Bagaimana paper Hukum Internasional Memandang

Bagaimana Hukum Internasional Memandang Wacana Piala Dunia Tandingan
Eksistensi menurut para filsuf, terutama pasca Marx, tidak hanya merupakan perdebatan
filsafat tetapi lebih dari itu merupakan perdebatan politik. Dalam pengertian filsafat, eksistensi
berarti menempatkan sesuatu dalam keberadaannya dan apa saja yang membentuknya sebagai
sesuatu yang “ada” dan hadir dalam wujud tertentu.
Sementara eksistensi dalam artian politik mempelihatkan sejarah eksistensi itu sendiri.
Tentang mengapa sesuatu itu hadir dan kemudian dinyatakan ada. Dalam hal ini, aneka gagasan,
hubungan sosial, dan bermacam bentuk kesadaran hadir untuk menyertakan atau justru malah
menyingkirkan keberadaan sesuatu tadi.
Mengingat hal ini, maka eksistensi sebagai sebuah kebenaran masih perlu disangsikan.
Oleh karena kebenaran itu tidak lain dari produk politik, yang mana secara efektif dipakai untuk
menyingkirkan lawan dan mendekatkan kawan. Atas dasar inilah, muncul perbincangan yang
mewarnai debat perihal wacana piala dunia tandingan.
Piala Dunia 2018 tinggal sebentar lagi. Sebanyak 32 negara ikut berpartisipasi. Negaranegara seperti Islandia dan Panama patut berbangga sebab ini merupakan turnamen Piala Dunia
pertama mereka. Di sisi lain, tim nasional Belanda, Amerika Serikat, Chile, Italia mesti bersedih.
Langganan peserta turnamen empat tahunan itu harus menerima kenyataan pahit karena mereka
semua gagal lolos ke Rusia.
Sebagai sebuah olahraga, prinsip utama yang harus dijunjung tinggi adalah sportivitas.
Sejauh ini, nilai itu sudah berjalan dengan cukup baik. Terbukti dari lancarnya penyelenggaraan
mulai dari babak kualifikasi hingga babak play-off.
Namun sebagai sebuah industri yang bukan kepalang mendunia, sepak bola tentu tak bisa

lepas dari pasar yang bersangkutan. Sehingga amat wajar jika para pihak dalam sepak bola juga
mengagungkan prinsip ekonomi.
Ketika anak asuh Gian Piero Ventura bermain imbang tanpa gol yang membuat Italia
kalah agregat, bukan hanya warga Italia yang bersedih hati. Kawan saya seorang pendukung
Italia garis keras sampai memutuskan keluar dari grup whatsapp hanya karena takut diejek. Di
media sosial, publik berbondong-bondong menyatakan belasungkawa mereka kepada Buffon cs.
Hal ini membuktikan bahwa tak hanya bangsa Italia yang kecewa, masyarakat internasional pun
turut berduka atas gugurnya juara empat kali Piala Dunia itu.

Atas dasar peristiwa itu, federasi sepak bola Amerika Serikat (USSF) mencium peluang
bisnis, lantas melempar wacana Piala Dunia tandingan yang kini dikonsumsi publik. Kebetulan,
AS juga gagal ke Rusia dan kabarnya sedang membujuk negara-negara lain yang mengalami
nasib serupa. Belanda dan Chile jelas masuk radar mengingat pasukan mereka diisi oleh aktoraktor mahal di dunia sepak bola.
Jika seandainya wacana tersebut kemudian menjadi kenyataan, bagaimana aspek legalitas
dari turnamen itu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya mengetahui kedudukan
olahraga sepak bola dalam dunia internasional.
Sepak bola mendunia berkat badan hukum organisasi internasional privat bernama FIFA
yang berhasil mempromosikan olahraga ini ke seluruh penjuru dunia. Selain karena menghibur,
FIFA juga serius dalam hal propaganda lewat kampanye-kampanye kemanusiaan yang mendapat
tanggapan positif dari masyarakat hukum internasional. FIFA terlibat aktif memerangi rasisme,

menyuarakan kesetaraan, dan diklaim mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia.
Tanpa FIFA, mungkin sepak bola tidak akan pernah se-heboh dan se-populer saat ini.
Selain itu, menurut Ken Foster, eksistensi FIFA yang sudah mengurat akar menjadi salah
satu alasan mengapa masyarakat hukum internasional menghormati lembaga ini. Sejak didirikan
pada tanggal 21 Mei 1904 oleh tujuh asosiasi sepak bola (USFA Prancis, UBSSA Belgia, DBU
Denmark, NVB Belanda, Madrid FC Spanyol, SBF Swedia, dan ASF Swiss), praktis hanya FIFA
pemilik tunggal sepak bola di jagad raya. Oleh karenanya menjadi rasional jika FIFA berwenang,
berkuasa, serta berdaulat atas pengelolaan, penyelenggaraan pertandingan sepak bola (termasuk
Piala Dunia), pengawasan, dan pengendalian pasca pertandingan dalam arti menyelesaikan
sengketa yang timbul dalam pengelolaan dan pelaksanaan pertandingan sepak bola profesional.
Berkat otoritas itulah, FIFA menjadi digdaya dan tampaknya belum ada organisasi resmi
yang sanggup menggeser dominasi FIFA di kancah olahraga. Bahkan perusahaan besar semacam
Adidas dan Nike hanya pemain kecil yang bergantung kepada FIFA. Apalagi ketika musim Piala
Dunia dimulai, FIFA sebagai raksasa bisnis semakin gencar mengkapitalisasi sepak bola.
Alasannya tentu karena magnet Piala Dunia yang sanggup menyedot perhatian publik
secara masif. FIFA merilis data bahwa pada Piala Dunia 2014 di Brasil, jumlah penonton yang
datang langsung ke stadion mencapai rata-rata 52.762 orang tiap pertandingan. Angka tersebut
mengalahkan total rata-rata penonton Piala Dunia 2006 di Jerman yakni 52.491 orang setiap
pertandingan. Hal itu baru jumlah penonton yang hadir ke stadion. Tentu jumlah di atas melonjak


berkali-kali lipat jika diketahui jumlah penonton yang menyaksikan Piala Dunia lewat layar
kaca.
Angka-angka itu tentu sangat menggiurkan secara bisnis. Itulah mengapa wacana Piala
Dunia tandingan bukan sekadar isapan jempol. USSF pasti sudah memperhitungkan untung rugi
terhadap penyelenggaraan Piala Dunia tandingan tersebut.
Namun secara hukum, wacana Piala Dunia tandingan masih sangat lemah jika tidak dapat
dikatakan prematur. Mengingat kedudukan USSF yang merupakan anggota dari FIFA, tentu
membuat Piala Dunia tandingan adalah sebuah kesalahan fatal yang dapat berakibat pencabutan
status keanggotaan. Merujuk pada Pasal 38 Statuta FIFA, Piala Dunia hanya bisa dilakukan oleh
Panitia Penyelenggara Piala Dunia. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal itu sama sekali
tidak mengizinkan pihak selain FIFA untuk menyelenggarakan kejuaraan empat tahunan itu.
Bagaimana pun olahraga sepak bola kadung menjadi hiburan warga dunia. Setidaknya
ada dua alternatif apabila USSF tetap bersikeras membuat Piala Dunia tandingan. Pertama, USSF
bisa mengundang federasi negara-negara lain untuk menyelenggarakan turnamen laiknya Piala
Dunia. Statusnya setara dengan partai-partai uji tanding yang tidak diakui FIFA.
Persis seperti Indonesia melawan Fiji dan Kamboja pada September dan Oktober 2017.
Adapun laga itu tetap digelar meski tanpa persetujuan bahkan mungkin sepengetahuan FIFA.
Ada penonton yang hadir, ada pula ofisial pertandingan, dan disiarkan langsung oleh stasiun
televisi swasta. Dalam skenario ini, pihak USSF berperan sebagai inisiator sekaligus eksekutor
Piala Dunia tandingan. Timnas negara lain hanya sebagai peserta undangan. Tidak kurang dan

tidak lebih.
Alternatif kedua yakni mengikut sertakan negara-negara lain untuk terlibat aktif. Artinya
USSF hanya sebagai inisiator, sementara federasi lain yang timnas-nya tidak lolos Piala Dunia
dapat ikut mengeksekusi penyelenggaraan Piala Dunia tandingan. Bagaimana caranya?
Kedudukan FIFA di mata hukum internasional yakni sebagai organisasi internasional.
Anggota FIFA terdiri dari 208 federasi. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan PBB yang hanya
beranggotakan 192 negara. Status FIFA sendiri yakni berbadan hukum Swiss (karena didaftarkan
berdasarkan Pasal 60 Swiss Civil Code dan juga berkantor di Zurich) dan memiliki peran sebagai
federasi sepak bola internasional tunggal alias satu-satunya.
Dalam konteks organisasi internasional, hukum internasional mengenal dua kelompok
besar yaitu international organization dan international non-governmental organization. Meski

memiliki karakter internasional, kedua organisasi ini memiliki perbedaan fundamental, yang
berdampak terhadap statusnya dalam kehidupan internasional.
International organization, menurut Peter Malanczuk dalam karyanya yang berjudul
“Akehurst’s Modern Introduction to International Law”, lahir melalui sebuah kesepakatan atau
perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara, berjumlah dua atau lebih. Sehingga,
yang menjadi anggota international organization adalah negara-negara, yang menjadikannya
terkategori sebagai salah satu subyek hukum internasional
Sedangkan, international non-governmental organization didirikan oleh perseorangan

atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki keterkaitan dengan pemerintahan sebuah negara.
Meski individu dianggap sebagai subyek hukum internasional, international non-governmental
organization yang didirikan oleh beberapa individu tidak serta merta menjadikannya sebagai
subyek hukum internasional seperti negara ataupun organisasi internasional.
Sehingga jika federasi USSF, FIGC dan KNVB membuat suatu perjanjian internasional
dengan tujuan menyelenggarakan Piala Dunia tandingan, maka kedudukannya belum dianggap
sebagai subyek hukum internasional. Mungkin secara politik mereka bertindak untuk dan atas
nama negara, tetapi secara hukum mereka bukan negara. Adapun federasi biasanya merupakan
kumpulan individu-individu yang mengelola klub sepak bola dan berbadan hukum di negara
bersangkutan.
Saya katakan belum karena FIFA pun adalah organisasi internasional non-pemerintah.
Tetapi eksistensi FIFA sangat menguntungkan di level masyarakat internasional, sehingga hal
inilah yang menjadikan FIFA diakui sebagai subyek hukum internasional. Ketika kewenangan
negara dalam mengurus sepak bola terbentur teritorial dan kedaulatan absolut negara lain, FIFA
mampu hadir mengisi celah hukum melalui Lex Sportiva dan Lex Ludica nya. FIFA pun turut
serta dalam kampanye global sehingga makin memperkuat eksistensinya di level internasional.
Pencapaian-pencapaian FIFA terlampau sulit untuk disamakan apalagi dilewati. Namun
perlu diketahui, FIFA tidak menjadi besar dengan sendirinya. Banyak modifikasi dari waktu ke
waktu yang selaras dengan kebutuhan pasar internasional. Jumlah anggota pun tidak langsung
berjumlah ratusan. Menarik bagaimana saat Piala Dunia 1994 di AS, konfederasi Oseania belum

diakui FIFA, tetapi kini kian eksis dan mendapat jatah tiket ke Piala Dunia. Pun baru pada 1991
turnamen Piala Dunia wanita resmi masuk kalender FIFA.

Artinya, jika berani mencetuskan ide gila jangan tanggung-tanggung. Adanya wacana
Piala Dunia tandingan bukan tidak mungkin memprakarsai lahirnya perjanjian internasional yang
punya semangat membenahi sepak bola global menjadi lebih baik. Hal demikian diperkenankan
di dalam hukum internasional. Jika PSSI saja boleh dibikin tandingannya, mengapa FIFA tidak?