laporan Pengelolaan Hama dan Penyakit Ta

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN HAMA PENYAKIT TERPADU
ACARA I
AGROEKOSISTEM DAN ANALISIS AGROEKOSISTEM

Oleh:
Kiki Seftyanis
NIM A1D015024
Rombongan 4
PJ Asisten : Nung Siti Mukharomah

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017

I.

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Ekosistem pertanian (agroekosistem) memegang faktor penting dalam
pemenuhan kebutuhan pangan suatu bangsa. Keanekaragaman hayati (biodiversiy)
yang merupakan semua jenis tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang ada
berinteraksi dalam suatu ekosistem sangat menentukan tingkat produktivitas
pertanian.

Kenyataannya

pertanian

merupakan

penyederhanaan

dari

keanekaragaman hayati secara alami menjadi tanaman monokultur dalam bentuk
yang ekstrim. Hasil akhir pertanian adalah produksi ekosistem buatan yang
memerlukan perlakuan oleh pelaku pertanian secara konstan. Berbagai hasil

penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berupa masukan agrokimia (terutama
pestisida dan pupuk) telah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang tidak
dikehendaki (Gerald, 1998).
Ekosistem pertanian / Agroekosistem (EP) adalah ekosistem yang proses
pembentukannya ada campur tangan manusia dengan tujuan untuk meningkatkan
produksi pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan tuntutan manusia. Campur
tangan manusia dapat berupa pemberian masukan energi tinggi dan biasanya
mempunyai kecenderungan mengubah keseimbangan alami dan menyebabkan
ekosistem menjadi tidak stabil bila dikelola dengan baik. Contoh masukan energi
tinggi antara lain pestisida kimia sintetik, pupuk kimia, benih unggul dan lain-lain.
Agroekosistem diusahakan oleh manusia untuk menjaga pertumbuhan tanaman
dengan baik serta mengurangi serangan hama dan penyakit yang akan

2

mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman maupun yang dapat
menurunkan mutu hasil produksi dari sebagian kualitas dan kuantitas hasil
(Sutanto, 2002).
Pengendalian hama diusahakan sebagai salah satu usaha dari proses
produksi pertanian guna memperoleh hasil semaksimal mungkin dari lahan

pertanian bagi kepentingan petani dan masyarakat luas. Sedangkan proses
produksi pertanian meliputi berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan pertanian
atau agroekosistem yang ditujukan untuk pencapaian sasaran produktivitas
tertentu. Pengelolaan agroekosistem yang baik diharapkan dapat menekan
serangan hama dan penyakit, dengan memperhatikan aspek lingkungan sehingga
upaya tersebut tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu, praktikum ini
dilaksanakan untuk mengetahui bagaimana cara mengubah ekosistem di
lingkungan sebagai pencegahan serangan hama dan patogen penyebab penyakit
serta meningkatkan produktivitas tanaman.

B. Tujuan
Praktikum ini dilakukan bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui jenis dan fungsi agroekosistem.
2. Mengenal komponen ekosistem pertanian.
3. Menentukan keputusan pengelolaan agroekosistem.
4. Memberi kesempatan praktikkan mejadi ahli di lahannya sendiri.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA


Agroekosistem adalah ekosistem di lingkungan pengelolaan pertanian, yang
terkait dengan ekosistem lainnya (Mangan, 2002). Untung (1992) menyatakan,
bahwa ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Ekosistem dapat juga dikatakan sebagai suatu tatanan kesatuan secara utuh dan
menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
Agroekosistem atau ekosistem pertanian didalamnya terdapat beberapa
komponen yang menyusunnya. Komponen dalam agroekosistem yaitu abiotik dan
biotik. Komponen biotik dapat terdiri dari patogen penyebab penyakit, gulma dan
serangga baik bersifat sebagai hama tanaman maupun musuh alami dari hama
(Nurindah, 2006). Komponen abiotik meliputi suhu, kelembaban, air, sinar
matahari, ketinggian, angin, dan tanah sangat mempengaruhi komponen biotik
yang ada dalam pertanaman (Irwan, 2014).
Menurut Rohman (2008) mengatakan, bahwa penciri agroekosistem tidak
hanya mencakup unsur-unsur alami (iklim, topografi, altitude, fauna, flora, jenis
tanah, dan sebagainya) tetapi juga unsu-unsur buatan. Pendekatan pragmatis yang
lazim digunakan mengarah pada unsur-unsur buatan. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari pengaruh kemajuan teknologi dan investasi di bidang
infrastuktur. Pengelolaan potensi pertanian berdasarkan pendekatan agroekosistem

merupakan metode yang lebih menyeluruh, sederhana dan mendasar yang
meliputi aspek biofisik, sosialā€ekonomi, dan kelembagaan (Sumardi, 2004).

4

Purwowidodo (1991) menyatakan, bahwa masalah pembangunan pertanian
tidak dilihat dari sisi peningkatan produktivitas belaka, tetapi juga keberlanjutan
(sustainability), stabilitas, dan kemerataan (equitability). Menurut KEPAS (1988),
agroekosistem

didefinisikan

sebagai

ekosistem

yang

dimodifikasi


dan

dimanfaatkan secara langsung ataupun tidak langsung oleh manusia untuk
memenuhi kebutuhan atas pangan ataupun seratseratan. Analisis pendekatan
agroekosistem bertujuan untuk meneliti hubungan antara karakteristik biofisik,
pengelolaan sumberdaya alam, dan pola sosial ekonomi yang ada.
Jati (Tectona grandis Linn.f.) merupakan tanaman yang sangat populer
sebagai penghasil bahan baku untuk industri perkayuan karena memiliki kualitas
dan nilai jual yang sangat tinggi. Kekuatan dan keindahan seratnya merupakan
faktor yang menjadikan kayu jati sebagai pilihan utama (Suryana, 2001). Jati
merupakan salah satu jenis kayu tropis yang sangat penting dalam pasar kayu
internasional karena berbagai kelebihan yang dimilikinya dan merupakan jenis
kayu yang sangat bernilai untuk tanaman kehutanan (Fitriani, 2012).
Syarat tumbuh budidaya pohon Jati di Indonesia menurut dinas pertanian
adalah ditempat yang beriklim sebagai berikut (Supriatna dan Wijayanto, 2011):
1. Curah hujan 1500-2500mm/tahun.
2. Bulan kering 2-4 bulan.
3. Tinggi lokasi penanaman 10-1000 m dari permukaan laut.
4. Intensitas cahaya 75-100%.
5. Ph tanah 4-8.

6. Jenis tanah lempung berpasir, hindari tanah becek/rawa dan cadas

5

III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pertanaman perkebunan
jati. Alat yang digunakan dalam praktikum antara lain kertas manila, pensil warna,
spidol, alat tulis, kamera dan kalkulator.

B. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini antara lain:
1. Mahasiswa dibagi dalam kelompok kecil sesuai dengan pembagian dalam
setiap rombongan.
2. Bahan dan alat yang akan digunakan dipersiapkan.
3. Mahasiswa diarahkan ke lapangan untuk mengamati komponen agroekosistem,
yang meliputi agroekosistem tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura.
4. Keadaan umum agroekosistem yang ada digambar dan diamati.
5. Hasil pengamatan dituliskan pada kertas plano.

6. Koleksikan serangga / hewan yang bertindak sebagai hama dan musuh alami,
juga tanaman / bagian tanaman yang bergejala sakit.
7. Hasil pengamatan dipresentasikan

6

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 1.1 Transek agroekosistem pada pertanaman jati
B. Pembahasan
Gejala kutu putih pada tanaman yang menyerang pada saat pengamatan
yaitu terdapat warna putih pada daun baik bagian atas maupun bawah, yang
apabila dilihat secara baik-baik menunjukkan koloni dari kutu putih yang
menempel. Kutu putih yang menyerang tanaman mengakibatkan daun menjadi

7

keriting kemudian berubah menjadi kecoklatan dan akhirnya mati. Hal ini yang

menyebabkan terganggunya proses fisilogi dan metabolism tanaman.
Menurut Noyes and Schauff (2003) menyatakan, bahwa hama kutu putih
atau bahasa kerennya mealy bug atau Paracoccus marginatus merupakan salah
satu hama yang kerap menyerang tanaman baik tanaman sayuran, buah-buahan,
perkebunan maupun tanaman hias. Hama jenis serangga ini mengeluarkan sejenis
zat putih yang berlilin, berkapas putih yang menutupi keseluruhan badan lembut
yang berwarna merah muda, menyebabkan ia kelihatan seperti debu putih. Kutu
putih dapat ditemukan pada bagian tanaman yang menjadi pertemuan antara daun
dan batang (buku-buku batang) atau batang dan buah, serta diatas dan atau
dibawah daun muda. Hama kutu putih menyerang tanaman dengan cara
menghisap sari dari tanaman, yang mengakibatkan tanaman menjadi layu, dan itu
juga sebabnya daun muda tanaman hiasku semuanya mengkerut.
Muniapan et al., (2006) mengatakan, bahwa pada tanaman yang sudah
dewasa, gejala yang muncul adalah daun menguning dan kelamaan daun akan
gugur. Serangan pada buah yang belum matang menyebabkan bentuk buah tidak
sempurna. Serangan yang berat dapat menutupi permukaan buah hingga terlihat
kutu putih akibat tertutup koloni kutu putih tersebut.
Tungau merah (Tetranychus cinnabarinus Boisd) berkaki 8 dengan panjang
tubuh 0,3-0,5 mm. Tungau jantan berwarna kemerah-merahan dengan beberapa
bercak kecil hitam, namun ada juga yang berwarna hijau kekuning-kuningan

dengan beberapa bercak hitam, Tungau jantan lebih kecil dari pada tungau betina,
kaki dan mulut tungau merah berwarna putih transparan. Kepala menjadi satu

8

dengan dada. Mulutnya mampu menusuk dan menhisap sel tanaman (Henuhili
dan Aminatun, 2013).
Gejala serangan hama tungau merah diawali dengan terlihatnya spot
(bercak) kuning sepanjang tulang daun pada daun-daun bawah dan tengah. Bercak
tersebut kemudian menyebar keseluruh permukaan daun sehingga daun berwarna
kemerahan, coklat atau seperti karat. Daun-daun yang terserang parah akhirnya
kering, dan terjadi kerontokan seluruh daun. Tanaman yang terserang parah, umbi
yang dihasilkan umumnya berukuran kecil dan secara langsung akan
mempengaruhi hasil/produksi tanaman (Untung, 1992).
Paracoccus marginatus termasuk jenis kutu-kutuan yang seluruh tubuhnya
diselimuti oleh lapisan lilin berwarna putih. Tubuhnya berbentuk oval dengan
embelan seperti rambut-rambut berwarna putih dengan ukuran yang pendek.
Hama ini terdiri dari jantan dan betina, dan memiliki beberapa fase perkembangan
yaitu fase telur, pradewasa (nimfa), dan imago. Telur P. marginatus berbentuk
bulat berwarna kuning kehijauan dan ditutupi oleh massa seperti kapas dan akan

menetas dalam waktu 10 hari setelah diletakkan. Hama kutu putih biasanya
bergerombol sampai puluhan ribu ekor. Kutu putih merusak dengan cara mengisap
cairan. Gejala yang ditimbukan akibat serangan hama ini yakni daun kerdil dan
keriput seperti terbakar. Hama ini juga menghasilkan embun madu yang
kemudian ditumbuhi cendawan jelaga sehingga tanaman yang diserang akan
berwarna hitam (Amarasekare et al., 2009).
Tanaman jati yang diamati kelompok 5 termasuk saya, pada saat
pengamatan memang ada daun yang jatuh namun karena ini sudah memasuki

9

musim hujan daun yang jatuh berguguran tidak begitu banyak. Daun yang jatuh
pada saat pengamatan terdapat suatu bercak putih atau bisa dikatakan adanya
hama kutu putih. Daun yang jatuh tidak mesti berhubungan dengan penyakit,
karena yang kita ketahui bahwa tanaman jati termasuk tanaman yang dapat
mengugurkan daunnya hingga habis pada musim kemarau berbeda dengan musim
hujan daun jati masih tetap ada. Daun yang jatuh sendiri biasanya memang
terdapat suatu gejala serangan hama maupun penyakit apabila dilihat dengan baikbaik, tetapi kembali lagi karena pada saat pengamatan yang kita lakukan pada saat
musim hujan maka dapat disimpulkan juga faktor jatuhnya daun akibat dari
beberapa penyakit yang menyerang tanaman jati seperti yang kita temukan yaitu
penyakit kanker batang pada tanaman jati. Hal tersebut yang mendassri hubungan
jatuhnya daun dengan penyakit karena bias jadi daun yang jatuh merupakan efek
dari serangan penyakit yang menyebabkan gangguan fisiologi pada tanaman.
Jati merupakan salah satu jenis kayu tropis yang sangat penting dalam pasar
kayu internasional karena berbagai kelebihan yang dimilikinya dan merupakan
jenis kayu yang sangat bernilai untuk tanaman kehutanan (Bermejo et al., 2004).
Pertumbuhan merupakan pertambahan/perkembangan elemen-elemen antara lain:
tinggi pohon dan diameter batang pohon sampai dengan waktu tertentu. Riap
didefinisikan sebagai pertambahan pertumbuhan dimensi pohon (tinggi, diameter,
bidang dasar, volume) atau dari tegakan yang dihubungkan dengan umur dalam
satuan luas tertentu Riap merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan
dalam pengelolaan hutan produksi lestari (Ruchaemi, 2013).

10

Marjenah (2008) menyatakan, bahwa jenis penyakit yang menyerang batang
tanaman Jati di antaranya Corticium salmonicolor dan Nectria haematococca
sebagai penyebab kanker batang. Serangannya ditandai dengan daun layu dan
berwarna hitam gelap, muncul tubuh buah jamur yang menebal berwarna putih
hingga merah jambu pada kulit luar, timbul benjolan lapisan gabus pada
permukaan batang, kulit kayu pecah-pecah kemudian terjadi luka dan berlubanglubang arah memanjang. Pencegahannya dengan melakukan monitoring sambil
melakukan pekerjaan thinning atau pemangkasan tajuk secara teratur, terutama
tajuk-tajuk yang kering dan menunjukkan gejala penyakit kanker batang untk
menghilangkan dan mengurangi jumlah inokulum. Pohon-pohon jati yang
menunjukkan gejala terserang penyakit kanker batang harus segera diberi pupuk
untuk meningkatkan kesehatan tanaman.
Pengamatan tanaman jati yang telah dilakukan di pintu masuk Gor Soe-soe
selain di temukan hama kutu putih juga ditemukan hama rayap yang menyerang.
Tanaman jati yang telah diamati juga ditemukan semut karena semut dan kutu
putih bersimbiosis mutualisme, namun keberadaan semut sendiri sangat tinggi jadi
untuk pengamatan semut kurang memungkinkan hanya beberapa semut saja yang
dapat kita amati dibagian bawah tanaman. Tanaman jati yang kita amati juga
sangat tinggi, hal ini salah satu faktor mengapa kita hanya bisa mengamati di
bagian tertentu saja.
Kutu kebul dewasa memiliki panjang tubuh sampai 0.8 mm dan berwarna
putih salju, yang disebabkan oleh sekresi lilin di sayap dan tubuhnya. Selama
makan atau beristirahat kutu kebul dewasa menutupi tubuhnya dengan sayap.

11

Ketika menyimpan telur, betina akan meletakkan telur 50 hingga 400 butir dengan
ukuran mulai dari 0.10mm sampai 0.25mm di bagian bawah daun (Sartiami et al.,
2009).
Menurut Oka (1995) mangatakan, bahwa kutu kebul atau kutu putih
merupakan hama yang sangat merugikan dan umum di dunia pertanian. Kutu
putih dapat menghancurkan tanaman dan menyebabkan transfer berbagai virus
penyakit yang mempengaruhi produktivitas tanaman dengan cara yang berbahaya.
Kerusakan umum pada tanaman meliputi: terserapnya nutrisi tanaman, rusaknya
daun, gugurnya daun.
Hama kutu putih (Pseudococcu /mealybug) menyerang dengan menghisap
cairan tanaman terutama pada musim kemarau. Seluruh tubuhnya dilindungi oleh
lilin/tawas dan dikelilingi dengan karangan benang-benang tawas berwarna putih;
pada bagian belakang didapati benang-benang tawas yang lebih panjang. Hama ini
sering menyebabkan daun keriting, pucuk apikal tumbuh tidak normal (bengkok
dan jarak antar ruas daun pendek). Hama ini biasanya akan menghilang pada
musim hujan namun kerusakan yang terjadi dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman. Hama kutu ini bersimbiosis dengan semut gramang (Plagiolepis
longipes) dan semut

hitam

(Dolichoderus

bituberculatus) yang

sering

memindahkan kutu dari satu tanaman ke tanaman lain. Pengendaliannya dengan
penyemprotan insektisida nabati dan pemotongan bagian-bagian yang cacat dan
hendaknya dilakukan pada awal musim penghujan (Disbun Propinsi NTB, 2001).
Pengamatan pertanaman jati dilakukan di depan pintu masuk Gor Soe-soe
pada siang hari. Pertanaman jati yang ada di tempat tersebut juga terdapat

12

tanaman lain seperti singkong, padi, pisang, papaya dan talas. Hama utama yang
menyerang tanaman jati yang begitu terlihat yaitu rayap dan kutu putih. Musuh
alami yang di jumpai pada saat pengamatan yaitu burung gereja. Patogen
penyebab penyakit Nectria haemotococca, kemudian gulma yang ada pada
pertanaman jati rumput bede/rumput signal. Intensitas serangan dari hama dan
penyakitnya terbilang rendah. Komponen abiotik dari pertanaman jati yaitu tanah
subur, cuaca cerah berawan saat pengamatan, air yang digunakan air tadah hujan,
kelembabannya rendah. Sistem pertanamannya monokultur pada pertanaman jati,
kemudian kondisi lahannya juga cukup bersih dengan tidak ada sampah lain selain
daun dan tidak ada naungan di pertanaman jati.
Sesuai dengan pernyataan Mangan (2002), bahwa agroekosistem adalah
sistem ekologi yang dimodifikasi manusia dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, terutama bahan makanan. Agroekosistem memiliki kaidahkaidah ekologi umum yang memiliki khas tersendiri seperti yang terlihat pada
ekosistem sawah dengan ekosistem lainnya. Komponen agroekosistem terdiri dari
komponen biotik dan abiotik. Adapula komponen abiotik meliputi suhu,
kelembaban, air, sinar matahari, ketinggian, angin, dan tanah sangat
mempengaruhi komponen biotik yang ada dalam pertanaman (Irwan, 2014).

13

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat beberapa macam agroekosistem diantaranya agroekosistem
perkebunan, tanaman pangan ataupun hortikultura yang memiliki fungsi
sebagai penunjang pertumbuhan dan produktivitas tanaman dengan cara
mengubah ekosistem alami sesuai dengan syarat tumbuh tanaman.
2. Komponen yang ada dalam ekosistem yaitu komponen biotik meliputi semua
makhluk hidup yang ada dalam suatu ekosistem dan komponen abiotik
meliputi suhu, kelembaban, ketinggian tempat, tanah, air, dan ikim/cuaca.
3. Pengelolaan agroekosistem meliputi pemilihan bibit unggul, penanaman
dengan

mengatur

jarak

tanam,

penanaman

tanaman

naungan,

serta

pemeliharaan tanaman seperti sanitasi lingkungan pertanaman, pemangkasan,
pengairan, pemupukan, pengendalian organisme pengganggu tanaman secara
hayati. Budidaya tanaman jati memerlukan manajemen dalam pengelolaannya
agar input yang kita keluarkan sedikit namun output yang kita terima lebih
besar.
4. Kegiatan analisis agroekosistem mengantarkan petani atau praktikan untuk
menjadi ahli dilahan sendiri dalam menanggani masalah hama penyakit
tanaman.

B. Saran

14

Sebaiknya pada saat pengamatan pertanaman lebih di jelaskan kembali yang
perlu untuk di pergunakan pada kegiatan tersebut oleh asisten praktikum, agar
praktikan tidak kebinggungan.

15

DAFTAR PUSTAKA

Amarasekare, K.G., J.H. Chong, N.D. Epsky, and C.M. Manion. 2009. Effect of
Temperature on The Life History of The Mealybug Paracoccus marginatus
(Hemiptera: Pseudococcidae). J Econ Entomol. Vol. 101 (3): 98-804.
Bermejo, I., I. Canellas, A.S. Miguel. 2004. Growth and Yield Models for Teak
Plantations in Costa Rica. Forest Ecology dan Management. Vol. 104 (189):
97-110. Elsevier. http:/www.sciencedirect.com.
Disbun Propinsi NTB. 2001. Latihan Pemandu Lapang (PL II). Kumpulan
petunjuk lapang PHT Jambu Mete. 2001. Dinas Perkebunan Propinsi NTB.
150 hal.
Fitriani, A. 2012. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Jati pada Areal Gerakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jurnal Hutan Tropis. Vol. 13(1): 4-17.
Gerald G. Marten. 1998. Productivity, Stability, Sustainability, Equitability and
Autonomy as Properties for Agroecosystem Assessment. Jurnal Sistem
Pertanian. Vol. 3 (2): 23-34.
Henuhili, V dan Aminatun, T. 2013. Konservasi Musuh Alami Sebagai
Pengendalian Hayati Hama dengan Pengelolaan Ekosistem Sawah. Jurnal
Penelitian Saintek. Vol. 18 (2): 29-40.
Irwan, Z.D. 2014. Prinsip-Prinsip Ekologi: Ekosistem, Lingkungan, dan
Pelestariannya. Bumi Aksara. Jakarta.
Mangan, J. 2002. Pedoman SL-PHT Untuk Pemandu. Proyek PHT-PR/IPM-SECP.
Jakarta.
Marjenah. 2008. Prospek Budidaya Tanaman Jati di Kalimantan Timur. Disertasi.
Program Doktor Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman,
Samarinda. 153 hal.
Muniapan, R., D.E. Meyerdirk, F.M. Sengebau, D.D. Berringer, and G.V.P. Reddy.
2006. Classical Biological Control of Paracoccus marginatus (Hemiptera:
Pseudococcidae) in the Republic of Palau. Fla. Entomol. Vol. 8 (9): 212217.
Noyes, J.S. and M.E. Schauff. 2003. New Encyrtidae (Hymenoptera) from Papaya
Mealybug (Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink)
(Hemiptera: Sternorrhyncha: Pseudococcidae). Proc. Entomol. Vol. 105 (1):
180-185.

16

Nurindah. 2006. Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian Hama. Balai
Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Vol. 5 (2): 78-85.
Oka, I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 255 hal.
Purwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman. IPB
Press. Bogor.
Rohman, F. 2008. Struktur Komunitas Tumbuhan Liar dan Arthropoda sebagai
Komponen Evaluasi Agroekosistem di Kebun The Wonosari Singosari
Kabupaten Malang. Disertasi. Tidak diterbitkan. Universitas Brawijaya.
Malang.
Ruchaemi, A. 2013. Ilmu Pertumbuhan Hutan. Mulawarman University Press.
Samarinda. Cetakan Pertama, Edisi Pertama. 187 H.
Sartiami, D. Dadang, R. Anwar dan I.S. Harahap. 2009. Persebaran Hama Baru
Paracoccus marginatus di Provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta,
in Seminar Nasional Perlindungan Tanaman. Pusat Kajian Pengendalian
Hama Terpadu Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Sumardi, S.M, Widyastuti. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada
University. Yogyakarta.
Supriatna, A.H dan N. Wijayanto. 2011. Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati
(Tectona grandis Linn F) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang,
Kabupaten Sumedang. Jurnal Silvikultur Tropika. Vol. 2 (3): 130-135.
Suryana, Y. 2001. Budidaya Jati. Swadaya. Bogor.
Sutanto, S. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Untung K. 1992. Konsep dan strategi pengendalian hama terpadu. Simposium
Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung di Sukamandi.

17

LAMPIRAN

Pertanaman jati pada saat
pengamatan di depan Gor Soe
soe.

Tanaman lain yang ada di
pertanaman jati di depan Gor
Soe soe.

Hama yang menyerang
pertanaman jati pada saat
pengamatan di depan Gor Soe
soe.

18

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN HAMA PENYAKIT TERPADU
ACARA II
ANALISIS AGROEKOSISTEM UNTUK HAMA PADA TANAMAN
PANGAN, HORTIKULTURA DAN PERKEBUNAN

Oleh:
Kiki Seftyanis
NIM A1D015024
Rombongan 4
PJ Asisten : Nung Siti Mukharomah

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertanian memiliki peran yang sangat strategis dalam menopang
perekonomian suatu negara. Indonesia merupakan negara agraris dengan
mayoritas penduduknya bekerja dibidang pertanian. Bidang pertanian turut
menyumbang devisa negara, yaitu dengan adanya perdagangan yang terjadi
dengan negara lain. Sektor pertanian merupakan bidang kehidupan yang paling
utama menjadi sandaran hidup bagi sebagian besar penduduk Indonesia dan
mendapat prioritas utama dalam pembangunan yang bertujuan memperbaiki tata
kehidupan perekonomian yang mampu mendorong peningkatan taraf hidup
masyarakat (FAO, 1995).
Faktor yang menjadi kendala dalam budidaya pertanian salah satunya adalah
adanya serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) yang berdampak 75 %
terhadap hasil pertanian. Berbagai cara dilakukan oleh petani untuk mencegah
serangan OPT yang menimbulkan kerugian secara kualitas dan kuantitas. Dewasa
ini, banyak petani yang menggunakan pestisida kimia dalam mengendalikan OPT.
Kebanyakan dari petani memilih pestisida kimia karena pestisida kimia ampuh
membunuh hama. Namun, banyak dampak negatif yang ditimbulkan akibat
penggunaan pestisida kimia (Rizkyarti, 2010).
Hama tumbuhan adalah organisme yang menyerang tumbuhan sehingga
pertumbuhan dan perkemabanganya terganggu. Hama yang menyerang tumbuhan
antara lain tikus, walang sangit, wereng, tungau, dan ulat. Hama ialah semua

20

binatang yang mengganggu dan merugikan tanaman yang diusahakan manusia
(Surata, 2008). Hama tanaman sering disebut serangga hama (pest) atau dalam
dunia pertanian dikenal sebagai musuh petani. Praktikum pengendalian hama
terpadu ini dilaksanakan supaya mahasiswa mampu menganalisis teori pertanian
yang diajarkan dalam kuliah dengan kondisi lapangan kegiatan pertanian di
sekitarnya untuk dapat diambil jalan tengah agar teori pertanian yang diajarkan
bisa sejalan dengan kegiatan pertanian di lapang.

B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini yaitu:
1. Mengenal jenis hama utama pada tanaman pangan, perkebunan dan
hortikultura.
2. Mengenal mengenal gejala serangan hama utama pada tanaman pangan,
perkebunan dan hortikultura.
3. Membuat analisis agroekosistem berdasarkan hasil pengamatan.

21

II. TINJAUAN PUSTAKA

Levins and Wilson (1979) mengatakan, bahwa hama dalam ekosistem
pertanian yaitu:
1. Organisme jahat yang mempunyai kemampuan untuk merusak, mengganggu,
atau merugikan organisme lainnya (inang).
2. Organisme yang memusuhi (merugikan) kesejahteraan manusia.
3. Setiap spesies organisme yang dalam jumlah besar tidak kita kehendaki
kehadirannya.
4. Organisme yang merugikan dari segi andangan manusia.
5. Organisme hidup yang merupakan saingan kita dalam memenuhi kebutuhan
pangan dan pakaian, atau menyerang kita secara langsung.
Pengendalian hayati merupakan salah satu dari konsep pengendalian hama
terpadu (PHT) dengan pemanfaatan musuh alami sebagai agen hayati dalam
mengendalikan hama dan penyakit perlu dikedepankan dalam menekan
penggunaan pestisida kimia yang berlebihan. Agen hayati merupakan bagian dari
suatu ekosistem yang sangat penting peranannya dalam mengatur keseimbangan
ekosistem tersebut. Secara alamiah, agen hayati merupakan komponen utama
dalam pengendalian alami yang dapat mempertahankan semua organisme pada
ekosistem tersebut berada dalam keadaan seimbang. Musuh alami serangga hama
umumnya berupa Arthropoda dari jenis serangga dan laba-laba, serta dapat
digolongkan menjadi predator dan parasitoid. Predator adalah binatang yang
memangsa binatang lain, sedangkan parasitoid adalah binatang yang pada fase

22

pradewasanya hidup dengan menjadi parasit pada binatang lain sedangkan pada
fase dewasanya hidup bebas (Rachmat et al., 1999).
Direktorat Perlindungan Perkebunan (2001) menyatakan, bahwa konsep
PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan kosep yang digunakan oleh petani
saat ini untuk mengatasi serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman).
Konsep PHT ini muncul sejalan dengan adanya resistensi dan resurgensi terhadap
hama yang menyerang tanaman akibat penggunaan pestisida kimia yang juga
berdampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan. Pengendalian hama secara
umum menggunakan konsep PHT tersebut. Konsep pengendalian hama terpadu
meliputi pengendalian hama dalam bercocok tanam, penggunaan varietas tahan
hama OPT, pengendalian secara mekanik, pengendalian secara fisik, pengendalian
hayati, pengendalian nabati, dan pengendalian pestisida secara selektif.
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman secara Terpadu (PHT)
memiliki arti penting dalam mendukung adanya pertanian berkelanjutan. Hal ini
dikarenakan konsep dalam PHT selaras dengan konsep dalam Pertanian
Berkelanjutan. Disamping itu, PHT dan Pertanian Berkelanjutan merupakan suatu
kebijakan pemerintah yang disahkan dalam Undang-Undang. Adapun Landasan
hukum dan dasar pelaksanaan kegiatan perlindungan tanaman adalah UndangUndang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan
Menteri Pertanian No. 887/Kpts/ OT/9/1997 tentang Pedoman Pengendalian OPT
(Agustian dan Hidayat, 2004).

23

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu (PHT) atau Integrated Pest
Management (IPM) merupakan komponen integral dari sistem pertanian
berkelanjutan. PHT bertujuan tidak hanya mengendalikan populasi hama tetapi
juga meningkatkan produksi dan kualitas produksi serta meningkatkan
penghasilan dan kesejahteraan petani. Cara dan metode yang digunakan adalah
dengan memadukan teknik-teknik pengendalian hama secara kompatibel serta
tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup (Oka, 1995).
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu merupakan suatu pendekatan
ekologi yang bersifat multidisiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan
memanfaatkan beranekaragam teknik pengendalian secara kompatibel dalam
suatu kesatuan koordinasi pengelolaan (Afifah, 2010). Sedangkan menurut
Bappedda Kabupaten Sukoharjo (2002), PHT adalah pemilihan secara cerdik dari
penggunaan tindakan pengendalian hama, yang dapat menjamain hasil yang
menguntungkan dilihat dari segi ekonomi, ekologi, dan sosiologi.
Menurut Altieri (1994) meyatakan, bahwa PHT memiliki tujuan
mengendalikan populasi hama agar tetap berada dibawah ambang yang tidak
merugikan secara ekonomi. Strategi PHT bukanlah eradikasi melainkan
pembatasan.

Pengendalian

hama

dengan

PHT

disebut

pengendalian

secara multilateral, yaitu menggunakan semua metode atau teknik yang dikenal
dan penerapannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan bagi
hewan, manusia, dan makhluk hidup laninya baik sekarang maupun pada masa
yang akan datang.

24

III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pertanaman pangan
singkong, pertanaman perkebunan jati dan pertanaman hortikultura jambu biji.
Alat yang digunakan dalam praktikum yaitu kertas manila, spidol, kantong
plastik, kamera, alat tulis dan kalkulator.

B. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada saat praktikum analisis agroekosistem
untuk hama pada tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura yaitu:
1. Praktikan dikelompokkan sesuai dengan rombongannya (tiap kelompok 4-5
mahasiswa).
2. Setiap kelompok bertugas untuk melakukan pengamatan gejala serangan hama
di lapang sesuai pembagian kelompok kerjanya.
3. Diamati dan dicatat komponen agroekosistem yang ada baik komponen biotik
maupun abiotik.
4. Gejala serangan dicatat dan diperkirakan nama penyakit dan patogen
penyebabnya.
5. Diprediksikan intensitas serangannya.
6. Bagian tanaman yang diamati tersebut dibawa ke laboratorium sebagai koleksi.
7. Hasil analisis agroekosistem ditulis pada kertas manila, yang meliputi:

25

a. Gambar keadaan umum agroekosistem.
b. Data hasil pengamatan.
c. Serangga netral.
d. Pembahasan.
e. Simpulan.
f. Rencana tindak lanjut.

26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 1.2 Transek PHT tanaman jati

Gambar 1.3 Transek PHT tanaman singkong

27

Gambar 1.4 Transek PHT tanaman jambu biji
1. Intensitas Serangan Hama Pada jati
NxV
(2 x 1 ) + ( 0 x 2 )+ ( 0 x 3 ) +(0 x 4)
I=
x 100 % =
NxZ
10 x 1
2+ 0+0+0
10

x 100% =

x 100%
=

2
x100% = 20%
10
B. Pembahasan

Pengamatan tanaman jambu biji yang dilakukan kelompok 2 hama yang
menyerang intensitasnya tidak terlalu banyak, namun dalam mengendalikan hama
tersebut juga perlu adanya konsep PHT. Salah satu yang disarankan kelompok 2
dalam konsep PHT tanaman jambu biji yaitu pengendalian secara hayati serta
penggunaan pestisida ramah lingkungkan (nabati). Jambu biji berasal dari
Amerika tropik, tumbuh pada tanah yang gembur maupun liat, pada tempat
terbuka, dan mengandung air yang cukup banyak. Tanaman jambu biji (P.
Guajava L.) ditemukan pada ketinggian 1 m sampai 1.200 m dari permukaan laut.

28

Jambu biji berbunga sepanjang tahun. Perdu atau pohon kecil, tinggi 2 m sampai
10 m, percabangan banyak. Batangnya berkayu, keras, kulit batang licin, berwarna
coklat kehijauan (Dirjenbun, 2002).
Pengendalian hama terpadu (PHT) adalah sebuah pendekatan dalam
pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan mempertimbangkan semua
aspek manajemen budidaya untuk mempertahankan serangan hama dan penyakit
dibawah ambang

batas kerugian ekonomis. Aspek pengelolaan termasuk

budidaya, lingkungan fisik, biologi, perilaku pengelola dan bahan kimia. Dengan
PHT, efek

samping dari pestisida diminimalkan

dan

keuntungan

ekonomi

dipertahankan. Program PHT menggunakan informasi yang ekstensif, yang
dikumpulkan dalam sistem penanaman dan memerlukan pengelolaan yang cermat.
Konsep PHT ini dapat dilakukan baik pada tanaman hortikultura, perkebunan
maupun pangan (Wiryadiputra et al., 2004).
Effendi (2009) menjelaskan, bahwa konsep PHT tidak tergantung pada
teknik pengendalian hama dan pengelolaan eksosistem tertentu tetapi PHT
tergantung pada keberdayaan atau kemandirian petani dalam mengambil
keputusan. Dalam mengembangkan sistem PHT didasarkan pada keadaan
agroekosistem setempat. Sehingga pengembangan PHT pada suatu daerah boleh
jadi berbeda dengan pengembangan di daerah lain. Sistem PHT harus disesuaikan
dengan keadaan ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat petani setempat.
Menurut Van Driesche and Bellows (1996) menyatakan, bahwa pengelolaan
hama terpadu (PHT) untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil pertanian.
Pengendalian hama terpadu pada tanaman jambu seperti yang dijelaskan

29

kelompok 2 juga sama dengan pengendalian hama terpadu pada tanaman lain
karena konsep PHTnya juga sama. Hasibuan (2008) mengatakan, bahwa
pengelolaan hama terpadu merupakan program pengelolaan pertanian secara
terpadu dengan memanfaatkan berbagai teknik pengendalian yang layak (kultural,
mekanik, fisik dan hayati) dengan tetap memperhatikan aspek-aspek ekologi,
ekonomi dan budaya untuk menciptakan suatu sistem pertanian yang
berkelanjutan dengan menekan terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh
pestisida dan kerusakan lingkungan secara umum. Penyemprotan pestisida harus
dilakukan secara sangat berhati-hati dan sangat selektif bilamana tidak ada lagi
cara lain untuk menekan populasi hama di lapang. PHT pada dasarnya adalah
penerapan sisten bercocok tanam untuk menghasilkan tanaman yang sehat, kuat,
berproduksi tinggi dan berkualitas tinggi.
Cara mengatasi hama dengan musuh alami menurut kelompok 2 yang telah
mengamati pada lahan pertanaman yaitu dengan tidak menggunakan pestisida
secara berlebihan karena dapat membunuh predator ataupun parasitoid dari hama
itu sendiri. Pengendalian hayati juga dilakukan untuk mengatasi hama agar musuh
alami juga tetap terjaga.
Menurut Notohadiningrat (1997) menyatakan, bahwa musuh alami
merupakan pengendalian hama yang memanfaatkan makhluk hidup untuk
mengendalikan hama pada tanaman. Hama adalah organisme pengganggu
tanaman mulai dari akar, batang dan daun. Hama juga dapat mengganggu tanaman
dari segi ekologi dan ekonomi. Prinsip organisme dikatakan hama jika organisme
tersebut merusak tanaman tanaman dari segi kualitas maupun kuantitas.

30

Darmawan (1993) berpendapat, bahwa teknik pengendalian hayati dengan
parasitoid dan predator alami, sampai saat ini dapat dikelompokan dalam 3
kategori

yaitu

introduktiosi,

augmentasi

dan

konservsi.

Ketiga

teknik

pengendalian hayati tersebut berbeda dalam sasaran dan tujuannya tetapi dalam
pelaksanaannya sering digunakan bersama-sama. Menurut Kartono (2003)
menyatakan, bahwa ada beberapa cara untuk memodifikasi ekosistem yaitu
perlindungan ekosistem dari penggunaan pestisida kimiawi, pengembangan
musuh alami yang tahan atau toleran terhadap pestisida, perlindungan atau
penjagaan stadia tidak aktif, menghindari praktek budidaya tanaman yang
merugikan musuh alami, penjagaan keanekaragaman komunitas setempat,
penyediaan inang alternative, penyediaan pakan alami (nektar, polen,madu),
penyediaan pakan suplemen, pembuatan perlindungan musuh alami, pengurangan
populasipredator yang tidak diperlukan, mengendalian semut pemakan madu,
pengaturan suhu dan mengurangi debu yang mengganggu efektivitas musuh
alami.
Kelebihan mengendalian hama pada tanaman secara alami memberikan
antara lain (Flint dan Bosch, 1992):
1. Binatang atau hewan predator yang digunakan sudah tersedia.
2. Predator yang digunakan dapat mencari dan menemukan hama dengan
sendirinya.
3. Pengendalian hama ini dapat berjalan dengan sendirinya.
4. Tidak terdapat pengaruh penggunaan pestisida.

31

Gejala kutu putih pada tanaman jambu yang telah diamati oleh kelompok 2
dimana pada daun terdapat warna putih tanda keberadaan kutu putih bagian bawah
maupun atas daun. Daun pada tanaman juga terdapat bercak kecoklatan kemudian
diikuti dengan daun yang mengkriting. Terganggunya proses fisiologi dari daun
tanaman yang terserang sehingga produksi menurun.
Menurut Tjahjadi (1989) mengatakan, bahwa penyebaran kutu dapat
disebabkan oleh angin, terbawa bibit, terbawa orang, maupun terbawa serangga
lain dan terbawa burung. Keberadaan kutu yang cukup tinggi dan bersifat polifag
mempunyai potensi menyebar yang sangat cepat. Sifat biologisnya yang merusak
tanaman dengan cara menghisap cairan tanaman serta mengeluarkan racun,
mengakibatkan terjadinya khlorosis, kerdil, malformasi daun, daun muda dan
buah rontok, banyak menghasilkan eksudat berupa embun madu sampai
menimbulkan kematian tanaman. Kutu putih ini memiliki potensi dapat
merugikan ekonomis yang cukup tinggi.
Tanaman jati yang diamati pada saat pengamatan terdapat suatu penyakit
rayap. Pencegahan yang dilakukan untuk menghindari hama rayap ini antara lain
dengan menggunakan kapur, dimana bau ataupun aroma dari kapur yang
menyenggat dapat membunuh rayap pada tanaman jati. Menurut Sumarna (2008)
mengatakan, bahwa kapur barus atau kamper merupakan kristal yang mudah
menyublim. Bahan pewangi ini berasal dari getah pohon kayu kapur barus. Getah
tersebut mengandung zat kimia alami yang bernama Naftalen. Naftalen selain
menjadi bahan pewangi, namun berfungsi juga sebagai bahan anti rayap, dan

32

pengusir hama, termasuk jamur. Dosis yang digunakan disesuaikan dengn
intensitas serangan rayap itu sendiri.
Penggunaan kapur ini cukup efektif dalam mengatasi hama rayap karena
rayap yang di beri kapur ini secara otomatis akan mati. Rayap adalah serangga
kecil, sepintas lalu mirip dengan semut, dijumpai di banyak tempat, di hutan,
pekarangan, kebun, dan bahkan di dalam rumah. Sarang rayap terdapat di tempat
lembab di dalam tanah dan batang kayu basah, tetapi ada juga yang hidup di
dalam kayu kering. Makanan utamanya adalah kayu dan bahan-bahan dari
selulosa lain serta jamur. Pengendalian rayap ini dapat dilakukan dengan
mengoleskan kapur serangga di pangkal batang, pemberian insektisida granuler di
pangkal batang, penaburan abu kayu di sekeliling pangkal batang dan
menghilangkan sarang-sarang pada lokasi (Rachmanadi et al., 2003).
Sampel yang di tunjukkan pada saat presentasi hama pada tanaman jati
merupakan termasuk hama kutu putih dan tepungnya. Sampel daun yang dibawa
menunjukkan warna putih dari tepung yang dihasilkan kutu putih kemudian
apabila diamati secara baik-baik juga terlihat hama kutu putihnya. Daun yang
dibawa sebagai sampel juga merupakan gejala serangan dari hama kutu putih
tersebut (Fitriani, 2012).
Prabawa et al., (2002) mengatakan, bahwa hama kutu putih biasa
menyerang setiap saat. Bagian tanaman yang diserang adalah pucuk (jaringan
meristematis). Pucuk daun yang terserang menjadi keriting sehingga tumbuh
abnormal dan terdapat kutu berwarna putih berukuran kecil. Langkah awal
pengendalian berupa pemisahan bibit yang sakit dengan yang sehat karena bisa

33

menular. Bila batang sudah mengkayu, batang dapat dipotong 0,5-1 cm di atas
permukaan media pucuk yang sakit dibuang/dimusnahkan. Jika serangan sudah
parah dan dalam skala yang luas maka dapat dilakukan penyemprotan dengan
menggunakan akarisida.
Pengendalian hama tanaman jati yang intensitas serangannya tinggi
dilakukan dapat dengan non kimiawi maupun secara kimia. Menurut kelompok 5
yang telah mengamati tanaman jati, apabila serangannya tinggi maka dapat
dilakukan dengan pestisida dengan dosis yang telah di sesuaikan. Pengendalian
dengan hayati juga disarankan agar tidak merusak lingkungan dan musuh alami
juga tidak ikut mati serta dengan penggunaan konsep PHT.
Untung (2007) menyatakan, bahwa konsep PHT tidak tergantung pada
teknik pengendalian hama dan pengelolaan eksosistem tertentu tetapi PHT
tergantung pada keberdayaan atau kemandirian petani dalam mengambil
keputusan. Dalam mengembangkan sistem PHT didasarkan pada keadaan
agroekosistem setempat. Sehingga pengembangan PHT pada suatu daerah boleh
jadi berbeda dengan pengembangan di daerah lain. Sistem PHT harus disesuaikan
dengan keadaan ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat petani setempat.
Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 887/1997 tentang
Pedoman Pengendalian OPT dalam sistem PHT adalah kegiatan yang meliputi
pemantauan dan pengamatan, pengambilan keputusan dan tindakan pengendalian.
Pemantauan adalah kegiatan mengamati dan mengawasi keadaan populasi atau
tingkat serangan OPT dan faktor yang mempengaruhi secara berkala/teratur pada
tempat/wilayah tertentu. Kegiatan ini dilaksanakan oleh petugas atau petani yang

34

terpilih sebagai sampel (unit contoh) pada kantong-kantong serangan OPT di
sentra produksi komoditi utama. Tujuannya adalah untuk mengetahui keberadaan
OPT sasaran sehingga dapat ditetapkan (diramalkan) kerapatan populasi sebaran
dan dinamikanya/gejala OPT sasaran pada kesehatan yang paling dini, sebagai
dasar pengambilan keputusan (Early Warning System). Data pemantauan dapat
juga digunakan sebagai alat evaluasi keberhasilan pengendalian yang telah
dilakukan (Schoonhoven et al., 1998).
Pengamatan adalah kegiatan penghitungan dan pengumpulan informasi
tentang keadaan populasi atau tingkat serangan OPT dan faktor lingkungan yang
mempengaruhi pada waktu dan tempat tertentu. Pengamatan dilakukan oleh petani
di areal kebunnya untuk memperoleh data sebagai bahan pertimbangan perlu
tidaknya tindakan pengendalian yang tepat berdasarkan prinsip-prinsip PHT pada
kesempatan paling dini. Pengamatan dilakukan secara rutin setiap minggu atau
bulan sesuai dengan fase rentan tanaman/saat mulai munculnya gejala serangan.
Obyek-obyek pengamatan yang harus diamati pada tanaman karet meliputi gejala
serangan, penyebab, umur tanaman, persentase tanaman terserang, intensitas
serangan, populasi OPT per unit contoh, jumlah populasi serangga berguna per
unit contoh, organisme lain yang ditemukan, data pendukung (suhu, kelembaban,
curah hujan, hari hujan, dan sebagainya) (Nurindah dan Sunarto, 2008).
Gejala kutu putih yang menyerang tanaman jati pada saat pengamatan yaitu
pada daun yang telah di bawa sebagai sampel menunjukkan warnanya kuning
hingga kecoklatan. Daun menjadi kering, kemudian daun juga mengkriting.

35

Terdapat bercak warna putih hasil tepung dari kutu putih baik dibagian bawah
maupun atas daun.
Menurut Henuhili dan Aminatun (2013) mngatakan, bahwa hama kutu putih
terjadi pertama kali di luar negeri pada 1998, tepatnya di Florida, Amerika
Serikat. Hama ini bisa sampai ke Indonesia dengan perantara melalui tanaman
hias impor seperti plumeria, hibiscus, acalypha yang dikenal luas sebagai tanaman
inang hama kutu putih yang sama. Kemampuannya menempel di baju, bisa jadi
salah satu kemungkinan mengapa sang kutu bisa ada di Indonesia adalah melalu
proses pertukaran baju dan atau kegiatan import barang bekas, bisa juga sang kutu
menempel di baju pelancong dari luar negeri lalu melayang terbang saat sang turis
singgah di Indonesia. Tentu saja ini masih harus dibuktikan lebih lanjut, dan aku
pikir tidak ada pihak yang berniat untuk mengadakan penelitian mengenai ini.
Sartiami et al., (2009) menjelaskan, bahwa kutu putih menghisap cairan
tumbuh dengan memasuki stilet kedalam jaringan epidermis daun, buah maupun
batang. Waktu yang bersamaan kutu putih mengeluarkan racun kedalam daun,
sehingga memgakibatkan klorosis, kerdil, malformasi daun, daun mengkerut dan
menggulung, daun muda dan buah rontok, banyak menghasilkan embun madu
yang dapat berasosiasi dengan cendawan jelaga, hingga kematian tanaman.
Tanaman yang sudah dewasa, gejala yang muncul adalah daun menguning dan
kelamaan daun akan gugur. Serangan pada buah yang belum matang
menyebabkan bentuk buah tidak sempurna. Serangan yang berat dapat menutupi
permukaan buah hingga terlihat kutu putih akibat tertutup koloni kutu putih
tersebut.

36

Pengendalian hama dengan bahan kimia menurut kelompok 3 pada tanaman
singkong, dapat dilakukan dengan bahan kimia dapat sesuai PHT apabila
intensitas serangan hama tersebut sudah diatas ambang ekonomi. Penggunaan
bahan kimia juga dapat dilakukan sesuai dengan dosis yang dianjurkan, namun
alangkah baiknya apabila pengendalian hama juga dipadukan dengan PHT lain
seperti pengendalian hayati.
Widayat et al., (2003) berpendapat, bahwa untuk menetapkan ambang
ekonomi bukanlah pekerjaan yang gampang. Membutuhkan banyak informasi,
baik data biologi dan ekologi, serta ekonomi. Penetapan kerusakan hasil dalam
hubungannya dengan populasi hama, merupakan bagian yang penting dalam
pengembangan ambang ekonomi. Analisis biaya dan manfaat pengendalian,
sangat perlu diketahui. Ambang ekonomi serangan hama dan penyakit adalah
batasan-batasan yang dibuat untuk melakukan tindakan penanggulangan hama dan
penyakit tanaman. Jika serangan hama dan penyakit tersebut tidak melebihi
ambang ekonomis maka tindakan penanggulangan tidak perlu dilakukan.
Sedangkan jika serangan hama dan penyakit tersebut melebihi ambang batas
ekonomis tanaman maka perlu dilakukan kegiatan penanggulangan. Kegiatan
penanggulangan serangan hama dan penyakit tanam harus sesuai dengan konsep
perlindungan hama dan penyakit tanaman. Konsep dan strategi penerapan PHT
merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT
yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam
rangka

pengelolaan

agro-ekosistem

yang

berwawasan

berkelanjutan. Sebagai sasaran teknologi PHT adalah:

37

lingkungan

yang

1. Produksi pertanian mantap tinggi.
2. Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat.
3. Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi tidak
merugikan.
4. Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang
berlebihan.
Saptana et al., (2003) mengatakan, bahwa pengendalian hayati merupakan
salah satu komponen penting dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Pengendalian hayati adalah pemanfaatan musuh alami untuk mengendalikan
serangga hama atau penggunaan agens antagonis untuk mengendalikan patogen
tanaman. Pada dasarnya, setiap serangga hama mempunyai musuh alami yang
dapat berperan dalam pengaturan populasinya. Musuh alami serangga hama
adalah komponen utama dari pengendalian almiah, yang merupakan bagian dari
ekosistem dan sangat penting peranannya dalam mengatur keseimbangan
ekosistem tersebut.
Penggunaan musuh alami dengan pengendalian biologis yaitu penggunaan
serangga atau bakteri dalam pengendalian hama secara innundative (pelepasan
musuh alami secara berulang dengan jenis lokal) dan klasikal (pelepasan musuh
alami secara tidak berulang dengan jenis eksotik). Musuh alami yang dipilih
merupakan musuh alami yang paling dekat dengan target hama, dipilih yang
terbatas/lebih sedikit sehingga tidak akan menyerang di luar target. Penggunaan
musuh alami harus mengacu pada aturan penggunaan kontrol biologi (Supangkat,
2009).

38

Widayat et al., (2003) menjelaskan, bahwa program Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) dengan mengutamakan pemanfaatan agens pengendalian hayati
atau biopestisida termasuk pestisida nabati sebagai komponen utama dalam sistem
PHT yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995. Karena
pemanfaatan agens pengendalian hayati atau biopestisida dalam pengelolaan hama
dan penyakit dapat memberikan hasil yang optimal dan relatif aman bagi makhluk
hidup dan lingkungan. Perkembangannya, kemudian dilakukan pengurangan
peredaran beberapa jenis pestisida dengan bahan aktif yang dianggap persisten,
yang antara lain dituangkan melalui Keputusan Menteri Pertanian No.
473/Kpts/Tp.270/6/1996.
Jenis-jenis biopestisida yang ditemui, diantaranya berfungsi sebagai
insektisida (pembasmi serangga). Babadotan (Ageratum conyzoides) dan
tembelekan (Lantana camara Linn.) ternyata mampu membasmi hama penggerek
pucuk mahoni (Lepidoptera: Pyralidae), yang berdampak positif untuk suatu
ekosistem (Octavia, 2008). Ekstrak dari daun babadotan mengandung senyawa
alkaloid, saponin, triterpenoid dan fenol. Senyawa triterpenoid yang terlarut dalam
minyak atsiri adalah senyawa yang paling berperan dalam menimbulkan
mortalitas pada serangga (Riyati, 2010).
Pemanfaatan bahan nabati sebagai bahan pestisida banyak mendapatkan
perhatian untuk dikembangkan sebab relatif lebih aman. Beberapa jenis tumbuhan
yang sering berstatus sebagai gulma ternyata berpotensi sebagai sumber bahan
pestisida nabati. Tumbuhan tersebut mempunyai kandungan bahan aktif yang
berpengaruh

terhadap

jasad

sasaran,

39

keberadaannya

melimpah,

mudah

berkembangbiak dan pemanfaatannya sebagai sumber bahan pestisida tidak akan
bertentangan dengan kepentingan lain. Pemanfaatan gulma ini akan menggeser
statusnya menjadi tumbuhan bermanfaat (Astriani, 2010).
Tenaman singkong yang telah terserang hama, menurut kelompok 3 masih
dapat dipanen bagian umbinya. Umbi tanaman tersebut dapat di panen apabila
tidak mengalami kerusakan yang begitu besar. Menurut kelompok 3 juga
menjelaskan bahwa penyakit yang menyerang tanaman singkong, umumnya di
bagian daun. Kelompok 3 juga menambahkan hama tersebut mempengaruhi
proses fisiologi dari tanaman singkong. Bagian batang untuk perbanyakan
singkong apabila terserang parah maka sebaiknya jangan digunakan karena dapat
menurunkan produktivitas dari tanaman.
Ketela pohon merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain
ubi kayu, singkong atau kasape. Ketela pohon berasal dari benua Amerika,
tepatnya dari negara Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain:
Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok. Ketela pohon berkembang di negaranegara yang terkenal wilayah pertaniannya dan masuk ke Indonesia pada tahun
1852 (Astriani, 2010).
Kelompok 3 mengatakan bahwa semut pada tanaman singkong meruakan
hama karena ikut berperan serta dalam menyebarkan penyakit dan hama seperti
kutu putih. Semut yang mereka amati pada tanaman singkong berada di sekitar
kutu putih. Semut bersimbiosis mutualisme dengan kutu putih dalam
mendapatkan makanan, namun semut pada tanaman lain seperti kakao merupakan
salah satu musuh alami bagi hama yang menyerang tanaman kakao. Semut

40

dikatakan sebagai musuh alami karena semut memakan telur dari hama yang
berada di tanaman tersebut. Semut juga ikut menghalangi keberadaan hama untuk
menyerang tanaman.
Jones (1992) menjelaskan, bahwa musuh alami merupakan faktor biotik
yang berperan penting dalam pengendal