Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan awal dari terbentuknya sebuah institusi kecil dalam
keluarga. Perkawinan sangat penting bagi kehidupan manusia perseorangan maupun
kelompok. Melalui perkawinan yang sah, pergaulan antara laki laki dan perempuan
terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Pergaulan
rumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan kasih sayang antara suami
dan istri. Anak dari hasil perkawinan menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus
merupakan anugerah dari Allah SWT.
Dalam pandangan hukum Islam perkawinan merupakan suatu ibadah dan
merupakan perintah Allah SWT dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Perintah Allah
berarti menurut perintah Al-Qur’an sedangkan sunnah Rasul berarti mengikuti tradisi
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang telah dilakukan oleh dirinya
sendiri dan untuk umatnya.1 Dalam ayat Al-Qur’an surat Annisa’ ayat (1) yang
terjemahannya berbunyi:
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
1

Amir Syarifuddin, Hukum Pekawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007),

hal. 41.

1

2

dan mengawasi kamu”.2
Oleh karena itu dalam pernikahan harus diatur sedemikian rupa dalam rangka
mencapai tujuan keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah.3 Tujuan
perkawinan pada dasarnya memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia,
sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan
dalam menjalani hidup di dunia ini. Selain itu untuk mencegah perzinahan agar
tercipta ketenangan keluarga dan masyarakat.4
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur hal-hal

yang berkaitan dengan perkawinan menentukan beberapa prinsip, diantaranya
perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Walaupun telah ditentukan peraturan dan asas atau prinsip
mengenai perkawinan dan segala sesuatu tentang perkawinan, kenyataannya dalam
masyarakat sering terjadi penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan, seperti melakukan perkawinan di bawah umur dan diikuti dengan
perbuatan tanpa adanya izin dari orang tua khususnya untuk calon pasangan berjenis
kelamin perempuan.
Perbuatan izin dari orang tua bagi anak yang akan melangsungkan perkawinan
di mana anak belum berusia 21 tahun merupakan pelaksanaan asas partisipasi
keluarga sebagaimana dianut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
2

Kementrian Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan terjemahannya, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1418 H), juz 4, hal. 114.
3
Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2005), hal. 17.
4
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Uu No. 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 26.


3

Perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
karena ia akan memasuki dunia baru, membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari
keluarga besar bangsa Indonesia yang religius dan kekeluargaan, maka diperlukan
partisipasi keluarga untuk merestui perkawinan itu. Oleh karena itu, bagi yang berada
di bawah umur 21 tahun untuk pria dan perempuan diperlukan izin dari orang tua.5
Hal ini cenderung terjadi, karena dalam pandangan masyarakat yang keliru
dalam memaknai masalah perkawinan, misalnya:6
1. Pandangan tentang kedewasaan seseorang dilihat dari perspektif ekonomi.
Ketika seseorang telah mampu menghasilkan uang atau telah terjun ke sektor
pekerjaan produktif telah dipandang dewasa dan dapat melangsungkan
perkawinan, meskipun secara usia masih anak-anak.
2. Kedewasaan seseorang yang dilihat dari perubahan-perubahan secara fisik,
misalnya menstruasi bagi anak anak perempuan dan mimpi basah bagi anak
laki-laki, diikuti dengan perubahan terhadap organ-organ reproduksi.
3. Terjadinya perkawinan merupakan jalan keluar yang sering diambil oleh
keluarga dan masyarakat untuk menutup aib dan menyelamatkan status anak
pasca kelahiran yang terjadi diluar nikah

4. Korban perkawinan di bawah umur lebih banyak anak perempuan karena
kemandirian secara ekonomi, status pendidikan dan kapasitas perempuan
bukan hal penting bagi keluarga. Karena perempuan sebagai isteri segala
kebutuhan dan hak-hak individualnya akan menjadi tanggungjawab suami.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menentukan berikut ini:
1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan
5

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), hal. 21.
6
http://www.kompas.com, diakses tanggal 8 Desember 2012. Oleh: Ahmad Sofian dan
Misran Lubis, tentang “Tulisan Dalam Diskursis dan Penelitian Tim Pusat Kajian dan perlindungan
Anak (PKPA)”.

4


tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan
menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang
tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Selanjutnya dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan:

1. Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
2. Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak
pria atau pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan 7 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 di atas adalah menyangkut syarat-syarat perkawinan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menekankan tentang adanya izin dari orang
tua bagi pasangan yang akan menikah bagi yang belum mencapai usia 21 tahun.
Sehingga dengan demikian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memandang batas
usia dewasa adalah berusia 21 tahun. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

5

1974 menekankan pula syarat-syarat perkawinan bahwa pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
Keadaan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak berlaku

baku sehingga dapat diberikan dispensasi perkawinan di bawah usia yang ditetapkan
tersebut sepanjang syarat-syarat perkawinan dipenuhi seperti adanya dispensasi dari
Pengadilan.
Syari’at Islam bertujuan memberi perlindungan terhadap agama, jiwa,
keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya
adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim
menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan
legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan
pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.7
Fiqih Islam yang memandang masalah kedewasaan untuk melakukan
perkawinan berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dalam hal eksistensi perlunya wali bagi pihak perempuan untuk
melangsungkan perkawinan.
Perbedaan pandangan antara Fiqih Islam dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam memaknai pernikahan di bawah umur,
pernikahan yang dilakukan melewati batas minimal Undang-Undang Perkawinan,
secara hukum menentukan perkawinan di bawah umur tidak sah. Pernikahan di
bawah umur menurut negara dibatasi dengan umur. Sedangkan dalam Fiqih Islam,
7


Ibrahim, Al Bajuri, (Semarang: Toha Putra, 2001), hal. 90.

6

pernikahan di bawah umur tidak dibatas berdasarkan usia tetapi adalah pernikahan
yang dilakukan oleh orang yang belum baligh (tanpa batasan umur).
Pendapat yang diberikan Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama
melarang pernikahan di bawah umur (dalam konteks pernikahan sebelum usia
baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis,
dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang
belum baligh. Oleh sebabnya lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.8
Ibnu Syubromah menjelaskan masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan
kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Rasulullah SAW dengan
Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai
ketentuan khusus bagi Rasulullah SAW yang tidak bisa ditiru umatnya.9 Tetapi dalam
konteks pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah ini dapat diambil pelajaran
bahwa Islam tidak melarang pernikahan di bawah umur karena tidak ada ketentuan di
bawah umur menurut syari’at Islam melainkan ketentuan baligh, ketentuan baligh
sebagai ukuran bagi perempuan dapat menghasilkan keturunan.
Mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini

merupakan hasil interpretasi dari QS. At-Thalaq: ayat (4) yang artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya),
maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan8

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1240:pe
rnikahan-dini-dalam-perspektif-agama-dan-negara&catid=2:islam-kontemporer&Itemid=57, diakses
tanggal 10 Desember 2012. Oleh: Yusuf Fatawie, “Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan
Negara”.
9
Ibid.

7

perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan
barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya”.
Maksud ketentuan di atas adalah disebabkan karena misalnya usianya yang
masih kecil, maka ‘iddahnya selama tiga bulan. Sekalipun ketentuan ayat di atas telah

menentukan, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi oleh rasulullah SAW
dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di
kalangan sahabat.10 Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah di bawah
umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu
Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak
dianggap utuh. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan
mudah terpatahkan.11
Imam Jalaludin Suyuthi menulis dua hadits yang cukup menarik dalam kamus
haditsnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu
shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika
(diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.12 Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam
kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun
dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan
atas orang tuanya”.13
Selain persoalan usia maka hal lainnya yang diterapkan dalam syarat-syarat
10

Ibid.
Ibnu Hajar, Al ’Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1999), hal. 237.
12

Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2001), hal. 210.
13
Ibid., hal. 501.
11

8

perkawinan adalah adanya izin orang tua. Izin orang tua dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diperlukan bagi perkawinan anak yang
belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun bagi laki-laki sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
menentukan, “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”.
Apabila dianalisa, terdapat suatu problematika hukum dalam hal memandang
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam
kaitannya dengan Fiqih Islam. Izin yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tampak disamaratakan antara calon mempelai pria dengan calon
mempelai wanita. Sedangkan dalam Fiqih Islam menjelaskan izin yang diberikan
disamakan dengan perwalian, dan hanya dibebankan kepada pihak perempuan saja.
Berdasarkan keadaan tersebut maka pernikahan anak di bawah umur tanpa
izin orang tua/wali, menurut Fiqih Islam, diartikan orang tua tidak bersedia menjadi
wali pernikahan anaknya (perempuan). Pada kapasitas ini harus dilihat dulu
alasannya, apakah alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan
yang dibenarkan oleh hukum syara’, misalnya anak gadis tersebut sudah dilamar
orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir,
atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabuk), atau mempunyai cacat tubuh
yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak
menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali wajib

9

ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim).14
Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi
alasan-alasan seperti di atas, maka akad nikahnya tidak sah alias batil (batil artinya
tidak sah), meskipun dia dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya
sesungguhnya tetap berada di tangan wali perempuan tersebut, tidak berpindah
kepada wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka
nikahnya batil (tidak sah). Sabda Rasulullah SAW, ”Tidak sah nikah kecuali dengan
wali.” (HR. Ahmad; Subulus Salam).15
Pada hakekatnya, penikahan di bawah umur juga mempunyai sisi positif. Pada
saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi cenderung tidak
mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana
akibat kebebasan itu sering dijumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta
ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang
memprihatinkan. Kenyataan ini menjelaskan pernikahan di bawah umur merupakan
upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus
dalam pergaulan yang semakin dikhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk
bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ maka harus dilakukan.
Karakter utama yang mewarnai hampir setiap masyarakat adalah suka meniru
dan gemar menyamakan kasus. Padahal hal demikian itu suatu kekeliruan. Agama

14

HSA Alhamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hal. 90-91.
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/wali-tidak-mau-menikahkan-bolehkah-nikahdengan wali-hakim/, diakses tanggal 8 Desember 2012. Oleh: Farid Ma’ruf, tentang “Wali Tidak Mau
Menikahkan, Bolehkah Nikah Dengan Wali Hakim”.
15

10

Islam sudah memiliki aturan baku yang berdiri tegak di atas pondasi yang kokoh dan
tidak mudah terombang-ambing. Agama Islam memberikan pernikahan pada usia
muda, karena hal itu jelas mendatangkan banyak berkah dan kebaikan, serta
mencegah banyak perkara.16
Menikah merupakan hal yang dianjurkan oleh agama. Banyak manfaat yang
didapat dari menikah jika ditinjau dari berbagai aspek. Pada aspek spiritual, menikah
dapat menambah pahala ibadah dan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, aspek
psikologi, menikah merupakan bentuk pendewasaan yang luar biasa. Aspek biologis,
menikah pada usia subur khususnya pada usia 30 (tiga puluh) tahun ke bawah dapat
meminimalisasi kemungkinan kelahiran dalam kondisi kurang sempurna. Dan pada
aspek ekonomi, pernikahan akan membuka pintu rezeki. Begitu banyak manfaat yang
didapat dari pernikahan.17
Seandainya pernikahan di usia muda itu mengandung kejelekan, niscaya
syariat Islam yang suci tidak akan membenarkan. Apalagi dalam kaidah hukum Islam
disebutkan, bahwa setiap perkara yang Allah Subhanahu Wata’ala perintahkan berarti
hal tersebut disukai dan diridhai-Nya. Masalah yang terus diperdebatkan adalah kalau
memang Allah SWT membenarkan pernikahan di bawah umur, yang merupakan
pasangan usia subur dan produktif, mengapa orang tua masih ragu untuk menikahkan
putra-putri mereka. Apalagi banyak pandangan cukup menyedihkan di masyarakat
16

http://muslimminang.wordpress.com/ 2012 /05/03/ allah-menyukai-pernikahan-dinimengapa-orang-tua-masih-ragu- untuk- menikahkan putra putri-mereka/, diakses tanggal 9 Desember
2012. Oleh: Zaenal Abidin bin Syamsudin, “Allah Menyukai Pernikahan Dini, Mengapa Orang Tua
Masih Ragu Untuk Menikahkan Putra-Putri Mereka”.
17
http://dewa18.wordpress.com/2012/08/26/menikah-muda-manfaat-dan-tantangannya/,
diakses tanggal 9 Desember 2012. Oleh: Dewa, tentang “Menikah Muda: Manfaat dan Tantangannya”.

11

akibat tertundanya pernikahan. Padahal hanya pernikahanlah yang mampu
memelihara kehormatan dan menjaga eksistensi masyarakat itu sendiri.
Perihal perkawinan selain dikenal dalam Fiqih Islam maupun Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
Pada akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan
perkembangan hukum dan peradilan Islam di Indonesia, antara lain:18
1. Dalam suatu lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta, pada tanggal 25
Februari 1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan buku
Kompilasi Hukum Islam. Pada tanggal 10 Juni 1991 rancangan kompilasi itu
mendapat legalisasi Pemerintah dalam bentuk Instruksi Presiden kepada
Menteri Agama untuk digunakan oleh instansi Pemerintah dan oleh
masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu dilaksanakan dengan
Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991.
2. Pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan dan diundangkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Kedua peristiwa tersebut di atas, merupakan suatu rangkaian yang saling
berhubungan secara timbal-balik dan saling melengkapi. Kompilasi Hukum Islam
disusun dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan hukum subtansial (mencakup
hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan), yang diberlakukan pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah melalui UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, diatur tentang kekuasaan pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf,
18

Muchtar Zarkasyi, “Kerangka Historis Pembentukan UU Nomor 7 Tahun 1989”, Artikel
dalam Mimbar Humum: Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 1 Tahun I (Jakarta: Al-Hikmah & Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1990), hal. 1-15.

12

dan sedekah, khususnya bagi orang-orang yang beragama Islam.
Rahmat Djatnika secara umum menyimpulkan bahwa penerapan konsepsi
hukum Islam di Indonesia dalam kehidupan masyarakat hendaknya dilakukan dengan
penyesuaian pada budaya Indonesia. Demikian pula penerapannya dilakukan melalui
yurisprudensi di Pengadilan Agama, sehingga dalam perundang-undangan Indonesia
tampak berkembang dan mampu menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat
untuk menuju tujuan hukum Islam, seperti dalam hal poligami, masalah batas umur
boleh kawin, masalah jatuhnya talak di hadapan sidang Pengadilan, masalah harta
bersama, masalah saksi pada perwakafan tanah milik dan masalah ikrar perwakafan
harus ditulis.19
Kesemuanya itu (baik penerapan hukum dalam kehidupan masyarakat, dalam
Peradilan Agama maupun dalam perun dang-undangan) mengandung ijtihad. Jika ada
yang tidak sependapat dengan hasil ijtihad tersebut, maka ijtihad hakim tidak dapat
dibatalkan dengan ijtihad yang lain.20 Akibatnya, akan terjadi kesimpangsiuran
keputusan dalam lembaga-lembaga peradilan agama dan semakin mempertajam
perbedaan pendapat tentang masalah-masalah hukum Islam.
Oleh karena belum ada kompilasi di Indonesia, dalam praktik sering dijumpai
adanya keputusan Pengadilan Agama yang saling/tidak seragam, padahal kasusnya
sama. Masalah fikih yang semestinya membawa rahmat malah menjadi perpecahan.
Hal itu disebabkan karena umat Islam salah paham dalam mendudukkan fikih, selain
19

Abdurrahman Wahid, et. al., Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1990), hal. 254.
20
Ibid.

13

belum adanya Kompilasi Hukum Islam. Tujuan perumusan Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia adalah menyiapkan pedoman yang seragam (unifikasi) bagi hakim
Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh
bangsa Indonesia yang beragama Islam.21
Dengan demikian, tidak ada lagi kesimpangsiuran keputusan Pengadilan
Agama. Hal seperti itu sering terjadi kasus yang sama, keputusan yang berbeda. Ini
sebagai akibat dari referensi hakim kepada kitab-kitab fiqih yang sesuai dengan
karakteristiknya sebagai rumusan para fuqaha yang sangat dipengaruhi oleh situasi
dan lingkungan di mana fuqaha itu berada. Semula semestinya menjadi sebagai
rahmat, tetapi kadang justru menimbulkan laknat. Wajar jika Bustanul Arifin
mempersoalkan, hukum Islam yang mana, Jika dalam suatu masalah tertentu
didalamnya terdapat banyak pendapat. Menurutnya, suatu peraturan harus jelas dan
sama bagi semua orang, yakni harus ada kepastian hukum.22
Berdasarkan uraian tersebut di atas, di antara dua sumber hukum yang
berbeda tersebut berpotensi menimbulkan penerapan yang berbeda-beda dalam
kehidupan sehari-hari, maka dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang
“Perkawinan Anak di Bawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam,
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan” sebagai judul dalam penelitian ini.

21

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992),

22

Ibid., hal. 21.

hal. 20.

14

B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut ini:
1. Bagaimana pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur tanpa izin
orang tua dalam Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
2. Apakah akibat hukum dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang
tua menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
3. Apakah perbedaan dan persamaan dari perkawinan anak di bawah umur tanpa
izin orang tua menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam rangka dilakukaknnya penelitian terhadap ketiga permasalahan
di atas, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan tentang perkawinan anak di
bawah umur tanpa izin orang tua berdasarkan Fiqih Islam, Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.

15

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari perkawinan anak di
bawah umur tanpa izin orang tua menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan dan persamaan dari
perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua menurut Fiqih Islam,
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna, baik secara
teoritis maupun secara praktis antara lain:
1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai
bahan pengkajian lebih lanjut dan menambah referensi ilmu pengetahuan di
bidang perkawinan baik dalam lingkup hukum nasional maupun dalam
lingkup hukum Islam, serta bermanfaat pula bagi masyarakat khususnya bagi
orang yang akan melangsungkan perkawinan.
2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi lembaga-lembaga pemerintahan
seperti Badan-Badan Peradilan, Lembaga Legislatif, Departemen Agama,
Kantor Catatan Sipil, Kantor Urusan Agama, dan Majelis Ulama Indonesia.

16

E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini memiliki keaslian dan tidak plagiat dari hasil karya penelitian
orang lain. Sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan ataupun ceking judul dan
permasalahan dari tesis-tesis yang ada baik di Perpustakaan Universitas Sumatera
Utara khususnya di Program Studi Magister Kenotariatan maupun dilakukan
penelusuran di situs-situs resmi perguruan tinggi lainnya melalui internet dan
diperoleh judul tesis tentang:
Perkawinan Anak di Bawah Umur dan Akibat Hukumnya, oleh: Linda
Rahmita Panjaitan, NIM: 087011009. Penelitian mengkonsentrasikan
kajiannya pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur dalam sistim
hukum di Indonesia, akibat hukum dari perkawinan anak di bawah umur, dan
sanksi terhadap pelanggaran atas perkawinan anak di bawah umur.
Sedangkan dalam penelitian ini, berjudul ”Perkawinan Anak di Bawah Umur
Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” dan fokus kajiannya adalah:
1. Pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua
dalam Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Akibat hukum dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua
menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.

17

3. Perbedaan dan persamaan dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin
orang tua menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan judul dan permasalahan pada tesis di atas, sangat jelas dan nyata
terdapat perbedaan fokus kajiannya pada hukum nasional dan hukum Islam, oleh
karena itu penelitian ini tidak mengandung unsur kesamaan atau plagiat dari hasil
karya ilmiah orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini baru pertama
kali dilakukan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi
antara lain kejujuran, rasional, objektif, terbuka, serta sesuai dengan implikasi etis
dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan sehingga dengan teori yang
relevan digunakan, mampu menerangkan dan memberikan solusi terhadap masalah
tersebut.23 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
untuk mengenai sesuatu kasus atau permasalahan.24 Menurut pandangan Satjipto
Rahardjo, bahwa dengan adanya teori menempati kedudukan yang penting sebagai
pisau analisis untuk merangkum dan memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal
23

Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta:
Andi, 2006), hal. 6.
24
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.

18

yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan
kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara
mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakan.25
Sehubungan dengan pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur
tanpa izin orang tua dalam Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan akibat hukum dari
perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua tersebut, maka untuk
menganalisis masalah perkawinan anak di bawah umur, dirasa lebih tepat digunakan
adalah teori tentang kemaslahatan dan teori utilitarian. Kemaslahatan dikenal dalam
konteks sistim hukum Islam sedangkan utilitarian dikenal dalam konsep anglo saxon
atau dikenal dalam tardisi common law system. Oleh sebab itu, teori sistim hukum
digunakan sebagai teori dasar (grand theory) dalam penelitian ini, sedangkan teori
kemaslahatan dan teori utirilitarian digunakan sebagai teori penerapan atau aplikasi
(aplied theory) dalam penelitian ini.
a. Teori Sistim Hukum sebagai grand theory
Pada setiap negara tertentu dipastikan menganut sistim hukum tertentu, atau
dengan kata lain negara-negara tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut suatu
negara tertentu. Walaupun negara menganut suatu sistim hukum tertentu, tetapi
dengan melihat dan memperhatikan kondisi perkembangan globalisasi ekonomi yang
berdampak pada globalisasi hukum, mengakibatkan suatu negara tertentu tidak
mutlak menganut satu sistim hukum yang murni.
25

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 253.

19

Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut sistim hukum Eropa
Kontinental (Perancis-civil law) tetapi pada kenyataannya banyak muatan-muatan
dalam sistim hukum di Indonesia bersumber dari sistim Anglo Saxon (Inggriscommon law), contohnya hukum positif di Indonesia tidak saja hanya diatur
berdasarkan kepentingan penguasa saja, tetapi telah dinormatifkan aspek moralitas ke
dalam undang-undang. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan telah diatur kewajiban negara untuk memberlakukan helm
bagi pengendara kendaraan, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas telah diatur kewajiban moral dalam Pasal 74 tentang tanggung
jawab sosial, dan lain-lain. Demikian pula di Indonesia diakui keberlakuan hukum
Islam khusus bagi pemeluk yang beragama Islam. Dalam kondisi demikian
sesungguhnya hukum berada dalam sistim yang saling mempengaruhi dan saling
berhubungan antara satu sama lainnya dalam konteks menjaga ketertiban hukum.
Itulah sebabnya teori yang mendasari dalam penelitian ini digunakan adalah
teori sistem hukum (legal system theory). Ada dua sistem hukum yang mendominasi
negara-negara di dunia dan dibedakan atas sistem hukum civil law (continental
europe legal system) yang bercirikan hukum dalam bentuk perundang-undangan
tertulis dan sistem hukum common law (anglo american legal system) yang
bercirikan hukum tidak tertulis dan putusan-putusan pengadilan terdahulu (precedent)
sebagai sumber hukumnya. Sedangkan hukum Islam di Indonesia berada pada posisi
melengkapi sistim hukum civil law karena sistim hukum Islam hanya didominasi
pada negara-negara timur tengah.

20

Subekti menyebut sistem hukum itu adalah suatu susunan atau tatanan yang
teratur merupakan keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan
satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola dan merupakan hasil dari
suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan yakni kedamaian dan ketertiban
hukum.26 Pandangan demikian juga disebutkan Sudikno Mertokusumo, suatu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan
bekerja sama untuk mencapai tujuan.27
Sehubungan dengan hal tersebut, Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra juga
memandang hal yang sama luasnya ruang lingkup sistem hukum sebagai suatu
kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil. Sub-sub sistem
kecil itu misalnya bidang pendidikan hukum, pembentukan hukum, peraturan
perundang-undangan, penerapan hukum, aparat penegak hukum, dan lain-lain, dan
bidang-bidang lainnya.28
Sebagaimana kemaslahatan dikenal familiar dalam konteks sistim hukum
Islam sedangkan utilitarian dikenal dalam konsep anglo saxon atau dalam tradisi
common law system, yang ternyata saat ini tampak saling melengkapi dalam sistim
hukum di Indonesia. Pada prinsipnya antara kedua teori kemaslahatan dan teori
utilitarian memiliki pandangan yang sama, bahwa dalam mewujudkan sesuatu lebih
baik dilihat dari sejauh mana aturan itu dapat memberikan manfaat yang terbanyak di
26

R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.
27
Ibid.
28
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju,
2003), hal. 151.

21

antara banyak orang artinya di samping memberikan manfaat kepada banyak orang
tetapi manfaat itu tidak bertentangan pula dengan ketentuan perundang-undangan
baik dalam konteks hukum nasional maupun dalam konteks hukum Islam.
b. Teori Kemaslahatan
Secara sederhana menurut Husain Hamid Hasan, maslahat (al-mashlahah)
diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat atau menuntut
sesuatu ilmu itu mengandung suatu kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut
ilmu itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan batin.29 AlGhazali memformulasikan teori kemaslahatan dalam pandangannya, mengambil
manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syara’.30
Kemaslahatan, menurut al-Ghazali tersebut di atas harus sejalan dan seiring
dengan tujuan syara’ atau ajaran (hukum Islam), meskipun bertentangan dengan
tujuan-tujuan lain manusia. Atas dasar ini, yang menjadi tolok ukur dari maslahat itu
adalah tujuan dan kehendak syara’, bukan didasarkan pada kehendak hawa nafsu
manusia.
Tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu pada prinsipnya mengacu pada
aspek perwujudan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Muatan maslahat itu
mencakup kemaslahatan hidup di dunia maupun kemaslahatan hidup di akhirat. Atas
dasar ini, kemaslahatan bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam

29

Husain Hamid Hasan, Nadzariyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy, (Kairo: Dar alNahdhah al-Arabiyah, 1971), hal. 3-4.
30
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1983), hal. 286.

22

memberikan penilaian terhadap sesuatu itu baik atau buruk, tetapi lebih jauh dari itu
ialah sesuatu yang baik secara rasional juga harus sesuai dengan tujuan syara’.
Demikian juga halnya dengan perkawinan di bawah umur tanpa izin orang tua
apabila dilakukan untuk kebaikan atau bermanfaat bagi pasangan yang melakukan
perkawinan tersebut, di mana kebaikan tersebut adalah suatu wujud dari
pertimbangan akal atas penilaian baik dan buruk. Jika bersandarkan pada teori
kemaslahatan, maka perkawinan anak di bawah umur, harus dilakukan sesuai dengan
tujuan syara’.
Teori kemaslahatan ini didukung pula dengan teori keadilan. Sebab keadilan
sebagai konsep hukum yang abstrak, tetapi bersifat subjektif, sesuai nilai yang dianut
masing-masing individu dalam masyarakat.31 Dalam konteks syara’ menjadikan
sesuatu yang dapat dinilai lebih adil untuk anak di bawah umur diizinkan oleh orang
tuanya untuk melangsungkan perkawinan jika telah memenuhi syara’ dalam rangka
menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang seperti zina.
Hukum lahir karena adanya tuntutan-tuntutan instrumental bagi Pemerintah
sebagai penguasa. Bagaimanapun hukum tidak mungkin dipisahkan dari keberadaan
suatu Pemerintah, karena seperti yang pernah dikatakan oleh Donald Black, bahwa
hukum adalah pengendalian sosial oleh Pemerintah.32 Memang benar tidak semua
aturan hukum dibuat oleh Pemerintah tetapi suatu aturan barulah dapat dikatakan

31

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Prenada Media Group,
2009), hal. 223.
32
Ibid.

23

aturan hukum jika keberlakuannya memperoleh legitimasi dari Pemerintah.
Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan
penciptaan kesejahteraan Negara.33
Demikian juga halnya dalam kaitannya dengan pengaturan perihal perkawinan
yang meletakkan batas-batas usia perkawinan baik itu dalam hukum Islam maupun
dalam hukum nasional (UU Perkawinan). Kedua peraturan dasar perkawinan tersebut
di Indonesia adalah suatu aturan yang berlaku secara nasional dan memperoleh
legitimasi oleh Pemerintah, bedanya hanya terletak pada individu pemeluk agama,
jika beragama Islam dapat diberlakukan hukum Islam sedangkan di luar agama Islam
berlaku UU Perkawinan, tetapi tidak tertutup pula kemungkinan berlakunya UU
Perkawinan terhadap umat Islam. Jadi, dalam konteks perkawinan, umat Islam di
arahkan pada dua instrumen hukum, apakah memilih hukum Islam atau hukum
nasional, dengan argumentasi bahwa jika memilih hukum Islam tujuannya untuk
pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT sedangkan jika memilih hukum
nasional, maka pertanggungjawaban bagi pelanggar adalah kepada Pemerintah
sebagai yang berkepentingan membuat aturan maupun undang-undang.
Perihal perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan. Hanya
saja dalam perwujudannya di tengah masyarakat maka ada hal-hal yang tidak diatur
dalam kedua peraturan tersebut yang muncul ke permukaan seperti pernikahan di
bawah umur tanpa izin orang tua, maka dalam kapasitas ini hukum sebagai wujud
perkembangan masyarakat berusaha menampung keadaan tersebut melalui teori33

Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op. cit., hal. 79-80.

24

teorinya seperti teori kemaslahatan dan teori keadilan.

c. Teori Utilitarian
Teori utilitarian mendasarkan teorinya pada kemanfaatan. Sehingga
melahirkan paham-paham utilitarianisme yang pertama kali dikembangkan oleh
Jeremy Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada zaman
itu adalah bagaimana menilai baik atau buruknya suatu kebijakan sosial politik,
ekonomi, dan legal secara moral. Dengan kata lain bagimana menilai suatu kebijakan
publik yang mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Bentham
menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan mendasarkan suatu
kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau,
sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.34
Teori manfaat yang paling terkenal dikemukakan oleh Jeremy Bentham dalam
karyanya berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”.35
Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu
meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain
meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk
mencapai kesejahteraan akan tercapai.36

34

Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal.

93-94.
35

Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia yang
bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakart dan Fredom Institusi, 2006), hal. 13.
36
Johannes Ibrahim, ”Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi Perbankan
Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.2, hal. 14.

25

Teori utilitiarisme berpandangan bahwa kualitas etis suatu perbuatan
diperoleh dengan dicapainya tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik
diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas
disebut baik.37 Pengambilan keputusan berdasarkan etika dengan pertimbangan
manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya yang dikenal dengan
istilah the greatest good for the greatest number. Semakin bermanfaat akan semakin
banyak orang dan perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan adalah
manfaat terbesar sehingga sering disebut dengan aliran konsekuensialisme karena
sangat berorientasi pada hasil perbuatan.38
Teori utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan
dalam menilai baik atau buruk. Baik buruknya kualitas moral suatu perbuatan
bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan oleh mereka sebagai
pengemban amanah atau orang-orang yang dipercaya. Jika suatu perbuatan
mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran,
kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik.
Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya,
maka perbuatan itu dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini menentukan seluruh
kualitas moral.39
Prinsip utilitarian menganggap suatu tindakan menjadi benar jika jumlah total
manfaat yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah manfaat total
37

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 67.
Erni R. Ernawan, Business Ethics: Etika Bisnis, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), hal. 93.
39
K. Bertens, Loc. cit.
38

26

yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Penelantaran para penyandang
cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan, ketidakotentikan, dan hilangnya
otonomi adalah bahaya-bahaya yang ditentang utilitarianisme ini.40
Kaitannya dengan masalah dalam penelitian ini adalah mengapa orang tua
melarang anaknya menikah di bawah umur atau negara melarang anak menikah di
bawah umur, padahal menurut syara’ (hukum Islam) hal tersebut dibenarkan oleh
agama, Jika dijawab melalui teori utilitarisme, karena hal itu berpotensi membawa
manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan (masyarakat) khususnya
sejumlah anak-anak yang ingin menikah di bawah umur.
Prinsip keadilan utilitarisme adalah menekankan kebijaksanaan yang masuk
akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.41 Oleh sebab itu, teori utilitarian
dapat menjawab masalah ini karena untuk memberikan kebijaksanaan dalam
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan ketika anak tersebut telah berumah
tangga disebabkan belum tercapainya kematangan akan untuk mencapai tujuan
keluarga, atau sebaliknya, dib olehkannya pada usia anak-anak untuk melangsungkan
perkawinan (dalam konteks hukum Islam) ditujukan untuk mencegah terjadinya
perbuatan zina karena luput dari pantauan dan pengawasan orang tua.
Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika atau moral tidak
mutlak sifatnya melainkan bergantung pada kondisi-kondisi tertentu untuk
diterapkan. Utilitarisme ini tidak bisa dimengerti dengan cara egoistis. Sebab kriteria
40

Ian Saphiro, Op.cit., hal. 24. Lihat juga: W. Stark, (ed), Jeremy Bentham’s Economic
Writings, (London : George Allen & Unwin, 1954), hal. 113.
41
John Rawls, A theory of Justice, (London: Harvard University Press, 1971), hal. 23-24.

27

untuk menentukan baik atau buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar
dari jumlah orang terbesar atau perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang
merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik.
Kemudian John Stuart Mill melakukan revisi dan mengembangkan lebih
lanjut teori ini. Dalam bukunya utilitarianism yang diterbitkan pada tahun 1861, John
Stuart Mill mengasumsikan bahwa pengejaran manfaat bagi masyarakat adalah
sasaran aktivitas moral individual. John Stuart Mill mempostulatkan suatu nilai
tertinggi kebahagiaan yakni kesenangan heterogen dalam berbagai bidang kehidupan.
Semua pilihan dapat dievaluasi dengan mereduksi kepentingan yang dipertaruhkan
sehubungan dengan kontribusinya bagi kebahagiaan individual yang tahan lama.
Kriteria manfaat menurutnya harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera
individual yang lebih awet atau resisten sebagai hasil yang diinginkan yakni
kebahagiaan.42 Tindakan hanya menciptakan manfaat dalam kegiatan bisnis saja,
tetapi bermanfaat untuk masyarakat secara umum.43
Selanjutnya pada tahun 1958-1971, John Rawls mengolaborasi keadilan
dengan mencampur unsur-unsur keadilan menurut Aristoteles dan keadilan yang
hilang itu mesti dikembalikan oleh hukum. Hasil kolaborasinya diperoleh secara
tajam jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan
memperhatikan kepribadian masing-masing kepentingan bagi semua orang.44

42
43

Gunawan Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta: Simon & Schuster, 1997), hal. 190-192.
O.P. Simorangkir, Etika: Bisnis, Jabatan dan Perbankan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003),

hal, 55.
44

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 94.

28

Pandangan John Rawls ini sejalan dengan keadilan yang ingin dicapai oleh aliran
utilitarian yang menitikberatkan pada kemanfaatan. Jika mesin diukur dari
manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur
dari manfaatnya. Karena itu, unsur manfaat sebagai kriteria bagi umat manusia dalam
mematuhi hukum.45
Bila dikaitkan apa yang dikemukakan dalam teori kemaslahatan (almashlahah) dan teori kemanfaatan (utilitarian) sebagaimana dikemukakan di atas,
dalam kaitannya dengan hukum, maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik
buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum
baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah
kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya
sesuatu akan dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak
adil, tidak bermanfaat, tidak baik, menimbulkan kerugian, dan hanya memperbesar
penderitaan.
Sebagaimana tujuan hukum untuk mencapai keadilan, ketertiban, dan
kesejahteraan akan tercapai.46 Sehingga tidak salah para ahli menyatakan bahwa teori
kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Tujuan hukum
dimaksud membawa kebahagian sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau
bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang

45

John Rawls, A Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair fauzan dan Heru Prasetyo, Teori
Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam negara,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 23.
46
Ian Saphiro, Op. Cit., hal. 14.

29

dihasilkan dari proses penerapan hukum. Dengan keadaan tersebut maka pernikahan
anak di bawah umur harus diatur dan diterapkan sedemikian rupa sehingga
memberikan kemanfaatan bagi masyarakat.
Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya yang berjudul Indahnya pernikahan
dini, dalam bukunya Fauzil Adhim menyebutkan secara lebih spesifik dengan
pengertian pernikahan saat masih kuliah, dalam bukunya disebutkan bahwa
masyarakat memandang pernikahan di usia muda adalah sebagai pernikahan yang
belum menunjukkan adanya kedewasaan, yang secara ekonomi masih sangat
tergantung pada orang tua serta belum mampu mengerjakan apa-apa (bekerja atau
mencari nafkah).47
Pandangan penting dalam perkawinan di usia muda adalah adanya rasa
tanggung jawab sebagai faktor yang berpengaruh terhadap keputusan untuk menikah
di usia muda.48 Pernikahan di usia remaja dan masih duduk di bangku sekolah bukan
sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik. Usia bukan ukuran utama
untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa menikah bisa
menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang semakin tidak
terkendali.49
Terminologi

dalam

Al-Qur’an

menggambarkan

mengenai

proses

pembentukan keluarga yaitu disebut dengan dua kata yakni nikah dalam pengertian

47

Mohammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003),

48

Ibid., hal. 28.
Ibid., hal. 29.

hal 26.
49

30

perkawinan dan zawwaja dalam arti berpasangan.50 Secara umum pengertian
pernikahan diartikan dengan hal (perbuatan) nikah.51 Nikah itu sendiri adalah
perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk bersuami
istri dengan resmi,52 sedangkan dini berarti belum waktunya.53 Jadi pernikahan dini
adalah suatu akad antara laki-laki dan perempuan yang terjadi pada saat usia masih
muda. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer dinyatakan bahwa nikah adalah
mengadakan perjanjian untuk membentuk rumah tangga dengan resmi antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan dengan peraturan agama maupun peraturan
Negara.54
2. Konsepsi
Konsep merupakan bagian terpenting daripada teori. Konsep dapat dilihat dari
2 (dua) segi yaitu subyektif dan obyektif. Dari segi subyektif, konsep merupakan
suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi obyektif,
konsep merupakan sesuatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut. Hasil dari
tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep.55 Tujuan digunakan landasan
konsepsional dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh dasar konseptual,
menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda serta memberikan pedoman
50

Mantep Miharso. Pendidikan Keluarga Qur’ani, (Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2004),

hal. 40.
51

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2003), hal. 614.
52
Ibid. hal. 328.
53
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Moderen
English Press. 1991), hal. 357.
54
Ibid. hal. 1035.
55
Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmuah, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), hal. 122.

31

dan arahan yang sama, antara lain:
a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.56
b. Anak di bawah umur adalah anak yang berusia 19 (Sembilan belas) untuk
laki-laki dan 16 (enam belas) untuk perempuan dan belum pernah kawin.57
c. Izin orang tua adalah izin untuk melangsungkan perkawinan seorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua
orang tua.58
d. Fiqih Islam adalah kajian-kajian yang membahas berbagai persoalan hukum
Islam (ibadah, muamalah, pidana, peradilan, jihat, perang dan damai)
berdasarkan hasil ijtihad ulama fikih dalam memahami Al-Qur’an dan hadist
yang dikaitkan dengan realitas yang ada dengan menggunakan berbagai
metode ijtihad.59
e. Kompilasi Hukum Islam adalah kegiatan pengumpulan atau sesuatu yang
dihimpun. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan langka

Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 85 104

Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

6 131 125

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

0 3 16

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 14

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 2

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 1 41

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 7

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa

0 0 42

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 0 10