
antaranya seperti seniman yang berlatar belakang budaya etnik Melayu yang juga
memiliki peranan penting dalam pertumbuhan kota Medan, tetapi tidak masuk
dalam seniman yang diteliti. Hal tersebut sebelumnya, sudah melalui tahap

pencarian jejak seniman-seniman seni rupa Medan dan karyanya, sekaligus
melalui pertimbangan yang cukup panjang. Tetapi yang utama adalah: seniman
yang berlatar belakang etnik Melayu yang memiliki eksistensi dalam berkarya
seni rupa, sangatlah sedikit, khususnya seni lukis dengan gagasan berpola narasi
simbolik, apalagi yang bertemakan budaya etnik tertentu (art for culture device).
Malah ditemukan, seniman-seniman yang eksis berkarya dengan gagasan narasi
simbolik dan aktif berpameran adalah seniman-seniman yang berlatar belakang
budaya Batak Toba, Karo, Mandailing, Padang dan Jawa. Malah, untuk karya-

Universitas Sumatera Utara

7

karya yang berpola narasi simbolik dengan tampilan visual beraliran realis dan
naturalis banyak dilakoni oleh seniman-seniman kelahiran Jawa Deli, seperti M.
Yatim Mustafa, Cecep Prihadi, Bambang Triyogo, Didi Prihadi, Bambang
Soekarno, Suhendra Hamid, Marwan, Pujio, Achy Askwana, Herdy, Endy
Pribadi, Endra Kong, Soenoto HS, almarhum Panji Sutrisno, dan masih banyak
lagi. Untuk yang berpola narasi simbolik khaligrafi adalah Soehandono Hadi, dan
untuk lukisan abstrak adalah Anang Sutoto. Tentunya, masih banyak lagi

seniman-seniman yang belum terdata oleh peneliti.
Mengapa karya seni murni dengan gagasan berpola narasi simbolik dalam
bentuk narasi budaya (art for culture devise) menarik untuk dikaji dan dianalisis
makna yang terkandung di dalamnya? Cocok dengan ungkapan Cobley dan Jansz
(2002: 136-137) yang menyatakan: Kebudayaan adalah sebuah totalitas informasi
yang tidak bersifat turun temurun, yang diperoleh, dipertahankan dan
ditransmisikan di antara berbagai kelompok sosial manusia. Karena kebudayaan
dibangun di atas bahasa alami. Lotman dalam Cobley dan Jansz menyarankan
bahwa salah satu cara untuk mengklasifikasikan budaya adalah berdasarkan
konseptualisasinya tentang tanda. Kim, Yang dan Hwang (2010: 18), menyatakan
dalam buku yang dieditori oleh mereka, yang berjudul ―Indegenous and Culture
Psycology: Memahami orang dalam Konteksnya‖, menyatakan: ―Bagi seseorang
yang lahir dan dibesarkan dalam budaya tertentu, budayanya terasa sangat
alamiah‖.
Hal tersebut, menjadikan daya tarik oleh peneliti untuk meneliti karya seni
rupa yang bertemakan budaya. Apalagi, dilatar belakangi oleh budaya yang sama

Universitas Sumatera Utara

8


oleh pelukisnya. Sekaligus untuk mencari keterkaitan pola gagasan dari si
senimannya dengan latar belakang budayanya yang memiliki nilai-nilai hingga
membangun konsep pemikiran simbolis dalam bahasa rupa yang dapat dapat
diungkapkan dengan bahasa verbal.
Metode yang digunakan dalam menganalisis karya, adalah menggunakan
metode studi kualitatif bersifat faktual dengan mendeskripsikan konsep, gagasan
dan proses penciptaan karya tiga seniman Medan yang diteliti. Kemudian aspek
narasi simbolik dari karya-karya, diteliti dan dikaji dengan metode semiotik dan
hermeneutik agar diperoleh penafsiran yang holistik.
Narasi simbolik dalam penelitian ini dimaksudkan seperti mencari cerita
dalam karya seni rupa. Karena narasi simbolik yang dipancarkan dalam karya seni
terkait dengan berbagai persoalan di luar ranah seni. Peneliti juga menggunakan
disiplin ilmu lain untuk melengkapi penafsiran antara lain; sejarah, budaya,
sosiologi, antropologi seni dan psikologi sesuai dengan konteks penelitian,
terutama yang berkaitan tentang konsep, gagasan dalam karya sekaligus
kehidupan si seniman yang diteliti. Karena kepribadian yang meliputi kondisi
psikologis, latar belakang kebudayaan dan spiritualitas seniman yang diteliti perlu
untuk diketahui, maka tulisan ini juga menggunakan teori etnografi1 agar bisa


1

Etnografi adalah sebuah deskripsi yang diungkapkan dalam bentuk bahasa dalam hal
mendeskripsikan manusia dan produk-produknya. Bentuknya merupakan hasil dari kebudayaan
ekspresif manusia berupa: seni kerajinan (craf), patung, tenun, arsitektur, seni lukis dan lain
sebagainya sampai seni pertunjukan (seni tari, musik, teater dan drama). Untuk lebih jelasnya lihat
di bab II.

Universitas Sumatera Utara

9

tarik garis keterkaitannnya tentang tema narasi simbolik yang direfleksikan dalam
karyanya dan ideologi2 senimannya. Dalam penulisan penelitian ini bukan saja
hanya bersifat analisis dalam penciptaan dan pengkajian seni semata, tetapi juga
sekaligus sebagai wacana kritik bagi yang diteliti.

1.2 Rumusan Masalah
Bagian terpenting dalam sebuah karya tulis adalah rumusan masalah, yaitu
berupa pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa yang menjadi masalah dalam
penelitian, sehingga hasil dari penelitian diharapkan mampu menjawab dari
pertanyaan yang dirumuskan. Dengan melihat latar belakang masalah yang
diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penulisan tesis ini dinyatakan sebagai
berikut:
(1). Bagaimanakah

struktur

estetika

elementer

kesenirupaan

yang

terepresentasikan pada karya tiga perupa Medan yang diteliti?
(2). Makna dan narasi apa sajakah yang diperoleh dari menganalisis simbolsimbol yang terepresentasi pada karya seni rupa yang diteliti?
(3). Bagaimanakah keterkaitan seniman dengan gagasan pola narasi simbolik
pada karya seni rupa yang dihasilkannya?

2

ideologi adalah: 1) Kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian)
yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidupnya. 2) Cara berpikir seseorang atau
suatu golongan. 3) Paham, teori, tujuan yang merupakan suatu program sosial politik. (Lihat
KBBI, 2007, hlm. 417). Ideologi adalah tafsiran mutlak pada kenyataan yang berdampak pada
tindakan. Misalnya, Nazisme yang memutlakkan takdir yang meminggirkan etnis Yahudi. Orde
baru yang memutlakkan tafsir tentang demokrasi (lihat Adian, 2003, hlm. 102). Dalam Umberto
Eco yang menyebutkan ideologi sebagai kategori semiosis, menjelaskan bahwa ideologi adalah
pesan yang dimulai dari deskripsi faktual, dan mencoba menjustifikasi deskripsi tersebut secara
teoritis, kemudian lama kelamaan diterima oleh masyarakat lewat proses peng-overcode-an (Lihat
Umberto Eco, yang dieditori oleh Inyiak Ridwan Muzir, 2009, hlm. 432-433).

Universitas Sumatera Utara

10

1.3 Tujuan Penelitian
Sebuah penelitian diharapkan mempunyai tujuan, baik secara umum
maupun khusus. Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1). Untuk mendeskripsikan bagaimana estetika elementer kesenirupaan yang
terepresentasikan pada karya tiga seniman Medan yang diteliti.
(2). Untuk menemukan makna dan narasi yang terkandung dengan
menganalisis simbol-simbol pada karya yang diteliti.
(3). Untuk menganalisis keterkaitan seniman dengan gagasan pola narasi
simbolik pada karya seni rupa yang dihasilkannya.

1.4 Manfaat Penelitian
Dalam bidang penciptaan dan pengkajian seni, penelitian ini diharapkan
akan memberikan manfaat yang baik secara langsung kepada siapa saja
(masyarakat) yang tertarik kepada dunia seni rupa khususnya seni murni.
Mengingat banyaknya ragam pola yang ditemukan dalam gagasan penciptaan
karya seni rupa, terkhusus dalam pola karya narasi simbolik.
Penelitian ini juga didedikasikan sebagai sumbangsih kepada akademisi
dan diharapkan bisa menjadi bahan referensi yang bermanfaat bagi para
mahasiswa seni rupa, juga menjadi sumber inspirasi bagi mahasiswa untuk
memulai penulisan dan sebagai bahan masukan untuk tim pengajar, guru dan
dosen seni rupa.

Universitas Sumatera Utara

11

Penilitian ini bermanfaat bagi seniman yang diteliti sebagai wacana kritik
yang membangun dalam berkarya, juga kepada seniman-seniman lainnya agar
bisa menginspirasi dalam menuangkan gagasan ke dalam sebuah karya seni rupa.
Sekaligus menambah wawasan dan sebagai bahan referensi sesuai dalam
penciptaan dan pengkajian seni rupa berpola narasi simbolik.
Secara khusus dapat menambah wawasan peneliti dalam melihat karya
seni rupa yang berpola/berunsur narasi simbolik, dan menjadi masukan bagi
peneliti dalam metodologi penulisan karya ilmiah bertajuk penciptaan dan
pengkajian seni, juga sebagai masukan untuk lanjutan penelitian berikutnya sesuai
dengan konteks penulisan yang dibutuhkan.

1.5

Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dibutuhkan untuk memperoleh rujukan yang mendukung

dalam penulisan tesis ini. Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu: ―Narasi
Simbolik Karya Seni Rupa Tiga Seniman Medan‖, maka buku-buku rujukan yang
dibutuhkan adalah buku-buku yang berkaitan dengan narasi simbolik, teori
etnografi yang menuntun dalam meneliti tiga seniman Medan, teori estetika
sebagai wacana apresiasi dan kritik seni, teori semiotika dan hermeneutika sebagai
metode membaca tanda dan simbol-simbol serta yang berkaitan dengan ideologi
dan nilai-nilai.
Dalam penulisan penelitian yang bertajuk ―narasi simbolik‖ sebelumnya
sudah pernah ditulis oleh Acep Iwan Saidi dalam penelitian disertasinya yang
berjudul ―Narasi Simbolik Seni Rupa Kontemporer Indonesia‖ (2008), yang

Universitas Sumatera Utara

12

menfokuskan pada karya seni rupa kontemporer di Indonesia terhadap sembilan
perupa Indonesia.
Dalam penelitian etnografi peneliti merujuk kepada buku yang ditulis oleh
Kenneth M. George (2012) yang berjudul ―Melukis Islam, Amal dan Etika Seni
Islam di Indonesia”, yang menyajikan potret etnografis seniman Muslim
pascakolonial, pelukis Indonesia terkemuka: Abdul Djalil Pirous. Buku lainnya
adalah karya Patrick Suraci, Ph. D., (2015) yang berjudul ―Menyingkap Kisah
Kepribadian Majemuk dan Kisah di Balik Lukisan-lukisan Shirley Mason‖.
Untuk pemilihan seniman yang diteliti, tulisan R. Triyanto, Nelson
Tarigan, dan Dermawan Sembiring (2015) yang berjudul ―Seni Lukis Medan
Potensi dan Perkembangannya‖ dan buku Agus Priyatno (2012) yang berjudul
―Memahami Seni Rupa‖, dirasakan cukup membantu karena berupa pemetaan
seniman-seniman seni rupa Medan yang berisi deskripsi karya seniman dan kritik
yang membangun. Selain itu, dari katalog-katalog atau buku yang diedarkan
ketika pameran seni rupa berlangsung, juga sangat diperlukan untuk sejarah seni
rupa Medan sekaligus pemetaan seniman Medan guna melihat eksistensi dan
gagasan seniman pada karya-karyanya yang dipamerkannya dari waktu ke waktu.
Buku kumpulan tulisan tentang Prof. Rasinta Tarigan. Drg., Sp. KG (K)
(2011), berjudul ―Gigi dan Lukisan‖ sangat membantu dalam melihat pendapat
penulis-penulis dalam buku tentangnya, sekaligus melihat perjalanan dan sebagian
karyanya yang didokumentasikan dalam buku tersebut.
Ada beberapa buku pendukung dalam wacana apresiasi dan kritik seni
rupa, yang sangat membantu dalam menuntun peneliti dengan dijabarkannya

Universitas Sumatera Utara

13

metode-metode dalam penulisan karya ilmiah kritik seni, diantaranya: buku
Nooryan Bahari (2008) yang berjudul ―Kritik Seni; Wacana Apresiasi dan
Kreasi‖, Kemudian buku Darsono Sony Kartika (2004) yang berjudul ―Seni Rupa
Modern‖ dan ―Pengantar Estetika‖, buku A.A.M. Djelantik (2004) yang berjudul
―Estetika; Sebuah Pengantar‖, dan buku M. Dwi Marianto (2006) yang berjudul
―Quantum Seni‖.
Untuk melihat metode semiotika dan hermeneutika buku-buku yang
membantu adalah buku Benny H. Hoed (2008) ―Semiotik dan Sosial Budaya‖,
buku Agus Sachari (2003) yang berjudul ―Pengantar Metodologi Penelitian
Budaya Rupa; Desain, Arsitektur, Seni Rupa dan Kriya‖, buku Alex Sobur (2003)
berjudul ―Semiotika Komunikasi‖, buku Paul Cobley dan Litza Jansz yang
dieditori oleh Richard Appignanesi (2002) berjudul ―Mengenal Semiotika; For
Beginnes‖. Buku-buku tersebut di atas sangat membantu peneliti dalam
menentukan teori yang tepat dalam metodelogi penelitian ini.
Pada pembahasan yang lebih spesifik dalam kajian nilai-nilai dan ideologi
dalam karya seni, buku karangan Dominic Strinati (2016) berjudul ―Popular
Culture; Pengantar Menuju Teori Budaya Populer‖, cukup membantu membuka
cakrawala peneliti untuk arah penelitian kedepannya. Kemudian buku karangan
Jannes Alexander Uhi (2016) yang berjudul ―Filsafat Kebudayaan‖ tentang kaitan
kebudayaan dalam karya seniman-seniman yang diteliti.

Universitas Sumatera Utara

14

1.6

Konsep dan Landasan Teori

1.6.1 Konsep
Konsep sangat dibutuhkan untuk dapat membantu melengkapi data-data
dan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan keperluan penulisan karya
ilmiah (tesis). Konsep dalam penulisan ini adalah: narasi, simbol, narasi simbolik,
seni rupa, seniman seni rupa.

1.6.1.1

Narasi
Pengertian narasi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 774)

disebutkan sebagai: (1) pengisahan suatu cerita atau kejadian, (2) cerita atau
deskripsi suatu kejadian atau peristiwa, (3) berupa kisahan, (4) tema suatu karya
seni yang penyajiannya disusun berdasarkan urutan waktu. Sedangkan pengertian
naratif adalah: (1) bersifat narasi, bersifat menguraikan dengan menjelaskan dan
sebagainya, (2) prosa yang subjeknya merupakan suatu rangkaian kejadian.
Narasi yang secara akademik masuk dalam bidang kesusastraan dijelaskan
oleh Saidi (2008: 22) meliputi unsur seni rupa yang dibagi kedalam dua kategori,
yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, cerita terdiri atas beberapa
aspek yakni peristiwa, tokoh dan penokohan, setting (lattar), dan alur (plot).
Hakikatnya, dalam sebuah cerita adalah suatu peristiwa dan tokoh selalu menjadi
pusat. Kemudian narasi secara ekstrinsik, merupakan cerita terbangun atas aspek
tematik, dimana tema adalah gagasan dasar pengarang yang ingin disampaikan
dalam cerita. Di dalam aspek tematik terkandung pesan, amanat, kritik, dan nilainilai yang disampaikan pengarang.

Universitas Sumatera Utara

15

Nafiah (1981: 66-67) menjelaskan tentang narasi, bahwa:
Karangan narasi adalah yang menceritakan satu atau beberapa kejadian
dan bagaimana berlangsungnya peristiwa-peristiwa tersebut, yang
biasanya disusun menurut urutan waktu (kronologis). Isi karangan
narasi boleh bersifat faktual dan khayali. Outobiografi (biografi)
seorang tokoh terkenal termasuk dalam karangan narasi bersifat faktual,
sedangkan novel, cerpen, hikayat, drama, dongeng, dan lain-lain
merupakan karangan narasi yang bersifat fiksi (khayali).
Menurut peneliti, narasi merupakan suatu karangan yang disampaikan
dalam bentuk bahasa, dimaksudkan untuk disampaikan kepada orang lain dalam
bentuk cerita (kisah, dongeng, legenda, mitos) baik yang diutarakan secara
langsung (lisan/verbal) maupun tak langsung (non verbal/tulisan/simbol-simbol).
Pada narasi, mengandung maksud atau makna pesan kebajikan, penanaman pola
berprilaku dalam bermasyarakat yang berbudaya, baik bersifat deskripsi (lukisan),
eksposisi (paparan), atau persuasi (argumentasi).

1.6.1.2 Simbol
Pengertian secara etimologis, simbol berasal dari kata Yunani,
―symballein” yang berarti melemparkan bersama suatu benda atau perbuatan yang
dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko & Rahmanto, 1998: 133). Ada juga yang
menyebutkan ―symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan
sesuatu hal kepada orang lain (Herusatoto, 2000: 10). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2007: 1066) dinyatakan bahwa: simbol berarti ―lambang‖, simbolisme
yang berarti ―perihal‖ memakai simbol (lambang) untuk mengekspresikan ide-ide.
Menurut Sachari (2002: 126) bahwa setiap atau objek pada hakekatnya
merupakan simbol, penuh dengan makna ―tersembunyi‖, dimana aktivitas

Universitas Sumatera Utara

16

manusia dalam berbuat sesuatu merupakan usaha untuk membentuk makna. Hal
ini juga diungkapkan oleh Syaifuddin (2006: 291) bahwa simbol dinyatakan
sebagi objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi
makna oleh manusia.
Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap
sebagai pengkhasan sesuatu yang mengandung kualitas analisis logis melalui
asosiasi-asosiasi dalam pikiran dan fakta. Dalam wilayah semiotika, simbol
menurut Charles Sander Peirce (peletak dasar disiplin semiotika modern),
mengidentifikasi sebagai salah satu dari tiga tipe tanda: (1) Tanda ―ikonik‖ yang
mencerminkan objek dalam hal tertentu. Misalnya foto diri merupakan ikon
seseorang yang menyampaikan gagasan dan makna dari orang tersebut. (2) Tanda
―indeks‖ yang secara fisik terkait dengan objeknya. Misalnya selembar bendera
dipasang setengah tiang, berarti ada petinggi negara yang meninggal. (3)
―Simbol‖ seperti halnya bahasa, antara benda dan objeknya merupakan tanda yang
ditentukan oleh sebuah aturan yang berlaku umum berdasarkan perjanjian dan
konvensional.
Teori Peirce yang diulas Sachari (2002: 65) menyatakan bahwa simbol
merupakan suatu tanda yang ditentukan oleh suatu aturan yang berlaku umum,
kesepakatan bersama atau konvensi, seperti: gerakan tubuh atau anggukan kepala
sebagai tanda setuju. Bahari (2008: 104) mengungkapkan bahwa:
Simbol bersifat kreatif, walaupun pada awalnya merupakan kreasi
spontan individu berdasarkan pengalaman subjektif, mencapai
eksistensi objektif ketika diterima oleh orang lain melalui interaksi
sosial. Pada dasarnya merupakan cara manusia berinteraksi dengan
alam. Oleh karena itu dunia simbol hanya diciptakan oleh makhluk
yang bernama manusia untuk menggambarkan perbedaan antara dunia

Universitas Sumatera Utara

17

dirinya dengan dan dunia alamiahnya. Seperti pendapat yang
menyatakan bahwa manusia berfikir, berperasaan dan bersikap dengan
ungkapan-ungkapan yang simbolis, yang membedakan manusia dengan
hewan.
Kuntjara (2006: 16) menyebutkan dalam bukunya tentang simbol-simbol
dan bahasa, yakni:
Setiap masyarakat mempunyai dan menggunakan simbol-simbol
tertentu yang dipakai sebagai tanda. Simbol-simbol tersebut bisa berupa
suatu yang konkrit seperti benda atau gambar, atau suatu ide yang
abstrak. Makna sebuah simbol tidak bisa serta merta diketahui, tetapi
dibutuhkan suatu penafsiran. Salah satu simbol yang paling kuat dalam
kehidupan manusia adalah bahasa. Baik secara lisan maupun tertulis,
bahasa menjadi alat manusia untuk memahami dunia ini. Memahami
makna suatu bahasa pun membutuhkan interpretasi.
Menurut peneliti, identifikasi simbol sebagai sesuatu yang non fiksi (dunia
substansial) diciptakan memiliki nilai fungsional. Simbol merupakan suatu tanda
yang ditentukan oleh sebuah aturan berlaku umum dan dipahami bersama atau
bersifat teka-teki (maksud yang tersembunyi) untuk dimengerti atau dipecahkan
maksud yang terkandung di dalamnya.

1.6.1.3 Narasi simbolik
Di atas sudah dijelaskan apa yang dimaksud dengan narasi dan simbol
secara terpisah. Menurut Saidi (2008 :32): ―Penerapannya pada karya rupa sebagai
objek kajian, narasi simbolik diartikan sebagai cerita tersembunyi di balik karya
rupa yang diungkapkan melalui berbagai simbol atau secara simbol (simbolik).‖
Kuntjara (2006: 17) juga menjelaskan kaitannya simbol dan bahasa, sebaagai
berikut:
Bahasa merupakan salah satu simbol yang digunakan manusia untuk
memungkinkannya menyampaikan makna dan memaknai simbol secara

Universitas Sumatera Utara

18

aktif. Manusia menafsirkan makna dari suatu kata atau ungkapan
kejadian, dan meresponnya tergantung pada makna yang ditafsirkan.
Berbeda dengan narasi pada karya sastra yang tampil dalam bentuk bahasa
atau teks yang terstruktur (verbal), narasi simbolik merupakan sebuah narasi yang
dapat dipahami melalui relasi simbol-simbol visual (non verbal) yang ditampilkan
dengan cara menganalisisnya atau mengonstruksi makna dari simbol-simbol yang
ditampilkan. Dalam karya seni rupa misalnya, ditemukan banyak lukisan, reliefrelief pada candi-candi ataupun patung-patung yang memunculkan figur-figur
mitologi, seperti putri duyung (mermaid), dewa-dewa dalam kepercayaan Yunani,
Hindu dan sebagainya, bahkan dalam karya-karya seni rupa pada etnik-etnik
budaya yang ada di Indonesia.
Pemaparan figur-figur mitologi sebagai simbol memunculkan ranah narasi
yaitu mitos3 yang perlu dikaji dan dijelaskan. Di luar dari konteks figur-figur
mitologi, paparan gambar-gambar sebagai wujud simbolik dan representasi teknik
yang digunakan dalam karya, mampu membuat orang lain yang melihat berupaya
memahami maknanya, dan cerita apa yang ada dibalik karya tersebut, dan siapa
yang membuatnya. Apakah karya tersebut mengandung narasi mitos, legenda,
kritik sosial dan keagamaan, atau hanya menarasikan keindahan alam. Sebagai
contoh, seperti lukisan Ratu Pantai Selatan yang dilukiskan oleh Basuki Abdullah
dan seniman-seniman lainnya. Bagi rakyat Indonesia khususnya pulau Jawa yang
sudah mengenal sosok wanita yang selalu disimbolkan berbaju hijau pupus
3

Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Mitos bukanlah
konsep/gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk yang tidak ditentukan oleh objek
ataupun materi (bahan), melainkan oleh cara mitos disampaikan. Mitos bukan hanya disampaikan
dalam bentuk verbal (kata-kata lisan atau tulisan), namun bisa dalam bentuk campuran antara
verbal dan non verbal, misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan dan komik. Semuanya
dapat digunakan dalam menyampaikan pesan (lihat Sobur, 2003, hlm. 224).

Universitas Sumatera Utara

19

tersebut, mampu menimbulkan rasa mistis oleh para penikmat karya seni atau
apresiator. Namun, bagi orang yang belum melihat dan mengerti sosok legendaris
tersebut, hanya bisa melihat sosok tersebut dari sisi kecantikan, kemolekan dan
unsur tradisi yang melekat pada baju yang dikenakan.
Dalam kajian semiologi, Barthes menjabarkan pemahamannya akan
hubungan antara mitos, penanda, dan petanda dengan cara menarik perbedaan
antara denotasi dan konotasi. Tugas Semiologi melampaui denotasi-denotasi
tersebut untuk mendapatkan berbagai konotasi tanda, melakukannya berarti akan
mengungkap bagaimana mitos bekerja melalui tanda-tanda tertentu. Dengan cara
seperti ini, lokasi mitos yang dikonstruksikan, dibuat dan bersifat historis dapat
ditemukan. Maka, konotasi-konotasi mitos dapat diidentifikasi. Mitos berfungsi
sebagai ideologi juga memiliki fungsi mentransformasikan sejarah menjadi alam.
Fungsi mitos sebagai ideologi dapat dilihat dari bagaimana mitos itu dapat
dikonstruksikan dan mempertahankan maknanya sebagai kekuatan sistematis,
yang menjadi makna-makna yang berakar pada berbagai situasi historis maupun
kepentingan golongan, pergeseran, sebagaimana yang dikatakan Barthes dari
semiologi menuju ideologi (Strinati, 2016: 142-143).
Barthes juga menyebutkan tentang unsur struktur yang utama dalam narasi
tradisional adalah ―kode teka-teki‖ (kode hermeneutik) yang berkisar pada
harapan pembaca untuk mendapatkan kebenaran. Didalam narasi, ada suatu
kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya
di dalam cerita (Sobur, 2003: 65).

Universitas Sumatera Utara

20

Jadi, narasi simbolik dimaksudkan seperti berusaha menemukan cerita di
dalam karya seni rupa (visual art). Selain narasi dan ciri kebudayaan (cultural
trait) yang disimbolkan dalam sebuah karya seni rupa, maka dapat ditemukan dan
dikenali daerah kebudayaan-nya (culture area) narasi itu berasal.

1.6.1.4 Seni rupa
Seni pada hakekatnya adalah curahan rasa dan ekspresi manusia yang
bersifat artistik. Menyunting tulisan S. Sudjojono di dalam buku Siregar dan
Supriyanto yang mengumpulkan tulisan-tulisan dalam bentuk artikel pada era
awal seni rupa modern di Indonesia, bahwa secara eksplisit ungkapan yang
dinyatakannya oleh Sudjojono adalah seni sebagai ―jiwa ketok‖ atau jiwa yang
nampak, dipahami sebagai ekspresi (Siregar dan Supriyanto, 2006: 18). Seni rupa
(visual arts) didefinisikan sebagai karya seni yang dirasakan oleh penglihatan
(arts that are perceived by sight) (Priyatno, 2012: 11). Seni rupa adalah suatu
wujud hasil karya manusia yang diterima dengan indra penglihatan, dan secara
garis besar dibagi menjadi seni rupa murni dan seni rupa terapan (Bahari, 2008:
51). Seni rupa merupakan sebuah bentuk kesenian yang menggunakan medium
seni rupa sebagai medium ungkapnya (Kartika, 2004: 8). Seni rupa Indonesia
dapat kita bagi dalam empat jenisnya yang pokok, yaitu: Seni lukis, seni patung,
seni arsitektur/bangunan, seni kerajinan/kriya (Soedarso SP, 1978: 61).
Seni rupa menurut fungsinya oleh Soedarso SP (1978: 61) dibagi dua,
yaitu: (1) Untuk membantu kepercayaan animistis dengan ekspresi seni yang
magis dan selanjutnya seni untuk membantu agama dengan ekspresi yang religius

Universitas Sumatera Utara

21

dan agung. (2) Untuk mengembangkan imajinasi yang filosofis simbolis. Menurut
jiwa dan fungsinya seni rupa yang lain, Soedarso SP juga membaginya dalam dua
golongan, yaitu: Bersifat murni (fine art) dan bersifat terapan (applied art).
Kehadiran performance art memang belum banyak dikenal luas oleh
masyarakat Indonesia. Tetapi keberadaannya diterima sebagai bentuk kebebasan
berkreasi dan medium komunikasi yang memiliki genre tersendiri dari seni
lainnya. Kehadirannya sering sekali menampilkan gagasan-gagasan yang
simbolik. Tak jarang, dalam performance art sering sekali merangkul seni musik
dan seni tari sebagai medium komunikasi sekaligus untuk mendukung estetikanya.
Listyowati (2006: 12) menyebutkan tentang performance art sebagai berikut:
Performance art adalah conceptual art atau idea art. Penggagasnya
adalah Sol LeWitt yang terkenal dengan minimal art-nya, yang
kemudian menjadi gerakan pertengahan tahun 1960-an, meskipun
Duchamp di tahun 1910-an dan 1920-an terlebih dahulu telah
memulainya dengan karya-karya instannya yang diambil dari bendabenda ready mades, yang hadir sebagai karya baru yang sangat
konseptual (art object), sekaligus awal mula kelahiran seni instalasi.
Dharsono Sony Kartika dalam bukunya yang berjudul ―Seni Rupa
Modern‖ (2004: 122-124), membagi seni konseptual (conceptual art) meliputi:
(a) performance art, (b) seni proses (proses art), (c) seni bumi (Earth atau Land
art) dan (d) happening art.
Conseptual art atau seni konseptual merupakan gerakan dalam seni rupa
yang menempatkan ide, gagasan/konsep menjadi yang terpenting dalam seni,
sedangkan bentuk materiil dan objek seninya hanyalah merupakan akibat dari
konsep seniman. Mereka menggunakan terminologi-terminologi dematerial dan

Universitas Sumatera Utara

22

anti form (Wheller1992; dalam Kartika, 2004: 122). (a) Performance art4 sebagai
bagian dari seni konseptual (conseptual art) yang membebaskan dari serta
mencari alternatif baru yang merupakan transformasi narasi (teks tertulis) ke
dalam bentuk-bentuk teatrikal, personal maupun kolektif. (b) Seni Proses
merupakan seni jenis yang memanfaat material-material seperti: minyak, kayu,
karet, rumput, es, debu, daging, dan sebagainya, serta memanfaatkan kekuatan
alam, gravitasi, temperatur, atmosfir yang membuat karya berproses seperti
mengembang, menyusut, membusuk, dan sebagainya. Seni ini lebih menekankan
kepada substansi organisnya. (c) Seni bumi, adalah seni yang memanfaatkan
kekayaan alam, berupa bentuk amorf, bentuk abstraknya, kerucut, ketahanan
alam, geologi, cuaca, dan berbagai ilusi yang ditimbulkan untuk kepentingan
seninya. (d) Seni lingkungan, yang disebut juga dengan seni ansamble art,
merupakan karya seni yang memanfaatkan berbagai material bekas untuk
berkesenian, yang para artis punya misi tertentu terhadap lingkungan. (e)
Happening art mengacu pada action painting, yang mengutamakan spontanitas
dengan berbagai gerakan improvisasi seperti pada seni pertunjukan. Bedanya,
Happening art ditampilkan dalam ruang dan waktu yang sebenarnya (Kartika,
2004: 124)
Seni rupa menurut penulis merupakan sebuah karya seni yang di dalamnya
memiliki ide, konsep, gagasan yang tampak dari struktur estetika kesenirupaannya
yang berwujud titik, garis, bentuk, warna, dan pendukung lainnya seperti
komposisi, ritme balance dan seterusnya sehingga menghasilkan sebuah benda
4

Performance art, merupakan istilah yang berbeda dengan performing art adalah istilah
yang digunakan dalamseni rupa, sedangkan performing art adalah istilah yang digunakan untuk
pertunjukan seni tari dan pertunjukan seni musik (Kartika, ―seni Rupa Moder‖, 2004, hlm. 124).

Universitas Sumatera Utara

23

seni sesuai dengan fungsinya, baik sebagai fungsi estetika maupun benda pakai
atau terapan (fungsional).

1.6.1.5

Seniman seni rupa
Sudjojono pernah menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul ―Kesenian,

Seniman dan Masyarakat‖, yang dimuat kembali di dalam buku yang dieditori
oleh Siregar dan Suprayitno, yang menyatakan: ―Kalau seseorang seniman
membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain
dari buah jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian dalah jiwa ketok‖ (Siregar dan
Supriyatno, 2006: 13). Sudjojono juga menyatakan dalam tulisan lainnya yang
berjudul ―Seni Lukis Indonesia Sekarang dan Akan Datang‖ bahwa: ―seorang
seniman mesti pula berani dalam segala-galanya, terutama berani memberikan
idenya kepada dunia, meskipun tidak mendapatkan tanggapan baik oleh publik
sekalipun‖ (Siregar dan Supriyatno, 2006: 1).
Dalam dunia seni rupa, seseorang yang disebut seniman memiliki posisi
yang tinggi, seperti ungkapan Dermawan T (2004: 5), yang menyatakan:
Seniman pada hakekatnya bekerja untuk menganyam kebenaran, meniti
puncak-puncak kemanusiaan. Ia adalah orang merdeka yang semestinya
melihat kebenaran dan kemanusiaan dengan spirit yang bebas.
Walaupun tentu saja, tak ada yang bisa menjamin ―sang kebebasan‖
mampu melindungi sinar terang karya-karya seni.
Banyak ditemukan tulisan autobiografi atau kumpulan autobiografi singkat
dari seniman-seniman seni rupa di dunia lengkap dengan hasil karyanya yang bisa
dijadikan inspirasi dan motivasi bagi para perupa untuk mengasah kreativitasnya

Universitas Sumatera Utara

24

dalam berkarya. Dalam konteks menciptakan karya seni, Priyatno (2012: 2)
menyatakan sebagai berikut:
Kebebasan seniman dalam menciptakan karya seni tidak berarti bebas
dalam mempublikasikan. Seniman meskipun memiliki kebebasan dalam
mencipta karya seni, ia tetap hidup dalam bingkai moralitas dan nilainilai yang berlaku pada masyarakatnya. Seorang seniman
bagaimanapun harus menghormati ketentuan-ketentuan yang berlaku
pada masyarakatnya.
―Seniman sebagai pencipta/penyusun bentuk karya seni, juga sekaligus
sebagai penghayat‖ (Kartika, 2004: 23). Menurut Plato, bahwa seniman sejati
tidak membuat imitasi atas wujud yang sudah ada. Apa yang dilakukan seniman
sejati adalah mengenali pengetahuan sejatinya dari setiap pokok cipta karyanya
secara mendasar. Setelah pemahaman sejati ini utuh, barulah cakrawala nama rupa
yang beragam dan variasi terbuka (Wiryomartono, 2001: 10). Masih menurut
Plato, seniman sebagai manusia yang beradab (dalam kaitannya dengan polis =
konsep takaran proporsional) menghasilkan karya-karya dalam sistem yang
kualitasnya terukur (Wiryomartono, 2001: 7).
Seniman juga bisa menunjukkan sebuah tingkat peradaban dalam dunia
kesenian dengan teknik dan gagasan yang dituangkan dalam karya-karyanya,
terlepas dari ekspresi pribadinya, seniman secara historis mampu mengangkat
harkat dan martabat lingkungannya, seniman hidup mewakili dalam bingkai
moralitas dan nilai-nilai di dalam dirinya juga pada mewakili nilai-nilai
zamannya.

Universitas Sumatera Utara

25

1.6.2 Landasan teori
Beberapa teori yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam
penelitian ini adalah teori-teori yang dipakai sebagai alat untuk mengkaji dan
mengukur tiap-tiap rumusan masalah seperti teori estetika dan keindahan, teori
etnografi, dan teori semiotika.

1.6.2.1 Teori estetika dan keindahan dalam seni rupa
Estetika (aesthesis; dari kata Yunani) adalah ilmu yang membahas tentang
keindahan. Estetika merupakan cabang filsafat yang membahas tentang seni dan
keindahan serta tanggapan manusia terhadap keindahannya.
Persoalan estetika ini kemudian melahirkan berbagai pengertian yang
sangat bervariatif, dalam arti memiliki banyak perspektif pendekatan, sehingga
estetika bergantung pada situasi, kondisi dan posisi dimana ia berada (Susanto,
2002: 38). Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan (tentang
keindahan; jasmani, rohani, alam dan seni), diselidiki emosi manusia sebagai
reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan dan sebagainya
(Surajiyo, 2007:101).
Disadur dari buku Diksi Rupa, karya Susanto, (2002: 38), bahwa Estetik
itu adalah: (1) Indah; mengenai keindahan; tentang apresiasi keindahan; (2)
Mempunyai penilaian terhadap keindahan. Jadi, Estetika adalah cabang filsafat
yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan
manusia terhadapnya.

Universitas Sumatera Utara

26

Menurut Djelantik dari bukunya yang berjudul ―Estetika Sebuah
Pengantar‖ (2004:7), bahwa:
Ilmu Estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang
berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang
kita sebut dengan keindahan. Misalnya: Apa itu indah? Apakah yang
menumbuhkan rasa indah itu? Apa yang menyebabkan barang yang
satu dirasakan indah dan yang lainnya tidak? Apa yang menyebabkan
rasa indah yang dirasakan satu orang berlainan dengan yang dirasakan
oleh orang lain? Apakah indah itu terletak pada barang atau benda yang
indah itu sendiri ataukah hanya pada persepsi kita saja?
Ilmu estetika baru bisa berkembang lebih maju setelah terjadi
perkembangan pesat di Eropa pada sekitar abad ke-17 dan ke-18 dalam segala
bidang ilmu pengetahuan (science). Ilmu estetika baru bisa memperoleh manfaat
dari penggunaan hasil-hasil penyelidikan dan perkembangan ilmu yang ada
(Djelantik, 2004: 7). Estetika dikenal memiliki 2 pendekatan, yaitu: (1) Langsung
meneliti dalam objek atau benda-benda atau karya seni serta alam indah. (2)
Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami subjek, yang
kemudian melahirkan pengalaman estetik (Susanto, 2002: 38). Pengalaman estetis
merupakan tanggapan seseorang terhadap benda yang bernilai estetis, yang
menjadi persoalan psikologi. Ciri-cirinya adalah sifat yang tidak mempunyai
tujuan apapun selain pengamatan terhadap benda estetis tersebut (Surajiyo, 2007
:107).
Dalam berkarya seni rupa kaitannya dengan teori keindahan, memiliki
struktur seni yang berpedoman kepada ―elementer kesenirupaan‖ (estetika
elementer) yang terdiri dari: ―Unsur-unsur seni rupa‖ serta ―azas/hukum
penyusunan seni rupa‖ yang berguna untuk menghasilkan sebuah karya seni, baik
dalam penerapan sebuah desain (interior ataupun eksterior) maupun karya seni

Universitas Sumatera Utara

27

murni, yang juga digunakan sebagai analisis formal dalam kajian kritik seni rupa
modern.
Lukisan sebagai karya seni berdasarkan strukturnya terdiri dari dua unsur,
yaitu unsur visual (rupa) dan unsur ide. Unsur visual berupa garis, warna, tekstur,
komposisi, dan unsur-unsur visual lainnya, yang di dalamnya dimasukkan
pertimbangan desain (Feldman dalam Evita, 2009: 28). Aspek ide adalah unsurunsur yang dideskripsikan meliputi unsur intelektual, emosi, simbol, religi, dan
unsur-unsur lainnya yang bersifat subjektif (Meyers dalam Evita, 2009: 28).
Penilaian berdasarkan struktur estetika/unsur-unsur estetika pada suatu karya seni
rupa, pertama sekali mencakup ―wujud‖ dari karya itu sendiri sebagai fakta benda
itu ada. Kedua memuat ―bobot/isi‖ dari wujud, yang dapat dianalisis meliputi
elementer kesenirupaannya beserta makna dan nilai-nilai yang diusungnya. Yang
ketiga adalah kualitas penampilan dan penyajiannya.
Berikut penjelasan dari unsur-unsur di dalam seni rupa: (1) ―Titik‖ adalah
unsur pertama dalam seni rupa yang merupakan awal dari unsur rupa lainnya yang
dikembangkan menjadi lebih kompleks. (2) ―Garis‖ adalah hasil dari beberapa
titik yang dihubungkan memanjang menjadi satu, sesuai dengan arah, sifat dan
ketebalannya. (3) ―Bidang‖ merupakan pertemuan dari berbagai garis yang
bertemu di ujung pangkalnya. Garis yang saling memotong garis lainnya juga
akan membentuk beberapa bidang. (4) ―Bentuk‖ dapat berarti bangun (shape),
atau bentuk plastis (form). Bangun ialah bentuk benda seperti yang terlihat oleh
mata, seperti bulat, persegi, segitiga, ornamental, tak teratur dan lain sebagainya.
(5) ―Tekstur‖ adalah sesuatu yang diupayakan untuk dapat memvisualkan sifat

Universitas Sumatera Utara

28

permukaan bahan yang dapat dirasakan dari suatu benda/bidang (terlihat halus dan
kasar). (6) ―Warna‖ merupakan suatu zat atau medium yang dalam seni rupa dapat
bersifat sebagai pembeda, ciri, tanda dan simbol atau merupakan ekspresi dari si
pembuat atau merupakan refleksi dari objek alam.
Azas/hukum penyusunan seni rupa adalah: (1) ―Kesatuan/keutuhan‖
(unity) menjadikan unsur-unsur seni rupa dari suatu karya seni menjadi suatu
kesatuan yang utuh dan selaras. Tiap-tiap bagian saling mengisi dan tidak ada
yang tampak menonjol.

(2) ―Keseimbangan‖ (balance) terbagi dua, yaitu

keseimbangan formal (simetris) dan keseimbangan non formal (asimetris). Semua
kesenian mempertimbangkan keseimbangan. (3) ―Irama‖ (ritme) merupakan
pengulangan secara teratur dari unsur-unsur pendukung karya seni yang
menimbulkan kesan berirama. (4) ―Keselarasan‖ (harmony), dimaksudkan antara
bagian-bagian atau komponen yang disusun tampak selaras, tidak ada yang saling
bertentangan, semua cocok, serasi dan terpadu. (5) ―Proporsi‖ yaitu perbandingan
ukuran. Mengacu kepada hubungan antara suatu bagian desain/gambar yang
berhubungan dengan keseluruhannya. Contoh: Suatu ruangan yang kecil dan
sempit bila di isi dengan benda yang besar, tidak akan kelihatan baik, tidak
bersifat fungsional dan terkesan dipaksakan. (6) ―Aksentuasi” (center of interest)
merupakan sebuah karya seni yang memiliki cara dengan sebagian yang di ―titik
beratkan‖, bertujuan untuk menarik perhatian mata yang memandang agar karya
seni terlihat menarik.
Selain asas yang populer digunakan dalam penyusunan benda-benda
estetis, De Witt H. Paker memeras ciri-ciri umum dari bentuk estetis menjadi

Universitas Sumatera Utara

29

enam asas, yang dijelaskan oleh Surajiyo (2007: 105-106) juga oleh Bahari (2008:
95-98), sebagai berikut: Asas kesatuan utuh, asas tema, asas variasi menurut tema,
asas keseimbangan, dan asas tata jenjang, yang diharapkan menjadi unsur tentang
logika bentuk estetis. (1) ―Asas kesatuan utuh‖, maksudnya: bagi nilai karya itu,
setiap unsur dianggap perlu dan tidak memuat unsur-unsur yang tidak dianggap
perlu, tergantung pada hubungan timbal balik dari unsur-unsur tersebut, yakni
setiap unsur memerlukan, menanggapi, dan menuntut setiap unsur lainnya. (2) ―
Asas tema‖ yang merupakan kunci bagi penghargaan dan pemahaman orang
terhadap karya seni itu, karena terdapat satu atau beberapa ide induk atau peranan
yang unggul berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna). (3)
―Asas variasi menurut tema‖, tujuannya ialah agar tidak menimbulkan kebosanan
pengungkapan, tema yang harus tetap sama itu perlu dilakukan berbagai variasi,
harus disempurnakan dan diperbagus dengan terus menerus mengumandangkannya. (4) ―Asas Keseimbangan‖ merupakan kesamaan dari unsur-unsur
yang berlawanan atau bertentangan, yang sebenarnya saling memerlukan karena
menciptakan kebulatan. Unsur yang saling berlawanan itu tidak memerlukan
sesuatu yang sama, melainkan yang utama adalah kesamaan dalam nilai, sehingga
terdapatlah keseimbangan secara estetis. (5) ―Asas perkembangan‖ dimaksudkan
oleh Parker, bahwa kesatuan dari proses yang bagian awalnya menentukan bagian
selanjutnya hingga menciptakan suatu makna yang menyeluruh. Misalnya, dalam
sebuah cerita hendaknya terdapat suatu hubungan sebab akibat atau rantai tali
temali yang perlu dengan ciri pokok berupa pertumbuhan (himpunan dari makna
keseluruhan). (6) ―Asas tata jenjang‖, maksudnya, bahwa dalam karya seni yang

Universitas Sumatera Utara

30

rumit, kadang-kadang terdapat satu unsur yang memegang kedudukan penting
yang mendukung secara tegas tema yang bersangkutan dan mempunyai
kepentingan yang jauh lebih besar dari pada unsur-unsur lainnya.
Dijelaskan oleh The Liang Gie dalam Surajiyo (2007: 106) tentang teori
lain yang dikemukakan oleh Monroe Beardsley, bahwa ada tiga ciri yang sifatsifat ―membuat baik (indah)‖ dari benda-benda estetis pada umumnya, yaitu: (1)
―Kesatuan (unity)‖ yang berfokus kepada kesempurnaan bentuk. (2) ―Kerumitan
(kompleksitas)‖ yang kaya akan isi dan unsur yang saling berlawanan serta
mengandung perbedaan-perbedaan yang halus. (3) ―Kesungguhan (intensity)‖
yang mengharapkan bahwa di dalam karya seni harus mempunyai kualitas yang
baik secara insentif dan sungguh-sungguh.
Jadi, setelah mengamati struktur estetika pada karya dengan mengamati
dan menganalisis elementer kesenirupaan yang terpancar dalam karya seni rupa,
kita dapat melihat aspek ideologi spisikoplastis seni rupa apa yang tersirat dalam
karya itu.

1.6.2.2 Teori semiotika dalam seni rupa
Semiotika adalah ―ilmu‖ yang digunakan dalam mengkaji tanda yang ada
dalam kehidupan manusia. Baik digunakan dalam kehidupan berbudaya maupun
sosial bermasyarakat. Tanda-tanda yang dikaji kemudian diberi makna atau
ditangkap maksudnya yang kemudian disepakati bersama oleh pemakainya.
Plato (428-348 SM) adalah perintis awal semiotika yang memeriksa asal
muasal bahasa dalam Catylus. Juga Aristoteles yang mencermati kata benda

Universitas Sumatera Utara