Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Di Berbagai Tipe Lahan

TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi Tanaman Jagung
Jagung merupakan salah satu komoditas strategis dan bernilai ekonomis, serta
mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama
karbohidrat dan protein setelah padi, disamping itu jagung berperan sebagai pakan ternak bahan
baku industri dan rumah tangga (Rukmana, 1997).
Jagung adalah tanaman herba monokotil dan tanaman semusim. Tanaman ini berumah
satu (monoceus) dengan bunga jantan tumbuh sebagai perbungaan ujung (tassel) pada batang
utama (poros atau tangkai) dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai perbungaan samping
(tongkol) yang berkembang pada ketiak daun (Gambar 1). Tanaman ini menghasilkan satu atau
beberapa tongkol (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Gambar 1 : Jagung
Sumber : Foto Langsung

Jagung dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0 - 1300 m dpl dan dapat hidup baik
di daerah yang beriklim panas atau dingin. Temperatur sekitar 230-270C dan pH sekitar 3,5-7,0.

Universitas Sumatera Utara


perkecambahan benih optimum terjadi pada suhu tanah lebih rendah dari 100C. Setelah kisaran
suhu 100 hingga 400C, tetapi terbaik pada suhu antara 210C dan 30 0C. Suhu rendah kurang
berpengaruh terhadap fase bibit, setelah itu suhu harus lebih tinggi untuk pertumbuhan yang
baik. Suhu rendah sangat menghambat pertumbuhan, khususnya setelah mulai tumbuh bunga
jantan (Departemen Pertanian, 2005).
Hama penting pada tanaman jagung adalah lalat bibit (Atherigona exiqua Stein) , ulat
tanah (Agrotis sp), ulat tongkol ( Helicoverpa armigera Hubn), Penggerek batang ungu dan
merah jambu, penggerek batang berbintik - bintik serta hama bubuk (Sitophilus sp.)
( Rukmana, 1997).
Ekologi Tanaman Kacang panjang
Di Indonesia, budidaya kacang panjang bisa dilakukan sepanjang musim. Namun
kebiasaan petani menanamnya di awal musim hujan, terkecuali untuk tanah sawah, petani
biasanya menanam di musim kemarau. Kacang panjang menyukai tipe tanah gembur yang
terkena langsung sinar matahari dengan drainase yang baik. Kandungan hara yang berlebih
membuat tanaman tumbuh subur, hanya produksi bijinya minim. Sedangkan di tanah yang unsur
haranya lebih rendah, daun tanaman tidak begitu subur namun produksi bijinya bisa lebih baik
(Monsanto, 2013).
Tanaman kacang panjang merupakan tanaman perdu semusim. Tanaman ini berbentuk
perdu yang tumbuhnya menjalar atau merambat (Gambar 2). Daunnya berupa daun majemuk,
terdiri dari tiga helai. Batangnya liat dan sedikit berbulu. Akarnya mempunyai bintil yang dapat

mengikat nitrogen (N) bebas dari udara. Hal ini dapat menyuburkan tanah (Supriyadi, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2 : Kacang panjang
Sumber : Foto Langsung
Tanaman kacang panjang merupakan tanaman semusim yang berbentuk perdu. Tanaman
ini bersifat memanjat dan membelit. Daunnya bersusun tiga- tiga helai. Batangnya panjang, liat,
dan sedikit berbulu (Sunarjono, 2003).
Pertumbuhan kacang panjang yang terserang kutu daun akan terhambat dan pada tingkat
serangan lebih lanjut terutama pada fase pembungaan atau pembuahan bisa menyebabkan
penurunan hasil. Kutu daun sering menjadi vector bagi virus yang membahayakan tanaman.
Pengendaliannya dengan cara melakukan pergiliran tanaman atau dengan menyemprotkan
insektisida untuk mengendalikan kutu daun (Endah dan Novizan, 2003).
Budidaya kacang panjang bisa dilakukan di kisaran iklim yang luas. Pada umumnya
kemampuan adaptasi kacang panjang terhadap iklim sama dengan jagung. Hanya saja, tanaman
ini membutuhkan panas yang lebih banyak. Budidaya kacang panjang dapat dilakukan di dataran
tinggi hingga 800 meter dpl, maupun rendah. Suhu optimum pertumbuhannya ada di rentang 1524oC dengan curah hujan 600-1500 mm per tahun. Sedangkan suhu maksimum yang bisa dicapai
adalah 35oC dan suhu minimum 10oC (Supriyadi, 2010).


Universitas Sumatera Utara

Jenis hama lain adalah ulat grayak (Spodoptera litura F.) adalah ulat grayak
menyerang tanaman dengan cara

bergerombol memakan daun dan polong sehingga

menyebabkan daun berlubang – lubang dengan ukuran tidak teratur dan rusak. Serangan akan
meningkat pada musim kemarau dan penggerek polong

(Maruca testulatis Gey.) adalah

penggerek polong ini menyerang tanaman dengan cara merusak bunga yang sedang membuka,
kemudian memakan bunga atau polong daun pucuk tanaman (Tjitrosoepomo, 2007).
Ekologi Tanaman Padi
Padi adalah merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini
merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Meskipun sebagai bahan
pokok padi dapat digantikan oleh substitusi oleh bahan makanan lainnya, namun padi memiliki
nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat mudah digantikan oleh bahan
makanan lainnya


( Monsanto, 2013).

Hama dan penyakit pada tanaman padi sangat beragam, disamping faktor lingkungan
(curah hujan, suhu, dan musim) yang sangat mempengaruhi terhadap produksi padi. Belum lagi
mahalnya bibit, biaya produksi, pengangkutan dan harga jual yang rendah sehingga petani jarang
dapat meningkat kehidupan dan kesejahteraan keluarganya. Dihadapkan pada persoalan
dilematis ini, tidak pernah ada penyelesaiannya. Sebagai praktisi di bidang hama dan penyakit
tanaman, kita dapat memainkan peran dengan memberikan gambaran dan penyuluhan tentang
hama – hama pada tanaman padi ( Zuliyanti, 2007).
Padi adalah merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini
merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia (Gambar 3.). Meskipun
sebagai bahan pokok padi dapat digantikan oleh subtitusi oleh bahan makanan lainnya, namaun

Universitas Sumatera Utara

padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan idak dapat mudah digantikan
oleh bahan makanan lainnya ( Monsanto,2013).

Gambar 3 : Padi

Sumber : Foto Langsung
Jenis serangga hama lain adalah kepik penghisap bulir padi. Termasuk golongan ini
adalah walang sangit (Leptocorisa oratorius). Hama lain adalah hama putih (Nymphula
depunctalis), hama putih palsu

(Cnaphalocrosis medinalis), ganjur (Orseolia oryzae) dan

kelompok ulat grayak (Nymhimna separate, Spodopreta mauritta) (Sutedjo dan Kartasepoetra,
1988).
Disamping serangga yang berperan sebagai hama padi, beberapa serangga ada yang
berperan sebagai musuh alami. Musuh alami tersebut sering dikenal sebagai parasitoid, predator.
Parasitoid telur adalah jenis serangga yang dalam hidupnya memanfaatkan telur hama sebagai
inang sehingga telur yang terparasit tidak akan memetas. Contoh Tetrastichus schoenobii,
Telenomus

rowani

dan

Trichogramma


spp.

(parasit

penggerek

batang

padi)

(AAK, 1992).

Universitas Sumatera Utara

Keanekaragaman Serangga
Keanekaragaman

jenis


adalah

sifat

komunitas

yang

memperlihatkan

tingkat

keanekaragaman jenis organisme yang ada di dalamnya. Untuk memperoleh keragaman jenis ini
cukup diperlukan kemampuan mengenal dan membedakan jenis meskipun tidak dapat
mengidentifikasikan jenis hama

(Putra, 1994).

Populasi setiap organisme pada ekosistem tidak pernah sama dari waktu kewaktu lainnya,
tetapi naik turun. Demikian pula ekosistem yang terbentuk dari populasi serta lingkungan

fisiknya senantiasa berubah dan bertumbuh sepanjang waktu (Rizali dkk, 2002).
Dalam ekosistem alami semua makhluk hidup berada dalam keadaan seimbang dan
saling mengendalikan sehingga tidak terjadi hama. Di ekosistem alamiah keragaman jenis sangat
tinggi yang berarti dalam setiap kesatuan ruang terdapat flora dan fauna tanah yang beragam.
Tingkat keanekaragaman pertanaman mempengaruhi timbulnya masalah hama. Sistem
pertanaman yang beranekaragam berpengaruh kepada populasi spesies hama (Oka, 1995).
Dalam keadaan ekosistem yang stabil, populasi suatu jenis organisme selalu dalam
keadaan keseimbangan dengan populasi organisme lainnya dalam komunitasnya. Keseimbangan
ini terjadi karena adanya mekanisme pengendalian yang bekerja secara umpan balik negatif yang
berjalan pada tingkat antar spesies (persaingan predasi), dan tingkat inter spesies (persaingan
teritorial)

(Rosalyn, 2007).

Keanekaragaman makhluk hidup dapat ditandai dengan adanya perbedaan warna, ukuran,
bentuk, jumlah, tekstur, penampilan, dan sifat-sifat lainnya. Keanekaragaman dari makhluk
hidup dapat juga terlihat dengan adanya persamaan ciri antar makhluk hidup. Untuk dapat
mengenal makhluk hidup khususnya pada hewan berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya dapat

Universitas Sumatera Utara


dilakukan melalui pengamatan ciri-ciri morfologi, habitat, cara berkembang biak, jenis makanan,
tingkah laku, dan beberapa ciri lain yang dapat diamati (Michael, 1995).
Untuk mengetahui keanekaragaman jenis serangga pada suatu tempat yakni menentukan
indeks keanekaragamannya, sangatlah diperlukan pengetahuan atau keterampilan dalam
mengindentifikasi hewan (serangga). Bagi seseorang yang sudah terbiasa pun dalam melakukan
identifikasi hewan sering membutuhkan waktu yang lama, apalagi yang belum terbiasa. Karena
itu untuk kajian dalam komunitas dan indeks keanekaragaman sering didasarkan pada kelompok
hewan, misalnya, famili, ordo atau kelas dan hal ini pun dibutuhkan cukup keterampilan dan
pengalaman (Michael, 1995).
Berbeda dengan ekosistem alami agroekosistem memiliki keanekaragaman biotik dan
genetik yang rendah malahan cenderung semakin seragam seperti yang kita lihat pada sistem
persawahan kita, keadaan agroekosistem tidak stabil dan selalu berubah karena tindakan manusia
untuk mengolah dan mengelola ekosistem untuk kepentingannya. Dalam keadaan demikian di
ekosistem sangat mudah terjadi peningkatan populasi hama (Saragih, 2008).
Pestisida menyebabkan serangga - serangga berevolusi ke arah resisten terhadap pestisida
tersebut. Masalah hama menjadi lebih banyak, timbulnya wabah sekunder, musnahnya musuh
alami seperti parasitoid/predator dan serangga berguna, bersistensi residu dan keracunan sebagai
akibat penggunaan pestisida yang berlebihan dan kurang hati- hati (Untung, 1996).
Menurur Susilo (2007) di dalam ekosistem alami populasi suatu jenis serangga atau

hewan pemakan tumbuhan tidak pernah eksplosif (meledak) karena banyak faktor
pengendaliannya baik yang bersifat abiotik maupun biotik. Dengan demikian dalam ekosistem
alami serangga tidak berstatus sebagai hama. Di dalam ekosistem pertanian faktor pengendali

Universitas Sumatera Utara

tersebut sudah banyak berkurang sehingga kadang – kadang populasinya meledak dan menjadi
hama (Susilo, 2007).
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Keanekaragaman Serangga
Serangga merupakan golongan hewan yang dominan di muka bumi sekarang ini. Dalam
jumlah, mereka melebihi semua hewan melata darat lainnya dan praktis mereka terdapat dimanamana (Borror dkk, 1992).
Ada 7 faktor yang saling berkaitan menentukan derajat naik turunnya keragaman jenis
ekosistem yaitu :
a. Waktu, keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah
lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme daripada komunitas muda yang
berkembang. Waktu dapat berjalan dengan ekologi lebih pendek atau hanya puluhan
generasi.
b. Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks
komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar


dan semakin tinggi keragaman

jenisnya.
c. Kompetisi terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang sama yang
ketersediaannya kurang atau walaupun ketersediaannya cukup namun bersaing tetap juga
bila organisme – organisme itu memanfaatkan sumber tersebut, yang satu menyerang
yang lain atau sebaliknya.
d. Memanfaatkan sumber tersebut yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya.
e. Pemangsaan, yang mempertahankan komunitas populasi dari jenis bersaing yang berbeda
dibawah daya dukung masing- masing selain memperbesar kemungkinan hidupnya

Universitas Sumatera Utara

berdampingan sehingga mempertinggi keragaman, apabila intensitas dari pemangsaan
terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menurunkan keragaman jenis.
f. Kestabilan iklim, makin stabil keadaan suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu
lingkungan, maka semakin banyak jenis dalam lingkungan tersebut. Lingkungan yang
stabil lebih memungkinkan keberlangsungan evolusi.
g. Produktivitas juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi
Ketujuh faktor ini saling berintekrasi untuk menetapkan keanekaragaman jenis dalam
komunitas yang berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah penting dalam menentukan batas
kerusakan yang dilakukan terhadap sistem sangatlah penting dalam menentukan batas kerusakan
yang dilakukan terhadap sistem akan akibat turut campur tangan manusia (Firmansyah, 2008).
Dalam keadaan ekosistem yang stabil, populasi suatu jenis organisme selalu dalam
keadaan keseimbangan dengan populasi organisme lainnya dalam komunitasnya. Keseimbangan
ini terjadi karena adanya mekanisme pengendalian yang bekerja secara umpan balik negatif yang
berjalan pada tingkat antar spesies (persaingan predasi), dan tingkat inter spesies (persaingan
teritorial)

(Rosalyn, 2007).

Perkembangan dan reproduksi serangga dapat dipengaruhi berbagai faktor abiotik. Faktor
ini mungkin menunjukkan pengaruhnya pada serangga baik secara langsung maupun tidak
langsung. (Melalui pengaruhnya pada organisme lain) dan pada batas pendek atau jauh (cahaya,
sebagai contoh, mungkin menimbulkan efek yang cepat pada orientasi serangga saat mencari
makanan, dan banyak menyebabkan perubahan pada fisiologi serangga dalam antisipasi kondisi
yang merugikan pada beberapa bulan kedepannya) (Gillot, 1982).
Pada serangga poikilothermal, pada dasarnya metabolisme mereka sangat dipengaruhi
oleh temperatur lingkungan yaitu dengan interval temperatur yang mengijinkan untuk dapat

Universitas Sumatera Utara

bertahan hidup, temperatur lingkungan tertinggi, rata- rata tinggi produksi panas dan konsumsi
oksigen (Rockstein, 1973)
Kelimpahan individu dan kekayaan spesies serangga diperoleh pada setiap lahan saat
melakukan penelitian keanekaragaman akan jelas terlihat berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan yaitu:
umur tanaman, keadaan cuaca saat pengambilan sampel, waktu pengambilan sampel

dan

keadaan habitat di sekitar tanaman (penggunaan tanaman penutup tanah) (Rizali dkk , 2002).
Serangga sering mempunyai ukuran dan penampilan yang mencolok dan juga dapat
memproduksi suara dan kadang-kadang bisa menjadi hama yang merusak. Sebagian dari
serangga ini tergolong fitofag, sementara yang lain hidup di sampah atau serangga lainnya.
Beberapa mengkonsumsi tanaman dan makanan hewan sementara yang lain hidup di lumut dan
tidak signifikan untuk pertanian. Serangga ini sangat sensitif terhadap faktor lingkungan, seperti
temperatur, kelembaban, cahaya dan getaran (Kalshoven, 1981).

Universitas Sumatera Utara