BAB 6 Negara Agama dan Warga Negara

BAB 6
Negara, Agama, dan Warga Negara
Konsep Dasar Tentang Negara
1. Pengertian Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing: state (Inggris), staat
(Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Secara terminologi, negara diartikan sebagai
organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu,
hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini
mengandung nilai konstitutif yang galibnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat: masyarakat
(rakyat), wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Negara identik dengan hak dan wewenang.

2. Tujuan Negara
Tujuan sebuah negara dapat bermacam-macam, antara lain:
a. Bertujuan untuk memperluas.
b. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum.
c. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.
Plato menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia,
sebagai perseorangan (individu) dan sebagai makhluk sosial. Menurut Thomas Aquinas dan
Agustinus tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tenteram
dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Ibnu Arabi berpendapat bahwa tujuan negara
adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh yang dari sengketa dan

menjaga intervensi pihak-pihak asing. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tujuan negara adalah
untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan rakyat.
Dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945. Dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan suatu
negara yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umu, membentuk suatu masyarakat adil
dan makmur.

3. Unsur-unsur Negara
Suatu negara harus memiliki tiga unsur penting, yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintahan.
Ketiga unsur ini oleh Mahfud M. D. disebut sebagai unsur konstitutif.
a. Rakyat

Rakyat adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh persamaan dan bersamasama mendiami suatu wilayah tertentu. Tidak bisa dibayangkan jika ada suatu negara tanpa
rakyat. Hal ini mengingat rakyat atau warga negara adalah substratum personel dari negara.
b. Wilayah
Wilayah adalah unsur negara yan harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa
ada batas-batas territorial yang jelas. Secara umum, wilayah dalam sebuah negara biasanya
mencakup daratan, perairan, dan udara.

c. Pemerintah
Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara
untuk mencapau tujuan bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintah, melalui aparat dan
alat-alat negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan
perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan negaranya yang beragam. Pada
umunya, nama sebuah negara identik dengan model pemerintahan yang dijalankannya. Ketiga
unsur ini dilengkapi dengan unsur negara lainnya, konstitusi.
d. Pengakuan Negara Lain
Unsur pengakuan oleh negara lain hanya bersifat menerangkan tentang adanya negara.
Hal ini hanya bersifat deklaratif, sehingga tidak bersifat mutlak. Ada dua macam pengakuan
suatu negara, yakni pengakuan de facto dan pengakuan de jure. Pengakuan de facto ialah
pengakuan atas fakta adanya negara, didasarkan adanya fakta bahwa suatu masyarakat politik
telah memenuhi tiga unsur utama negara (wilayah, rakyat, dan pemerintah). De jure merupakan
pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum. Suatu
negara mendapat hak-haknya di samping kewajiban sebagai anggota keluarga bangsa sedunia.

Teori Tentang Terbentuknya Negara
1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract)
Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara tirani, karena
keberlangsungnya bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara warga negara dengan lembaga

negara. Penganut mazhab pemikiran ini antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan J. J.
Rouseau.
a. Thomas Hobbes (1588-1679)
Menurut Hobbes kehidupan manusia terpisah dalam dua zaman, yakni keadaan selama
belum ada negara, atau keadaan alamiah (status naturalis, state of nature), dan keadaan setelah
ada negara. Keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman dan sejahtera. Keadaan
alamiah merupakan suatu keadilan sosial yang kacau, tanpa hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa
ikatan-ikatan sosial antar-individu di dalamnya. Menurut Hobbes, dibutuhkan kontrak atau

perjanjian bersama individu-individu yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji akan
menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan yang
disebut negara.
b. John Locke (1632-1704)
John Locke melihatnya sebagai suatu keadaan yang damai, penuh komitmen baik, saling
menolong antara individu-individu di dalam sebuah kelompok masyarakat. Ia berpendapat
bahwa keadaan ideal tersebut memiliki potensial terjadinya kekacauan lantaran tidak adanya
organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka. Menurut Locke penyelenggara
negara atau pimpinan negara harus dibatasi melalui suatu kontrak sosial. Menurut Locke,
terdapat hak-hak alamiah yang merupakan hak-hak asasi warga negara yang tidak dapat
dilepaskan, sekalipun oleh masing-masing individu.

c. Jean Jacque Rousseau (1712-1778)
Menurut Rousseau keberadaan suatu negara bersandar pada perjanjian warga negara
untuk meningkatkan diri dengan suatu pemerintah yang dilakukan melalui organisasi politik.
Menurutnya, pemerintah tidak memiliki dasar kontraktual, melainkan hanya organisasi negara
dibentuk memalui kontrak. Pemerintah sebagai pimpinan organisasi negara dibentuk dan
ditentukan oleh yang bedaulat dan merupakan wakil-wakil dari warga negara. Yang berdaulat
adalah rakyat seluruhnya memalui kemauan umumnya. Rousseau dikenal sebagai peletak dasar
bentuk negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat melalui perwakilan organisasi politik
mereka. Ia juga sekaligus dikenal sebagai penggagas paham negara demokrasi yang
bersumberkan pada kedaulatan rakyat.

2. Teori Ketuhanan (Teokrasi)
Teori ketuhanan dikenal juga dengan istilah dkotrin teokratis. Teori ini ditemukan baik di
Timur maupun di belahan dunia Barat. Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang
sempurna dalam tulisan-tulisan para sarjana Eropa pada Abad Pertengahan. Doktrin ini memiliki
pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki para raja berasal dari Tuhan. Paham teokrasi
Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan
(dien wa dawlah). Pandangan ini berkembang menjadi paham dominan bahwa dalam Islam tidak
ada pemisahan antara agama dan negara.


3. Teori Kekuatan
Secara sederhana teori ini diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi
negara yang kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran dari
terbentuknya sebuah negara. Teori ini berawal dari kajian antropologis atas pertikaian yang
terjadi di kalangan suku-suku primitif, di mana si pemenang pertikaian menjadi penentu utama
kehidupan suku yang dikalahkan.

Bentuk-Bentuk Negara

Secara umum, dalam konsep teori modern, negara terbagi ke dalam dua bentuk: negara
kesatuan (unitarianisme) dan negara serikat (federasi).

1. Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu
pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya,
negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam sistem pemerintahan: sentral dan otonomi.
a. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung
dipimpin oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah di bawahnya
melaksanakan kebijakan pemerintah pusat. Model pemerintahan Orde Baru di bawah
pemerintahan Presiden Soeharto adalah salah satu contoh sistem pemerintahan model ini.

b. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan
dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintah di wilayahnya sendiri. Sistem ini
dikenal dengan istilah otonomi daerah atau swantara. Sistem pemerintahan negara
Malaysia dan pemerintahan pasca-Orde Baru di Indonesia dengan sistem otonomi khusus
dapat dimasukkan ke model ini.

2. Negara Serikat
Negara serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari
beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pada mulanya negara-negara bagian tersebut
merupakan negara yang merdeka, berdaulat, dan berdiri sendiri. Setelah menggabungkan diri
dengan negara serikat, dengan sendirinya negara tersebut melepaskan sebagian dari
kekuasaannya dan menyerahkannya kepada negara serikat.
Di samping dua bentuk ini, dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk
negara dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok: monarki, oligarki, dan demokrasi.
a. Monarki
Pemerintahan monarki adalah model pemerintahan yang dikepalai oleh raja atau ratu.
Monarki memiliki dua jenis: monarki absolut dan monarki konstitusional. Monarki absolut
adalah model pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau ratu.
Termasuk dalam kategori ini adalah Arab Saudi. Monarki konsitusional adalah bentuk
pemerintahan yang kekuasaan kepala pemerintahannya (perdana menteri) dibatasi oleh

ketentuan-ketentuan konstitusi negara. Praktik monarki konstitusional ini adalah yang paling
banyak dipraktikkan di beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, Jepang, dan Inggris. Dalam
model monarki konstitusional ini, kedudukan raja hanya sebatas simbol negara.
b. Oligarki

Model pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang
yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
c. Demokrasi
Pemerintahan model demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada
kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui
mekanisme pemilihan umum.

Warga Negara Indonesia (WNI)
Menurut UUKI 2006 (Pasal 4, 5, dan 6) mereka yang dinyatakan sebagai warga negara
Indonesia antara lain:
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan
perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini
berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia (WNI).
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara
Indonesia.

c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan
ibu warga negara asing.
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan
warga negara Indonesia.
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indonesia,
tetapi ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak
memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu tiga ratus (300) hari setelah ayahnya meninggal
dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia.
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indonesia.
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang
diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin.
i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas
status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah
dan ibunya tidak diketahui.
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak
memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
l. Anak yang lahir di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan iobu

warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut
dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Selanjutnya, Pasal 5 UUKI 2006 tentang Status Anak Warga Negara Indonesia
menyatakan:
1. Anak warga negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, sebelum berusia 18
tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.
2. Anak warga negara Indonesia yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai
anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai
warga negara Indonesia.
Adapun tentang pilihan menjadi warga negara bagi anak yang dimaksud pada pasal-pasal
sebelumnya dijelaskan dalam Pasal 6 UUKI 2006, sebagai berikut:
1. Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak
berkewarganegaran ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin
anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.

2. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
secara tertulis dan disampakan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen
sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
3. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan dalam waktu paling lambat tiga tahun setelah anak berusia 18 tahun atau
sudah kawin.

Hubungan Negara dan Warga Negara
Hubungan negara dan warga negara ibarat ikan dan airnya. Keduanya memiliki hubungan
timbale balik yang sangat erat. Negara Indonesia sesuai dengan konstitusi, mialnya berkwajiban
untuk menjamin dan melindungi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali. Negara juga
berkewajiban untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dalam beragama sesuai
dengan keyakinannya, hak mendapatkan pendidikan, kebebasan berorganisasi dan berekspresi,
dan sebagainya.
Kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak warganya tidak akan dapat berlangsung
dengan baik tanpa dukungan warga negara dalam bentuk pelaksanaan kewajibannya sebagai
warga negara. Warga negara berkewajiban membayar pajak dan mengontrol jalannya
pemerintahan baik melalui mekanisme kontrol tidak langsung (melalui wakilnya di lembaga
perwakilan rakyat: DPR, DPRD) maupun secara langsung (melalui cara-cara yang demokratis
dan bertanggung jawab).


Hubungan Agama dan Negara: Kasus Islam

Hubungan agama dan negara dalam konteks dunia Islam masih menjadi perdebatan yang
intensif di kalangan para pakar Muslim hingga kini. Menurut Azyumardi Azra, perdebatan itu
telah berlangsung sejak hamper satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini.
Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara dalam Islam disulut oleh hubungan
yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan negara. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun
ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah
agama itu sendiri.
Pendapat Ibnu Taimiyah ini bersumber pada ayat Al-Qur’an (Q. S. 57: 25) yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami yang disertai keterangan-keterangan,
dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan, agar manusia berlaku adil, dan
Kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan
agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan (menolong) Rasul-Nya yang gaib
(daripadanya)”.
Ahmad Syafi’I Ma’arif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak
dijumpai dalam Al-Qur’an. Istilah dawlah memang ada dalam Al-Qur’an pada surat al-Hasyr (Q.
S. 59: 7), tetapi ia tidak bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk
melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan. Menurut Mohammad Husein
Haikal, prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh Al-Qur’an dan AlSunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Dalam Islam tidak terdapat
suatu sistem pemerintahan yang baku. Hubungan Islam dan negara modern secara teoretis dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga pandangan: integralistik, simbiotik, dan sekularistik.

1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hamper sama persis dengan pandangan negara teokrasi Islam.
Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan
politik atau negara. Pola hubungan integrative ini kemudian melahirkan konsep tentang agamaagama, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan
prinsip keagamaan. Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh negara Kerajaan Arab
Saudi dan penganut paham Syi’ah di Iran.

2. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigm simbiotik, hubungan agama dan negara berada pada posisi saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam pandangan ini, agama
membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama.
Paradigma simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang
negara sebagai alat agama di atas. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang
mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa
kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut
melegitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling

membutuhkan. Model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan kepada
kelompok paradigma ini.

3. Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan
negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki
garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama
lain melakukan intervensi. Konsep sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq
yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan
keinginan Nabi Muhammad untuk mendirikan negara Islam. Negara Turki modern dapat
digolongkan ke dalam paradigma ini.

Hubungan Negara dan Agama: Pengalaman Islam di Indonesia
Perdebatan tentang Islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasionalis Muslim dan
nasionalis sekuler pada 1930-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan negara pada
kurun-kurun selanjutnya. Perdebatan Islam dan nasionalisme dan konsep negara sekuler diwakili
masing-masing oleh tokoh nasionalis Muslim Mohammad Natsir dan Soekarno dari kelompok
nasionalis sekuler.
Perdebatan Islam dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik klimaksnya pada
persidangan formal dalam sidang-sidang majelis Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah Jepang pada tahun 1945. Usulan
menjadikan Islam sebagai konsep negara dari kelompok nasionalis Muslim bersandar pada alas
an sosiologis bangsa Indonesia. Menurut para nasionalis sekuler, kemajemukan Indonesia dan
perasaan senasib melawan penjajah mendasari alas an mereka menolak konsep negara agama
(Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis Muslim.
Akhir dari perdebatan konstitusional BPUPKI menghasilkan kekhawatiran bagi
kelompok nasionalis dari kawaan Indonesia Timur. Kekhawatiran mereka diwujudkan melalui
keinginan mereka mendirikan negara sendiri dengan memisahkan diri dari konsep Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Klimaks dari perdebatan di sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan
nasionalis Muslim untuk tidak memaksakan kehendak mereka menjadikan Islam sebagai dasar
negara Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis Muslim dengan nasionalis
sekuler dikenal dngan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta
(Jakarta Charter) yang menyebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
\
Catatan Singkat Pergumulan Islam
Berikut catatan singkat pergumulan Islam dan negara di Indonesia: Pada kurun antara
1950-1959, ketika Indonesia menjalankan prinsip Demokrasi Parlementer, ketegangan Islam dan

negara kembali tertuang dalam bentuk perseteruan sengit antara kelompok partai politik Islam.
Perseteruan ideologis Islam versus ideologi sekuler kembali terjadi dalam persidangan
Konstituante hasil pemilu demokratis yang pertama pada 1955.
Pemilu 1955 yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah
politik nasional Indonesia ternyata tak menjamin terselenggarakannya proses pembuatan
konstitusi dengan baik. Sekalipun Majelis Konstituante hamper rampung menyelesaikan tugastugas konstitusionalnya, ketidakstabilan politik dan ancaman disintegrasi dianggap oleh Presiden
Soekarno sebagai dampak langsungdari Demokrasi Parlementer yang diadopsi dari Barat.
Menurut Soekarno, demokrasi ala Barat tidak sesuai dengan iklim politik Indonesia. Perseteruan
sengit antara partai-partai politik harus diakhiri dengan memberlakukan kembali UUD 1945 di
bawah sistem Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak saat itu Presiden
Soekarno memiliki kekuasaan yang tak terbatas, bahkan dinobatkan sebagai presiden seumur
hidup.
Sistem Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno berakhir dengan peristiwa politik
yang tragis, Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan
politik Presiden Soekarno dan awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto.
Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan Panglima Kostrad Letnan Jenderal
Soeharti ke tampuk kepemimpinan nasional yang disahkan oleh sidang Umum MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara) di bawah pimpinan Jenderal A. H. Nasution pada 1968.
Dengan slogan kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen, Presiden Soeharto memulai
kiprah kepemimpinan nasionalnya dengan sebutan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama
yang dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.

Islam dan Negara Orde Baru: Dari Antagonis ke Akomodatif
Naiknya Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Islam dan negara di
Indonesia. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya secara umum dapat
digolongkan ke dalam dua pola: antagonis dan akomodatif. Hubungan antagonis merupakan sifat
hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara Islam dan negara Orde Baru; sedangkan
akomodatif menujukkan kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok Islam dan negara
Orde Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Sebelum
mencapai pola akomodatif, menurut Abdul Aziz Thaba, telah terjadi hubungan agama dan
negara Orde Baru yang bersifat resiprokal-kirtis, yakni awal dimulainy6a penurunan ketegangan
antara agama dan negara di Indonesia. Hubungan antagonis antara negara Orde Baru dengan
kelompok Islam dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan
yang dilakukan Presiden Soeharto. Menurut Effendy, akar antagonisme hubungan politik antara
Islam dan negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan
umat Islam yang berbeda.
Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan Islam dan rezim
Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik Presiden Soeharto.

Menurut Effendy, kebijakan-kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan
politik Islam selanjutnya baik struktural maupun kultural.
Kecenderungan akomodasi negara terhadap Islam juga—menurut Affan Gaffar—
ditenggarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta
kondisi dan kecenderungan akomodasionis umat Islam sendiri. Menurut Thaba, sikap
akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh pemahaman negara terhadap perubahan
sikap politik umat Islam terhadap kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan
penerimaan asas tunggal Pancasila.

Islam dan Negara Pasca-Orde Baru: Bersama Membangun
Demokrasi dan Mencegah Disintegrasi Bangsa
Dalam konteks konsolidasi ddemokrasi setelah lengsernya Orde Baru yang otoriter, umat
Islam seyogianya memandang dan menjadikan kesepakatan (agreement) di antara kalangan
nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara
NKRI. Kesepakatan tersebut harus dipandang sebagai komitmen suci para pendiri bangsa yang
harus dilestarikan sepanjang masa oleh semua warga bangsa.
Konsep NKRI dan Pancasila dengan kebhinekaannya adalah tidak bisa dilepaskan dari
ijtihad kelompok Islam Indonesia yang harus dijaga, dilestarikan, dan diaktualisasikan dengan
pengembangan ajaran-ajaran Islam yang berwawasan inklusif, kemanusiaan, keadilan, dan
keindonesiaan. Keberadaan elemen-elemen demokrasi harus didorong menjadi kekuatan vital
bagi proses demokratisasi di Indonesia dan penjaga empat consensus kebangsaan: Pancasila,
UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sikap mengancam atau merusak fasilitas umum dalam mengeluarkan pendapat, lebihlebih menggantikan peran penegak hukum atau melakukan tindakan terror terhaap aparat hukum.
Tentu saja, sikap destruktif juga sangat bertentangan dengan ajaran semua agama dan ideologi
Pancasila.
Dengan ungkapan lain, negara dan agama, melalui kekuatan masyarakat sipilnya, adalah
dua komponen utama dalam proses membangun demokrasi di Indonesia yang berkeadaban. Dua
komponen ini memiliki peluang yang sama untuk menjadi komponen strategis dalam
pembangunan masa depan Indonesia, pembangunan masa depan demokrasi Indonesia.
Komitmen untuk menjaga kesepakatan para pendiri bangsa inilah masa depan demokrasi
Indonesia harus diletakkan dalam tataran Indonesia yang plural dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Karenanya, bersandar pada komitmen kebangsaan ini adalah sangat
tidak relevan, bahkan ahistoris, jika dijumpai segelintir individu maupun kelompok dalam umat
Islam yang hendak mengusung gagasan atau ide negara agama. Hal ini selain tidak sejalan
dengan prinsip kebhinekaan dan demokrasi, tetapi juga mengkhianati kesepakatan para pendiri
bangsa yang di antara mereka adalah para tokoh umat Islam.