SUKSES BERAWAL DARI JEMPOL (1)
SUKSES BERAWAL DARI “JEMPOL”
(Sukses Mulia Versi Obama)
Oleh: Ribut Achwandi (Riboet Gondrong)
Disampaikan di hadapan peserta Seminar Sukses Mulia dalam
rangka Festival Sukses Mulia di Gedung H. A. Djunaid Convention
Center, Pekalongan, Sabtu 13 Juli 2013.
Saya merasa bahwa saya bukanlah orang yang tepat untuk
menyampaikan materi tentang apa itu sukses mulia? Bagaimana
seseorang bisa sukses dan mulia? Sebab, saya merasa bahwa saya
bukanlah orang yang sukses. Tetapi, karena saya diamanati untuk
menyampaikan materi ini, maka apa yang saya lakukan pada hari
ini adalah mengajak kita semua, saya dan hadirin untuk sama-sama
belajar tentang kesuksesan dan belajar menjadi orang sukses. Saya
yakin, bahwa dari sekian banyak hadirin yang ada di hadapan saya
sebenarnya adalah orang yang sukses. Maka dari itu, izinkan sa-ya
dengan kelancangan saya ini, mengajak Anda untuk saling belajar,
ngangsu kaw-ruh bab kesuksesan. Tentunya, dalam kapasitas saya
yang terbatas, saya akan mem-bahas kesuksesan itu dari
terminologi yang saya pahami. Jika, ada dari hadirin yang lebih
tahu, maka saya sangat berharap kita bisa saling berbagi.
Mungkin kita tidak pernah percaya bahwa salah satu modal rahasia
suksesnya Presi-den Amerika Serikat, Barack Obama adalah jempol
(ibu jari). Tetapi, itulah kenyata-annya, jempol Obama menjadi
fenomena bagi dunia politik Amerika saat itu. Meski demikian, apa
yang dilakukan Obama dengan jempolnya bukanlah hal klenik, atau
bahkan sebagai sesuatu yang di luar nalar. Bahkan, kalau kita simak
secara saksama di situs-situs jejaring sosial, khususnya facebook,
pernahkan kita pikirkan mengapa hanya ada jempol di sana? Kok
tidak yang lain? Ada misteri apa di balik jempol?
Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media di Amerika,
jempol Obama pernah menjadi sebuah fenomena di kalangan
politisi Amerika, terutama saat ia ha-rus berhadapan dengan
kompetitor politiknya yang sama-sama menjadi calon Presi-den, Mitt
Romney dalam sebuah debat publik calon presiden. Obama, kala itu
meng-gunakan ibu jarinya untuk menunjuk Romney. Tentu, hal itu
dinilai oleh publik Ame-rika sebagai kejanggalan. Tetapi, hal itu
mampu memberikan sugesti pada publik A-merika pada waktu itu,
bahwa Obama dipandang sebagai seorang politisi yang ren-dah hati
dan mampu menganggap lawan sebagai kawan. Setidaknya, hal itu
mencer-minkan bahwa Obama menunjukkan sikap respek pada
lawan mainnya. Bahkan seo-rang penulis buku budaya asal Inggris,
Edward L Fox menganggap Obama adalah se-orang Presiden
Amerika yang njawani, dia adalah Raja Amerika. Sebab, bagaimanapun seorang lawan pada dasarnya adalah kawan yang dapat
memberi nasihat pada kita tentang hal-hal buruk yang—mungkin
tidak kita sadari—ada pada kita. Lalu, yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana awalnya Obama bersikap demikian?
Adalah sang ibunda tercinta, Dunham, yang pada mulanya
mengajari Obama agar menggunakan ibu jari untuk menunjuk
orang lain. Dunham adalah seorang an-tropolog yang membidangi
studi tentang pembangunan desa. Selama hidup di Indo-nesia,
Dunham juga telah banyak melakukan penelitian tentang budaya
masyarakat Indonesia, hingga akhirnya jatuh cinta pada salah satu
bentuk budaya masyarakat In-donesia, yakni Jawa. Dalam
pandangan Dunham, budaya Jawa merupakan sebentuk budaya
masyarakat yang adem ayem. Oleh sebab itu, ia katakan pula
bahwa siapa-pun yang telah mengunjungi pulau Jawa akan tahu
nilai besar orang Jawa, yakni tempat bagi mempertahankan sikap
tenang, hubungan sosial yang harmonis, dan ti-dak pemarah. Rasa
cinta itulah yang pada gilirannya membuat Dunham menganggap
perlu pula ditanamkan pada putranya dengan memberi dukungan
pada Obama un-tuk belajar tentang budaya Jawa, yang tentunya
juga belajar tentang falsafah hidup orang Jawa. Dari situ pula,
kemudian Obama banyak mengadopsi nilai-nilai falsafah hidup
orang Jawa, yang salah satunya adalah penggunaan ibu jari untuk
menunjuk orang lain/lawan bicara.
Dalam budaya Jawa, menunjuk orang dengan menggunakan
jari telunjuk dini-lai kurang sopan dan kurang santun, sebab pada
saat itu orang yang demikian diang-gap sebagai orang yang tinggi
hati dan menganggap remeh lawan bicara. Prinsip hi-dup orang
Jawa adalah menempatkan orang lain, bahkan musuh sekalipun
sebagai orang yang perlu dihormati. Tetapi, bukan dalam rangka
menjadikan diri kita sebagai seorang penjilat, sebab penghormatan
terhadap orang lain atau bahkan musuh itu, dalam falsafah hidup
orang Jawa harus dilakukan dengan rasa tulus, sebagai sikap dan
sifat ‘andhap asor’ (rendah hati). Sikap rendah hati tidak sama
dengan rendah diri. Di dalam sikap rendah hati terkandung maksud,
seseorang tidak ingin mengung-gulkan diri ‘adigang, adigung, lan
adiguna’, meski ia memiliki kemampuan lebih. O-leh sebab itu,
orang yang ‘andhap asor’ tidak mudah tergoda dengan puji-pujian.
Se-bab, musuh sejati bagi kesuksesan yang mulia adalah pujian,
bukan kegagalan, dan kegagalan yang sesungguhnya adalah ketika
kita puas dipuji-puji. Jokowi (Joko Wido-do) adalah salah seorang
yang sukses dengan prinsip itu. Bahkan, meski ia sukses
memenangi Pilkada Gubernur DKI Jakarta, Jokowi masih saja tampil
sebagai orang biasa-biasa saja. Dalam sebuah seminar tentang
kewirausahaan baru-baru ini di Ja-karta, Jokowi mengatakan bahwa
dirinya belum menjadi orang sukses.
Di lain hal, orang Jawa dalam sejarah kebudayaannya adalah
sebuah bangsa yang tidak mengenal istilah musuh. Sebab, dalam
prinsip hidup orang Jawa hanya di-kenal istilah ‘paseduluran’,
‘paguyuban’, atau ‘patembayan’. Maka dari itu, orang Ja-wa sangat
bisa melakukan akulturasi budaya. Selalu bisa menerima setiap
budaya yang dibawa oleh para pendatang, sehingga makin
memperkaya khazanah kebuda-yaan yang dijalani oleh orang Jawa.
Di sisi lain, hal demikian juga menunjukkan bahwa orang Jawa
dengan falsafah Jawa-nya adalah orang yang tahan banting. Bukan
karena kesaktiannya, bukan pula karena kehebatannya, karena
tujuan hidup orang Jawa bukanlah kasekten, melainkan kamukten
dan kamulyan.
Ajaran falsafah hidup Jawa pada hakikatnya telah mengajarkan
tentang keule-tan. Di dalamnya termaktub pula ajaran agar kita
senantiasa bisa melakukan kerja-kerja cerdas, mencipta karya
bukan sebatas melakukan sebuah rutinitas yang kemu-dian
ditradisikan menjadi ritual. Orang Jawa percaya bahwa kerja
hanyalah sarana bukan sebuah pencapaian atau tujuan. Kerja
adalah sarana untuk memroses diri a-gar dapat mencipta karya
dalam pemahaman karya sebagai daya olah nalar, rasa, karsa, dan
cipta. Empat pilar inilah yang sebenarnya terus perlu diolah agar
karya menjadi berguna. Dan saat karya itu berguna, itulah
kesuksesan yang mencapai kata mulia. Sebuah cita rasa sukses
yang menuju pada kata mulia.
Pada akhirnya, sebelum saya menuntaskan pembicaraan ini,
saya ingin menga-jak pada semua untuk memeriksa hal-hal yang
terlewat oleh kita. Bahwa ternyata a-jaran tentang “jempol” sudah
dipakai oleh dunia. Dalam beragam temuan teknologi canggih
seperti sekarang ini, jempol telah banyak digunakan di berbagai
macam fa-silitas, seperti cap jempol sebagai pengganti tanda
tangan kita, presensi kehadiran di beberapa kantor (finger print), di
facebook, youtube, blog, dan lain sebagainya. Dan betapa mudah
kita memanfaatkan jempol-jempol itu, terutama di media sosial, untuk menyukai status atau komentar orang lain. Tetapi, dalam
kehidupan nyata apa-kah kita mudah untuk menjempol orang lain?
Padahal, di dalam jempol ada energi positif. Seseorang tak harus
memberikan kritik pedas terhadap pernyataan orang la-in, cukup
dengan jempol, insya Allah ia pun akan menjadi sadar bahwa apa
yang di-lakukannya barangkali adalah keliru. Dan seseorang tidak
akan jatuh miskin hanya karena menjempol orang lain bukan?
Obama, bahkan yang merupakan keturunan budak sekalipun tak
sungkan memberi jempol pada lawan politiknya di depan pu-blik.
Akhirnya, selamat berbagi jempol untuk kesuksesan kita semua.
Jempol adalah cinta, energi positif yang perlu selalu kita pancarkan.
Dari cinta, pula kita akan men-dapatkan kekuatan untuk dapat
meraih harta, tahta, dan wanita.
Sebagai catatan akhir dari pembicaraan saya, berikut saya
kutipkan salah satu tembang macapat Mijil, //dedalane guna klawan
sekti/kudu andhap asor/wani nga-lah luhur wekasane/tumungkula
lamun den dukani/bapang den singkiri/ana catur mungkur//.
Tembang ini memiliki makna mendalam yang bisa dipetik dan
diamalkan sebagai orang Jawa, untuk bisa meraih kesuksesan yang
mulia sebagaimana diidam-kan dalam komunitas sukses mulia ini.
Bahwa, kemuliaan itu dicapai melalui kemau-an kita untuk rendah
hati, berani mengalah tetapi bukan untuk kalah, mau belajar dari
kesalahan dan kegagalan, mampu menyingkirkan dan mengalahkan
segala rinta-ngan seperti kemalasan pada diri, dan memperbanyak
kawan dengan tidak menebar energi negatif/fitnah. Salam SUKSES
MULIA!
(Sukses Mulia Versi Obama)
Oleh: Ribut Achwandi (Riboet Gondrong)
Disampaikan di hadapan peserta Seminar Sukses Mulia dalam
rangka Festival Sukses Mulia di Gedung H. A. Djunaid Convention
Center, Pekalongan, Sabtu 13 Juli 2013.
Saya merasa bahwa saya bukanlah orang yang tepat untuk
menyampaikan materi tentang apa itu sukses mulia? Bagaimana
seseorang bisa sukses dan mulia? Sebab, saya merasa bahwa saya
bukanlah orang yang sukses. Tetapi, karena saya diamanati untuk
menyampaikan materi ini, maka apa yang saya lakukan pada hari
ini adalah mengajak kita semua, saya dan hadirin untuk sama-sama
belajar tentang kesuksesan dan belajar menjadi orang sukses. Saya
yakin, bahwa dari sekian banyak hadirin yang ada di hadapan saya
sebenarnya adalah orang yang sukses. Maka dari itu, izinkan sa-ya
dengan kelancangan saya ini, mengajak Anda untuk saling belajar,
ngangsu kaw-ruh bab kesuksesan. Tentunya, dalam kapasitas saya
yang terbatas, saya akan mem-bahas kesuksesan itu dari
terminologi yang saya pahami. Jika, ada dari hadirin yang lebih
tahu, maka saya sangat berharap kita bisa saling berbagi.
Mungkin kita tidak pernah percaya bahwa salah satu modal rahasia
suksesnya Presi-den Amerika Serikat, Barack Obama adalah jempol
(ibu jari). Tetapi, itulah kenyata-annya, jempol Obama menjadi
fenomena bagi dunia politik Amerika saat itu. Meski demikian, apa
yang dilakukan Obama dengan jempolnya bukanlah hal klenik, atau
bahkan sebagai sesuatu yang di luar nalar. Bahkan, kalau kita simak
secara saksama di situs-situs jejaring sosial, khususnya facebook,
pernahkan kita pikirkan mengapa hanya ada jempol di sana? Kok
tidak yang lain? Ada misteri apa di balik jempol?
Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media di Amerika,
jempol Obama pernah menjadi sebuah fenomena di kalangan
politisi Amerika, terutama saat ia ha-rus berhadapan dengan
kompetitor politiknya yang sama-sama menjadi calon Presi-den, Mitt
Romney dalam sebuah debat publik calon presiden. Obama, kala itu
meng-gunakan ibu jarinya untuk menunjuk Romney. Tentu, hal itu
dinilai oleh publik Ame-rika sebagai kejanggalan. Tetapi, hal itu
mampu memberikan sugesti pada publik A-merika pada waktu itu,
bahwa Obama dipandang sebagai seorang politisi yang ren-dah hati
dan mampu menganggap lawan sebagai kawan. Setidaknya, hal itu
mencer-minkan bahwa Obama menunjukkan sikap respek pada
lawan mainnya. Bahkan seo-rang penulis buku budaya asal Inggris,
Edward L Fox menganggap Obama adalah se-orang Presiden
Amerika yang njawani, dia adalah Raja Amerika. Sebab, bagaimanapun seorang lawan pada dasarnya adalah kawan yang dapat
memberi nasihat pada kita tentang hal-hal buruk yang—mungkin
tidak kita sadari—ada pada kita. Lalu, yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana awalnya Obama bersikap demikian?
Adalah sang ibunda tercinta, Dunham, yang pada mulanya
mengajari Obama agar menggunakan ibu jari untuk menunjuk
orang lain. Dunham adalah seorang an-tropolog yang membidangi
studi tentang pembangunan desa. Selama hidup di Indo-nesia,
Dunham juga telah banyak melakukan penelitian tentang budaya
masyarakat Indonesia, hingga akhirnya jatuh cinta pada salah satu
bentuk budaya masyarakat In-donesia, yakni Jawa. Dalam
pandangan Dunham, budaya Jawa merupakan sebentuk budaya
masyarakat yang adem ayem. Oleh sebab itu, ia katakan pula
bahwa siapa-pun yang telah mengunjungi pulau Jawa akan tahu
nilai besar orang Jawa, yakni tempat bagi mempertahankan sikap
tenang, hubungan sosial yang harmonis, dan ti-dak pemarah. Rasa
cinta itulah yang pada gilirannya membuat Dunham menganggap
perlu pula ditanamkan pada putranya dengan memberi dukungan
pada Obama un-tuk belajar tentang budaya Jawa, yang tentunya
juga belajar tentang falsafah hidup orang Jawa. Dari situ pula,
kemudian Obama banyak mengadopsi nilai-nilai falsafah hidup
orang Jawa, yang salah satunya adalah penggunaan ibu jari untuk
menunjuk orang lain/lawan bicara.
Dalam budaya Jawa, menunjuk orang dengan menggunakan
jari telunjuk dini-lai kurang sopan dan kurang santun, sebab pada
saat itu orang yang demikian diang-gap sebagai orang yang tinggi
hati dan menganggap remeh lawan bicara. Prinsip hi-dup orang
Jawa adalah menempatkan orang lain, bahkan musuh sekalipun
sebagai orang yang perlu dihormati. Tetapi, bukan dalam rangka
menjadikan diri kita sebagai seorang penjilat, sebab penghormatan
terhadap orang lain atau bahkan musuh itu, dalam falsafah hidup
orang Jawa harus dilakukan dengan rasa tulus, sebagai sikap dan
sifat ‘andhap asor’ (rendah hati). Sikap rendah hati tidak sama
dengan rendah diri. Di dalam sikap rendah hati terkandung maksud,
seseorang tidak ingin mengung-gulkan diri ‘adigang, adigung, lan
adiguna’, meski ia memiliki kemampuan lebih. O-leh sebab itu,
orang yang ‘andhap asor’ tidak mudah tergoda dengan puji-pujian.
Se-bab, musuh sejati bagi kesuksesan yang mulia adalah pujian,
bukan kegagalan, dan kegagalan yang sesungguhnya adalah ketika
kita puas dipuji-puji. Jokowi (Joko Wido-do) adalah salah seorang
yang sukses dengan prinsip itu. Bahkan, meski ia sukses
memenangi Pilkada Gubernur DKI Jakarta, Jokowi masih saja tampil
sebagai orang biasa-biasa saja. Dalam sebuah seminar tentang
kewirausahaan baru-baru ini di Ja-karta, Jokowi mengatakan bahwa
dirinya belum menjadi orang sukses.
Di lain hal, orang Jawa dalam sejarah kebudayaannya adalah
sebuah bangsa yang tidak mengenal istilah musuh. Sebab, dalam
prinsip hidup orang Jawa hanya di-kenal istilah ‘paseduluran’,
‘paguyuban’, atau ‘patembayan’. Maka dari itu, orang Ja-wa sangat
bisa melakukan akulturasi budaya. Selalu bisa menerima setiap
budaya yang dibawa oleh para pendatang, sehingga makin
memperkaya khazanah kebuda-yaan yang dijalani oleh orang Jawa.
Di sisi lain, hal demikian juga menunjukkan bahwa orang Jawa
dengan falsafah Jawa-nya adalah orang yang tahan banting. Bukan
karena kesaktiannya, bukan pula karena kehebatannya, karena
tujuan hidup orang Jawa bukanlah kasekten, melainkan kamukten
dan kamulyan.
Ajaran falsafah hidup Jawa pada hakikatnya telah mengajarkan
tentang keule-tan. Di dalamnya termaktub pula ajaran agar kita
senantiasa bisa melakukan kerja-kerja cerdas, mencipta karya
bukan sebatas melakukan sebuah rutinitas yang kemu-dian
ditradisikan menjadi ritual. Orang Jawa percaya bahwa kerja
hanyalah sarana bukan sebuah pencapaian atau tujuan. Kerja
adalah sarana untuk memroses diri a-gar dapat mencipta karya
dalam pemahaman karya sebagai daya olah nalar, rasa, karsa, dan
cipta. Empat pilar inilah yang sebenarnya terus perlu diolah agar
karya menjadi berguna. Dan saat karya itu berguna, itulah
kesuksesan yang mencapai kata mulia. Sebuah cita rasa sukses
yang menuju pada kata mulia.
Pada akhirnya, sebelum saya menuntaskan pembicaraan ini,
saya ingin menga-jak pada semua untuk memeriksa hal-hal yang
terlewat oleh kita. Bahwa ternyata a-jaran tentang “jempol” sudah
dipakai oleh dunia. Dalam beragam temuan teknologi canggih
seperti sekarang ini, jempol telah banyak digunakan di berbagai
macam fa-silitas, seperti cap jempol sebagai pengganti tanda
tangan kita, presensi kehadiran di beberapa kantor (finger print), di
facebook, youtube, blog, dan lain sebagainya. Dan betapa mudah
kita memanfaatkan jempol-jempol itu, terutama di media sosial, untuk menyukai status atau komentar orang lain. Tetapi, dalam
kehidupan nyata apa-kah kita mudah untuk menjempol orang lain?
Padahal, di dalam jempol ada energi positif. Seseorang tak harus
memberikan kritik pedas terhadap pernyataan orang la-in, cukup
dengan jempol, insya Allah ia pun akan menjadi sadar bahwa apa
yang di-lakukannya barangkali adalah keliru. Dan seseorang tidak
akan jatuh miskin hanya karena menjempol orang lain bukan?
Obama, bahkan yang merupakan keturunan budak sekalipun tak
sungkan memberi jempol pada lawan politiknya di depan pu-blik.
Akhirnya, selamat berbagi jempol untuk kesuksesan kita semua.
Jempol adalah cinta, energi positif yang perlu selalu kita pancarkan.
Dari cinta, pula kita akan men-dapatkan kekuatan untuk dapat
meraih harta, tahta, dan wanita.
Sebagai catatan akhir dari pembicaraan saya, berikut saya
kutipkan salah satu tembang macapat Mijil, //dedalane guna klawan
sekti/kudu andhap asor/wani nga-lah luhur wekasane/tumungkula
lamun den dukani/bapang den singkiri/ana catur mungkur//.
Tembang ini memiliki makna mendalam yang bisa dipetik dan
diamalkan sebagai orang Jawa, untuk bisa meraih kesuksesan yang
mulia sebagaimana diidam-kan dalam komunitas sukses mulia ini.
Bahwa, kemuliaan itu dicapai melalui kemau-an kita untuk rendah
hati, berani mengalah tetapi bukan untuk kalah, mau belajar dari
kesalahan dan kegagalan, mampu menyingkirkan dan mengalahkan
segala rinta-ngan seperti kemalasan pada diri, dan memperbanyak
kawan dengan tidak menebar energi negatif/fitnah. Salam SUKSES
MULIA!