Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

BAB II
PENGATURAN TENTANG PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR
TANPA IZIN ORANG TUA DALAM FIQIH ISLAM, KOMPILASI HUKUM
ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN

A. Asas-Asas Hukum Perkawinan
Menurut kamus hukum, asas adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara
luas dan mendasarkan adanya sesuatu norma hukum.67 Sedangkan prinsip adalah asas
kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir.68 Berdasarkan kedua pengertian ini
pada hakikatnya asas dan prinsip adalah sama saja tetapi asas lebih tinggi daripada
prinsip, misalnya ketika disebut asas legalitas, maka prinsipnya adalah penundukan
pada suatu aturan tertentu.
Prinsip hukum menurut Sudikno Mertokusumo bukanlah sebagai aturan
hukum kongkrit melainkan merupakan pikiran dasar umum sifatnya atau merupakan
latar belakang dari perumusan aturan hukum kongkrit.69 Oleh karena itu asas dan
prinsip adalah sama, bedanya hanya pada tingkatan penyebutannya saja. Mahadi,
mengatakan bahwa “asas atau prinsip merupakan sesuatu yang dapat dijadikan
sebagai alas, dasar, tumpuan, tempat untuk menyandarkan sesuatu, mengembalikan

67


M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 57.
Ibid., hal. 514.
69
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005),
68

hal. 34.

37

38

sesuatu hal yang hendak dijelaskan”.70 Pandangan ini juga mengatakan bahwa asas
sama dengan prinsip karena dihubungkannya dengan kata “atau”.
Satjipto Rahardjo, mengatakan, “asas hukum mengandung nilai-nilai dan
tuntutan-tuntutan etis, sehingga asas-asas tersebut menjadi jembatan antara peraturanperaturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya, melalui
asas hukum peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu
tatanan etis”.71 Dari pandangan ini tampaklah bahwa asas itu lebih tinggi daripada
prinsip di mana bahwa aspek yang terkandung di dalam asas adalah nilai-nilai etika.

Ronald Dworkin mengatakan, asas-asas hukum diperlukan guna menafsirkan
aturan-aturan sejalan dengan asas-asas yang mendasari aturan-aturan hukum.72 Asasasas sangat penting peranannya dalam menafsirkan dan memaknai aturan-aturan yang
tidak pernah dapat secara lengkap melingkupi semua masalah yang mungkin muncul.
Asas hukum turut berperan, tidak saja tatkala menghadapi penerapan aturan
pada umumnya, sekalipun hanya untuk sekedar menegaskan kembali makna yang
terkait pada aturan tersebut. Suatu kriterium harus dapat ditemukan, beranjak dari
mana fakta dapat diuji relavansinya terhadap hukum.73 Sehingga esensi dari
perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua menurut fiqih Islam, Kompilasi
Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mesti
dilaksanakan berdasarkan asas-asas perkawinan.
70

Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2003), hal. 119.
Satjipto Rahardjo, Op. cit., hal. 45.
72
Ronald Dworkin dalam Efemia Surjawati Salim, Kedewasaan Sebagai Salah Satu Faktor
Penentu Keabsahan Perjanjian Dalam Bidang Bisnis Serta Pengaturannya Dalam Sistim Hukum
Nasional, (Bandung: Tesis Magister, 1997), hal. 31.
73
Ibid., hal. 33.

71

39

Asas-asas atau prinsi-prinsip perkawinan Islam yang dimaksud sebagai
ketentuan perkawinan yang menjadi dasar berpijak dalam berbuat atau tidak berbuat
berdasarkan syaria’t Islam khususnya tentang perkawinan.74 Asas-asas hukum
perkawinan Islam menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan yang berlaku bagi orang Islam di Indonesia terdiri dari 7 (tujuh) asas
yaitu: asas personalitas, asas persetujuan, asas kebebasan memilih pasangan, asas
kesukarelaan, asas kemitraan suami istri, asas monogami terbuka, dan asas untuk
selama-lamanya.75
Kata perkawinan disamakan dengan pernikahan. Dalam istilah hukum Islam
kata nikah sama kawin, atau nikah dengan kata zawaj. Nikah menurut bahasa
mempunyai arti sebenarnya yaitu dham yang berarti menghimpit, menindih, atau
berkumpul. Nikah memiliki arti kiasan yakni wathaa artinya setubuh atau aqad yang
berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam kehidupan sehari-hari nikah dalam
arti kiasan lebih banyak dipakai sedangkan dalam arti sebenarnya jarang digunakan.76
1. Asas-Asas Hukum Perkawinan Islam
Banyak asas-asas dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum

perkawinan dalam Islam, di antara banyak asas tersebut, beberapa asas penting
sehubungan dengan penelitian, diuraikan sebagai berikut.

74

Mardani, Op. Cit., hal. 6.
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 94.
76
Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 258-259.
75

40

a. Asas personalitas keislaman
Asas personalitas keislaman memandang bahwa perkawinan hanya berlaku
bagi orang-orang yang beragama Islam mulai dari syarat pengantin laki-laki dan
perempuan, syarat perwalian dan bahkan lembaga perkawinan harus didasarkan pada
syaria’t Islam, selain itu dinyatakan batal demi hukum Islam.77 Asas ini jelas sekali

difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa MUI Nomor 4/Munas
VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. Dalam fatwa ini, jika terjadi
perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam, maka perkawinan itu
haram dan tidak sah.
Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Jika tidak sah, maka
anak hasil perkawinan yang dilahirkan merupakan anak hasil zina yang hanya
mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Jika asas-asas
hukum perkawinan (asas-asas yang lain) tidak terpenuhi, yaitu asas persetujuan, asas
kesukarelaan, asas kebebasan memilih, asas kemitraan suami istri, atau asas
monogami terbuka, maka akibat hukum perkawinan tersebut dapat dibatalkan.78
Asas personalitas keislaman merupakan salah satu asas hukum perkawinan
Islam dan juga menjadi asas yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Asas ini terdapat dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (disingkat UU

77

Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 93.
Asroun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elasas,
2008), hal. 67.

78

41

Perkawinan) dan Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam (disingkat
KHI).79
Pasal 1 UU Perkawinan menentukan, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Dasar penentuan asas ini terkandung di dalam Pasal 29 UUD 1945 yang
menentukan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dari rumusan ini berarti
bahwa perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan hukum agama yang dipeluk
oleh orang yang melakukan perkawinan berarti perkawinan itu tidak sesuai dengan
asas personalitas dalam UU Perkawinan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka asas ini menghendaki bahwa
masalah perkawinan lebih menjurus pada urusan yang hanya bisa dilaksanakan oleh
orang-orang yang beragama Islam mulai dari syarat pengantin laki-laki dan
perempuan, syarat perwalian dan bahkan lembaga perkawinan harus didasarkan pada

syaria’t Islam, selain itu dinyatakan batal demi hukum Islam.80 Dikatakan asas ini
sebagai asas personalitas keislaman sehubungan dengan masalah perkawinan
dilakukan menurut agama dan kepercayaannya, sebagaimana di dalam Pasal 2 ayat
(1) UU Perkawinan menentukan bahwa sahnya perkawinan jika dilakukan menurut

79
80

Neng Djubaidah, Ibid., hal. 94.
Ibid., hal. 93.

42

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Jadi, tidak ada perkawinan di
luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan masing-masing orang.
Menurut Hazairin, tidak ada kemungkinan bagi orang Islam untuk melakukan
perkawinan dengan melanggar hukum agamanya sendiri, termasuk untuk semua
agama (Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu di Indonesia.81
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 berlaku khusus bagi warga negara Indonesia yang memeluk agama

Islam.
Pasal 40 huruf c KHI melarang perkawinan antara laki-laki muslim dengan
wanita non muslim. Pasal 44 KHI melarang perkawinan antara wanita Islam dengan
laki-laki non muslim. Dengan demikian asas personalitas keislaman di bidang hukum
perkawinan di Indonesia dianut dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
junto Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 KHI. Asas personalitas keislaman sebagai satu di
antara banyak syarat yang harus dipenuhi seseorang atau badan hukum yang
berperkara di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.82
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
diubah melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (selanjutnya disingkat UU
Peradilan Agama) terdapat dasar berlakunya asas personalitas keislaman. Asas
personalitas keislaman dalam UU Peradilan Agama terdapat pada Pasal 1 angka 1,

81

Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor: 1-1974, (Jakarta:
Tintamas, 1986), hal, 2.
82
Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 96.


43

Pasal 2, Pasal 13, Pasal 27, Pasal 39, Pasal 49, Pasal 66 ayat (1) UU Peradilan
Agama.
Pasal 1 angka 1 UU Peradilan Agama, menentukan bahwa Peradilan Agama
adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Kewenangan peradilan
agama dimaksud di sini menunjukkan bahwa perkawinan dalam Islam menganut asas
personalitas keislaman. Selanjutnya pada Pasal 2 UU Peradilan Agama diatur fungsi
Peradilan Agama sebagai suatu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam.
Kemudian dalam Pasal 13 UU Peradilan Agama diatur syarat sebagai hakim
Peradilan Agama wajib beragama Islam. Selanjutnya Pasal 27 UU Peradilan Agama
mengatur syarat bagi panitera Peradilan Agama juga wajib beragama Islam. Dalam
Pasal 39 UU Peradilan Agama terdapat ketentuan syarat bagi juru sita di Pengadilan
Agama wajib beragama Islam, syarat bagi sekretaris dan wakil sekretaris Pengadilan
Agama wajib beragama Islam sebagaimana ditentukan pada Pasal 45 UU Peradilan
Agama.
Pada Pasal 49 UU Peradilan Agama, ditentukan kompetensi absolut bagi
peradilan agama bertugas, berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara antara orang yang beragama Islam di bidang perkawinan dan bidang-bidang

lainnya.83 Bahkan untuk perceraian ditentukan pada Pasal 66 UU Peradilan Agama

83

Bidang-bidang lainnya seperti: waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syari’ah.

44

bagi orang yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan
permohonan kepada Peradilan Agama untuk sidang ikrar talak.
Asas personalitas keislaman ini hematnya dapat dikatakan sebagai asas
pemenuhan atau pelaksanaan perintah agama Islam yang menurut Abdul Rahman
Ghozali, bahwa melaksanakan perkawinan itu merupakan perintah agama dalam hal
ini agama Islam. Oleh sebabnya, jika perkawinan itu tidak dilaksanakan sesuai
dengan rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Islam, maka pernikahan
tersebut adalah haram atau batal atau tidak sah secara Islam.84
Berdasarkan beberpara pendapat para pakar, dan fatwa MUI, KHI, serta
ketentuan-ketentuan dalam UU Peradilan Agama, jelas sekali terkandung didalamnya
terdapat asas personalitas keislaman dalam hal perkawinan. Hal ini dimaksudkan

untuk mencegah terjadinya perkawinan dan perceraian yang diharamkan oleh agama
Islam. Secara hukum nasional jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, dapat
dibenarkan, akan tetapi jika tidak memenuhi syarat-syarat dan ketentuan Allah SWT
dalam Al-Qur’an dan ketentuan dalam Hadits Rasulullah SAW bisa berpotensi
menimbulkan dosa dan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT di hari
pembalasan (hari akhirat).
b. Asas kesukarelaan
Asas kesukarelaan dipandang sebagai wujud dari itikad baik tanpa ada
paksaan dari pihak manapun. Asas suka rela tidak hanya dipenuhi oleh kedua calon
mempelai, tetapi juga harus terdapat pada kedua belah pihak orang tua si calon
84

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 32.

45

mempelai tersebut.85 Orang tua para pihak merupakan salah satu rukun nikah dalam
Islam. Oleh karena itu, kesukarelaan wali pihak perempuan merupakan hal yang
sangat wajib dan terpenting, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 KHI bahwa
yang menentukan rukun nikah terdiri atas: calon suami, calon istri, wali nikah, dua
orang saksi laki-laki, dan adanya ijab kabul.
Kewajiban adanya wali nikah didasarkan pada Hadits Nabi Muhammad SAW
(Rasullah SAW) yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Aisyah bahwa: “Tidak ada
nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Kemudian jika mereka
berselisih, maka penguasalah yang menjadi wali bagi mereka yang tidak ada
walinya”.86 Selain itu, terdapat Hadits lain yang menentukan kedudukan wali
merupakan unsur terpenting dalam pernikahan Islam yaitu Hadits yang diriwayatkan
oleh Imam yang lima kecuali Nasai, dari Sulaiman bin Musa dan Zuhri dari Urwah
dari Aisyah bahwa:
“Siapa saja perempuan yang kawin tanpa izin walinya, maka perkawinannya
batal. Kemudian jika (suaminya) telah mencampurinya, bagi perempuan itu
berhak memperoleh mahar sebab apa yang telah ia anggap halal dari
mencampurinya. Kemudian jika mereka (wali-walinya) berselisih, maka
penguasa (hakimlah) yang menjadi walinya”.87
Berdasarkan Hadits tersebut di atas, demikian pentingnya peran wali
perempuan dalam perkawinan Islam, oleh sebab itu, diperlukan asas kesukarelaan
bagi wali dalam menikahkan anak-anaknya. Wali tidak dibenarkan maksa diri untuk

85

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 139-141.
86
Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 100.
87
Ibid., hal. 101.

46

menikahkan anaknya, dan juga sebaliknya bagi anak tidak boleh dipaksakan oleh
orang tua untuk menikah, atau orang tua (wali) tidak dibenarkan untuk menghalanghalangi anaknya untuk menikah jika telah memenuhi syarat-syarat dalam hukum
Islam.
c. Asas persetujuan
Asas persetujuan identik dengan asas kesukarelaan.88 Segala syarat yang harus
dipenuhi oleh pihak yang hendak melakukan perkawinan itu tidak dipaksa atau harus
dibarengi dengan kerelaan dari calon suami dan istri. Oleh sebab asas persetujuan
inilah makanya diadakan peminangan (khitbah) suatu upaya untuk memberikan
pertimbangan bagi pihak yang dipinang (pihak istri).89
Asas kesukarelaan menghendaki adanya itikad baik tanpa ada paksaan dari
pihak manapun, demikian pula asas persetujuan dibarengi dengan itikad baik
bersamaan dengan persetujuan dari masing-masing pihak dan walinya. Sebagaimana
dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Bukhari, Ahmad, Nasa’i,
Muslim, dan Abu Daud dari Ibnu Abbas bahwa Rasullah SAW bersabda:
“Perempuan janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan gadis
diminta izinnya dan izinnya adalah diamnya”.90
Kemudian dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’I, Muslim
dan Abu Daud, yaitu: “Dan gadis hendaknya ayahnya meminta izin kepadanya
(maksudnya sebelum dilangsungkan akad nikah, ia ditanya persetujuannya terlebih
88

Abdul Rahman Ghozali, Op. cit., hal. 32.
Ibid., hal. 33.
90
Neng Djubaidah, Loc. cit.
89

47

dahulu)”. Berdasarkan kedua Hadits tersebut jelaslah bahwa asas persetujuan
menempati peranan yang sangat penting dalam perkawinan seseorang laki-laki dan
perempuan dalam hukum Islam.
Persetujuan dalam hukum Islam diartikan dalam makna ijab. Menurut hukum
Islam yang sesungguhnya perkawinan itu harus didasarkan pada adanya persetujuan
calon mempelai wanita, jika wanita itu masih gadis, maka seharusnya yang
menyampaikan ijab itu adalah bapak kandung atau walinya, jika wanita itu janda atau
tidak gadis lagi, maka ijabnya diserahkan kepada walinya.91
d. Asas kebebasan memilih pasangan
Asas kebebasan memilih pasangan merupakan rangkaian dari asas persetujuan
dan kesukarelaan. Hal ini dapat dilihat dari Hadits yang diriwayatkan Jamaah kecuali
Muslim dari Khansa binti Khidman Al-Anshariyah, sebagaimana telah disebutkan
pada asas persetujuan bahwa ayahnya telah mengawinkannya sedangkan ia janda,
tetapi ia tidak menyukai perkawinan itu, lalu ia datang kepada Rasulullah SAW,
akhirnya Rasulullah membatalkan pernikahan itu.92
Selain itu, dalam Hadits yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah,
dan Daruquthni, sebagaimana telah dikemukakan juga pada asas persetujuan, yaitu
Hadits dari Ibnu Abbas bahwa seseorang gadis datang kepada Rasulullah SAW, lalu
gadis tersebut menceritakan kepada Rasulullah SAW tentang ayahnya yang

91

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
dan Hukum Negara, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 44-45.
92
Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 102.

48

mengawinkannya dengan laki-laki yang tidak disukai oleh gadis tersebut, maka
Rasulullah menyuruh gadis tersebut memilih, menerima atau menolaknya.93
Dalam kedua Hadits tersebut di atas, terkandung asas kebebasan memilih
pasangan hidup dalam perkawinan, setiap orang berhak untuk memilih pasangan
perkawinannya secara bebas asalkan sesuai dengan syari’at Islam yakni tidak
melanggar larangan perkawinan dalam Islam karena perkawinan merupakan lembaga
yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, selain sebagai sendi
pokok masyarakat dan bangsa.
e. Asas kemitraan
Asas kemitraan dalam perkawinan Islam menghendaki pasangan tersebut
layaknya sebuah bangunan utuh yang tidak dapat dipisahkan antara suami istri beserta
anak-anaknya ibarat bangunan yang kokoh. Dalam pergaulan hidup rumah tangga
tersebut, suami dan istri dituntut bekerja sama dalam saling membantu dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana diketahui bahwa makna mitra identik
dengan teman bekerja atau teman satu profesi. Sehingga selain statusnya sebagai
suami, maka suami tersebut juga berperan sebagai teman dari istri, demikian
sebaliknya, selain statusnya sebagai istri, sang istri tersebut sekaligus menjadi teman
bagi suami.
Asas kemitraan ini menurut Ahmad Rofiq diletakkan pada tujuan perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suami istri harus

93

Sayyid Sabiq, Fiqih Islam (Fiqhussunnah), diterjemahkan oleh Muhammad Nabhan
Husein, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hal. 16.

49

saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan mental.94 Beliau
mendasarkan asas kemitraan ini pada Alqur’an Surat Ar-Rum ayat 21 yang pada
intinya bahwa esensi dari perkawinan untuk saling berkasih sayang.95
Untuk memperkuat argumentasi asas kemitraan ini, terutama penting untuk
diperhatikan dari subjek hukum atau orang yang akan berakad nikah tersebut (calon
suami dan calon istri), dan halalnya hubungan yang diakadkan dalam perkawinan
serta segala hal yang diakibatkan dari hasil perkawinan seperti keturunan dan harta
kekayaan setelah perkawinan. Kedua hal tersebut merupakan wujud kemitraan
sehubungan dengan perkawinan dalam Islam adalah sebagai ibadah dalam
membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah yang terlebih dahulu
diikat dengan sighat berupa ijab dan kabul.96
Bertolak dari sighat ijab kabul ini tersirat sebuah asas kemitraan yang berarti
bahwa setelah ijab kabul bukan berarti terjadinya penguasaan sewenang-wenang
suami terhadap istri atau sebaliknya, istri yang menguasai suami.97 Dengan kata lain
tanggung jawab tetap berada pada suami kendatipun istri lebih banyak membawa
harta yang direlakan dalam keluarga, tetapi suami tetap bertanggung jawab atas
segala urusan dalam rumah tangga, tanpa kesewenang-wenangannya terhadap istri.98
Makna lain bahwa dalam akad tersebut terkandung amanah dari Allah SWT dan
94

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 56.
Ibid., hal. 57-58.
96
Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 103.
97
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 26.
98
Abdul Rahman Ghozali, Op. cit., hal. 43.
95

50

kedua orang tua mempelai perempuan (istri) kepada mempelai laki-laki (suami) agar
dalam penyelenggaraan rumah tangga dan dalam pembinaan rumah tangga dihindari
dari kesengsaraan lahir dan batin selama di dunia dan terhindar pula dari api neraka.
Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat At-Tahrim disebutkan: “Jagalah dirimu
dan keluargamu dari siksa api neraka”. Kemudian dalam Hadits Rasulullah SAW
yang diriwayatkan Muslim berkata bahwa: “Bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah
SWT dalam menggauli wanita (istri) sesungguhnya kamu mengawininya dengan
amanat Allah SWT dan kamu menghalalkan kehormatannya dengan kalimat Allah
SWT (ijab kabul).99
Berdasarkan amanah dalam Al-Qur’an dan Hadits tersebut di atas, maka
sesungguhnya dalam ajaran Islam, pembagian tugas antara suami dan istri, bukan
dalam makna yang satu menguasai yang lain, tetapi dalam rangka mencapai rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah agar terwujud keturunan yang soleh dan
solihah sebagai penerus amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan
Allah SWT.
f. Asas monogami terbuka
Sebagaimana arti monogami adalah suami beristri satu orang perempuan
sedangkan poligami, suami yang beristrikan lebih dari satu orang perempuan.100
Hukum perkawinan Islam menganut monogami terbuka, artinya Islam memberikan
kesempatan kepada para suami untuk berpoligami dan paling banyak 4 (empat) orang
99

Neng Djubaidah, Loc. cit.
T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:
Mestika, 2006), hal. 247.
100

51

istri. Asas monogami terbuka ini terkandung di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat
(4) dan ayat (3), yaitu:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) anakanak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua,
tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka
(nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Asas monogami terbuka atau dibolehkannya melakukan poligami dalam Islam
konsekuensi bagi suami dalam hal ini adalah dalam kondisi darurat, artinya ada halhal menjadi pertimbangan suami untuk melakukan poligami bukan untuk kesenangan
semata melainkan pertimbangan-pertimbangan yang disyaratkan dalam ajaran Islam
misalnya untuk membantu perempuan dari kesengsaraan, dan lain-lain.
Hal ini didasarkan bahwa poligami dalam perkawinan Islam bukanlah sebuah
asas perkawinan, bahwa dalam KHI telah diatur sebagai syarat alternatif dan
kumulatif bagi suami yang akan melakukan poligami. Sedangkan dalam Pasal 27
KUH Perdata sangat bertentangan dengan asas poligami, yakni memberlakukan asas
monogami mutlak dalam pasal ini. Tentu saja pemberlakuan asas monogami mutlak
bertentangan dengan hukum Islam.101
Perlu diketahui dan digaris bawahi di sini adalah bahwa poligami bukanlah
bertujuan untuk menyakiti kaum wanita atau membuat derita bagi istri-istri yang satu
dengan yang lain, itu sebabnya dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat (3) disebutkan
sebagai sebagai alternatif jika dapat dilakukan berbuat adil. Satu hal menjadi
pertimbangan diberlakukannya poligami dalam Islam untuk mencegah perbuatan
101

Neng Djubaidah, Loc. cit.

52

maksiat suami yang jauh lebih banyak membawa kemudaratan.102 Adil dimaksud
berarti suami dapat memenuhi segala kebutuhan rohaniah maupun jasmaniah, lahir
dan batin istri-istri dan anak-anaknya.103
Asas monogami terbuka ini ternyata dianut juga dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 3 ayat (1) menganut asas monogami
tertutup, “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri, dan seorang
wanita hanya boleh memiliki seorang suami”. Sedangkan pada ayat (2) menganut
asas monogami terbuka yakni, “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang
suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan”.104
g. Asas untuk selama-lamanya
Asas untuk selama-lamanya dalam hal ini identik dengan perkawinan yang
abadi. Hal ini sebagai konsekuensi dari tujuan perkawinan itu sendiri untuk selamlamanya, bukan untuk sementara waktu atau untuk bersenang-senang atau rekreasi
semata. Sebagaimana asas ini terkandung dalam Hadits yang diriwayatkan Abu Daud
dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW, berkata: “perkara halal
yang paling dibenci Allah SWT adalah talak (cerai).105 Asas untuk selama-lamanya
dalam konteks ini dengan demikian dikenal pula degan asas perceraian dipersulit.106

102

Ibid., hal. 104.
Hilman Hadikusuma, Op. cit., hal. 37.
104
Ibid., hal. 32.
105
Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 105.
106
Ahmad Rofiq, Op. cit., hal. 57 dan hal. 59.
103

53

Argumentasi asas selama-lamanya ini dianut dalam perkawinan Islam
didasarkan pada tujuan perkawinan itu sendiri. Tujuan perkawinan dalam Islam
antara lain untuk memperoleh keturunan, ketenangan, ketenteraman, cita kasih dan
sayang. Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip perkawinan yang
bertahan lama atau selama-lamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Hanya
karena atas dasar kerelaan hati, prinsip ini dapat dilaksanakan. Peminangan juga turut
berperan penting di sini agar tidak ada penyelesalan di kemudian hari, maka
seharusnya dilakukan peminangan dalam rangka meminta pertimbangan pihak
wanita.107
Asas untuk selama-lamanya juga terkandung di dalam Al-Qur’an Surat AlBaqarah ayat (2) tentang larangan menikah kembali setelah dilakukan perceraian
yang ketiga kalinya (talak ba’in qubra). Larangan ini berarti Islam sama sekali tidak
menghendaki perkawinan yang berlangsung secara putus-sambung atau cerai-rujuk,
hanya sampai tiga kali syarat cerai-rujuk dibenarkan dalam Islam.
Asas selama-lamanya sangat bertentangan dengan perkawinan sementara
(mut’ah) atau sering dikenal dengan perkawinan satu hari, dua hari, atau satu minggu,
atau satu bulan. Perkawinan sementara semata-mata bertujuan untuk kesenangan, atau
rekreasi belaka, dan mut’ah sebenarnya melecehkan kaum perempuan karena
perempuan dinilai sebagai barang yang dapat diperjualbelikan. Dengan demikian
perkawinan sementara adalah haram, jelas sangat tidak sesuai dengan tujuan
perkawinan sebagai ibadah, dan ibadah itu dilaksanakan selama-lamanya.
107

Abdul Rahman Ghozali, Op. cit., hal. 36-37.

54

Dalam dunia Islam modern karangan Mardani dikenal beberapa asas-asas
hukum perkawinan Islam menurut hukum Islam diantaranya asas sukarela, asas
partisipasi keluarga, asas perceraian dipersulit, poligami dibatasi secara ketat,
kematangan calon mempelai, memperbaiki derajat kaum wanita. Prinsip-prinsip yang
terkandung dalam perkawinan Islam antara lain: kebebasan dalam memilih jodoh,
prinsip saling melengkapi, prinsip memperlakukan istri dengan cara-cara yang baik,
dan prinsip mawaddah, warahmah, dan sakinah.108
Pandangan lain menyebutkan ada 3 (tiga) asas dalam perkawinan Islam antara
lain adalah: asas absolut abstrak, asas selektivitas, dan asas legalitas. Asas absolut
abstrak maksudnya adalah suatu asas dalam hukum perkawinan Islam di mana jodoh
atau pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah SWT
atas permintaan manusia yang bersangkutan ketika masih di dalam alam rahim.
Sedangkan asas selektivitas maksudnya adalah suatu asas perkawinan dalam Islam di
mana yang hendak menikah tersebut harus telebih dahulu meyeleksi dengan siapa
dirinya akan menikah apakah dilarang atau tidak, dan terakhir asas legalitas yang
maksdunya adalah suatu asas perkawinan Islam yang menghendaki perkawinan itu
harus dicatatkan.109
2. Asas-Asas Hukum Perkawinan Nasional
Adakalanya asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan dalam hukum Islam
sebagaimana dijelaskan di atas, juga dianut dalam hukum nasional khususnya dalam
108

Mardani, Op. cit., hal. 7-8.
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 34.
109

55

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam sebagaimana ditentukan dalam Intstruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tetapi
ada pula asas-asas dan prinsip-prinsip tersebut hanya dianut dalam hukum nasional
saja yang berarti hukum Islam tentang perkawinan yang berlaku khusus bagi umat
Islam diatur pula oleh negara sebagai tugas dan tanggung jawab negara dalam
mengatur warga negaranya.
a. Asas personalitas untuk setiap agama
Selain asas personalitas keislaman, asas personalitas untuk setiap agama juga
dianut dalam hukum Islam, juga ternyata dianut dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Asas ini terdapat di dalam Pasal 1
dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan serta terdapat dalam Pasal 40 huruf c dan Pasal
44 KHI. Sebagaimana bahwa asas personalitas keislaman memandang bahwa
perkawinan hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam mulai dari syarat
pengantin laki-laki dan perempuan, syarat perwalian dan bahkan lembaga perkawinan
harus didasarkan pada syaria’t Islam, selain itu dinyatakan batal demi hukum
Islam.110
Asas personalitas untuk setiap 5 (lima) agama (Islam, Hindu, Budha, Kristen
Protestan dan Kristen Katolik terdapat pada muatan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
yang menentukan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama. Berarti perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan agamanya masingmasing atau sesuai dengan ajaran agama yang dianut calon mempelai adalah sah
110

Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 93.

56

menurut agamanya, tetapi diperlukan oleh negara untuk dicatatkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.
b. Asas emansipasi kaum wanita
UU Perkawinan tidak menempatkan kaum wanita pada posisi yang lemah
dalam hal perkawinan, di mana bahwa UU Perkawinan tidak mengenal perkawinan di
bawah tangan, karena perkawinan di bawah tangan dinilai memposisikan kaum
wanita kurang dihargai jika terjadi masalah dalam perceraian. Ketentuan pencatatan
dalam UU Perkawinan menandakan bahwa dengan pencatatan perkawinan pada
Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil berarti perkawinan itu dianggap ada
dan diakui oleh negara.111
Sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Tetapi sahnya
perkawinan boleh saja diakui secara agama masing-masing, oleh sebabnya Pasal 2
ayat (2) UU Perkawinan menentukan tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Asas saling membantu/kemitraan/keseimbangan
Suami istri diharuskan berperan sebagai mitra, saling membantu satu sama
lain, serta saling melengkapi. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
dan untuk pengembangan kepribadian itulah makanya esensi dari perkawinan
diharuskan saling bantu-membantu. Dasar pertimbangan ini berpedoman pada tujuan

111

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co Medan,
1975), hal. 6.

57

perkawinan, sesungguhnya yang dikejar dari perkawinan adalah keluarga bahagia
yang sejahtera spritual dan material.112
Hakikat tujuan perkawinan sesungguhnya adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spritual dan materil.113 Dalam spritual dan materil tercakup fitrah
kemanusiaan, baik dari segi batin kerohaniaan manusia sebagai makhluk Tuhan
maupun manusia itu dari segi psikhis dan bilogis.114
Asas saling membantu identik dengan dengan asas kemitraan dan asas
keseimbangan (equilibrium)115 antara hak-hak istri dan hak suami tanpa
mengenyampingkan hak suami sebagai pimpinan dalam rumah tangga. Walaupun
asas ini tidak terkandung di dalam UU Perkawinan, tetapi pada norma dasar yakni
pada falsafah Pancasila terkandung nilai saling tolong menolong, bekerjasama, dan
bermusyawarah sebagai ciri kepribadian bangsa Indonesia, termasuk dalam hal
membenahi kehidupan dalam rumah tangga, nilai-nilai ini dapat diterapkan.
Kedudukan suami dan istri di dalam rumah tangga dikehendaki oleh undangundang secara berimbang atau sederajat tanpa menghilangkan tugas dan tanggung
jawabnya masing-masing. Dalam konteks ini dikatakan berimbang dalam konteks
pengambilan keputusan atau kebijakan rumah tangga harus didudukkan atau

112

Ibid., hal. 7.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 7.
114
M. Yahya Harahap, Loc. Cit.
115
Ibid.
113

58

dimusyawarahkan bersama. Selain itu, walaupun statusnya sebagai istri, tetapi istri
berhak mencapai kedudukan sosial di luar lingkungan rumah tangganya misalnya
berkarir bagi istri tidak bisa dihalang-halangi oleh suami dalam perspektif UU
Perkawinan.116
d. Asas perkawinan dicatatkan
Asas perkawinan dicatatkan maksudnya adalah bahwa setiap perkawinan yang
dilaksanakan harus dicatatkan atau didaftarkan pada lembaga yang berwenang seperti
KUA atau pada KCS. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan terkandung
asas ini yang mengharuskan setiap perkawinan harus dicatatkan. Pencatatan
perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi syarat administratif Pemerintah dan
pencatatan itu sebagai akta resmi yang termuat di dalam daftar catatan resmi
Pemerintah.117
Pencatatan atau pendaftaran perkawinan bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum, berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan tersebut akan
memperoleh legalisasi dari Pemerintah, baru kemudian perkawinan itu dapat
dianggap ada, sebab konsekuensi dengan pencatatan ini berarti diperolehnya akta
perkawinan (akta nikah) dari KUA atau KCS sebagai bukti otentik bahwa perkawinan
itu benar adanya, bukan dibuat-buat.118

116

Ibid., hal. 9-10.
Ibid., hal. 8.
118
Sudarsono, Op. cit., hal. 9.
117

59

e. Asas monogami, monoandri tertutup, dan monogami terbuka
Asas monogami menghendaki bahwa suami hanya boleh menikahi seorang
perempuan saja. Asas ini terkandung dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan,
demikian pula asas monoandri terdapat di dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan
yang mana seorang istri hanya dibolehkan memiliki satu orang suami. Asas bersuami
satu orang saja diatur secara ketat dan tertutup dalam UU Perkawinan, sebab dalam
pasal lain tidak ditemukan ketentuan alternatif bagi istri untuk melakukan poliandri
(bersuami banyak).
Asas monogami terbuka terkandung dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan,
dengan ketentuan bahwa Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Asas monogami berlaku bagi warga negara yang beragama Islam sedangkan asas
monogami tertutup dianut dalam agama kristen.
f. Asas kematangan jiwa
Asas keseimbangan jiwa menurut UU Perkawinan menghendaki bagi laki-laki
dan perempuan calon suami istri harus memenuhi syarat kematangan jiwa dipandang
dari sisi usianya.119 Asas ini sangat berbeda dengan asas baligh dalam hukum Islam
yang memandang bahwa kedewasaan bukan diukur dari usia, tetapi diukur dengan
baligh. Makna baligh itu sendiri diartikan bagi laki-laki telah pernah mimpi basah

119

M. Yahya Harahap, Op. cit., hal. 9.

60

(keluarnya sperma tanpa disengaja) sedangkan perempuan ditandai dengan keluarnya
haid, menstruasi, dan beberapa organ tubuhnya yang menunjukkan perkembangan.120
g. Asas dispensasi kawin (pengecualian)
Sebagai wujud pelaksanaan asas personalitas keislaman, sehubungan dengan
ajaran Islam yang mengharuskan hukum perkawinan orang Islam hanya berlaku bagi
umat Islam, maka UU Perkawinan memberikan peluang sebagai pengecualian
pembatasan usia perkawinan. Sebagaimana pada Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan,
pembatasan usia kawin dapat dikecualikan dengan cara minta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak
wanita.
Pada asas dispensasi atau asas pengecualian ini dibolehkan bagi calon suami
dan istri untuk menikah pada usia muda jika masing-masing pihak dapat mengajukan
alasan-alasan yang sangat penting untuk melangsungkan perkawinan meskipun belum
mencapai usia bagi laki-laki harus sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
dan wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Beberapa pertimbangan
dalam hal ini misalnya, karena soal tanggung jawab atas hamil di luar nikah padahal
keduanya masih di bawah umur, atau karena salah satu calon mempelai akan pergi ke

120

Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur (Child Marriage) Perspektif
Fiqih Islam, HAM Internasional, dan UU Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 20. istilah
yang lazim digunakan dalam keilmuan fikih Islam untuk menyebutkan orang dewasa atau fase
kedewasaan adalah bulugh atau baligh, ukuran yang dipakai adalah mimpi basah. Sebagaimana AlQur’an Surat An-Nur ayat 59: “Jika anak-anak kalian telah mencapai (usia kedewasaan dengan) mimpi
basah.

61

luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, maka yang demikian ini dimungkinkan
untuk berlakunya asas dispensasi dari pengadilan yang berwenang.121

B. Pengaturan Perkawinan Anak di Bawah Umur Tanpa Izin Orang Tua
1. Pengaturan Berdasarkan Fiqih Islam
Sebagaimana yang telah diuraikan pada sub bab pertama dalam bab ini, maka
fiqih Islam yang dimaksud adalah fiqih munakahat (fiqh munakahat) atau fiqih
tentang perkawinan dalam Islam. Dalam hal ini dibahas khusus mengenai dasar
hukum atau pengaturan yang berkenaan dengan perkawinan anak di bawah umur
tanpa izin orang tua dalam Fiqih Islam. Dalam Fiqih Islam tidak ditemukan kaidah
atau aturan hukum yang sifatnya menentukan batasan usia kawin. Karenanya,
menurut Fiqih Islam semua tingkatan umur (usia) dapat melangsungkan
perkawinan.122
Dikatakan anak dewasa atau tidak di bawah umur dalam Islam tidak
didasarkan pada batasan usia tetapi berdasarkan baligh-nya seorang anak tersebut.
Makna baligh atau bulugh dalam Fiqih Islam untuk menyebut fase kedewasaan
seseorang tidak berdasarkan usia, tetapi didasarkan pada mimpi basah (hulum) baik
bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Jadi, tidak dapat diprediksi pada
usia kapan seseorang itu dikatakan dewasa atau datangnya mimpi basahnya.123

121

Sudarsono, Op. cit., hal. 18.
Yusuf Hanafi, Op. cit., hal. 11.
123
Ibid., hal. 20.
122

62

Secara lebih spesifik, dewasa (baligh) bagi anak laki-laki ditandai dengan
datangnya mimpi basah. Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 59
menentukan: “Jika anak-anak kalian telah mencapai (usia kedewasaan dengan) mimpi
basa…”. Ketentuan mimpi basah ini khususnya bagi anak laki-laki, yang kemudian
ditandai dengan bentuk fisiknya mulai tumbuh jakun pada lehernya serta perilakunya
yang semakin menunjukkan puberitas.
Berdasarkan Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat (6), “..sampai mereka cukup umur
untuk kawin”. Ibun Syubramah, Abu Bakar al-Ashamm, dan Utsman al-Bukti
berpendapat tentang ayat ini, bahwa anak kecil laki-laki dan perempuan tidak boleh
kawin sampai keduanya mencapai umur baligh. Pandangan ini dapat diterima sebab
jika dibolehkan kawin sebelum mencapai umur baligh, maka tidak ada manfaatnya
ayat ini, di mana keduanya tidak membutuhkan pernikahan pada umur baligh.124
Kemudian Al-qur’an Surat Al-Isra’ ayat 34, ditentukan, “janganlah kamu
mendekati (mempergunakan) harta anak yatim, kecuali dengan cara yang baik,
sampai ia mencapai usia kedewasaan…”. Tetapi kedewasaan itu sama sekali tidak
ditentukan karena batasan usia (umur) seseorang melainkan dewasa itu adalah balighnya seseorang anak perempuan.
Khusus untuk gadis (anak perempuan), dikatakan dewasa selain ditandai
dengan mimpi basah, juga diidentikkan dengan menstruasi. Para pakar hukum Islam
(Fuqaha’) sepakat menyatakan bahwa mimpi basah merupakan indikator yang paling

124

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Pernikahan, Talak, khulu, Meng-iila’ Istri
Li’an, Zhihar, Masa Iddah, (Jakarta: Gema Insani Darul Fikir, 2011), hal. 172.

63

jelas bahwa seseorang anak laki-laki (ghulam) maupun anak perempuan (jariyah)
telah mencapai wajib menjalankan hukum agama (taklif) termasuk dalam urusan
perkawinan.125
Banyak pendapat dari para ahli agama maupun aliran (mazhab) memandang
masalah kedewasaan anak dalam hal melaksanakan perkawinan, tetapi dari semua itu,
Al-Qur’an sendiri dan Hadits tidak pula menentukan batasan usia dewasa bagi anak
berdasarkan usianya kecuali baligh-nya si anak tersebut. Hal itu menandakan bahwa
berdasarkan hukum Islam dan fiqih Islam, syarat baligh untuk melaksanakan
pernikahan merupakan syarat mutlak. Jadi bukan berdasarkan usia.
Dewasa bagi wanita hendaknya jangan diartikan berdasarkan hanya pada
konteks berakal sehat saja. Memang benar bahwa seorang wanita yang belum berakal
sehat tidak dapat menentukan pendapatnya dalam persoalan perkawinan126, akan
tetapi masalah kedewasaan bagi wanita harus dilihat dari sisi baligh-nya wanita
tersebut. Sebab terdapat kecenderungan bahwa terkadang ada wanita yang telah
memiliki akan sehat tetapi sebenarnya wanita atau gadis tersebut belum menunjukkan
tanda-tanda bahwa dirinya sudah baligh misalnya datangnya haidh atau menstruasi
pada dirinya.
Rasulullah SAW menikahi Aisyah pada usia 6 (enam) tahun dan baru mulai
mencampurinya (tinggal serumah) setelah Aisyah berusia 9 (sembilan) tahun.127
Hadits yang menentukan usia Aisyah menikah dengan Rasulullah SAW dinyatakan
125

Yusuf Hanafi, Op. cit., hal. 20.
T. Jatifzhan, Op. Cit., hal. 259.
127
Yusuf Hanafi, Op. cit., hal. 11, hal. 38-39.
126

64

cukup sahih sebab diucapkan oleh Aisyah itu sendiri. Dijelaskan dalam Hadits
tersebut adalah: ”Rasulullah SAW menikahiku ketika diriku berusia 6 tahun, dan
mulai hidup serumah denganku saat aku telah berumur 9 tahun”. Hadits ini dikatakan
shaih karena diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim,128 dan termasuk kesepakatan para
ahli Hadits.129
a. Pandangan para mazhab dalam menentukan dewasa
Semua mazhab (Hanafi, Safi’i, Hambali, dan Maliki) atau disebut dengan
Jumhur Fuqaha, berpendapat boleh menikahkan anak kecil perempuan. Keempat
mazhab sunni ini hanya berbeda paham masalah siapa yang berhak menikahkan anak
kecil. Keempat mazhab ini hanya saling berselisih pendapat mengenai siapa yang
berhak mengawinkan anak perempuan yang masih kecil tersebut.130
Dalam menentukan dewasa (baligh) tersebut, umumnya seluruh ulama
mazhab berpendapat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti ke-baligh-an seorang
wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan
haidh kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki.131 Tetapi
empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i) dan satu mazhab Ja’fari
(Imamiyah)132 berbeda pandangan dalam menentukan baligh tersebut.
Maliki, Syafi’i, dan Hambali, mengatakan, baligh ditandai dengan tumbuhnya
bulu-bulu ketiak, merupakan bukti dewasanya seseorang. Sedangkan Hanafi
128

Ibid., hal. 3.
Hilman Hadikusuma, Op. cit., hal. hal. 51.
130
Wahbah Az-Zuhaili, Op. cit., hal. 172-173.
131
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan
Hambali), (Jakarta: Lentera, 2011), hal. 317.
132
Ibid., hal. xxi-xxii.
129

65

menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain
yang ada pada tubuh. Syafi’i dan Hambali mengatakan, usia baligh untuk anak lakilaki dan perempuan adalah 15 (lima belas) tahun, sedangkan Maliki menetapkan 17
(tujuh belas) tahun, sedangkan Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki
adalah 18 (delapan belas) tahun, sedangkan anak perempuan 17 (tujuh belas) tahun.133
Adapun pandangan dari mazhab Ja’fari (Imamiyah) menetapkan usia baligh
anak laki-laki adalah 15 (lima belas) tahun, sedangkan anak perempuan adalah 9
(sembilan) tahun, yang didasarkannya pada Hadits Ibnu Sinan berikut: ”Apabila anak
perempuan telah mencapai usia sembilan tahun, maka hartanya diserahkan
kepadanya, urusannya dipandang boleh, dan hukum pidana dilakukan atas haknya
dan terhadap dirinya secara penuh”. Sementara Muhammad Jawad Mughniyah,
berdasarkan pengalaman membuktikan bahwa kehamilan bisa terjadi pada anak gadis
pada usia 9 (sembilan) tahun, sedangkan kemampuan untuk hamil dipandang
sepenuhnya sama dengan hamil itu sendiri.134
Sebagaimana pandangan Hanafi di atas yang menetapkan usia baligh bagi
anak laki-laki adalah 18 (delapan belas) tahun, sedangkan anak perempuan 17 (tujuh
belas) tahun merupakan batas usia maksimal. Sedangkan usia minimalnya adalah 12
(dua belas) tahun untuk anak laki-laki dan 9 (sembilan) tahun untuk anak perempuan.
Sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mengalami mimpi basah
(mimpi mengeluarkan sperma) atau sudah mampu menghamili, atau mengeluarkan

133
134

Ibid., hal. 317-318.
Ibid., hal. 318.

66

mani (di luar mimpi), sedangkan pada anak perempuan sudah mengalami haidh, atau
menstruasi, dan sudah bisa hamil.135
b. Pandangan para mazhab dalam menentukan boleh tidaknya izin orang tua
Pandangan para mazhab dalam menentukan boleh tidaknya izin orang tua bagi
anak perempuan untuk melangsungkan pernikahan, berbeda-beda satu sama lain. Para
ulama mazhab sependapat bahwa wali untuk anak gadis (anak kecil) adalah ayahnya,
sedangkan ibunya tidak memiliki hak perwalian (sebagai wali) kecuali menurut
mazhab Syafi’i. Selanjutnya para ulama mazhab hanya berbeda pendapat dalam
menentukan wali yang bukan ayah (selain ayah).136
Menurut pandangan Syafi’i dan Hambali bagi ayah boleh menikahkan
anaknya atau cucunya yang masih gadis tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu dari
gadis tersebut, baik gadis itu sudah dewasa maupun masih kecil, dan pendapat ini
satu pandangan dengan mazhab Hambali.137
Tetapi Syafi’i dan Maliki hanya sependapat untuk wali ayah saja, sedangkan
untuk wali seorang kakek, Hambali dan Maliki berpendapat bahwa kakek tidak
memiliki hak untuk memaksa. Berarti selain ayah tidak diperbolehkan menikahkan
perempuan yang masih kecil hingga anak tersebut baligh dan memberi izin.
Sedangkan Hanafi berpendapat, bagi semua ashabah (ahli waris) diperbolehkan
untuk menikahkan anak masih kecil (belum baligh), tetapi anak tersebut baru

135

Ibid.
Abdul Rahman Ghozali, Op. cit., hal. 166.
137
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqh Empat Mazhab,
(Bandung; Hasyimi Press, 2010), hal. 341.
136

67

memiliki hak pilih jika ia sudah dewasa antara meneruskan atau membatalkan
pernikahan tersebut.138
Sedangkan Hanafi berpendapat, menikahkan gadis yang sudah baligh dan
berakal tanpa ada kerelaan si gadis tersebut, maka tidak diperbolehkan bagi siapapun.
Sedangkan Hambali berpendapat, jika gadis tersebut sudah berumur 9 (sembilan)
tahun, maka sah izinnya, baik yang ada hubungannya dengan pernikahan, maupun
dengan yang lainnya.139
Sehubungan dengan batas usia kawin dan masalah pemberian izin dari orang
tua (wali) bagi anak perempuan, dalam Fiqih Islam tidak ditemukan pengaturan yang
menentukan batas usia kawin. Kendatipun berpendapat berbeda-beda dan ada yang
menentukan berdasarkan usia dan berdasarkan baligh, akan tetapi dalam Al-Qur’an
sendiri sebagai sumber hukum yang utama bagi umat Islam tidak menentukan hal itu.
Berdasarkan pendapat para mazhab (jumhur ulama) tersebut di atas, para
Fuqaha’ hanya menyatakan bahwa tolak ukur kebolehan untuk menggauli atau
digauli (saghirah) adalah terletak pada kesiapannya untuk melakukan aktivitas
seksual. Islam memandang aktivitas seksual bagi laki-laki dan perempuan baru dapat
terjadi jika ia telah baligh yang diartikan hingga si gadis tersebut harus mencapai
kesempurnaan dan kematangan fisik.140

138

Ibid., hal. 341-342,
Ibid., hal. 315.
140
Yusuf Hanafi, Op. cit., hal. 12.
139

68

2. Pengaturan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau
kontrak/perjanjian keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan dalam konsep Islam
lebih diarahkan pada pelaksanaan nilai-nilai ibadah yang berkonsekuensi pada pahala
di sisi Allah SWT, maka dengan itu, amatlah tepat jika kompilasi (Kompilasi Hukum
Islam) menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (miitsaqaan gholiidhan) yang
semata-mata mentaati perintah Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan
ibadah.141
Syarat bagi kedua calon mempelai pada Pasal 15 ayat (1) KHI ditentukan,
untuk calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 (sembilan belas) tahun dan calon
istri sekurang-kurangnya berumur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan ini dimaksudkan
dengan pertimbangan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, sehingga
perkawinan hanya boleh dilakukan oleh kedua calon mempelai (laki-laki dan
perempuan) jika telah mencapai umur sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7
UU Perkawinan.142
Ketentuan dalam KHI mengenal batasan umur untuk melaksanakan
perkawinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 KHI ini, dikatakan anak di bawah umur
berarti laki-laki (calon suami) yang usianya berada di bawah 19 (sembilan belas)

141

Ahmad Rofiq, Op. cit., hal. 69.
Tim Pustaka Yustisia, Hukum Keluarga, Kumpulan Perundang-Undangan Tentang
Kependudukan, Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan, Perceraian, KDRT, dan Anak, (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2010), hal. 237.
142

69

tahun dan usia calon istri berada di bawah 16 (enam belas) tahun.143 Untuk semua
usia anak di bawah tahun ini adalah dikatakan sebagai anak di bawah umur. Oleh
sebabnya menurut KHI tidak boleh melaksanakan perkawinan.
Jika dari usia 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan usia 16 (enam
belas) tahun untuk perempuan hingga mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, maka
tahap usia ini diperbolehkannya kawin, akan tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 15
ayat (2) KHI harus memperoleh izin dari kedua orang tuanya. Pada Pasal 15 ayat (2)
KHI ditetapkan syarat izin kedua orang tua.144 Bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU Perkawinan.
Pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur, jika tidak ada kedua
orang tua khususnya orang tua calon istri, maka yang berwenang untuk memberi izin
perni

Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 85 104

Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

6 131 125

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

0 3 16

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 14

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 2

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 36

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 7

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa

0 0 42

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 0 10