Wacana Islam Pergumulan Pemikiran dan Re
Wacana Islam; Pergumulan Pemikiran dan Realitas
FAJAR KURNIANTO
Berbicara tentang wacana Islam, tidak pernah menemukan titik final yang benar-benar
mutlak sempurna. Islam saat ini, bahkan sejak dahulu kala, tidak saja dipandang sebagai suatu
agama—sama dengan agama-agama sebelumnya seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, dan lainnya
yang telah terlebih dahulu eksis dengan sekumpulan doktrin-doktrin yang dianggap sakral—
tetapi juga dipandang sebagai agama yang juga telah menyejarah, mengafiliasikan dirinya
menjadi bagian integral dengan sejarah panjang peradaban umat manusia di dunia. Dan, oleh
karena itu, pergumulan pemikiran tentang Islam dengan realitas budaya lokal di setiap tempat
dan waktu sudah barang pasti melahirkan ragam dan corak-corak pemikiran yang khas pula.
Perkembangan ini semakin terlihat jelas warnanya dengan munculnya aneka ragam
mazhab pemikiran, seperti Sunni dan Syiah (untuk menyebut sebagian mazhab/aliran pemikiran
besar dalam sejarah Islam yang hingga saat sekarang ini masih eksis dengan pengikutnya yang
cukup besar), yang memiliki corak penafsiran Islam dengan paradigma yang berbeda-beda.
Bahkan, domain tafsir atas Islam itu sendiri pun secara perlahan mulai merambah ranah lain di
luarnya.
Berbagai
macam
penaklukan
kaum
Muslimin
(futuhat
al-Islamiyyah)
pasca
meninggalnya Rasulullah SAW terhadap negeri-negeri di luar Semenanjung Arabia, seperti ke
Afrika, Asia, hingga sebagian Eropa Barat, oleh para penguasa Islam telah ikut membantu dan
turut serta dalam ‘membidani’ terjadinya arus percepatan asimilasi pemikiran lebih maju tentang
Islam.
Walaupun, ada banyak kalangan juga yang rupanya masih teguh memegang tradisi
pemikiran Islam sesuai dengan cetak biru pada masa-masa awal Islam (masa ini biasa disebut
sebagai masa salafi). Islam, dalam perkembangannya lebih jauh, semakin memperoleh legitimasi
kekuatan ketika ia menjadi sebuah spirit dalam memahami konteks. Perubahan-perubahan yang
sangat signifikan dan begitu cepatnya, yang dialami oleh umat Islam menuntut dipahaminya
kembali Islam.
Islam, dalam rentang sejarahnya yang cukup panjang, terhitung sejak Nabi Muhammad
‘mendeklarasikannya’ pada seluruh umat manusia di seantero Jazirah Arab, terkhusus di Mekkah
dan di Madinah, telah melahirkan aneka ragam corak bentuk dan pola-pola hidup umatnya lebih
heterogen.
Hal ini dimungkinkan, karena memang, Islam, sejatinya tidak sekedar doktrin sakral,
kaku dan rigid seperti yang banyak dipahami oleh sebagian kaum Muslim, akan tetapi ia adalah
juga cara pandang dan pola pikir yang selalu hidup, berjalan beriringan dengan dinamisme
kehidupan yang selalu berkembang dan berubah.
Islam menjadi wacana tanpa batas, yang saling mempertemukan antara doktrin ajaran
yang dikandungnya, dengan realitas yang dihadapi oleh umatnya di setiap kurun waktu dan
tempat secara lebih kontekstual dengan pendekatan lebih humanis.
Hal ini juga didorong oleh kenyataan yang selalu menyertai perjalanan doktrin Islam,
yaitu peranan para penafsir dan apa yang ditafsirkan, atau antara pemilik autoritas dengan
pemikiran-pemikiran interpretatif orientatif yang dimilikinya.
Zaman awal Islam disebut-sebut sebagai gambaran ideal dengan sosok Nabi Muhammad
SAW yang kharismatik dan sangat berwibawa, sehingga menjadi tolok ukur tersendiri oleh
sebagian besar kalangan umat Islam. Maka, Islam di manapun dan kapanpun itu mesti sesuai
dengan cetak biru yang telah Nabi SAW apresiasikan di masa lalu. Pemikiran model ini
misalnya, umumnya banyak dianut oleh kalangan Sunni.
Pada umumnya, mereka berpendapat bahwa Islam adalah satu kesatuan utuh dan abadi.
Sehingga, tidak memerlukan dan (kalau perlu) tidak memberikan peluang bagi perubahanperubahan baru untuk dikontekskan dengan keadaaan saat ini. Para ulama otoritatif memegang
kendali penafsiran Islam dengan syarat-syarat tertentu. Hal yang sama juga ditemui dalam
sebagian besar tradisi pemikiran Syiah. Mereka menempatkan sosok Imam sebagai sosok
otoritatif yang memiliki hak prerogatif untuk menafsirkan Islam.
Pergulatan pemikiran dan realitasnya itulah yang dengan sangat mengagumkan
digambaran oleh salah seorang pakar Islam dari Barat yang cukup populer karena kajian-kajian
serius dan kritisnya, namun tetap objektif bahkan simpatik, John L. Esposito, seorang Ahli Islam
dan juga Guru Besar Agama dan Hubungan Internasional Georgetown, AS, dalam bukunya,
Islam: The Straigt Path, yang diterjemahkan dalam versi Indonesia dengan judul Islam Warna
Warni, Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus” (al-Shirât al-Mustaqîm), oleh Arif Matuhin,
Dosen IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, dan diterbitkan oleh Paramadina.
Buku ini memaparkan rentangan sejarah Islam yang dimulai sejak Nabi Muhammad
hingga zaman modern Islam. Secara gamblang, Islam di dalam pandangan John L. Esposito
dalam buku ini, lebih merupakan kekayaan pemikiran umat Islam ketika mereka mencoba
mendekati doktrin-doktrin ajarannya lebih dinamis.
Melalui buku ini, Esposito sekali lagi menegaskan bahwa Islam, yang saat ini masih
menjadi umat terbesar kedua atau ketiga di dunia ini, tidaklah homogen, akan tetapi telah
berkembang dengan sangat pesat, menguasai banyak kantong-kantong strategis di banyak
negara, bahkan di Barat sendiri.
Karena itu, menurutnya, Islam tidaklah representasi mutlak Arab, tempat lahirnya. Akan
tetapi Islam telah menjelma menjadi satu gaya hidup dan pola pikir dalam menyikapi realitasnya.
Lebih jauh lagi, apresiasi umat Islam pada momen-momen tertentu di tempat-tempat tertentu,
tidak merupakan apresiasi umat Islam secara internasional.
Adanya jaringan terorisme yang mengatasnamakan Islam dengan simbol-simbol yang
dibawanya, sejatinya bukan cetak biru umat Islam secara umum. Itu hanya sebagian kecil dari
kaum militan Islam yang melakukannya. Penghancuran dua gedung kembar World Trade Center
(WTC) pada 11 September 2001, yang menewaskan ribuan manusia sebagai tindakan terorisme
terbesar yang kemudian secara massif tudingan itu dialamatkan kepada semua kalangan umat
Islam, sangatlah tidak tepat. Mereka hanyalah sempalan kecil yang mengatasnamakan Islam dan
sama sekali tidak mencitrakan Islam secara keseluruhan.
Buku ini cukup representatif dikaji lebih jauh, dan dapat menjadi bahan kajian untuk
melihat perilaku umat Islam dewasa ini. Apa sebetulnya yang dapat dilakukan oleh umat Islam
dalam menyikapi berbagai macam ragam tuduhan yang dialamatkan pada mereka.
Sekaligus menjadi bahan renungan internal, dengan melihat perjalanan sejarah umat
Islam di masa lalu. Bagaimana beragamnya corak dan pola pikir umat Islam, ketika menanggapi
realitasnya. Ini adalah pelajaran paling berharga untuk menerima keragaman sebagai sebuah
kekayaan, bukan bencana, apalagi penyebab turunnya musibah Tuhan.
Sejarah Islam dan umat Islam adalah deskripsi dari pergumulan-pergumulan antara
realitas dengan interpretasi. Realitasnya yang tunggal di masing-masing lokal, namun
interpretasi, lengkap dengan keragaman pola pikir dan horison sang penafsir masing-masing,
akan melahirkan penafsiran yang lain dan beragam pula. Keragaman untuk menuju satu jalan dan
satu tujuan hidup: kebahagiaan di dunia dan akhirat, itulah keistimewaan umat Islam yang
digambarkan oleh John L. Esposito dalam karyanya ini.
Sebagai wacana tanpa batas yang terus-menerus dipahami dengan perspektifnya masingmasing, Islam sesungguhnya semakin ingin meneguhkan sebagai ajaran yang terbuka untuk
dibaca oleh siapa pun. Justru dengan keterbukaan yang Islam berikan, akan semakin membuka
jengkal demi jengkal jantung ajaran Islam sebagai benar-benar ajaran Tuhan yang hakiki
kebenarannya tanpa perlu lagi dilakukan pemaksaan terhadap orang lain untuk mengakui
kebenaran Islam.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Islam adalah ajaran Tuhan untuk umat manusia
seluruhnya, bahkan bagi alam semesta. Maka, doktrin-doktrin ajaran Islam tidak akan pernah
‘meninggalkan’ ranah manusia dan kemanusiaan. Islam akan selalu melekat dengan sisi-sisi
humanis, karena memang untuk manusialah ajaran Islam itu sendiri.
Pergulatan pemikiran Islam dengan realitasnya yang heterogen dengan demikian tidak
akan pernah selesai sampai akhir zaman. Selama realitas umat manusia menyuguhkan
perubahan-perubahan dan perkembangannya yang signifikan, Islam dan tafsir atasnya akan
selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari itu semua. Wallahu a’lam.
*Artikel ini dimuat di koran Duta Masyarakat, Rabu 30 November 2005
FAJAR KURNIANTO
Berbicara tentang wacana Islam, tidak pernah menemukan titik final yang benar-benar
mutlak sempurna. Islam saat ini, bahkan sejak dahulu kala, tidak saja dipandang sebagai suatu
agama—sama dengan agama-agama sebelumnya seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, dan lainnya
yang telah terlebih dahulu eksis dengan sekumpulan doktrin-doktrin yang dianggap sakral—
tetapi juga dipandang sebagai agama yang juga telah menyejarah, mengafiliasikan dirinya
menjadi bagian integral dengan sejarah panjang peradaban umat manusia di dunia. Dan, oleh
karena itu, pergumulan pemikiran tentang Islam dengan realitas budaya lokal di setiap tempat
dan waktu sudah barang pasti melahirkan ragam dan corak-corak pemikiran yang khas pula.
Perkembangan ini semakin terlihat jelas warnanya dengan munculnya aneka ragam
mazhab pemikiran, seperti Sunni dan Syiah (untuk menyebut sebagian mazhab/aliran pemikiran
besar dalam sejarah Islam yang hingga saat sekarang ini masih eksis dengan pengikutnya yang
cukup besar), yang memiliki corak penafsiran Islam dengan paradigma yang berbeda-beda.
Bahkan, domain tafsir atas Islam itu sendiri pun secara perlahan mulai merambah ranah lain di
luarnya.
Berbagai
macam
penaklukan
kaum
Muslimin
(futuhat
al-Islamiyyah)
pasca
meninggalnya Rasulullah SAW terhadap negeri-negeri di luar Semenanjung Arabia, seperti ke
Afrika, Asia, hingga sebagian Eropa Barat, oleh para penguasa Islam telah ikut membantu dan
turut serta dalam ‘membidani’ terjadinya arus percepatan asimilasi pemikiran lebih maju tentang
Islam.
Walaupun, ada banyak kalangan juga yang rupanya masih teguh memegang tradisi
pemikiran Islam sesuai dengan cetak biru pada masa-masa awal Islam (masa ini biasa disebut
sebagai masa salafi). Islam, dalam perkembangannya lebih jauh, semakin memperoleh legitimasi
kekuatan ketika ia menjadi sebuah spirit dalam memahami konteks. Perubahan-perubahan yang
sangat signifikan dan begitu cepatnya, yang dialami oleh umat Islam menuntut dipahaminya
kembali Islam.
Islam, dalam rentang sejarahnya yang cukup panjang, terhitung sejak Nabi Muhammad
‘mendeklarasikannya’ pada seluruh umat manusia di seantero Jazirah Arab, terkhusus di Mekkah
dan di Madinah, telah melahirkan aneka ragam corak bentuk dan pola-pola hidup umatnya lebih
heterogen.
Hal ini dimungkinkan, karena memang, Islam, sejatinya tidak sekedar doktrin sakral,
kaku dan rigid seperti yang banyak dipahami oleh sebagian kaum Muslim, akan tetapi ia adalah
juga cara pandang dan pola pikir yang selalu hidup, berjalan beriringan dengan dinamisme
kehidupan yang selalu berkembang dan berubah.
Islam menjadi wacana tanpa batas, yang saling mempertemukan antara doktrin ajaran
yang dikandungnya, dengan realitas yang dihadapi oleh umatnya di setiap kurun waktu dan
tempat secara lebih kontekstual dengan pendekatan lebih humanis.
Hal ini juga didorong oleh kenyataan yang selalu menyertai perjalanan doktrin Islam,
yaitu peranan para penafsir dan apa yang ditafsirkan, atau antara pemilik autoritas dengan
pemikiran-pemikiran interpretatif orientatif yang dimilikinya.
Zaman awal Islam disebut-sebut sebagai gambaran ideal dengan sosok Nabi Muhammad
SAW yang kharismatik dan sangat berwibawa, sehingga menjadi tolok ukur tersendiri oleh
sebagian besar kalangan umat Islam. Maka, Islam di manapun dan kapanpun itu mesti sesuai
dengan cetak biru yang telah Nabi SAW apresiasikan di masa lalu. Pemikiran model ini
misalnya, umumnya banyak dianut oleh kalangan Sunni.
Pada umumnya, mereka berpendapat bahwa Islam adalah satu kesatuan utuh dan abadi.
Sehingga, tidak memerlukan dan (kalau perlu) tidak memberikan peluang bagi perubahanperubahan baru untuk dikontekskan dengan keadaaan saat ini. Para ulama otoritatif memegang
kendali penafsiran Islam dengan syarat-syarat tertentu. Hal yang sama juga ditemui dalam
sebagian besar tradisi pemikiran Syiah. Mereka menempatkan sosok Imam sebagai sosok
otoritatif yang memiliki hak prerogatif untuk menafsirkan Islam.
Pergulatan pemikiran dan realitasnya itulah yang dengan sangat mengagumkan
digambaran oleh salah seorang pakar Islam dari Barat yang cukup populer karena kajian-kajian
serius dan kritisnya, namun tetap objektif bahkan simpatik, John L. Esposito, seorang Ahli Islam
dan juga Guru Besar Agama dan Hubungan Internasional Georgetown, AS, dalam bukunya,
Islam: The Straigt Path, yang diterjemahkan dalam versi Indonesia dengan judul Islam Warna
Warni, Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus” (al-Shirât al-Mustaqîm), oleh Arif Matuhin,
Dosen IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, dan diterbitkan oleh Paramadina.
Buku ini memaparkan rentangan sejarah Islam yang dimulai sejak Nabi Muhammad
hingga zaman modern Islam. Secara gamblang, Islam di dalam pandangan John L. Esposito
dalam buku ini, lebih merupakan kekayaan pemikiran umat Islam ketika mereka mencoba
mendekati doktrin-doktrin ajarannya lebih dinamis.
Melalui buku ini, Esposito sekali lagi menegaskan bahwa Islam, yang saat ini masih
menjadi umat terbesar kedua atau ketiga di dunia ini, tidaklah homogen, akan tetapi telah
berkembang dengan sangat pesat, menguasai banyak kantong-kantong strategis di banyak
negara, bahkan di Barat sendiri.
Karena itu, menurutnya, Islam tidaklah representasi mutlak Arab, tempat lahirnya. Akan
tetapi Islam telah menjelma menjadi satu gaya hidup dan pola pikir dalam menyikapi realitasnya.
Lebih jauh lagi, apresiasi umat Islam pada momen-momen tertentu di tempat-tempat tertentu,
tidak merupakan apresiasi umat Islam secara internasional.
Adanya jaringan terorisme yang mengatasnamakan Islam dengan simbol-simbol yang
dibawanya, sejatinya bukan cetak biru umat Islam secara umum. Itu hanya sebagian kecil dari
kaum militan Islam yang melakukannya. Penghancuran dua gedung kembar World Trade Center
(WTC) pada 11 September 2001, yang menewaskan ribuan manusia sebagai tindakan terorisme
terbesar yang kemudian secara massif tudingan itu dialamatkan kepada semua kalangan umat
Islam, sangatlah tidak tepat. Mereka hanyalah sempalan kecil yang mengatasnamakan Islam dan
sama sekali tidak mencitrakan Islam secara keseluruhan.
Buku ini cukup representatif dikaji lebih jauh, dan dapat menjadi bahan kajian untuk
melihat perilaku umat Islam dewasa ini. Apa sebetulnya yang dapat dilakukan oleh umat Islam
dalam menyikapi berbagai macam ragam tuduhan yang dialamatkan pada mereka.
Sekaligus menjadi bahan renungan internal, dengan melihat perjalanan sejarah umat
Islam di masa lalu. Bagaimana beragamnya corak dan pola pikir umat Islam, ketika menanggapi
realitasnya. Ini adalah pelajaran paling berharga untuk menerima keragaman sebagai sebuah
kekayaan, bukan bencana, apalagi penyebab turunnya musibah Tuhan.
Sejarah Islam dan umat Islam adalah deskripsi dari pergumulan-pergumulan antara
realitas dengan interpretasi. Realitasnya yang tunggal di masing-masing lokal, namun
interpretasi, lengkap dengan keragaman pola pikir dan horison sang penafsir masing-masing,
akan melahirkan penafsiran yang lain dan beragam pula. Keragaman untuk menuju satu jalan dan
satu tujuan hidup: kebahagiaan di dunia dan akhirat, itulah keistimewaan umat Islam yang
digambarkan oleh John L. Esposito dalam karyanya ini.
Sebagai wacana tanpa batas yang terus-menerus dipahami dengan perspektifnya masingmasing, Islam sesungguhnya semakin ingin meneguhkan sebagai ajaran yang terbuka untuk
dibaca oleh siapa pun. Justru dengan keterbukaan yang Islam berikan, akan semakin membuka
jengkal demi jengkal jantung ajaran Islam sebagai benar-benar ajaran Tuhan yang hakiki
kebenarannya tanpa perlu lagi dilakukan pemaksaan terhadap orang lain untuk mengakui
kebenaran Islam.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Islam adalah ajaran Tuhan untuk umat manusia
seluruhnya, bahkan bagi alam semesta. Maka, doktrin-doktrin ajaran Islam tidak akan pernah
‘meninggalkan’ ranah manusia dan kemanusiaan. Islam akan selalu melekat dengan sisi-sisi
humanis, karena memang untuk manusialah ajaran Islam itu sendiri.
Pergulatan pemikiran Islam dengan realitasnya yang heterogen dengan demikian tidak
akan pernah selesai sampai akhir zaman. Selama realitas umat manusia menyuguhkan
perubahan-perubahan dan perkembangannya yang signifikan, Islam dan tafsir atasnya akan
selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari itu semua. Wallahu a’lam.
*Artikel ini dimuat di koran Duta Masyarakat, Rabu 30 November 2005