Mencermati dan Memahami Falsafah Kehidup

Mencermati dan Memahami Falsafah Kehidupan
dalam Budaya Jawa untuk Hidup Lebih Sejahtera di
Masa Kini
Pengantar:
Dalam falsafah Jawa yang berkaitan dengan kehidupan, dikenal adanya istilah:
1. Sangkan Paraning Dumadi
2. Manunggaling Kawulo Gusti .
Falsafah ini mengajarkan kepada orang-orang Jawa untuk dapat membina dan
menjalani kehidupan sampai saat kematian nanti dengan sempurna. Bagaimana
bisa mempunyai atau memberikan sangkan (asal muasal) yang baik dan/atau agar
supaya bisa mencapai atau memperoleh paran (arah tujuan) yang agar bisa dumadi
yaitu mendapat/mencapai kesempurnaan
Dalam presentasi ini, saya ingin membahas falsafah kehidupan dalam Budaya Jawa
dalam kaitannya dengan upaya bagaimana mencermati dan memahami falsafah
hidup ini agar dapat menjadi pedoman untuk mencapai kehidupan yang lebih
sejahtera dalam upaya mencapai kesempurnaan hidup. Hidup di sini berarti ganda
yaitu hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat.
Kehidupan yang sempurna ini, dalam kehidupan dunia adalah memayu wahyuning
bawana (menjaga kelestarian kehidupan (pribadi dan manusia lain) dan kelestarian
bumi, agar dapat terus didiami oleh anak cucu kita di masa-masa mendatang, dan
setelah mati mencapai “manunggaling Kawulo Gusti” di mana ruh kembali bersama

Allah (yang berarti masuk surga).
Sebagaimana diawali dalam falsafah ini, setiap manusia akan mengalami tiga
tahapan kehidupan yaitu Metu–Manten-Mati.
Metu berarti lahir (atau sangkan), di mana dalam kelahiran ini dipandang sebagai
takdir karena bayi tersebut tidak bisa siapa orang tuanya dan di mana dia
dilahirkan.
Manten berarti menikah, di mana dengan menikah ini, dipandang bahwa seseorang
sudah tidak lagi hanya harus mempunyai beban tanggungjawab dan kewajiban
pribadi semata. Namun, dua manusia menyatukan kewajibannya dalam upaya
untuk memulai tahapan “memayu wahyuning bumi” (atau “hamemayu hayuning
bawana”} dan “manunggaling kawulo Gusti” yang sempurna.
Mati yang berarti akhir kehidupan manusia dan kembali kepada Sang Pencipta.

Tahapan dan Konsekwensi:

Dalam tahapan “Metu”, (yaitu sangkan atau asal kehidupan) pada awalnya manusia
belum mempunyai dan mengemban beban dan tanggungjawab untuk menjalani
kehidupan. Beban tanggungjawab dan kewajiban manusia diawali dengan
kemampuannya untuk memahami sejumlah aturan yang berlaku, baik yang berlaku
di keluarga, kemudian di lingkungan rumah, di lingkungan ketetanggaan, di

lingkungan sekolah, dan seterusnya. Seiring dengan bertambah umur dan

pengetahuan serta jaringan hubungannya dengan manusia-manusia lain, maka
semakin bertambah pula tanggungjawab dan kewajiban orang yang bersangkutan.
Beban tanggungjawab dan kewajiban manusia bertambah dan semakin
beranekaragam seiring dengan pertumbuhan kemampuannya untuk berpikir dan
memahami posisinya dalam kehidupannya bersama orang lain dan dalam
lingkungan fisik. Beban dan tanggung jawab manusia dalam masa “ metu” ini masih
dipikul oleh kedua orang tua (yang sudah masuk dalam tahap “manten” dan sanak
kadang serta orang-orang yang berada di sekitar keberadaannya.
Dalam masa “metu” sampai dengan “manten” ini, pada awalnya, manusia hanya
“nglakoni” yaitu hanya menjalankan apa yang dipandangnya bisa atau boleh
dilakukannya. Dalam Bahasa Jawa, masa ini dianggap sebagai “ saderma
nglampahi” atau sekedar menjalani, apa saja yang dipandangnya bisa dan boleh
dilakukan. Tidak ada konsekwensi beban tanggungjawab dan kewajiban, karena
masa ini semua seolah-olah sudah di atur dan tidak perlu bertanggung jawab.
Dalam tahapan ini, apa yang dialami seolah sudah terjadi dengan sendirinya dan
sudah menjadi nasib dan takdir Illahi.
Semakin dewasa (terutama kedewasaan dalam pemikiran) seseorang, yaitu dewasa
menjelang sampai dengan tahapan “manten”, maka “nglakoni” diganti dengan

“laku” atau berjalan menuju masa depan sesuai dengan “ paran” yang dipandang
dapat menuju kesempurnaan hidup. “L aku” atau sering juga disebut sebagai
tahapan “lakon” ini membutuhkan tahu dan ilmu. Dari waktu ke waktu, setiap
manusia dianggap belajar untuk tahu yang menjadi pengetahuannya dan belajar
ilmu untuk berjalan menuju “paran” atau tujuan hidupnya. Sebagaimana yng
ditembangkan:
1. Ngelmu iku kelakone kanthi laku (Ilmu itu terjadinya disertai langkah atau
perjalanan)
2. Lekase lawan kas (bermula dari kesungguhan hati – untuk tahu dan
belajar)
3. Tegese kas nyantosani (kesungguhan bermakna menyentosakan –
memudahkan/membahagiakan)
4. Setya budya pangekese dur angkara (setia atau berketetapan hati untuk
memperjuangkan kebaikan dan menghilangkan yang jahat).
(diambil dari tulisan Afendy Hidayat, M.Phil.:” Sangkan Paraning Dumadi:
Sebagai Proses antara Lahir dan batin”, 19 September 2014.
Pada tahapan “manten” manusia mulai dibebani dengan tanggungjawab dan
kewajiban bersama, tidak lagi hanya sendiri-sendiri. Tahap “ manten” ini
menandakan bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan setuju untuk
menggabungkan, memadu, serta menyerasikan tangjawab dan kewajiban masingmasing menjadi sebuah kesatuan yang harmonis, yaitu dalam kehidupan

berkeluarga dan berumahtangga. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa
tanggungjawab dan kewajiban sebagai laki-laki untuk suami menjadi lebur dengan
tanggungjawab dan kewajiban perempuan yang menjadi istrinya. Tanggungjawab
dan kewajiban laki-laki sebagai suami dari istrinya dan bapak dari anak-anak2nya
tetap harus dipikul dan dilaksanakan dengan baik. Demikian pula dengan
tanggungjawab dan kewajiban perempuan sebagai istri dari suami dan ibu dari
anak-anaknya tetap melekat pada perempuan. Tahap “ manten” berarti tambahan

tanggungjawab dan kewajiban di samping menggabungkan, memadu dan
menyerasikan tanggungjawab laki-laki dan perempuan.
Sudah harus mulai jelas “paran” yang ingin dituju bersama pasangannya dalam
upaya untuk “memayu wahyuning bawana” dan mencapai kesempurnaan hidup.
Dalam hal “memayu wahyuning bawana” pasangan manusia dibebani
tanggungjawab untuk dapat memunculkan “ wiji dadi kang bleger”, yaitu bibit
manusia atau melahirkan bayi yang sempurna lahiriah dan batiniah. Dalam tahapan
ini, bapak ibu diwajibkan untuk memberikan kecukupan lahir batin dalam arti
pangan sandang papan dan pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar ” wiji dadi” dapat
tumbuh dengan baik dan sempurna (lahir batin serta kemampuannya) yang pada
waktunya nanti bisa menggantikan bapak ibunya untuk bisa menghasilkan proses
“metu” yang baik bagi anak-anaknya serta mencapai “ paran” atau tujuan menuju

kesempurnaan dalam “memayu wahyuning bawana” dan “manunggaling kawulo
Gusti”. Dengan demikian, maka kesinambungan kehidupan manusia dan alam
untuk menunjang kehidupan dapat terus dipertahankan dengan baik. “ Wiji dadi” ini
harus bisa tumbuh dengan pengetahuan dan ilmu yang dapat mendukungnya untuk
mencapai “paran” nya sendiri dan bersama-sama orang lain. Dalam tahap ini,
menurut pendapat saya “mlampahi saderma” sudah tidak lagi dapat dilakukan
sepenuhnya, karena perjalanan hidup dan kehidupan harus disandarkan pada
pengetahuan dan ilmu, terutama dalam membuat catatan “ lelaku” yang baik serta
melahirkan, menumbuhkan dan membimbing “wiji dadi” yang sempurna yang
dapat tetap “memayu wahyuning bawana”di kemudian hari. Sebagaimana biasanya
kalau “mlaku” atau berjalan, kita harus benar-benar mengamati langkah, jalan yang
akan dilangkahi, ke mana arah jalan yang ditempuh dan bagaimana cara kita
menjalani, serta tujuan dari perjalanan yang dilakukan ini. Bilamana kita tidak
berhati-hati berjalan, maka kita bisa jatuh, terjerembab, tersesat, dan tidak akan
sampai tujuan.
Dalam tahap ini, “mlampahi saderma” harus diartikan sebagai semua upaya untuk
mendapat dan mencapai “paran” yang diinginkan, harus dilakukan dengan sekuat
kemampuan dan sebaik-baiknya cara yang diketahui serta tanpa rasa putus asa
karena kegagalan yang dialami. Kegagalan karena upaya sekuat kemampuan,
dengan sebaik-baiknya cara dan tanpa rasa putus asa inilah yang dipandang

sebagai “nglampahi saderma” karena sudah menjadi keputusan dan kententuan
Illahi. Dalam konteks ini, “nglampahi saderma” berarti “nrima” karena memang
sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa.
Peran falsafah hidup “sangkan paran dumadi”, adalah manusia harus memilih dan
menentukan tujuan hidupnya dengan bekal pengetahuan dan ilmu serta pemikiran
dan perenungan yang mendalam guna menjalani kehidupan dengan kerja kerja
sebatas kemampuan tertinggi, mencari jalan yang terbaik, tanpa kenal lelah dan
putus asa, serta terus belajar dan memahami kegagalan-kegalan yang pernah di
alami bilamana ada agar tidak terulang kembali.
Dalam tahapan “mlaku” ini, manusia sudah harus siap “lelaku” yaitu mencatatkan
apa saja yang sudah dilakukan dalam kehidupan tahap-tahap sebelumnya. “ Lelaku”
ini berisikan catatan dari semua hal yang dilakukan dalam tahapan-tahapan
sebelumnya, dan merupakan bekal untuk kembali kepada Sang Pencipta. Tentunya
bekal ini harus kita buat sendiri dan harus kita peroleh sendiri, sebisa mungkin

tanpa perlu membebani orang lain (anak dan sanak kadang). Hal ini dikarenakan
dalam pengertian “sangkan paran dumadi”, manusia mempunyai “lakon” (“laku”
dan “lelaku”) sendiri-sendiri dalam membuat catatan kehidupannya sendiri ini.
“Lelaku” inilah yang menjadi bekal dalam menghadap Sang Pencipta dan yang
menentukan apakah bisa mencapai kesempurnaan dalam “ manunggaling kawulo

Gusti”

Kesadaran “Sangkan Paran Dumadi”:

Dalam proses yang dijalani dalam konteks ”sangkan paran” ini, terdapat proses
dialog antara raga dan jiwa, antara lahir dan batin, yaitu olah rasa yang berawal
dari pengetahuan dan ilmu serta bermuara di hati. Rasa di sini bukanlah perasaan,
namun lebih kepada “penggalih” atau “manah” (lihat buku Mulyono 1982:58; dan
Afendy Widayat, 2014:6), yaitu pemikiran dan perenungan yang mendalam
berdasar kepada “eneng” (tenang dalam berpikir tanpa adanya campur tangan
perasaan dan nafsu), “ening” (bening dan jernih tanpa punya prasangka buruk dan
dugaan), “awas” (teliti dan waspada dan melihat, mengetahui dan menimbang) dan
“eling” (bahwa semua akan terwujud atau terjadi atas kehendak Illahi). “ Paran”
yang ingin dicapai harus direncanakan secara seksama berdasar pada pola
pemikiran “eneng”, “ening”, “awas” dan “eling” ini. Sedangkan upaya untuk
mencapai “paran” yang diinginkan harus dilakukan dengan tekad yang kuat, kerja
keras, tekun, gigih, tanpa kenal putus asa.
Dalam budaya Jawa, banyak diketahui pepatah dan petuah yang memberikan
kearifan dalam upaya kita bisa mencapai “paran dumadi“ demi ”manunggaling
kawulo Gusti” Sebagai contoh:

1. “Urip iku Urup”: hidup itu seharusnya menyala, menerangi, yang berarti
hidup itu hendaknya memberi manfaat kepada orang lain di sekitar kita”.
2. “Hamemayu Hayuning Bawono, Ambrasta Dur Hangkoro”: Harus
mengusahakan keselamatan, kebaikan dan kesejahteraan serta
memberantas sifat angkara murka, serakah, iri hati, dan kikir serta aniaya.
3. “Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan ”: Jangan mudah
tertekan terkena tekanan batin (“distressed”) manakala musibah menimpa,
jangan sedih manakala kehilangan.
4. “Ojo ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman ”: Jangan
terpaku atau terkungkung dengan kedudukan, kekayaan materi dan
kepuasan duniawi.
5. “Ojo keminter mundak keblinger, ojo cidra mundak cilaka ”: jangan merasa
paling pandda agar tidak salah paran, jangan suka berbuat curang agar tidak
celaka.
6. “Ojo milik barang kang melok, ojo mangro mundak kendho ”: Janga tergiur
oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah, dan jangan berfikir gamang
atau plin-plan agar tidak kendor niat dan semangat kerja.
7. “Alang-alang dudu lalin aling, marganing kautaman ”: Persoalan kehidupan
bukan penghambat jalan menuju kesempurnaan.
8. “Sopo weruh ing panuju sasat sugih pager wes i”: Dalam kehidupan, siapa

punya cita-cita luhur jalannya seakan tertuntun.
9. “Ngeli namung ora keli”: Hidup itu harus menyesuaikan diri dengan jaman,
namun tidak hanyut oleh arus kemajuan jaman semata. Ini erat kaitannya
dengan pepatah “jamane jaman edan, sing ora edan ora keduman. Namung

sing paling becik tetep wong waras”. Budaya Jawa mengajarkan kita agar
tetap mempunyai pola pemikiran “kang eneng, ening, awas, lan eling”.
10.“Becik tithik, ala ketoro”: kebaikan akan pasti tercatat sedangkan keburukan
pasti akan terbuka, membimbing agar kita selalu berbuat baik dan menjauhi
yang bersifat aniaya.
Sedemikian saratnya budaya Jawa ini dengan kearifan. Bahkan kearifan ini diajarkan
sejak masih kanak-kanak dengan berbagai lagu “ dolanan”. Seperti misalnya:

MENTHOK
- Menthok-menthok tak kandhani, mung solahmu angisin-isini ( (Menthokmenthok aku nasehati, perilakumu memalukan.
- Bokya aja ndheprok, ana kandhang wae (Jangan hanya diam dan duduk, di
kandang saja)
- Enak-enak ngorok, ora nyambut gawe (Enak-enak mendengkur, tidak
bekerja)
- Methok-menthok, mung lakumu megal-megol gawe guyu ( Menthok-menthok,

jalanmu meggoyangkan pantat membuat orang tertawa)
Syair tembang dolanan ‘Menthok’ mengandung makna bahwa seseorang itu
perlu memiliki sikap rendah hati, dan mau instrospeksi diri. Sebagai manusia kita
tidak
boleh sombong, dan harus tetap menghargai orang lain. Sebab, semua ciptaan
Allah memiliki
kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Ibarat ‘ menthok’, binatang yang
penampilannya jelek, tidak menarik, suka tidur, dan malas-malasan pun masih
bermanfaat
bagi orang lain, karena mampu membuat orang lain tertawa atas kelucuan
tingkahnya. Karena
itu, sebaiknya kita jangan segan untuk melihat kekurangan diri sendiri dan tidak
mudah
merendahkan orang lain atas kekurangannya. Tembang ini juga menyampaikan
pesan bahwa
sebaiknya kita tidak bermalas-malasan, karena itu bukan sifat yang baik. (diambil
dari Dr. Farida Nugrahani: “Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa dalam Rangka
Peembentukan Karakter Bangsa (Kajian Semiotik)” Program Pascasarjana
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo).
Masih banyak lagi lagu-lagu “dolanan” untuk anak-anak yang menyiratkan ajaranajaran etika dan moral sejak dini.


Kesimpulan:

“Sangkan Paran Dumadi” sebagai falfasah hidup orang Jawa, membing manusia
untuk tidak “sak paran-paran” karena semua harus ada tujuan yang jelas, keinginan
untuk mencapai sesuatu yang sempurna, baik untuk diri sendiri, anak, sanak
kadang dan orang lain. Budaya Jawa juga mengajarkan untuk bekerja keras, tekun,
tidak kenal lelah maupun putus asa. Prinsip “nrimo mergo isaku mung ngene” tidak
ada dalam ajaran budaya Jawa karena ini menunjukkan watak malas berpikir dan
berkerja. Falsafah hidup dalam budaya Jawa mengajarkan kita untuk memikirkan
dengan seksama serta merencanakan kehidupan guna mencapai kesempurnaan

hidup tanpa perlu mengeluh atau “ndersulo” karena semua apa yang dicapai, apa
yang dimiliki, dan apa yang dinikmati adalah hasil dari “ mlaku” diri sendiri demi
kebutuhan “lelaku”. Semua tetap dalam garis keputusan Illahi agar dapat mencapai
kesempurnaan dalam “manunggaling kawulo Gusti”.
Dengan semakin majunya jaman dan keaneragaman cara dan jalan menuju tujuan
hidup yang sempurna (“paran kang dumadi”), semakin banyak tersedia. Proses
untuk belajar dan pembelajaran dalam mencari jati diri guna memilih cara dan
menentukan tujuan hidup juga semakin luas dan terbuka. Peran falsafah hidup
“sangkan paran dumadi”, hanya dapat dicapai dengan bekal pengetahuan dan ilmu
serta pemikiran dan perenungan yang mendalam berdasar kepada “ eneng”,
“ening”, “awas” dan “eling” sert akan memudahkan mencapai “manunggaling
kawulo Gusti” dengan hidup yang lebih sejahtera dan lebih bahagia.
Sebagai contoh, agar supaya dapat memberikan pendidikan formal kepada anak
dengan baik, orang tua dapat merencanakan tabungan pendidikan anak sejak dini,
sehingga sewaktu anak membutuhkan biaya sekolah, orang tua tidak lagi
dipusingkan dengan mencari dana. Untuk bisa mendapatkan bahan-bahan belajar
dan pembelajaran, dapat dilakukan melalui sambungan internet. Semisal pun kita
belum mempunyai pekerjaan tetap, masih bisa ikut program tabungan untuk masa
tua atau masa pensiun. Bahkan, bila saatnya tiba, di mana harus memasuki
“manunggaling kawulo Gusti”, tersedia pula program yang dapat memberikan biaya
untuk pemakaman dan uang duka cita, sehingga tidak membebani anak dan sanak
kadang.
Semua program ini tidak perlu mahal dan memerlukan banyak biaya. Hanya
memerlukan perencanaan yang matang dan keberhati-hatian dalam mencermati
dan menyikapi berbagai program yang ada. Program-program yang ada
dimaksudkan untuk dapat membantu meningkatkan kesejahteraan bersama
Hal ini bisa tercapai oleh karena adanya program-program kelompok pengikut, di
mana sejumlah orang bergabung secara bersama-sama mengikuti suatu program
pilihan tertentu sesuai dengan kebutuhan kelompok yang bersangkutan.