Pengaruh Kebisingan Terhadap Kejadian Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Kebisingan

2.1.1. Definisi
Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan, secara audiologi
bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi, secara fisika
bising didefinisikan sebagai suara yang disebabkan oleh gelombang akustik dengan
intensitas dan frekuensi yang acak (random). Dibidang industri, bising adalah suara
yang tidak diinginkan dan merupakan energi yang terbuang (Fox,1997). Berdasarkan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER13/MEN/X/2011
tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja,
kebisingan adalah semua suara yang tidak di kehendaki yang bersumber dari alat
proses produksi dan/atau alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan
gangguan pendengaran.
2.1.2. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan
Dalam menentukan efek kebisingan terhadap kesehatan maka dibedakan
beberapa zona dimana kebisingan akan memberikan efek pada kesehatan manusia

sesuai dengan lokasi kebisingan, menyebutkan ada 4 zona, yaitu:
a) Zona A, adalah zona bagi tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan
kesehatan atau sosial dan sejenisnya.

Universitas Sumatera Utara

b) Zona B, adalah zona bagi tempat perumahan, tempat pendidikan, rekreasi dan
sejenisnya.
c) Zona C, adalah zona bagi perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar, dan
sejenisnya.
d) Zona D, adalah zona bagi industri, pabrik, setasiun kereta api, terminal bis dan
sejenisnya.
Untuk ke 4 zona tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut
(Mukono, 2011):
Tabel 2.1. Zona Kebisingan

No.
1
2
3

4

Tingkat Kebisingan dB(A)
Maksimum yang
Maksimum yang
dianjurkan
diperbolehkan
35
45
45
55
50
60
60
70

ZONA
Zona A
Zona B
Zona C

Zona D

2.1.3. Teori Bising
Tiga aspek gelombang bising yang perlu diperhatikan untuk terjadinya
gangguan pendengaran, yaitu frekuensi, intensitas, dan waktu.
Frekuensi

bunyi

menentukan

pola nada,

dinyatakan

dalam

berapa

getaran/detik atau siklus/detik, atau gelombang/detik, yang satuannya disebut hertz

(Hz). Artinya bunyi dengan 1 siklus/detik mempunyai frekuensi 1 Hz. Rentang
frekuensi bunyi yang dapat didengar untuk telinga dewasa muda yang sehat berkisar
dari 20-20.000 Hz. Meskipun demikian, porsi rentang frekuensi bunyi yang umum

Universitas Sumatera Utara

diterima manusia hanya berkisar 500-3000 Hz. Gangguan pendengaran yang terjadi
pada area rentang frekuensi ini menjadi sangat penting, karena akan menjadi
hambatan aktivitas sehari–hari seseorang, terutama untuk berkomunikasi dengan
orang lain.
Pada kegiatan sehari–hari di industri, kebanyakan bising yang terbentuk
berasal dari campuran berbagai spektrum frekuensi yang dihasilkan dari bermacammacam sumber suara seperti mesin, kendaraan bermotor, cerobong asap, teriakan
suara manusia dan lain – lain. Untuk jenis bising ini diklasifikasikan sebagai bising
nada lebar (wide band noise). Untuk bising yang berasal dari frekuensi yang hampir
senada disebut bising nada sempit (narrow band noise) seperti yang berasal dari
gergaji sirkular, alat pemotong elektrik, atau peralatan yang berputar lainnya.
Spektrum frekuensi merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat
gangguan suatu bising. Frekuensi bising yang tinggi dan bising nada sempit lebih
mengganggu pendengaran dibandingkan dengan frekuensi bising yang rendah dan
bising nada lebar.

Intensitas bunyi atau amplitudo atau derajat kekerasan bunyi atau sound
pressure level (SPL) adalah besarnya daya atau tinggi gelombang suara, yang
merupakan ukuran derajat intensitas suatu bunyi. Pada frekuensi 1.000 Hz, intensitas
bunyi terlemah yang masih dapat didengar manusia adalah 0,00002 N/m2 sedang
intensitas bunyi terkeras sebesar 20 N/m2. Rentang intensitas bunyi yang dapat
didengar manusia sangat lebar, yaitu 0,00002 – 20 N/m2, biasanya besarnya intensitas
bunyi dipadatkan dalam satuan desibel (dB) (Harrianto, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4. Nilai Ambang Bising
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.
13/MEN/X/2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di
Tempat Kerja.
Tabel 2.2. Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu Pemajanan per hari
8
4
2
1

20
15
7,5
3,75
1,88
0,94
28,12
14,06
7,03
3,52
1,76
0,88
0,44
0,22
0,11

Jam

Menit


Detik

Intensitas Kebisingan dalam dB(A)
85
88
91
94
97
100
103
106
109
112
115
118
121
124
127
130
133

136
139

2.1.5. Jenis Kebisingan
Jenis kebisingan yang sering ditemukan adalah:
a. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus – putus dengan spektrum
frekuensi yang lebar (steady state, wide band noise) misalnya bising mesin, kipas
angin, dapur pijar, dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis (steady state,
narrow band noise), misalnya bising gergaji sirkuler, katup gas.
c. Kebisingan terputus–putus (intermittent noise), misalnya bising lalu lintas, suara
kapal terbang di bandara.
d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising pukulan palu,
tembakan bedil atau meriam, dan ledakan.
e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di perusahaan atau
tempaan tiang pancang bangunan (Suma’mur, 2009).
2.1.6. Sumber Kebisingan

Menurut Dirjen PPM dan PL, DEPKES & KESSOS RI Tahun 2000, sumber
kebisingan dibedakan menjadi :
2.1.6.1. Bising Industri
Industri besar termasuk didalamnya pabrik, bengkel dan sejenisnya. Bising
industri dapat dirasakan oleh karyawan maupun masyarakat disekitar industri(Subaris
dan tearyono, 2008).
Sumber kebisingan di lingkungan industri :
a)

Peralatan pemakai energi pada industri (furnace dan heater).

b) Sistem kontrol benda cair (pompa air dan generator).
c) Proses industri (mesin dan segala sistemnya).
d) Menara pendingin (cooling tower).
e) Cerobong pembakaran(flare stack.)
f) Suara mesin.

Universitas Sumatera Utara

g) Alat/mesin bertekanan tinggi.

h) Pengelolaan material (crane dan fork-lift).
i) Kendaraan bermotor.
j) Pengaturan arsitek bangunan yang tidak memenuhi syarat (Mukono,2011).
2.1.6.2 Bising Rumah Tangga
Umumya disebabkan oleh alat rumah tangga dan tidak terlalu tinggi tingkat
kebisingannya.
2.1.6.3. Bising Spesifik
Bising yang disebabkan oleh kegiatan khusus misalnya pemasangan tiang
pancang tol atau bangunan (Subaris dan Haryono, 2008).
2.1.7. Pengaruh Bising terhadap Kesehatan Tenaga Kerja
Bising menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja, seperti gangguan
fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian.
2.1.7.1. Gangguan Fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apabila terputus–
putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan
darah (±10mmHg), peningkatan nadi, konstriksi pembuluh darah perifer terutama
pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2.1.7.2. Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi,
susah tidur, cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat

menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, stres, kelelahan dan lain–lain.

Universitas Sumatera Utara

2.1.7.3. Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang
menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi
pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan
terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak
mendengar isyarat atau tanda bahaya, gangguan komunikasi ini secara tidak langsung
membahayakan.
2.1.7.4. Gangguan Keseimbangan
Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalandi ruang angkasa
atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing
(vertigo) atau mual.
2.1.7.5. Efek pada Pendengaran
Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena dapat
menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara
dan akan segera pulih kembali bila menghindar dari sumber bising, namun bila terus
menerus bekerja di tempat bising, daya dengar akan hilang secara menetap dan tidak
akan pulih kembali (Roestam,2004).
2.1.8. Pengenalan Bahaya Bising
Dengan diketahuinya tentang jenis dan sifat bising serta pengaruhnya terhadap
kesehatan tenaga kerja, maka hal tersebut sangat bermanfaat untuk mengenal bahaya
bising di tempat kerja yang timbul akibat penerapan teknologi proses prosuksi, agar
tenaga kerja dapat dilindungi dari bahaya bising. Sesungguhnya bahwa bahaya bising

Universitas Sumatera Utara

yang timbul di tempat kerja dapat dikenali dengan cara sederhana ialah dengan
menggunakan reaksi fisiologi atau keluhan subjektif dari tenaga kerja.
Kenyataan bahwa reaksi fisiologi atau keluhan subjektif dari tenaga kerja
merupakan suatu alat yang baik untuk mengenal adanya bahaya bising di tempat
kerja. Tanda atau gejala yang terlihat antara lain :
a)

Bahaya bising ada, apabila tenaga kerja mengalami kesulitan berkomunikasi di
tempat kerja pada jarak 1-1½ m, dengan suara setengah berteriak.

b) Bahaya bising ada, apabila tenaga kerja mengeluh karena timbul tinitus dalam
telinganya pada setiap akhir kerja.
c)

Bahaya bising ada, apabila tenaga kerja mengalami tuli sementara (temporary
threshold shift) yang berkepanjangan.

d) Bahaya bising ada apabila tenaga kerja merasa ada gangguan pendengaran.
e)

Tenaga kerja sulit berkomunikasi
Apabila terjadi tanda atau gejala seperti itu, maka jelas sangat diperlukan

suatu evaluasi terhadap tingkat

intensitas kebisingan di tempat kerja (Soeripto,

2008).
2.1.9. Program Perlindungan terhadap Bahaya Tuli Akibat Kerja
Tempat kerja yang memiliki pajanan bising
≥85dB

(A) selama 8 jam kerja

sehari, diwajibkan melaksanakan program perlindungan terhadap bahaya tuli akibat
kerja bagi para pekerjanya. Terdapat empat langkah program perlindungan terhadap
bahaya tuli akibat kerja (occupational conservation), yaitu :
a) Identifikasi sumber bising ditempat kerja

Universitas Sumatera Utara

b) Upaya mengurangi intensitas bising
c) Melindungi penerima bising dengan alat pelindung diri, bila pajanan bising tidak
dapat dihindarkan
d) Melaksanakan tes pendengaran awal kerja (baseline hearing test) dan
dilanjutkan tes pendengaran periodik, untuk mengevaluasi efektivitas hearing
conservation program.
2.1.10.

Mengidentifikasi Sumber Bising di Tempat Kerja
Survei bising adalah pengukuran derajat kebisingan pada suatu lokasi

tempat kerja. Tata cara pelaksanaan survei bising adalah sebagai berikut :
2.1.10.1. Survei Awal Sumber Bising
Survei awal sumber bising tidak dimaksudkan untuk mengetahui derajat dan
lamanya pajanan bising secara mendalam, tetapi hanya untuk menentukan terjadinya
pajanan bising yang membahayakan di suatu lokasi tempat kerja. Dengan demikian,
survei awal sumber bising perlu dilaksanakan pada lokasi kerja yang diindikasikan
terpajan bising yang membahayakan, misalnya dilokasi kerja yang pekerjanya
mendapat kesukaran berkomunikasi dengan suara yang normal, atau bila terdapat
beberapa pekerja yang menderita kurang pendengaran atau terjadinya tinnitus
beberapa jam setelah pajanan bising.
2.1.10.2. Survei Bising Definitif
Dari hasil survei awal sumber bising dapat ditentukan lokasi tempat kerja
yang memerlukan perhatian khusus. Selanjutnya perlu dilaksanakan survei bising
definitif dengan tujuan :

Universitas Sumatera Utara

a. Memperoleh informasi pasti mengenai besarnya derajat bising di masing–masing
lokasi tempat kerja yang dapat membahayakan pekerja, sehingga diyakini para
pekerjanya membutuhkan alat pelindung diri terhadap pajanan bising.
b. Mengidentifikasi mesin atau peralatan yang menghasilkan derajat kebisingan
tinggi sehingga diyakini para pekerjanya membutuhkan pengukuran derajat
kebisingan dengan instrumen noise dosimeter.
c. Mengidentifikasi para pekerja yang terpajan derajat kebisingan tinggi, sehingga
membutuhkan tes pendengaran.
d. Merencanakan pedoman pengendalian teknik dan/atau pengendalian administratif.
e. Memastikan bahwa peraturan pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja yang
ditetapkan pemerintah telah dilaksanakan dengan baik.
Pelaksaaan survei bising harus menggunakan sound pressure level meter yang
memenuhi standar ANSI SI.4-1971/R.1971 yang diatur pada skala A, respons lambat,
di sekeliling mesin atau peralatan yang diperkirakan menghasilkan derajat kebisingan
tinggi, survei ini dilaksanakan memalui 3 tahap proses berikut :
Langkah 1 (Pengukuran Daerah/Lokasi Kebisingan)
Derajat bising pada titik pusat daerah kebisingan diukur secara reguler untuk
mementukan derajat bising maksimal dan minimal. Makin banyak titik pengukuran
dilaksanakan, hasil pengukuran akan makin akurat. Jika tingkat bising maksimal
kurang dari 80 dB(A), diasumsikan bahwa para pekerja di tempat ini bekerja dalam
kondisi lingkungan kerja dengan derajat bising yang aman. Namun bila tingkat bising
maksimal 80 – 92 dB(A) maka memerlukan informasi yang lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara

Langkah 2 (Pengukuran di Tempat Kerja)
Untuk mengevaluasi para pekerja yang bekerja di daerah kebisingan dengan
derajat bising maksimal 80-92 dB(A), dibutuhkan pengukuran masing-masing
pekerja di tempat/meja kerjanya. Jika derajat bising maksimal tidak pernah kurang
dari 90 dB(A), dapat di indikasikan bahwa pekerja di tempat ini bekerja dalam
kondisi lingkungan kerja dengan derajat bising yang membahayakan. Namun,bila
derajat bising maksimal tidak pernah lebih dari 85 dB(A), kondisi lingkungan masih
dapat dianggap aman.
Langkah 3 (Lama Pajanan)
Bila di tempat kerja dengan tingkat bising maksimal bervariasi di sekitar
angka 85dB(A), dibutuhkan analisis lebih lanjut. Biasanya noise dosimeter digunakan
untuk mengukur jumlah pajanan bising pekerja tersebut sepanjang hari kerja.
Mikrofon noise dosimeter sedekat mungkin dengan telinga pekerja tersebut, yaitu
dengan cara :
a) Meletakkan mikrofon di bahunya, kira–kira 15cm di sebelah lateral telinganya,
pada pekerja yang banyak bergerak dalam bekerja
b) Meletakkan mikrofon di bahunya, sedekat mungkin dari telinganya (kira-kira 0,5
cm) pada pekerja yang menetap di tempat kerja.
2.1.11. Upaya Mengurangi Intensitas Bising dengan Pengendalian Derajat
Bising
2.1.11.1. Pengendalian Administratif
Pengendalian administratif dalam upaya mengurangi intensitas bising :

Universitas Sumatera Utara

a. Dibutuhkan tindakan yang dapat menjamin bahwa setiap individu di lingkungan
kerja memiliki tanggung jawab untuk berkoordinasi dalam menjaga keberhasilan
program perlindungan terhadap bahaya tuli akibat kerja, dengan cara melaporkan
kemajuan dan masalah yang timbul pada pelaksanaan program ini kepada
atasannya.
b. Diperlukan keputusan administratif yang dapat mendukung program perlindungan
terhadap bahaya tuli akibat kerja, misalnya pembelian mesin yang spesifikasinya
sesuai dengan standar yang disyaratkan dan tidak melampaui nilai ambang batas
pajanan pada operator.
c. Untuk mengurangi lama pajanan pada pekerja yang bekerja di tempat dengan
beresiko tinggi terpajan bising perlu dilaksanakan penjadwalan mengenai
lamanya operasi mesin, atau dilaksanakan rotasi pekerja secara reguler.
2.1.11.2. Pengendalian Teknik
Mekanisme pengendalian bising dapat dilaksanakan melalui 3 arah, yaitu
sumber bising, transmisi bising, dan penerima bising. Pengendalian ini dilakukan
dengan cara :
a)

Mengurangi intensitas sumber bising :

a. Memilih mesin dengan teknologi yang lebih maju guna mendapatkan mesin
dengan suara yang lebih halus.
b. Memodifikasi teknologi sumber bising, dengan cara mengubah jenis pendorong
mesin, memasang peralatan yang menghambat distribusi suara, dan menggunakan
pelemah getaran lempeng sumber suara.

Universitas Sumatera Utara

c. Pemeliharaan mesin yaitu memperbaiki, mengganti atau melumasi komponen
mesin yang longgar, roda gigi atau packing yang rusak, sudah tua atau hilang
untuk mengurangi sumber bising penyerta dan menggunakan peralatan pemotong
yang tajam dan bentuknya sesuai dengan kebutuhan.
d. Subsitusi seperti mesin yang kecil dan berkecepatan tinggi diganti dengan mesin
yang lebih besar tapi kecepatannya lebih rendah, mesin dengan ketukan tunggal
yang keras diganti dengan ketukan bertahap tetapi lebih lemah, alat potong
memanjang diganti dengan alat potong rotasi, putaran roda gigi diganti dengan
putaran ban dan proses tempa diganti dengan proses pemadatan, proses
pemadatan mekanik diganti dengan pemadatan hidrolik.
e. Mengurangi intensitas bunyi dari komponen peralatan yang bergetar melalui
mengurangi daya atau kecepatan mesin, isolasi, menambah kekakuan, massa, dan
ukuran komponen peralatan yang bergetar untuk mengurangi frekuensi resonansi,
mengurangi bunyi yang dihasilkan akibat aliran gas dengan menggunakan
saringan gas, mengurangi tekanan dan turbulensi gas, mengganti kipas pendorong
yang kecil dan berkecepatan tinggi dengan yang lebih besar dan berkecepatan
lebih rendah.
b) Menghambat transmisi bising
a. Mengurangi transmisi suara melalui benda padat dengan menggunakan bantalan
yang fleksibel atau yang mempunyai daya pegas.
b. Mengurangi tranmisi bising melalui udara dengan menggunakan bahan peredam
suara pada dinding dan atap ruangan, mengisolasi (mengurung) sumber bising,

Universitas Sumatera Utara

peralatan yang dapat mengatur distribusi suara (buffle), misalnya traktor yang
dilengkapi peredam bising (fully insuled tractor).
c. Mengisolasi operator pada ruangan yang kedap suara.
c)

Alat pelindung diri
Bila pajanan bising tidak dapat dihindari, penerima bising harus menggunakan

alat pelindung diri. Alat pelindung diri cukup efektif untuk mengurangi intensitas
bising yang diterima oleh telinga, yaitu sekitar 10-32 dB(A). Alat pelindung diri
dibedakan atas beberapa jenis, berikut ini :
a.

Penutup kepala (enclosure protector), penutup seluruh kepala, seperti helm yang
dipakai astronot, dapat mengurangi intensitas bising secara maksimal dari
35dB(A) pada frekuensi 350 Hz sampai 50 dB(A) pada frekuensi tinggi. Alat
pelidung diri ini juga dapat mengurangi transmisi aliran bising. Penutup kepala
ini jarang digunakan di sektor industri, karena harganya mahal. Cocok digunakan
oleh tentara untuk melindungi bising dengan intensitas dan frekuensi yang sangat
tinggi, seperti bom dan peluru kendali. Pemakaiannya yang dikombinasikan
dengan alat pelindung diri yang lain (sumbat telinga atau penutup telinga) dapat
mengurangi kembali intensitas bising hingga 10 dB(A).

b.

Sumbat telinga (aural insert protector), sumbat telinga atau earplug dibedakan
atas sumbat telinga sekali pakai yang terbuat dari bahan yang lunak, sehingga
ukuran dapat berubah untuk menyesuaikan bentuk liang telinga. Agar tidak
menyebabkan timbulnya infeksi, bahannya harus berongga untuk tidak menyerap
udara dan uap air. Selain itu, semua jenis ini juga harus dibuat dari bahan yang

Universitas Sumatera Utara

tidak menimbulkan reaksi alergi dan sumbat telinga yang dipakai berulang yang
terbuat dari bahan karet silikon lunak agar dapatdisterilisasi dengan alkohol atau
dengan pemanasan. Karena ukurannya tetap, maka harus tersedia dalam berbagai
ukuran, sumbat telinga ketat terbuat dari bahan yang seperti karet, difiksasi
dengan pita penutup yang dilekatkan dengan ketat untuk menambah daya
pengurangan intensitas bising.
c.

Penutup telinga (circum aural protector)
Biasanya disebut earmuff, yang terdiri dari 2 buah mangkok yang

dihubungkan dengan tangkai penghubung untuk menempel dengan ketat pada telinga
pemakai. Bantalan mangkok penutup harus diganti secara teratur setiap 3–6 bulan
sekali untuk menjamin penutupan telinga tetap ketat dan nyaman.
Pemilihan masing–masing jenis alat pelindung diri tergantung dari
karakteristik bising yang dihasilkan, dengan mempertimbangkan faktor–faktor
kemudahan, cara pemakaian, dan efektivitas pengurangan intensitas bising. Lebih
praktis untuk pajanan bising yang mengalir terus menerus.
Sedangkan penutup telinga lebih efektif untuk pajanan bising dengan frekunsi
tinggi, dan lebih praktis digunakan pada aliran bising yang terputus–putus, karena
lebih muda dibuka. Bila pajanan bisinglebih dari 110 dB(A), perlu digunakan
kombinasi alat pelindung diri terhadap bising, biasanya sumbat telinga dan penutup
telinga untuk menjamin proteksi yang lebih memadai.

Universitas Sumatera Utara

2.1.11.3. Tes Pendengaran
1.

Tes pendengaran awal
Tes audiometri awal dilaksanakanpada semua pekerja dalam 6 bulan pertama
pajanan bising. Gambaran audiogram pekerja harus sudah diperoleh paling
sedikit 14 jam sebelum terpajan bising terus menerus.

2.

Tes pendengaran periodik
Pada pekerja yang bekerja di lingkungan dengan bising
≥85

dB(A), harus

dilaksnakan tes audiometri berkala setiap tahun sekali.
2.1.11.4. Pelatihan
Pada pekerja yang bekerja di lingkungan dengan bising ≥85 dB(A), perlu
dilaksanakan pelatihan tentang masalah yang timbul akibat bising, tujuan tes
audiometri, keuntungan dan kerugian, serta tata cara pengguanan alat pelindung diri
yang benar (Harrianto, 2010).
2.1.11.5. Strategi untuk Mencegah Tuli Akibat Bising
a. Strategi perlindungan individu
Konservasi pendengaran dimulai masing–masing individu sebagai hal yang
mendasar. NIHL sangat berbahaya, permanen dan tidak dapat diperbaiki,
menyebabkan interferensi komunikasi yang secara substansial dan mempengaruhi
kualitas hidup. Bunyi berdengung dalam telinga setelah paparan bunyi adalah
indikator dari bunyi yang membahayakan. Paparan bunyi yang membahayakan dapat
menimbulkan kerusakan serius tanpa rasa sakit, dan alat bantu pendengaran tidak
membantu dalam menormalkan pendengaran. Individu harus berhati-hati dalam

Universitas Sumatera Utara

situasi bunyi yang keras dan menghindarkannya bila mungkin atau menggunakan
tutup telinga. Sangat penting untuk menyadari bahwa tingkat kebisingan dan lamanya
(paparan) memiliki kontribusi dalam menimbulkan resiko. Bunyi tertentu, seperti
ledakan dapat menyebabkan kerusakan permanen yang cepat.
b. Strategi Non Okupasional
Ketulian akibat bising berasal dari bukan lingkungan pekerjaan cukup sering
terjadi, tapi umumnya sedikit yang menyadarinya. Program pendidikan dengan
sasaran anak–anak, orang tua, grup hobby dan jabatan profesional seperti guru,
dokter, audiologist, insinyur, arsitek dan ahi hukum. Konsumen membutuhkan
panduan dan label peringatan produk untuk membantu mereka dalam memilih
peralatan yang lebih melindungi dan dalam mengimplementasikan strategi untuk
mengurangi paparan. Masyarakat harus diberitahukan tentang efektivitas dari alat
perlindungan pendengaran (sumbat telinga, tutup telinga dan canal caps). Produsen
alat tersebut harus memberikan petunjuk yang menyeluruh tentang cara penggunaan
protektor.
c. Strategi okupasional
Program konservasi pendengaran untuk lingkungan pekerjaan harus meliputi
komponen berikut: survei bunyi untuk menilai tingkat gangguan paparan bunyi,
teknik dan pengelolaan bunyi untuk mengurangi intensitas, pendidikan untuk orang –
orang beresiko tentang mengapa dan bagaimana mencegah ketulian, alat – alat
perlindungan pendengaran (tutup telinga, sumbat telinga dan canal caps). Untuk
mengurangi bunyi yang sampai ke telinga, dan evaluasi audiometri untuk mendeteksi

Universitas Sumatera Utara

perubahan pendengaran. Peraturan pemerintah yang diterapkan pada industri–industri
yang menimbulkan kebisingan harus direvisi agar meliputi semua industri dan semua
karyawan, diawasi secara ketat dan sanksi yang berat bagi yang melanggarnya.
Program konservasi pendengaran yang dilakukan sering tidak efektif karena
organisasi yang buruk dan pelatihan staf yang tidak adekuat. Pimpinan perusahaan
harus dapat mengontrol kebisingan yang ada, menggunakan peralatan yang lebih
senyap dan mengarahkan kepada pengurangan kebisingan pada perencanaan
peralatan baru.
Paparan bunyi harus diukur secara akurat dan tingkat gangguan yang
ditimbulkan pada pekerja. Alat perlindungan pendengaran yang digunakan harus
nyaman, praktis untuk pekerjaan, memberikan proteksi yang adekuat. Pekerja perlu
memonitor efektivitas program dengan menggunakan teknik yang sesuai untuk
menganalisa data audiometri. Dengan mendeteksi daerah yang bermasalah, manager
dapat memprioritaskan alokasi sumber dana dan memodifikasi kebijakan perusahaan
untuk meningkatkan efektivitas, mengurangi biaya kompensasi pekerja, mengurangi
absen, memperkecil kecelakaan dan meningkatkan produktivitas.
d. Strategi umum
Baik NIHL akibat pekerjaan maupun bukan akibat pekerjaan dapat dikurangi
dengan mengimplementasikan tindakan pencegahan. Pemberian label terhadap
produk yang menimbulkan kebisingan sesuai dengan peraturan. Pemberian
penghargaan terhadap pabrik yang mendesain peralatan industri yang rendah bising

Universitas Sumatera Utara

dan produk yang dihasilkan sesuai dengan peraturan tentang tingkat emisi maksimal
dari hasil produksi, seperti peralatan pertukangan (Gunawanta, 2002).

2.2. Anatomi Telinga
Telinga secara anatomi terbagi atas tiga bagian yaitu telinga luar yang terdiri
dari daun telinga, liang telinga dan sisi luar membran timpani. Kemudian telinga
tengah berbentuk ruang dengan enam dinding yang berisikan rangkaian tulang-tulang
pendengaran dan assesorisnya serta bagian telinga dalam yang terdiri dari organ
keseimbangan atau vestibuler dan organ pendengaran atau koklea yang berlanjut ke
susunan saraf pusat melalui serabut saraf penghantar informasi yang diterima oleh
organ secara keseluruhan setelah melalui proses yang diperlukan.
Daun telinga dibentuk oleh tulang rawan dan otot, kemudian berlanjut ke arah
liang telinga yang terdiri dari lapisan tulang rawan berbentuk corong yang menutupi
hampir sepertiga lateral, berisi kelenjar serumen dan folikel rambut, sedangkan dua
pertiga liang telinga lainnya dibentuk oleh tulang yang ditutupi oleh kulit yang
melekat erat dengan membran timpani.
Organ konduksi atau penghantar energi gelombang bunyi yang terletak di
dalam ruang telinga tengah terdiri atas membran timpani. Rangkaian tulang
pendengaran, ligamentum dan otot penunjang, tingkap oval dan tingkap bundar.
Adapun fungsi telinga tengah adalah meneruskan energi akustik yang berasal dari
telinga luar masuk ke dalam sistem telinga dalam atau koklea yang berisi cairan
limfe. Dalam perjalanannya, energi gelombang bunyi mengalami proses penguatan

Universitas Sumatera Utara

atau amplifikasi sebelum memasuki ruang telinga dalam. Organ telinga dalam atau
koklea yang biasa disebut dengan rumah siput membentuk tabung ulir yang
dilindungi oleh tulang dengan panjang sekitar 35 mm dan terbagi atas skala vestibuli,
skala media dan skala timpani.
Di dalam ruang telinga dalam terdapat beberapa komponen penting terutama
organ corti yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar, sel-sel penunjang
Deiters, Hensen’s, Claudius’s, membran tektoria dan lamina retikularis. Sel rambut
dalam dan sel rambut luar berperan dalam mengubah hantaran bunyi yang berbentuk
energi mekanik/akustik atau getar gelombang bunyi yang diteruskan dari telinga
tengah yang disampaikan melalui aktifitas kaki tulang stapes dalam bentuk gerakan
seperti piston pada permukaan tingkap lonjong menjadi energi listrik.
Setelah energi mekanik gelombang bunyi mengalami proses sampai dengan
berubah menjadi energi listrik maka energi tersebut akan diteruskan oleh sistem organ
tepi tersebut menuju ke sistem yang lebih dalam melalui serabut saraf menuju pusat
pendengaran di otak.
Pendarahan pada sistem organ ini diperoleh dari percabangan arteri vertebralis
setelah masuk ke tengkorak melalui foramen magnum, arteri vertebralis kanan dan
kiri bertemu di pertengahan klivus membentuk sepasang arteri basilaris. Salah satu
cabang arteri basilaris adalah arteri serebralis anterior dan inferior yang kemudian
bercabang lagi menjadi arteri auditiva interna yang memperdarahi organ kokleo–
vestibuler. Sedangkan pensarafannya didukung oleh saraf auditorius yang mendapat

Universitas Sumatera Utara

informasi dari sel rambut pada koklea akan berlanjut ke nukleus auditorius sampai ke
korteks pendengaran (Bramantyo dkk, 2008).

2.3.

Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkain tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut, sehingga melepaskan neutrotransmiter kedalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus
auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soetirto
dkk, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.4.

Pengertian Gangguan Pendengaran dan Ketulian
Menurut WHO pengertian gangguan pendengaran dan ketulian dibedakan

berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
1) Gangguan Pendengaran : berkurangnya kemampuan mendengar baik sebagian
atau seluruhnya, pada salah satu atau kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih
berat dengan ambang pendengaran rata-rata lebih dari 26 dB(A) pada frekuensi
500, 1000, 2000 dan 4000 Hz (Modul, 2008).
2) Ketulian : hilangnya kemampuan mendengar pada salah satu atau kedua sisi
telinga, merupakan gangguan pendengaran sangat berat dengan ambang
pendengaran rata–rata lebih dari 81 dB(A) pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan
4000Hz.
Gangguan pendengaran atau tuli adalah penurunan fungsi pendengaran. Ada
tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran : tuli
konduksi, tuli sensorineural dan gabungan keduanya atau tuli campuran. Penyebab
gangguan pendengaran berdasarkan jenis ketulian atau lokasi adalah
a. Tuli konduksi adalah akibat kelainan telinga luar dan atau tengah dengan telinga
dalam normal seperti liang telinga, membran timpani, kavum timpani, radang,
trauma telinga dan oklusio tuba.
b.

Tuli sensorineural timbul sekunder dari kelainan koklearis saraf kedelapan
(Nervus akustikus) atau saluran auditori sentral dengan telinga luar dan tengah
normal seperti presbikusis, kelainan kongenital, waktu ibu hamil menderita
morbili, parotitis, kelainan darah atau pembuluh darah : anemia, leukemia,

Universitas Sumatera Utara

hipertensi, avitaminosis B1, intoksikasi obat: Steptomisin, Kina, Garamisin,
infeksi.
c. Tuli campuran atau kombinasi meliputi gangguan pendengaran pada kedua
mekanisme konduksi dan sensorineural seperti otitis media kronika stadium
lanjut, dimana telah terjadi komplikasi ke labirin, otosklerosis stadium lanjut,
dimana telah terjadi penjalaran pembentukan tulang pada labirin, trauma kapitis,
dimana telah terjadi ruptur membran timpani dan putusnya rantai osikel,
hematotimpani atau fraktur os temporal yang merusak koklea, trauma akustik,
dimana disamping merusak membran timpani dan rantai osikel juga bunyi yang
sangat keras dapat merusak organ Corti (Hetaharia danMulyani, 2011).
2.4.2. Cara Pemeriksaan Pendengaran
2.4.2.1. Audiometri Nada Murni
Pemeriksaan dilakukan menggunakan audiometer dan hasil pencatatannya
disebut audiogram. Dapat dilakukan pada anak berusia lebih dari 4 tahun yang
koperatif. Sumber suara digunakan nada murni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya
terdiri dari 1 frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara, dengan
menilai hantaran suara melalui udara (air conduction) melaui headphone pada
frekuensi 125, 250, 5000, 1000, 2000, 4000, dan 8000Hz. Hantaran suara melalui
tulang (bone conduction) diperiksa dengan memasang bone vibrator pada prosesus
mastoid yang dilakukan pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Intensitas yang
biasa digunakan antara 10-100dB(A) (masing–masing dengan kelipatan 10), secara
bergantian pada kedua telinga. Suara dengan intensitas terendah yang dapat didengar

Universitas Sumatera Utara

dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat
ketulian.
Notasi pada audiogram dipakai grafik AC (air conduction), yaitu dibuat
dengan garis lurus penuh (Intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik
BC (bone conduction) yaitu dibuat dengan garis terputus–putus (intensitas yang
diperiksa : 250-4000 Hz).
Untuk telinga kiri dipakai warna biru, sedangkan untuk telinga kanan, warna
merah. Dari hasil pemeriksaan audiogram disebut ada gap apabila antara AC dan BC
terdapat perbedaan lebih atau sama dengan 10 dB(A), minimal pada 2 frekuensi yang
berdekatan. Pada pemeriksaan audiometri, kadang–kadang perlu diberi masking.
Suara masking, diberikan berupa suara seperti angin (bising), pada head phone telinga
yang tidak diperiksa supaya telinga yang tidak diperiksa tidak dapat mendengar bunyi
yang diberikan pada telinga yang diperiksa.
Pemeriksaan dengan masking dilakukan apabila telinga yang diperiksa
mempunyai pendengaran yang mencolok bedanya dari telinga yang satu lagi. Oleh
karena AC pada 45 dB(A) atau lebih dapat diteruskan melalui tengkorak ke telinga
kontralateral, maka pada telinga kontralateral (yang tidak diperiksa) diberi bising
supaya tidak dapat mendengar bunyi yang diberikan pada telinga yang diperiksa. Dari
audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli. Jenis ketulian, tuli
konduktif, tuli sensorineural atau tuli campur. Derajat ketulian dihitung dengan
menggunakan indeks Fletcher yaitu :
Ambang Dengar (AD) =

Universitas Sumatera Utara

Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000Hz berperan penting untuk
pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian dihitung
dengan menambahkan ambang dengar 4000Hz dengan ketiga ambang dengar di atas,
kemudian dibagi 4.
Ambang Dengar (AD) =

Dapat dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) atau hantaran tulang
(BC). Pendengaran normal: AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB(A), AC dan BC
berhimpit, tidak ada gap. Tuli sensorineural : AC dan BC lebih dari 25 dB(A), AC
dan BC berhimpit tidak ada gap. Tuli konduktif: BC normal atau kurang dari
25dB(A) AC, lebih dari 25dB(A), antara AC dan BC terdapat gap. Tuli campur : BC
lebih dari 25 dB(A), AC lebih besar dari BC terdapat gap.
Dari hasil pemeriksaan audiogram disebut ada gap apabila antara AC dan BC
terdapat perbedaan lebih atau sama dengan 10dB(A), minimal pada 2 frekuensi yang
berdekatan.Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar
hantaran udaranya (AC) saja.
Derajat ketulian (ISO 1964) :
0 – 25 dB

: normal

>25 – 40 dB : tuli ringan

Universitas Sumatera Utara

>40- 55 dB : tuli sedang
>55- 70 dB : tuli sedang berat
>70 - 90 dB : tuli berat
> 90 dB

: tuli sangat berat (Soetirto dkk, 2010)

Tes Audiometri
Tes
pemeriksaan

pendengaran
yang

dengan manual

paling

penting

untuk

pure–tone audiometer
mendeteksi

terjadinya

merupakan
gangguan

pendengaran. Untuk menghasilkan tes audiometri yang optimal dibutuhkan ruang
kedap suara yang memadai, peralatan audiometer yang sudah dikalibrasi dan operator
yang terlatih. Manual pure-tone audiometer merupakan peralatan yang memiliki
kemampuan pengendalian frekuensi dan intensitas suara dari nada–nada murni yang
diaplikasikan pada individu yang diperiksa. Rentang frekuensi biasanya berkisar
antara 125 atau 250–8000 Hz dan dibagi dalam beberapa interval yang jelas.
Intensitas suara dapat digambarkan sebagai variable dengan interval 5 atau 10 dB(A).
Intensitas suara minimum yang terdengar oleh kedua telinga seorang dewasa muda
yang sehat pada beberapa frekuensi yang berbeda, dinyatakan sebagai titik 0 (nol),
dan digambarkan sebagai sebuah garis lurus, untuk menyatakan referensi nilai
ambang batas titik nol dari potensi pendengaran manusia.
Individu yang akan di tes dengan mata tertutup di haruskan mengangkat
tangannya, atau menekan sebuah tombol sebagai tanda bahwa yang bersangkutan
mendengar bunyi nada yang ditest. Operator duduk pada jarak 2 kaki dan
menggerakkan tombol yang menghasilkan bunyi dengan beberapa derajat frekuensi

Universitas Sumatera Utara

untuk menentukan potensi pendengaran individu yang diperiksa. Selama proses
pengetesan, telinga yang tidak dites harus ditutup, biasanya dengan menekan tragus
untuk menutup liang telinga luar. Operator melakukan tes pendengaran dari berbagai
frekuensi untuk mencatat intensitas suara minimum yang dapat didengar individu
yang diperiksa. Perbedaan beberapa desibel dari titik nol dengan nilai yang dapat
didengar, dilaporkan sebagai derajat potensi pendengaran individu yang diperiksa,
yang berarti sebagai derajat penurunan potensi pendengaran dari masing–masing
frekuensi yang diperiksa.
Dengan alat ini, gangguan pendengaran akibat bising sudah dapat
diindikasikan sejak dini sebelum menimbulkan gejala gangguan berkomunikasi,
dengan karakteristik gambaran audiogram yaitu, terjadinya penurunan tajam
gambaran audiogram pada frekuensi 4000 Hz. Pada kasus yang lebih berat, gambaran
penurunan di titik tersebut menjadi lebih tajam dan lebih lebar, dan biasanya bilateral.
Penurunan potensi pendengaran pada frekuensi tinggi jarang melampaui 75 dB(A),
sedangkan pada frekuensi rendah jarang melampaui 40 dB(A) (Harrianto, 2010).
2.5. Ketulian Akibat Bising
Tuli akibat bising (noise induced hearing loss) ialah kurang pendengaran yang
timbul akibat terpajan bising yang cukup keras 85 dB(A) atau lebih dalam jangka
waktu yang cukup lama, biasanya disebabkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat
ketuliannya adalah tuli saraf koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga
(Soetirto, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Bising yang berintensitas 85 dB(A) atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan
pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam. Yang sering mengalamikerusakan
adalah alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi antara 3000 Hz sampai
dengan 6000 Hz dan yang terberat kerusakan alat corti untuk reseptor bunyi yang
berfrekuensi 4000 Hz. Beberapa teori menjelaskan terjadinya takik pada frekuensi
4000 Hz sebagai berikut : 1) membran basilaris di daerah belokan pertama, yaitu
kira–kira 10mm dari oval window vaskularisasinya sangat kurang sehingga sangat
rentan; 2) membran basilaris pada tempat tersebut kaku dan tegang sehingga mudah
rusak; 3) perubahan amplitudo dan kecepatan gelombang suara mulai terbentuk pada
daerah 4000 Hz (Susilawati dkk, 2010).
2.5.1. Gejala
Kurang pendengaran disertai tinitus (berdengung di telinga) atau tidak. Bila
sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan
biasa dan bila sudah lebih berat percakapan yang keraspun sukar dimengerti. Secara
klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi,
peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) menetap
(permanent threshold shift) (Bashiruddin dan Soetirto, 2010).
Stadium dini dari tuli akibat paparan bising ditandai dengan kurva ambang
pendengaran yang curam pada frekuensi di antara 3000 dan 6000 Hz, biasanya
pertama kali timbul pada nada 4000 Hz. Pada fase dini pekerja mungkin hanya
mengeluh tinitus, suara yang teredam, rasa tidak nyaman ditelinga, atau penurunan
pendengaran yang temporer, yang terasa pada waktu bekerja atau pada waktu akan

Universitas Sumatera Utara

meningggalkan tempat kerja, tetapi kemudian pendengaran terang lagi setelah
beberapa jam jauh dari lingkugan bising. Nyeri dan vertigo jarang ditemukan. Selama
paparan bising berlangsung, ketulian menyebar kedua arah tetapi hanya ada sedikit
efek pada pendengaran. Gangguan pendengaran biasanya tidak disadari sampai
ambang pendengaran bunyi nada percakapan 500, 1000, 2000, dan 3000 Hz rata–rata
lebih dari 25 dB(A). Ketulian berat dapat timbul pada frekuensi 3000-8000 Hz,
mungkin menyebabkan keluhan subjektif sedikit saja mengenai perubahan
pendengaran. Awal dan perkembangan tuli saraf akibat NIHL lambat dan tidak jelas,
dan pekerja mungkin tidak sadar akan gangguan pendengarannya atau tidak peduli.
Ketulian selalu tipe sensorineural dan serupa kualitas dan kuantitasnya pada kedua
telinga. Secara otoskopik gendang telinga tampak normal (Fox, 1997).
2.5.2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan
fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang pendengaran seperti audiometri.
Anamnesis pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka
waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih. Pada pemeriksaan otoskopik
tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan hasil
Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan
Schwabach memendek. Kesan jenis ketuliannya tuli sensorineural. Pemeriksaan
audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000–6000
Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik
untuk jenis ketulian ini. Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (short increment

Universitas Sumatera Utara

sensitivity index), ABLB (alternate binaural loudness balance), MLB (monoaural
loudness balance), audiometri Bekesy, audiometri tutur (speech audiometry), hasil
menunjukkan adanya fenomena rekrutmen (recrutiment) yang patognomonik untuk
tuli sensorineural koklea.
Rekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli sensorineural koklea, dimana
telinga yang tuli menjadi lebih sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil
pada frekuensi tertentu setelah terlampaui ambang dengarnya (Bashiruddin dan
Soetirto, 2010).
2.5.3. Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya
dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat
pelindung telinga yaitu berupa sumbat telinga (ear plugs), tutup telinga (ear muffs)
dan pelindung kepala (helmet). Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea
yang

bersifat

menetap

(irreversible),

bila

gangguan

pendengaran

sudah

mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat
dicoba pemasangan alat bantu dengar (ABD). Apabila pendengarannya telah
sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomuikasi
dengan adekuat, perlu dilakukan psikoterapi supaya pasien dapat menerima
keadaannya. Latihan pendengaran (audiotory training) juga dapat dilakukan agar
pasien dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu
dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan serta
bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi (Rambe, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.5.4. Prognosis
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang
sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun
pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu yang terpenting adalah
pencegahan terjadinya ketulian (Rambe, 2003).

2.6.

Landasan Teori
Ketulian akibat bising didefenisikan secara umum sebagai gangguan

pendengaran yang berkembang secara perlahan dalam periode waktu yang lama
(beberapa tahun) akibat terpapar bising secara terputus–putus atau menetap berulang.
Ketulian akibat bising memberikan gambaran tuli sensorineural, bilateral yang
disertai takik pathognomonic pada frekuensi 4000 Hz pada audiogram (Seidman dan
Standaring, 2010).
Paparan bising yang menetap berulang lebih dari 85dB(A) selama 8 jam
terbukti menyebabkan NIHL (Seidman dan Standring, 2010). Apabila telinga normal
terpapar bising pada intensitas yang merusak selama periode waktu yang cukup lama,
akan terjadi penurunan pendengaran yang temporer, yang akan menghilang setelah
beristirahat beberapa menit atau beberapa jam. Kurang pendengaran temporer ini
merupakan fenomena yang fisiologis dan disebut sebagai perubahan ambang
temporer (temporary threshold shif/ TTS). Diduga terjadi di sel rambut organ corti
dan mungkin berhubungan dengan perubahan metabolik disel rambut, perubahan
kimia di dalam cairan telinga dalam atau perubahan vaskuler di telinga dalam. Bila

Universitas Sumatera Utara

pemaparannya lebih lama dan atau intensitasnya lebih besar, akan tercapai suatu
tingkat ketulian yang tidak dapat kembali lagi ketingkat pendengaran semula.
Keadaan tersebut disebut ketulian akibat bising (noise induced hearing loss) atau
perubahan ambang permanen (permanent threshold shift/PTS).Bila dilakukan
pemeriksaan audiogram, harus dipastikan bahwa tiap karyawan tertentu tidak terpapar
oleh bising sekurang–kurangnya selama 12-14 jam (Fox, 1997).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat dan beratnya ketulian yang
didapatkan pada kasus-kasus ketulian akibat kerja yaitu (1) intensitas atau kerasnya
bunyi (sound pressure level), (2) tipe bising (spektrum frekuensi), (3) periode
pemaparan perhari (duty cycle perday), (4) lamanya masa kerja, (5) kerentanan
individual, (6) umur pekerja, (7) penyakit telinga yang menyertai, (8) sifat lingkungan
tempat bising dihasilkan, (9) jarak dari sumber bunyi, dan (10) posisi tiap telinga
terhadap gelombang suara. Empat yang pertama merupakan faktor–faktor terpenting
dalam pemaparan bising (Fox, 1997).
Gangguan pendengaran umumnya terjadi setelah pajanan bising lebih dari 5
tahun, progresivitas berkurang bila pajanan bising dihentikan, dan menjadi permanen
bila terpajan terus menerus selama lebih dari 10 tahun. Hal ini bergantung pada
lamanya pajanan pada tiap tahapan tugas per hari kerja dan umur pada masa masing–
masing aktivitas kerja. Walaupun tanpa pajanan bising, gangguan pendengaran
bertambah sesuai dengan bertambahnya umur (presbikusis). Oleh karena itu, selain
beratnya gangguan pendengaran akibat bertambahnya umur, juga yang diakibatkan
pajanan bising di tempat kerja, harus dipertimbangkan (Harrianto, 2010). Presbikusis

Universitas Sumatera Utara

adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi mulai dari frekuensi 1000 Hz, umumnya
terjadi mulai usia 65 tahun, simetris pada telinga kiri dan kanan (Suwento dan
Hendarmin, 2010).

2.7. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori maka dapat dirumuskan kerangka konsep
penelitian sebagai berikut :
Variabel Independen

Pekerja Terpapar Bising
1 Intensitas kebisingan
2 Frekuensi kebisingan
3 Periode pemaparan perhari
4. Masa Kerja
5. Penggunaan APD

Variabel Dependen

(X1)
(X2)
(X3)
(X4)
(X5)

Ketulian Akibat
Bising
(Y)

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN PAPARAN BISING TERHADAP KEJADIAN NOISE INDUCED HEARING LOSS PADA MUSISI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 17

Pengaruh Kebisingan Terhadap Kejadian Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

0 0 18

Pengaruh Kebisingan Terhadap Kejadian Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

0 0 2

Pengaruh Kebisingan Terhadap Kejadian Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

0 0 7

Pengaruh Kebisingan Terhadap Kejadian Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia Chapter III VI

0 0 34

Pengaruh Kebisingan Terhadap Kejadian Ketulian Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Pada Pekerja Bengkel (Workshop) Balai Yasa Pulubrayan Sumatera Utara PT. Kereta Api Indonesia

0 0 2

pak pertemuan 1 nihl

0 0 88

SKRIPSI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NOISE INDUCED HEARING LOSS DAN TINITUS PADA PEKERJA BENGKEL MESIN TERPAPAR BISING DI PT DOK DAN PERKAPALAN SURABAYA

0 0 16

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NOISE INDUCED HEARING LOSS DAN TINITUS PADA PEKERJA BENGKEL MESIN TERPAPAR BISING DI PT DOK DAN PERKAPALAN SURABAYA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 42

SKRIPSI HUBUNGAN DURASI TERPAPAR BISING DENGAN KEJADIAN NOISE INDUCED HEARING LOSS PADA PEKERJA PABRIK SPEAKER X DI PASURUAN

0 0 22