Habis Senjata Terbitlah Mesin Jahit Pere

Habis Senjata Terbitlah Mesin Jahit: Perempuan Kombatan dan
Senjakala Gerakan Perlawanan Muslim Bersenjata?
Shadia Marhaban dan Rizki Amalia Affiat

Setelah Trump menjadi Presiden AS, politik sayap-kanan dan neo-fasis membuncah di
Eropa dengan sentimen terhadap imigran, serta sokongan dari AS terhadap tumbuhnya ISIS, era
post-truth semakin memberikan persoalan baru bagi gerakan perlawanan bersenjata yang lekat
dengan Islam. Ada berbagai upaya skala global untuk menderadikalisasi, mendepolitisasi,
bahkan mendemoralisasi semangat perlawanan rakyat terhadap penindasan yang dilakukan
oleh negara dan korporasi. Gerakan perlawanan bersenjata dengan cepat dilabeli sebagai
teroris, apalagi jika membawa identitas keislaman.
Aceh pascakonflik disibukkan dengan pergulatan usai donor-donor hengkang dan
pemerintahan yang didominasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diberitakan di media nasional
dan internasional dari sisi kengerian implementasi syariat Islam dan korupsi. Mindanao di era
negosiasi perdamaian diserang dengan isu keberpihakan Moro Islamic Liberation Front (MILF)
terhadap ISIS, penggunaan tentara anak dan represi terhadap perempuan. Namun, dibalik
segala terpaan media tersebut, isu perlawanan atas ketidakadilan dan peran aktif perempuan di
dalamnya sering dianggap sudah menjadi klise – tenggelam dalam maskulinitas dan siklus
negatif dari dampak konflik. Hanya sedikit perempuan kombatan muncul sebagai aktor dari
gerakan yang secara ideologis mereka dedikasikan itu.




Shadia Marhaban adalah mantan negosiator GAM pada perundingan damai antara GAM-Pemerintah Indonesia di
Helsinki (2005). Tulisa
a e tajuk The ‘ei teg atio of E -Combatants in Post-War Aceh: Remaining Challenges
to a Gender- li d Pla i g a d I ple e tatio P o ess dite itka dala Ve o i ue Dudouet, Ha s J. Gies a
dan Katrin Planta (eds.), Post-war Security Transitions: Participatory Peacebuilding after Asymmetric Conflicts oleh
Routledge, 2012. Saat ini ia seorang advokat perdamaian di Mediators Beyond Borders.
Rizki Amalia Affiat adalah peneliti isu perempuan, demokrasi, dan pascakonflik di International Center for Aceh and
Indian Ocean Studies (ICAIOS). Ia menuliskan hasil risetnya bersama Lia Kent dari RegNet School of Regulation and
Global Governance, Australian National University, bertajuk Ga li g ith T uth: Hopes and Challenges for
A eh s Co
issio fo T uth a d ‘e o iliatio dalam David Webster (ed.), Flowers in the Wall: Memory, Truth
and Reconciliation in Timor-Leste, Indonesia and Melanesia. University of Calgary Press (akan terbit Oktober 2017).
Tulisan ini adalah refleksi aktual dari pengalaman keduanya selama bertahun-tahun bersama di Liga Inong Acheh
(LINA) – organisasi massa untuk Inong Balee di Aceh pascakonflik - serta perjalanan periodik ke Mindanao bersama
MILF-BIWAB.

1


Dalam kasus perempuan kombatan di GAM dan MILF, pemetaan yang lebih mendalam
dan pendekatan yang simpatik dibutuhkan untuk melihat tantangan struktural serta bagaimana
mereka berperan sebagai agensi. Upaya ini akan membantu kita memahami kompleksitas dari
oposisi fe i i versus
askuli se ta a ti-keke asa versus
ilita si di a a pa a
perempuan kombatan berada di persimpangan jalan gerakan perlawanan bersenjata.
Hilangnya dimensi ekonomi politik dalam program pascakonflik dan pemberdayaan perempuan
di wilayah konflik adalah proses penggerusan militansi dan kritisisme yang lebih luas dalam
daya juang gerakan perlawanan (militer maupun sipil).
Interseksi Perlawanan GAM dan MILF
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) memiliki
kesamaan karakter sekaligus juga perbedaan mendasar. Secara historis, mereka sama-sama
merujuk pada gerakan melawan sentralisme pemerintah pusat dan berbasis etnonasionalisme
dengan tradisi keislaman yang kuat. Perbedaannya, GAM tidak mengadvokasi perjuangan untuk
suatu negara Islam atau mengusung keislaman sebagai tonggak perjuangannya, sedangkan
MILF adalah pecahan dari MNLF yang menegaskan diri ke dalam identitas dan perjuangan
berbasis Islam. Meski GAM secara formal dan pragmatis tidak mengusung agenda keislaman
(karena mereka berperang melawan pemerintah dari negeri mayoritas Islam terbesar di dunia),
strategi akar rumput dan penyebarannya secara kultural tetap menggunakan nilai Islam sebagai

sesuatu yang melekat di masyarakat.
GAM sebagai gerakan perlawanan bersenjata secara resmi selesai tahun 2005 dan kini
bergelut dengan pembangunan pascakonflik, termasuk pelantikan komisioner Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang baru dibentuk tahun 2016 lalu dalam kewenangan perda
(qanun). Tahapan itu berbeda dengan MILF yang masih bersenjata dan berada dalam rangkaian
perjanjian damai (Comprehensive Agreement for the Bangsamoro/CAB ditandatangani 2014).
Hingga kini MILF masih dalam tarik ulur negosiasi dengan Pemerintah Filipina untuk wilayah
otonomi (kini ada gagasan federasi) dan Bangsamoro Basic Law. Keduanya juga menjadi sasaran
berbagai NGO internasional untuk program seperti rekonsiliasi, partisipasi perempuan, dan
mediasi konflik.
Di dalam persilangan persamaan dan perbedaan tersebut, unit perempuan kombatan
yaitu Inong Balee di GAM dan Bangsamoro Islamic Women Auxiliary Brigade (BIWAB) di MILF,
kerap tenggelam di balik rekan kombatan laki-laki mereka yang mendominasi panggung sosial,
politik, dan ekonomi. Padahal, BIWAB memiliki 29 batalion dan 17,000 anggota di wilayah basis
MILF. Sebagai perempuan yang dibekali ketrampilan perang dan hidup dalam konflik, keduanya
memilki setidaknya tiga tantangan besar:

2

Pertama, problem program pemberdayaan yang justru cenderung mengeksklusi atau

mendomestikasi, kedua, memaknai peran dan pengalaman partikular mereka di tengah
ketegangan-ketegangan sosial politik yang ada dan interpretasi ajaran Islam tentang relasi
gender yang paradoksal – di satu sisi membatasi, di sisi lain membebaskan dan ketiga,
memosisikan diri sebagai warga negara dalam upaya transisi (pasca)konflik termasuk fase
pe jua ga
a u da aspek ekonomi politik dalam rekonsiliasi.
Perempuan dan problem program pemberdayaan
Di era pascakonflik maupun pembangunan perdamaian, program-program bantuan
terkait pemberdayaan perempuan sering tidak melibatkan partisipasi dari penyandang manfaat
tersebut atau tidak melalui dimensi gender dengan kajian atas kebutuhan dan ketrampilan yang
mereka miliki serta inginkan.1 Dari program pelatihan kepemimpinan perempuan untuk pemilu
di Aceh yang didukung UN Women 2008-2011, perempuan mantan kombatan tidak termasuk
ke dalam 9 target spesifik penerima manfaat.2 Hanya sedikit organisasi pascakonflik yang
membuat pelatihan penguatan kapasitas, pendidikan politik dan wawasan praktis seperti
Bahasa Inggris dan komputer untuk perempuan kombatan.
Selain itu, lebih banyak pelatihan-pelatihan baik pemerintah maupun NGO ke
perempuan (termasuk mantan kombatan) berkisar pada pemberian modal dan pemberdayaan
ekonomi praktis. Saat ini, wadah perempuan terbesar yang didukung oleh Partai Aceh atas
nama inong balee mendukung kegiatan bisnis pelaminan (membuat payung, dekorasi, dsb.). Di
Mindanao, perempuan BIWAB MILF menganggap kurangnya akses dan pengetahuan mereka

tentang opsi bantuan dari donor dan NGO internasional menghambat pemberdayaan.
Komunitas internasional selama ini hanya mengakses kepemimpinan di tingkat atas (laki-laki)
dan tidak meraih mereka akibat rantai komando dan struktur kekuasaan internal.
Padahal, selama perang, sejumlah perempuan di Aceh aktif memberi peran pedukung
dalam informasi intelijen untuk GAM, layanan medis dan logistik, serta masuk ke dalam
pelatihan/unit perang bersenjata. Latihan ini termasuk pendidikan ideologi, etika militer, taktik
gerilya, serta penggunaan senjata AK-47, M-16, granat dan pistol. Di Mindanao, meski tidak
diturunkan ke medan laga, perempuan BIWAB dilatih secara militer dan diberi ketrampilan
medis dan logistik, yang kemudian dibagi ke dalam beberapa sayap fungsional. Mereka juga
memiliki ustad dan ustadzah yang menggembleng moral perjuangan dan religiusitas mereka.
Namun, di dalam proses mediasi perdamaian, perempuan BIWAB tidak dilibatkan secara
formal. Kekosongan ini lebih diisi oleh aktivis-aktivis perempuan yang berjarak dengan
perempuan kombatan.
Persoalan ini menghasilkan adanya ketidaksesuaian jenis bantuan yang diberikan
dengan kebutuhan dan aspirasi mereka. Beberapa mantan perempuan kombatan GAM dan
3

BIWAB MILF mengisahkan pengalaman mereka terekspos dalam pelatihan yang berstereotip
gender dari komunitas internasional seperti belajar menjahit pakaian dan merajut yang
sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan individual, pengalaman perang dan aspirasi

pascaperang mereka untuk berpartisipasi dalam peran kepemimpinan di komunitas mereka.
Kesadaran atas kebutuhan untuk membangun kesetaraan gender di dalam programprogram pemerintah dan donor internasional kerap diinterpretasikan dalam bentuk bantuan
mata pencaharian yang tidak berkelanjutan dan bersifat ad-hoc.3 Laporan final MDF tahun 2012
untuk Aceh misalnya, menyatakan bahwa pencapaiannya dalam pemberdayaan perempuan
dalam partisipasi masyarakat berkisar pada penyisihan dana untuk kegiatan-kegiatan yang
dipilih sendiri oleh kaum perempuan, penyediaan kredit mikro khusus perempuan, serta
pemenuhan hak perempuan atas penerbitan sertifikasi tanah.4
Pa tisipasi pe e pua di as a akat de ga
e isihka da a u tuk kegiata kau
pe e pua i i p o le atik dala p aktek a. “e i gkali ka e a uda a pat ia kis da pat o
klien dalam politik lokal yang banyak didominasi mantan kombatan laki-laki, dana yang
diberikan ke kaum perempuan terdampak konstruksi sosial dan arahan birokratis sebatas
kegiatan ekonomi domestik yang umumnya diasuh oleh PKK5. Tanpa dampingan dan penguatan
kapasitas sosial politik, para perempuan ini digeneralisir menjadi sebatas ko su e donor.
Dalam catatannya di Laporan Final 2012 tentang penguatan tata kelola dan
pembangunan kapasitas, MDF hanya menyebut perempuan dari anggota CSO (Civil Society
Organization) dan CBO (Community Based Organization), PNS, dan guru. Posisi perempuan
mantan kombatan tidak diberikan kategori khusus. Padahal mereka ditempa oleh peran dan
pengalaman yang berbeda selama konflik. Ini adalah kegagalan untuk memahami peran sosial
politik perempuan di masyarakat dan peran mereka dalam struktur kekuasaan yang turut

menentukan kemandirian ekonomi mereka.
Contoh lain adalah USAID yang telah menggelontorkan jutaan dolar untuk mendukung
proses perdamaian di Aceh dan men a atka i ple e tasi p og a
a g se sitif ge de .
Namun, dari empat program utama USAID-SERASI, yaitu pemberdayaan ekonomi, pendidikan
perdamaian, rekonstruksi sosial, dan perencanaan pembangunan partisipatoris, 50 perempuan
mantan kombatan hanya dirujuk spesifik sebagai penerima manfaat dari satu program
pemberdayaan ekonomi, yaitu menjahit. Sebaliknya, program rekonstruksi sosial fokus pada
P2TP2A yang mengurus kekerasan domestik dan kekerasan berbasis gender, program
perencanaan pembangunan fokus ke musrenbang di desa, serta pelatihan terhadap perempuan
komunitas soal isu pluralisme dan manajemen konflik.
Di sisi lain, USAID turut mendanai program Kurikulum Islam dan Perdamaian yang
menyasar kelompok pesantren di Aceh dan melibatkan beberapa ulama perempuan. Intervensi
4

USAID ke dalam bentuk manufacture of consent di jantung pendidikan Islam tradisional ini –
seolah sejalan dengan proyek deradikalisasi yang kemudian dikampanyekan secara global –
just u e iptaka pole ik a u soal disku sus la el keseta aa ge de dalam Islam dan
tradisi kearifan lokal dalam pembagian gender di Aceh.
Klasifikasi pe e pua

a ta ko ata da i do o yang sifatnya parsial ini justru
memisahkan mereka dari ketiga aspek lainnya yang sebenarnya relevan dan signifikan dengan
pengalaman dan kebutuhan mereka. Program itu mendomestikasi perempuan mantan
kombatan ke dalam satu kegiatan sempit; mendomestikasi program rekonstruksi sosial dan
pendidikan perdamaian ke sebatas diskursus deradikalisasi, pluralisme, dan kekerasan
domestik; serta mengeksklusikan perempuan mantan kombatan dari jejaring yang lebih luas.
Hal ini kontradiktif mengingat banyak kajian dan rekomendasi menyoroti rendahnya
peran dan partisipasi perempuan dalam kepemimpinan dan perwakilan politik pascakonflik.
Kondisi ini sering disalahkan pada kebijakan internal partai, politisasi dalil agama atas
keharaman perempuan sebagai pemimpin, kapasitas perempuan itu sendiri, tidak adanya
dukungan pemerintah, hingga pemilih perempuan yang tidak memilih perempuan. Meskipun
secara umum faktor-faktor itu benar adanya, program-program bantuan pascakonflik atau
untuk korban konflik yang ditawarkan itu sendiri (yang mendominasi arus pertumbuhan NGO
dan geliat ekonomi kelas menengah baru di Aceh) untuk pemberdayaan perempuan justru
cenderung menekankan pada ketrampilan domestik dengan harapan melalui kegiatan seperti
membuka warung, menjahit6 dan memasak, mereka akan memiliki kemandirian ekonomi.
Ironisnya, ketika banyak program pemberdayaan (ekonomi) perempuan
berguguran perlahan begitu donor pergi oleh banyak sebab, para perempuan
ditinggalkan tanpa kapasitas advokasi, pengetahuan negosiasi, dan teknik
kepemimpinan komunitas maupun pos-pos politik formal. Padahal bekal soft

skills seperti ini yang justru dibutuhkan perempuan untuk mengartikulasikan
kondisi dan memahami kendala-kendala struktural yang mereka hadapi.
Te
p og a se sitif ge de , pe ga usuta aa ge de da sejenisnya telah
menghasilkan feminisasi p og a
a tua
a g dila eli se agai kegiata pe e pua
(kerajinan tangan, buka warung, membuat kue, memasak, menjahit, merajut, dsb.). Pada salah
satu program di desa di Aceh Utara, 30 perempuan dilatih merajut oleh NGO dari Eropa dengan
instruktur dari Jakarta serta menggunakan mesin jahit terbaru. Pelatihan berlangsung selama
tiga bulan dan dianggap sukses besar. Namun, kendala berikutnya muncul dalam pemasaran,
kesediaan modal, dan lainnya.
Pelatihan semacam ini dalam masyarakat (pasca)konflik tidak akan membawa
perempuan pada pemberdayaan yang sesungguhnya, melainkan sebatas mencapai keuntungan
5

ekonomi jangka pendek. Ada semacam kecenderungan tentang gagasan industri rumah tangga
yang menahan perempuan bergerak sebagai agen perubahan di komunitas mereka terkait
kepemimpinan, termasuk partisipasi di dalam proses pembuatan kebijakan di desa mereka.
Domestikasi peran perempuan melalui cara ini membuat mereka berada di dalam

tembok tak kasat mata dan rentan masuk ke dalam siklus dominasi laki-laki (yang di banyak
kasus cenderung merugikan posisi perempuan). Situasi ini tampak cocok dengan pengaturan
(pasca)konflik dimana kaum laki-laki pe gi u tuk e gu us hal-hal esa se e ta a pa a ist i
mereka menjaga rumah. Kondisi ini dipertajam dengan implementasi syariat Islam yang
problematik secara tafsiran dengan menjustifikasi peran pasif dan terbatas perempuan. Secara
budaya dan konstruksi teologis, masyarakat – termasuk para ayah dan suami – menganggap
perempuan membutuhkan perlindungan dan karenanya cara terbaik adalah tidak keluar rumah
atas inisiatif sendiri. Urusan politik, karir, aktivitas di lingkup masyarakat sipil dan peran sosial
lainnya adalah ranah kaum laki-laki. Tempat mulia perempuan berada di rumah, membesarkan
dan mendidik anak.
Situasi Aceh pascakonflik berbeda dengan Mindanao yang masih dalam posisi sebagai
gerakan bersenjata. Salah seorang anggota MILF laki-laki berposisi tinggi mengatakan kepada
kami bahwa program pemberdayaan yang diberikan Pemerintah Filipina adalah program
kesehatan yang sifatnya nasional dan tidak ada kekhususan untuk memberikan layanan bagi
penduduk Mindanao sebagai bagian dari kompensasi konflik. MILF sendiri berhati-hati untuk
melibatkan diri dan BIWAB ke dalam program dari berbagai donor termasuk internasional.
“ituasi e eka a g asih e te pu se a a politik membuat mereka membatasi diri dari
pe elidika ele e asing atas nama program donor yang dapat berisiko pada kondisi internal
mereka.
Dengan situasi itu, MILF-BIWAB justru bisa lebih selektif. Pasca perjanjian damai yang

membuat situasi lebih kondusif, BIWAB bisa terekspos oleh kegiatan seperti pelatihan hukum
humaniter internasional, hak perempuan, Resolusi DK PBB, serta partisipasi politik perempuan.
Sebagai rangkaian langkah awal, kegiatan penguatan kapasitas sosial politik ini merupakan
strategi yang MILF-BIWAB untuk memberdayakan perempuan kombatan dalam
mengartikulasikan kemampuan intelektual dan teknis mereka dalam negosiasi dan mediasi
konflik. Namun, sebagai unit militer cadangan, mereka juga dikonfrontasikan dengan
pandangan bias yang digunakan untuk mereduksi posisi mereka – baik dari perspektif patriarkis
maupun feminis. Oleh karenanya, penting untuk memahami bagaimana para perempuan
kombatan memposisikan diri mereka secara personal sebagai agensi di dalam struktur sosial
politik yang lebih luas.
Memaknai peran dan pengalaman partikular perempuan kombatan

6

Pe e pua tidak e ada di elaka g laki-laki, elai ka di elaka g la a . Begitulah
ucapan salah seorang anggota BIWAB kepada kami pada suatu pertemuan bersama di Cotabato
tahun 2016 lalu.
Kali at itu e a dai sesuatu a g sig ifika . Belaka g la a adalah ua g pe ak aa
diri sekaligus pemosisian mereka sebagai kesatuan yang tidak saja berada di dalam struktur
ge aka pe la a a , tapi juga pe egasa ah a tidak e ada di pa ggu g uka e a ti le ih
inferior dari laki-laki. Secara mengejutkan, mereka juga menegaskan bahwa meski ada
kombatan MILF laki-laki yang melakukan poligami, mereka menganggap itu sebagai kasus yang
merugikan perempuan.
Di pertemuan itu kami juga tertarik dengan perempuan lanjut usia yang duduk di
tengah. Penampilan sepuhnya terlihat kalem dan berwibawa. Setelah suasana cair, kami
mengetahui bahwa ia ternyata merupakan angkatan perempuan kombatan pertama di MILF
(waktu itu namanya masih MNLF). Meski lebih sering diam menyimak, sang ummi, panggilan
kehormatan kami, merupakan ustadzah yang dihormati di BIWAB. Suaminya tewas dalam
pertempuran. Selama bertahun-tahun ia menjadi pemimpin dan panutan para perempuan
BIWAB, sehingga saat ini ia tetap dihormati di dalam sayap militer sebagai salah satu pengambil
keputusan.
Kombatan perempuan sebagai sebuah kesatuan kolektif seringkali dianalisis
dalam perspektif yang timpang. Telaah kritis soal ketidaksetaraan dan kekerasan
berbasis gender terhadap mereka misalnya, kerap mengabaikan fakta bahwa
para perempuan ini masih berada di dalam struktur rantai komando yang
menyatu dengan pasukan bersenjata di bawah kepemimpinan barisan komandan
laki-laki. Ini yang menyebabkan telaah dengan kacamata di permukaan akan
mendapati mereka terepresi , didominasi , mendapat perlakuan kekera san
termasuk di ranah domestik . Telaah macam ini bisa menyesatkan dan
memojokkan perjuangan MILF.
Persoalan relasi gender seperti itu bukan khas di unit kombatan perempuan, termasuk
MILF, dan terjadi di banyak konteks. Namun, pengabaian pada fakta bahwa militer memiliki
strukturnya sendiri jelas membuat relasi gender terasa tidak demokratis bagi perempuan.
Padahal, adalah sebuah keharusan bagi gerakan bersenjata untuk bekerja secara terkoordinasi,
berbasis garis komando. Persoalannya bukan pada pola rantai komando, melainkan pengakuan.
Di Mindanao, posisi BIWAB di MILF yang para anggotanya tidak berpartisipasi aktif dalam aksi
bersenjata membuatnya tidak diakui sebagai kombatan. Akibatnya, mereka cenderung akan
dieksklusikan dari program normalisasi pascaperang menurut rujukan DDR dalam perjanjian
damai 2014.

7

Pe soala lai ada pada di e si soal e jadi i u da ko ata sekaligus. Pada Maret
2015 di Cotabato, MILF-BIWAB mendeklarasikan komitmen mereka untuk mencegah
keterlibatan anak di gerakan bersenjata mereka. Kegiatan ini disponsori oleh Kedutaan Besar
Kanada dan UNICEF. Lotta Sylwander, represetasi UNICEF dari Filipina menegaskan bahwa
perempuan BIWAB adalah juga kaum ibu, nenek, dan saudari dari anak-anak yang beresiko
direkrut menjadi kombatan, sehingga mereka diminta untuk mencipta perdamaian dengan
terlibat dalam upaya pencegahan tersebut.
Tuntutan ini terdengar politically correct dan secara moral dapat diterima. Namun,
tekanan seperti ini tidak melihat kesejarahan dan situasi riil yang dialami oleh MILF-BIWAB. Bagi
perempuan BIWAB, suami dan anak adalah bagian dari keluarga yang menjadi unit kesatuan
dalam kamp MILF. Mereka hidup untuk bersiap membela diri dan berjihad, sehingga posisi
mereka sebagai nenek, ibu, saudari atau anak perempuan juga berkelindan dengan kakek, ayah,
suami atau saudara mereka yang berada di dalam MILF. Di kamp itu mereka dilatih sebagai satu
kesatuan sosial, politik, agama, dan militer. Di masa lalu, dalam situasi di mana pasukan militer
Filipina menyerang, memperkosa dan membantai orang-orang Moro, salah satu cara bertahan
adalah dengan mempersiapkan anak-anak mereka kemampuan membela diri dan ikut
bertempur.7
Lapisan konflik Mindanao memang lebih rumit ketimbang Aceh. Tak hanya perang
dengan pemerintah pusat, masyarakat Mindanao juga mengalami konflik horizontal akibat
kekerasan antar keluarga dan klan, sehingga peristiwa ini kadang memicu konflik etnis dan
konfrontasi militer.8 Lingkungan sosial dimana anak-anak MILF-BIWAB ini tumbuh tidak secara
serta merta diartikan gamblang sebagai pemaksaan fisik atau doktrinasi anak ke dalam konflik
bersenjata sebagaimana krisis yang terjadi di banyak negara Afrika ketika anak-anak diambil
paksa dan tercerabut dari jaring pelindung di komunitas mereka untuk direkrut sebagai tentara.
Di kamp MILF, anak-anak terekspos dalam aspek militer sebagai bagian dari jaring survival
mereka yang turut membangun kohesi sosial.
Dalam konteks inong balee dan BIWAB, ada lima rangkaian persoalan di era
(pasca)konflik dan pembangunan perdamaian. Pertama, budaya eksklusi di dalam gerakan
mereka sendiri, kedua, akses ke dukungan internasional yang tidak setara antara perempuan
kombatan dengan laki-laki kombatan (yang umumnya menguasai struktur kepemimpinan),
ketiga, terminologi dan klasifikasi yang tidak tepat atas perempuan kombatan dalam perjanjian
damai atau program DDR (decommissioning, demobilization, reintegration) yang bisa
menimbulkan hambatan atas opsi-opsi yang ada pascakonflik, keempat, eksklusi sosial dan
budaya patriarkis yang lekat, dan kelima, minimnya pendidikan sipil formal yang berkontribusi
pada lemahnya kepercayaan diri.9

8

Seorang perempuan kombatan dari BIWAB yang juga janda dari mediang pejuang MILF
beberapa waktu lalu dikabarkan membelot ke ISIS, salah satunya karena alasan personal: ia
merasa diabaikan oleh para petinggi MILF. Bersama para pengikutnya yang terdiri dari
perempuan dan laki-laki, ia pergi dari salah satu kamp MILF membawa persenjataan. Hal ini
sekaligus juga menunjukkan bahwa secara formal, MILF tidak memiliki kesatuan ideologis
dengan ISIS, apalagi afiliasi, sebagaimana yang ditegaskan oleh Aboud Sayyed Lingga dari
Institute of Bangsamoro Studies kepada kami. Namun, tak dianya bahwa insiden tersebut
adalah salah satu pertanda MILF sedang mengalami fase kritis internal.
Tak disanggah bahwa GAM dan MILF memiliki tantangan dalam pengakuan perempuan
dan kecakapan perempuan kombatan. Namun, perpaduan antara interpretasi Islam atas relasi
gender, kalkulasi pragmatisme politik dan kultur patriarkis-maskulin di dalam struktur militer
tidak serta-merta bisa disimpulkan sebagai bentuk kekerasan berbasis gender atau diskriminasi
by design. Terlepas dari ragam persoalannya, konsensus umum tentang nilai-nilai Islam,
terutama MILF yang secara formal mengadopsi kaderisasi berupa pengajian, menjadi penjaga
moral bersama sekaligus basis ideologi yang memampukan mereka memiliki fondasi dan
pembenaran atas perjuangan panjang melawan ketidakadilan.
Mo al e sa a i i uka se ata klise. Dala du ia ilite da ge aka pe la a a ,
moral bersama adalah bagian dari code of conduct untuk memastikan kesatuan komando
berbasis integritas dan ideologi menjadi kekuatan perjuangan tiap individu. Selain itu, nilai
kesetaraan sebagai moral dalam gerakan perlawanan berkontribusi pada persepsi diri positif
kombatan perempuan.
Perempuan Maoist Nepal misalnya, memaknai keterlibatan mereka di gerakan
bersenjata sebagai bagian dari kebebasan, keberdayaan, kepercayaan diri, serta memunculkan
pertanyaan kritis terhadap peran-peran gender tradisional diantara perempuan desa umumnya.
Partisipasi aktif ini membawa perubahan positif bagi mereka. Dalam kondisi ini, aspek
askuli menjadi dominan.10 Aspek spiritual dalam BIWAB melalui keberadaan ustadz dan
ustadzah adalah bentuk kaderisasi gerakan politik-militer Islam yang mengakar dari upaya
membangun kesalehan individu sebagai kekuatan kolektif.
Saba Mahmood menyebut kecenderungan kaum perempuan untuk secara khusus
belajar Islam (mengaji) bersama ini dengan ortodoksi Islam, yang menurutnya punya dimensi
politik lebih luas ketimbang dikotomi konservatif versus liberal dalam politik formal dalam
tradisi Barat. Meski kajian Mahmood adalah pengajian perempuan di mesjid-mesjid di Afrika
dan Timur Tengah, perspektif ini penting diadopsi dengan menginvestasikan waktu untuk
mengkaji pengalaman khas perempuan Muslim dari kaca mata gerakan bersenjata.

9

Dalam keterbatasan ruang dan struktur, perspektif agama tentang perempuan yang
cenderung ortodoks ini memiliki dua wajah: secara doktrin, ia bisa koheren dengan pola dan
manajemen gerakan. Bagi BIWAB, dan umumnya masyarakat Muslim Mindanao, perempuan
a g tidak e ke udu g aka dia ggap o a g Ma ila atau o -Muslim. Asumsi ini tidak
dimaksudkan diskriminatif, melainkan cara mereka mengenali berdasarkan tradisi dan
kebiasaan. Di Aceh, tradisi Islamnya yang sudah mendarah daging membuat dampak formalisasi
Syariat tentang aurat menjadi destruktif. Namun, di kedua wilayah, norma atau penghargaan
atas aurat di daerah mereka dan tata cara pergaulan antar jenis kelamin – termasuk pola
tradisional suami istri – e ko t i usi dala
e a gu ha o i di a a age si e eka
adalah aktualisasi di dalam gerakan. Gerakan itu sendiri menyatu dalam kehidupan harian
mereka. Keterlibatan mereka sebagai kombatan adalah sebuah kebebasan itu sendiri. Para
perempuan ini terlatih sebagai individu beropini kuat dalam banyak aspek.
Namun, di lain sisi, perspektif ini juga bisa menjadi kontradiktif. Karena ruang gerak
perempuan terbatas, peran dalam menghadapi pertempuran di garis depan dan bersentuhan
dengan negosiasi politik yang lazimnya dimainkan kaum laki-laki turut membawa pola ini dalam
proses formal mediasi konflik dan politik pascakonflik. Kekerasan berbasis gender timbul
berbalur kongsi politik dan agama membuat pemulihan dari status kombatan ke warga negara
sipil terhambat. Akibatnya, rekonsiliasi yang utuh di komunitas sulit tercapai. Ketiadaan
pengakuan atas perempuan sebagai pilar terpenting komunitas mereka membuat transformasi
gerakan perlawanan ke tatanan masyarakat damai dan demokratis menjadi melempem.
Rekonsiliasi eko o i politik ?
Me appreciate wo e who cook for the a d they respect women who fought in the war
with them, but after independence they did not really consider women as part of the liberation
struggle. (Shikola, 1998)
Salah satu mantan Inong Balee bernama Matan. Meski ia tak pernah memanggul
senjata, sejak berstatus mahasiswi di jaman konflik, ia sudah berjibaku dengan bantuan
kemanusiaan di kamp-kamp pengungsian dan desa-desa terpencil yang terimbas berbagai
kekerasan. Ia kadang mengendarai motor untuk menyelinap ke wilayah-wilayah pelosok bekas
terjadi pembantaian yang tiada seorangpun dari luar berani masuk. Di saat ia masuk ke dalam
Daftar Pencarian Orang, ia justru berdemo di depan kantor polisi menuntut pembebasan
seorang kepala desa. Ia pergi ke Jakarta beserta rombongan aktivis HAM dan bersama Munir
menyuarakan hak-hak rakyat Aceh. Di berbagai tempat itu ia menjalankan misi dua wajah:
mendata korban dan situasi desa atas nama kemanusiaan, tapi juga mensuplai informasi untuk
GAM.

10

Pada masa-masa penuh ketegangan itu ia mendapat akses untuk berada di markas
utama GAM di Aceh Utara – wilayah yang pernah steril dari jamahan militer Indonesia. Ia juga
pernah datang dan disambut ke sebuah pertemuan tersembunyi GAM, dan menjadi satusatunya perempuan di ruangan itu. Menolak hanya hadir sebagai penghias, ia justru maju dan
membacakan Hikayat Prang Sabil – sebuah syair bertema jihad yang secara turun temurun
dibacakan sejak era perang melawan Belanda sebagai penyulut semangat. Suaranya berhasil
menggetarkan para kombatan laki-laki, membakar semangat mereka untuk berjuang. Kini
setelah konflik usai, Matan berjuang di berbagai lini: dari mulai aktivisme sosial, partai lokal,
hingga P2TP2A yang mengurus problem kekerasan domestik.
Tahun 2016, Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR) resmi dilantik.
Lembaga ini bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, menganalisis serta
merekomendasikan reparasi dan rekonsiliasi dari kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu ini.
Berbagai tanggapan optimis maupun pesimis dari berbagai kalangan muncul. Matan merupakan
satu dari berbagai kalangan yang skeptis dengan keberadaan KKR.
Tahun 2017 ini DPR Aceh hanya menyetujui anggaran sebesar Rp 5 miliar untuk KKR
periode setahun pertama dari total 21 miliar rupiah yang diajukan komisioner KKR. Bandingkan
dengan pelantikan Wali Nanggroe yang dikabarkan menghabiskan biaya Rp 2,4 miliar hanya
untuk dua hari upacara tahun 2013 lalu. Padahal, anggaran provinsi Aceh (APBA) 2017
mencapai Rp 14,5 triliun – tertinggi dan jauh lebih tinggi dari semua provinsi di Sumatera.
Sedangkan tingkat kemiskinan di Aceh menurut data BPS tahun 2016 mencapai 16 persen,
kedua tertinggi setelah Bengkulu.
Kedua lembaga ini – KKR dan Wali Nanggroe – menjadi ilustrasi pertarungan dua
kekuatan yang berbeda. Pada mulanya, para negosiator GAM di Helsinki merumuskan Wali
Nanggroe ke dalam MoU sebagai bentuk pemerintahan bayangan (shadow government) yang
dipimpin oleh pendiri GAM, Hasan Tiro. Tujuannya adalah agar GAM secara ideologis bisa tetap
mempengaruhi dinamika politik institusional di Aceh setelah perundingan damai. Bagi GAM,
Wali Nanggroe adalah simbol persatuan penyambung strategi perlawanan jangka panjang
akibat ketidakpercayaan mereka dengan Pemerintah Indonesia pada waktu itu. Namun, dalam
perjalanannya, GAM terfragmentasi. Orang-o a g a u a g e gklai se agai GAM
mendominasi panggung politik praktis. Dengan UUPA dan batasan regulasi nasional, peran Wali
Nanggroe tereduksi dan disorientasi. Alhasil, lembaga yang plot anggarannya besar ini menjadi
tidak efektif. Sedangkan Perda KKR adalah hasil panjang dari perjuangan para aktivis HAM lokal
dan nasional akibat gagalnya UU KKR nasional. Lembaga ini akhirnya resmi berdiri dengan
segala harapan dan keterbatasannya, mencoba merangkul sambutan positif dari masyarakat
luas di Aceh di luar komunitas korban dampingan NGO. Qanun KKR sendiri di dalam salah satu

11

pasalnya melibatkan Wali Nanggroe di dalam proses rekonsiliasi: ini adalah bentuk akomodasi
KKR terhadap peran Wali Nanggroe yang substansial dalam amanat MoU Helsinki.
Secara politik, posisi KKR rentan dilemahkan. Lembaga ini berhak untuk memanggil dan
menyelidiki baik GAM dan TNI sebagai pelaku namun tidak memiliki kekuatan politik untuk
mendorong pengadilan HAM ad-hoc. Penekanannya pada rekonsiliasi dan reparasi kolektif.
Disinilah yang menjadi alasan keraguan Matan terhadap KKR. Baginya, distribusi kompensasi
terhadap para korban yang masih parsial adalah masalah lama yang sulit terselesaikan, apalagi
bicara soal keadilan dan pengakuan dari negara [Pemerintah Pusat].
Sikap Matan terhadap keterbatasan KKR ini dapat dimengerti. Program reparasi di
berbagai negara yang ditujukan untuk para korban pelanggaran HAM juga dinilai tidak memiliki
konsep, rancangan atau bahkan implementasi dengan dimensi gender yang eksplisit sehingga
luput dari bentuk viktimisasi yang dialami banyak perempuan di wilayah pascakonflik/perang
seperti di Afrika Selatan, Jerman, Cili, Brazil dan Argentina.11 Uni Eropa sendiri dikatakan pernah
khawatir bahwa investigasi atau tekanan kuat pada isu HAM akan meruntuhkan perjanjian
damai di Aceh. Kekhawatiran ini memiliki aspek gender yang semakin membungkam kaum
perempuan yang banyak menjadi korban kekerasan saat konflik dan menghambat peluang
rekonsiliasi di akar rumput.12
Sikap Matan berbeda dengan Yusdarita, seorang aktivis perdamaian yang sejak era konflik
hingga saat ini menjadi advokat gigih dalam isu pembelaan hak-hak perempuan korban dan
lingkungan hidup. Ia tinggal di satu dari sedikit wilayah berpenduduk paling heterogen di Aceh:
Bener Meriah (dulu bagian dari Aceh Tengah). Suku besarnya terdiri dari Gayo, Aceh, dan Jawa.
Ketiganya diadu domba satu sama lain saat konflik. Ia kemudian bertransformasi menjadi
penyintas sekaligus tokoh akar rumput yang bergelut langsung dengan dampak kekerasan
brutal di desanya. Bagi Yusdarita, KKR memang tidak bisa memenuhi harapan tinggi mengenai
pengadilan HAM dan reparasi yang memuaskan banyak pihak, tapi KKR berpotensi memberi
makna penting yang sangat bernilai bagi tradisi kaum Muslim: kesaksian publik diharapkan bisa
memberi secercah petunjuk bagi keberadaan jasad atau makam anggota keluarga yang tewas
selama konflik. Pengetahuan atas keberadaan jenazah orang tercinta penting untuk ritual doa
dengan penghormatan yang bermartabat. Selain itu, KKR menjadi forum formal yang mewadahi
ruang-ruang suara korban untuk pembelajaran bersama setelah selama bertahun-tahun
terbungkam atau tenggelam dalam hiruk pikuk politik.
Perbedaan pandangan soal KKR antara Matan dan Yusdarita mengilustrasikan spektrum
penerimaan KKR antara perempuan mantan kombatan dan aktivis sipil dari dua wilayah
berbeda. Qanun KKR sendiri masih mengatur hal-hal umum dan setahun pertama kerja
komisioner akan diprioritaskan pada penguatan institusional yang penting untuk bisa mencari
rumusan tepat bagi spektrum pandangan tersebut.
12

Qanun KK‘ e defi isika eko siliasi se agai hasil da i suatu p oses pe gu gkapa
kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, dan penerimaan kembali korban dan pelaku oleh
komunitas, melalui KKR Aceh dengan menggunakan mekanisme adat Aceh dalam rangka
e elesaika pela gga a HAM u tuk te ipta a pe da aia da pe satua a gsa . P oses
ini sebaiknya tidak berhenti dengan kesaksian publik, pemafaan kolektif dan program
prosedural. Reparasi dan kompensasi (hak korban atas pemulihan dan ganti rugi dari negara)
dan restitusi (hak korban atas ganti rugi oleh pelaku) harus mewujud pada pengakuan yang adil
terhadap perempuan, termasuk mantan kombatan, seiring dengan hak-hak dan penguatan
sosial politik mereka.
MILF sendiri telah turut membentuk Komisi Keadilan Transisi dan Rekonsiliasi di bawah
Comprehensive Agreement on the Bangsamoro (CAB) pada 2014, setelah sebelumnya di tahun
2012 program untuk keadilan transisi dimasukkan ke dalam Framework Agreement (FAB) yang
ditandatangani Pemerintah Filipina dan MILF.
CAB antara Pemerintah Filipina dan MILF dilanjutkan dengan dekomisioning tahun 2015
yang berujung pada 127 kombatan menerima bantuan ternak dan fasilitas pertanian dari
Kementerian Pertanian. Menurut data, hampir 70 persen atau 840,000 masyarakat di
Mindanao bekerja di sektor pertanian. Selain itu, Gugus Kerja untuk dekomisioning kombatan
(TFDCC) juga dimandatkan untuk melaksanakan program sosioekonomi dan pembangunan bagi
BIWAB. Pendekatan ekonomi untuk resolusi (pasca)konflik tampaknya juga menjadi resep yang
dianggap mujarab terhadap Mindanao untuk menyelesaikan persoalan gerakan perlawanan,
termasuk di era transisi seperti di Aceh. Padahal, ada banyak persoalan mendasar yang harus
ditunaikan Pemerintah Filipina terhadap Bangsamoro. Diantara tugas komisi keadilan transisi
(TJRC) adalah menyediakan mekanisme yang layak untuk mengatasi kemarahan rakyat
Bangsamoro; mengoreksi ketidakadilan sejarah; menuntaskan pelanggaran HAM, termasuk
marjinalisasi melalui perampasan lahan.
Pengalaman Aceh menunjukkan bahwa pencapaian dalam tingkat politik dapat
terancam oleh hilangnya perspektif yang menatap ke depan soal problem ekonomi yang tidak
terpecahkan selama proses perdamaian. Dari 1,5 miliar USD bantuan transisi pascakonflik yang
dikucurkan, hanya ada sedikit program bantuan usaha yang terbukti sukses dalam beberapa
kasus. Penggunaan dana dari program pascatsunami dan rehabilitas pascakonflik terhambat
oleh kurangnya kapasitas serapan anggaran, akuntabilitas, serta keinginan politik.13
Sebagaimana Aceh yang memiliki peringkat kemiskinan tinggi, Mindanao juga
mengalami problem yang sama. Tahun 2006 tingkat kemiskinan di Mindanao mencapai 55,3
persen, dengan 58,9 persen perempuan hidup dalam kemiskinan. Indikator dari statistik ini
terus memburuk beberapa tahun setelahnya. Lantas, kemana hasil gegap gempita program
pemberdayaan ekonomi pascakonflik? Apa semata disalahkan pada pemerintahan yang korup?
13

Dalam risetnya di Mindanao, Leslie Dwyer menunjukkan bahwa ukuran pemberdayaan
perempuan tidak bisa semata dilihat dari partisipasi ekonomi, apalagi terbatas pada
pendapatan, melainkan harus dilihat dari aspek sosial yang lebih luas dengan pengakuan
terhadap faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan perempuan. Hal ini krusial mengingat
adanya pertambahan tanggung jawab dan peran perempuan diiringi oleh absennya perubahan
struktural dan masyarakat yang lebih esensial.14
Menurut Tania Salerno, isu kemiskinan dan konflik di Mindanao sebenarnya adalah
argumen yang sering menjustifikasi promosi untuk memikat investasi asing dalam bidang
agrikultur, khususnya Arab Saudi, di wilayah itu. Salah satu wilayah yang diincar berada dalam
wilayah klan Moro, khususnya kamp MILF. Cara untuk melunakkan kaum pemberontak MILF
aga te ipta pe da aia adalah de ga
e peke jaka ko ata di ta ah te se ut. MILF
sendiri dikabarkan secara tertulis telah menyepakati adanya investasi untuk pembangunan
ekonomi dan perdamaian, utamanya karena calon investor dianggap sama-sama Muslim.15
Pada tahun 2012-2015, Departemen Reforma Agraria di Mindanao tercatat telah
mendistribusikan lebih dari 12,000 hektar tanah ke hampir 4,500 penerima manfaat sebagai
bagian dari proses perdamaian untuk pemberdayaan komunitas petani lokal. Pencapaian ini
didukung dengan subsidi 8 juta Peso yang baru dikucurkan tahun 2016 lalu. Giatnya program
dan investasi di bidang tanah dan pertanian ini bukan tanpa alasan. Menurut FAO, Mindanao
merupakan wilayah penyuplai lebih dari 40 persen persediaan makanan di Filipina. Tania
Salerno bahkan menyitir bahwa Mindanao merupakan salah satu dari wilayah terkaya di Filipina
dalam sumber daya alam dengan 30 persen sumbangsih pada ekspor agrikultur.16
Berbagai upaya yang menitikberatkan pada pembangunan ekonomi agraria ini
tampaknya hendak merespon cepat insiden Mamasapano yang terjadi pada Januari 2015. Al
Jazeera memberitakannya sebagai aksi pertempuran selama 12 jam antara polisi Filipina
dengan pejuang MILF di Kota Mamasapano yang mengakibatkan sekitar 30 polisi pasukan
khusus terbunuh. Pertempuran ini menandai potensi ledakan konflik yang masih bisa terjadi
sewaktu-waktu di Mindanao.
Kondisi ini berbeda dengan Aceh. Pembagian hasil kekayaan SDA dianggap tidak
sanggup berkontribusi pada perspektif yang lebih maju dalam proses perdamaian karena
kegagalan pemerintah menjadikan aspek itu sebagai opsi kredibel dalam resolusi konflik dan
dasar visi ekonomi masa depan Aceh, berbagai kelemahan teknis dari pemerintah terkait
pembagian kekayaan, dan mulai habisnya persediaan migas dan kontribusinya sebagai sumber
penerimaan.17 Selain itu, meski soal distribusi lahan pascakonflik terhadap para kombatan
disebut di dalam MoU, secara praktek ada banyak masalah mendasar dan teknis yang membuat
program itu gagal dilaksanakan.18 Alih-alih justru dijadikan sebagai ladang eksploitasi baru yang
melenceng dari tujuan awal gagasan itu.
14

Ketika proses transisi atau reintegrasi diupayakan, perempuan kombatan harus
menghadapi fase-fase yang khas dan lebih sulit ketimbang laki-laki kombatan. Status
kewarganegaraan mereka kerap membingkai mereka ke dalam dimensi privat dan publik yang
terpisah. Banyak aktivis dan organisasi perempuan menawarkan dukungan ke satu atau
beberapa partai politik atau menggunakannya sebagai kendaraan politik untuk pemilu, namun
mereka yang mayoritas gagal meraih suara atau posisi strategis di partai kembali ke aktivitas
non-politik ketika pemilu usai.
Ketiga konsepsi kewarganegaraan arus utama (liberal, republik, dan sosialis) dikritik oleh
sebagian kaum feminis karena menempatkan perempuan serta keluarga di wilayah privat. Ini
berdampak pada konstruksi kewarganegaraan berdasarkan perbedaan gender serta eksklusi
perempuan di wilayah publik. Praktek pemisahan privat-publik ini oleh karenanya perlu
dibongkar dengan mengombinasikan dimensi persamaan dengan pemeliharaan yang
memungkinkan perempuan dari beragam latar belakang sosial budaya bisa menyelesaikan
persoalan mereka serta relasi sosial mereka dengan kelompok lain di masyarakat. Hal ini
membutuhkan konsepsi kewarganegaraan yang membuka kesempatan bagi perempuan dan
laki-laki untuk membuat pilihan-pilihan, melaksanakannya dengan aman, serta dapat bekerja
sama dengan baik di ranah privat maupun publik.19
Namun, feminis liberal menerjemahkan dikotomi ini dengan menyerukan agar
perempuan keluar rumah untuk bekerja sebagaimana kaum pria sebagai bentuk kebebasan
yang setara. Pandangan ini tidak mempertimbangkan mesin kapitalisme dan roda industri yang
ekspansif dan eksploitatif, sehingga di banyak kasus justru membuat perempuan dilucuti di
ruang publik sebagai kelas pekerja tanpa perlindungan sosial dan hukum yang memadai.
Sayangnya, program kesetaraan gender di Aceh diadopsi oleh banyak donor dengan
pendekatan ini. Meski tidak mendetil, jargon pe a gu a pa tisipato is
e aksa
perempuan di desa untuk hadir ke rapat-rapat bersama kaum laki-laki dan mengajari mereka
untuk mengungkapkan kebutuhan mereka dengan cara dan panggung yang sama. Klasifikasi
kebutuhan berbasis gender untuk perencanaan pembangunan dalam arusnya kerap condong
pada isu-isu seperti proporsi jumlah WC umum perempuan dan laki-laki, fasilitas posyandu,
hingga pengaduan untuk kekerasan domestik. Pemberdayaan yang terbatas pada program
mendorong perempuan untuk duduk bersama laki-laki dan bersuara mendeskripsikan
kebutuhan khususnya tidaklah cukup. Perempuan membutuhkan penguatan dalam
membangun ruang, cara, dan strategi untuk mengenali problematika keseharian yang
merupakan bagian dari krisis struktural lebih luas.
Perempuan kombatan memiliki kekhasan dan potensi ini karena mereka dibekali
kapasitas untuk mengenali ketidakadilan dan bekal teknis yang bermanfaat dalam negosiasi

15

konflik, pembangunan perdamaian, dan rekonsiliasi. Berikut kami himpun ke dalam tabel di
bawah.
Transformasi Perempuan Kombatan: Hambatan dan Peluang*
Peran saat konflik
Mata-mata/ informan,
logistik, medis, ikut
berperang,
latihan
militer,
mengajar
kombatan perempuan
lainnya,
pasukan
pendukung/cadangan

Resiko/akibat
Hambatan Pascakonflik
Peluang Pascakonflik
Perkosaan (dan bentuk Memilih hidup terisolasi/ Mobilisasi
sosial,
kekerasan seksual lain), relokasi,
menghindari kepemimpinan di tingkat
prasangka
perilaku reintegrasi, kembali ke komunitas,
seksual,
kehamilan, ranah domestik (rumah dan pengorganisasian,
aborsi,
kekerasan keluarga), sulit diterima penelitian/survei lapangan,
domestik,
ketakutan, oleh
masyarakat
sipil, pelestarian
stig a
egatif pe ah dicerai/dipoligami suami, hutan/lingkungan, support
e u uh da hidup domestikasi
program group untuk pemulihan
diluar norma sosial yang pemberdayaan
trauma, partai politik
lazim
*Diolah dari hasil penelitian lapangan penulis dan laporan Women in Armed Conflicts: Inclusion and Exclusion
(UNDP 2010/11)

Kini, lebih dari satu dekade setelah perdamaian Aceh, tranformasi perempuan
kombatan terhambat oleh elit-elit baru yang mengisi ranah sosial politik. Isu dan peran
perempuan mantan kombatan melebur dan condong dimanfaatkan untuk kepentingan politik
pragmatis. Partai Aceh berkontribusi pada kelangsungan domestikasi perempuan mantan
kombatan dengan memasukkan mereka sebagai bagian dari anggota partai untuk mobilisasi
dukungan, meraup suara dan memenuhi kuota pemilu dan parlemen, namun membatasi
kapasitas mereka pada kegiatan ekonomi yang tidak memberdayakan secara politik (seperti
bisnis pelaminan). Belum lagi ditambah dengan implementasi syariat Islam yang kerap
digunakan beberapa kalangan ulama dan politisi untuk mengganjal kepemimpinan perempuan.
Ketika UN Women melakukan pelatihan perempuan dan partisipasi politik di tahun
2009, mereka menyatakan bahwa aspek politik dan keamanan di Aceh pada periode jelang dan
setelah pemilu legislatif tidak kondusif untuk meningkatkan program partisipasi politik
perempuan karena saat itu masih berada dalam kendali operasi militer. Argumentasi ini
membuat kegiatan lebih fokus pada kampanye publik tentang caleg perempuan.20 Contoh
berbeda terjadi pada pascakonflik di Nepal. Jumlah perempuan di parlemen meningkat dari 5,9
persen pada April 2003 menjadi lebih dari 33 persen pada April 2009. Dalam periode yang sama
di Timor-Leste, peningkatan terjadi dari 26 persen ke 29 persen.
Selama diskusi kami dengan perempuan aktivis dan mantan kombatan di Aceh tahun
2009 dan 2010, mereka mengekspresikan kekecewaan dan mengritik donor atas ketidaksediaan
mereka berurusan dengan isu-isu politik. Sementara itu, kondisi pascakonflik juga
membutuhkan kaum perempuan yang dulu turut terlibat dalam perjuangan di berbagai lini
untuk mendapat pengetahuan dalam demokrasi, pembentukan partai politik, sistem
pemerintahan dan metode pengumpulan dana. Setelah konflik usai, perempuan justru
16

mengalami deprivasi dari program reintegrasi yang relevan. Dominasi kuasi-total dari laki-laki di
dalam struktur pascakonflik mendorong perempuan ke samping, membuat mereka tidak
mampu bersaing dengan para (mantan) kombatan yang agresif dalam meraup keuntungan dari
struktur kekuasaan ekonomi politik. Kasus Aceh ini bisa menjadi pelajaran bagi MILF yang masih
angkat senjata dan bernegosiasi dengan Pemerintah Filipina.
Penutup
Menelisik isu konflik dan pembangunan perdamaian di komunitas tertentu perlu dimulai
dengan perempuan karena mereka adalah agen kunci untuk perubahan di masyarakat. Hal ini
bisa dilakukan dengan aktif mengupayakan setiap kemungkinan menemukan titik temu dari apa
yang telah atau bisa diraih oleh pihak-pihak yang berkonflik tanpa menghilangkan apa yang
mereka percayai sebagai hak mereka.
Pengalaman di banyak tempat menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran
sangat penting dalam gerakan perlawanan dan pembangunan perdamaian. Banyak dari mereka
tidak menyadarinya karena mereka selalu diperlakukan tidak sebagai bagian dari masyarakat
atau bahkan bagian dari penduduk melainkan sebagai korban yang butuh bantuan. Peran
mereka sebagai aktor kerap diselubungi.
Perempuan kombatan cenderung tidak dihargai pengetahuan, kapasitas dan
pengalamannya dalam perang dibandingkan rekan laki-laki mereka. Donor asing dan berbagai
program organisasi internasional dalam banyak aspek tidak terlalu efektif dalam menaikkan
standar hidup perempuan dalam artian yang sebenarnya. Oleh karenanya, partisipasi
perempuan yang lebih bermakna membutuhkan perubahan cara berpikir masyarakat. Dunia
gerakan perlawanan dan negosiasi perdamaian tampak seperti dunia laki-laki padahal pada
kenyataannya baik perempuan maupun laki-laki adalah pihak berkepentingan di dalam konflik –
keduanya sebagai korban atau kadang sebagai pelaku.
Memahami agensi perempuan mantan kombatan di tengah keterbatasan struktur
dimulai dengan menghargai narasi mereka sendiri atas budaya dan sejarah mereka dalam
kerangka kajian konflik dan pembangunan. Merasakan frustrasi dan ketidakpastian yang
mereka alami, serta mengumpulkan serpih-serpih kisah yang tidak disimak oleh banyak orang.
Ini terlepas dari apakah narasi tersebut berbeda dengan fakta riil karena banyak konflik terjadi
disebabkan oleh perbedaan tafsiran atas suatu fakta.
Narasi dari konflik dan perdamaian sangat penting untuk dipahami. Keunikan dari tiap
individu yang terlibat di dalamnya juga berkontribusi banyak pada perdamaian, baik itu dari sisi
pemberontak, pemerintah, atau komunitas internasional. Secara khusus, penting untuk
melibatkan perempuan anggota gerakan bersenjata di dalam pembicaraan damai karena
kemampuan mereka untuk mempengaruhi anggota kelompok yang lebih luas dalam
17

mendukung kesepakatan. Namun, mereka jarang dipandang sebagai bagian dari pembuat
perdamaian. Padahal mereka bisa mempengaruhi konstituen lebih ketimbang perempuan dari
kelompok masyarakat sipil di luar.
Kekuatan melawan kapitalisme – hasrat atas ketidakadilan kehidupan dan penghidupan
- dan kekuasaan penindas yang telah menjadi salah satu bagian penting dalam sejarah panjang
perlawanan kaum Muslim hanya akan terwujud melalui militansi dan radikalisme spiritual, fisik,
dan intelektual. Jika ini gagal termaterialisasi, gerakan perlawanan Muslim bersenjata akan
semakin terpuruk dihadapan era post-truth, ketika kebenaran tenggelam dalam opini populer
yang lebih mengandalkan emosi dan aspek-aspek primordial. Ketika kaum Muslim lainnya
dibantai tanpa mampu melawan dengan senjata dan ketika ISIS menjadi wujud monster dari
jihad. Kita perlu melihat kembali pada fajar gerakan: perempuan sebagai manusia yang
berjuang bersama rekan laki-laki mereka melawan penindasan global secara bermartabat.
Jangan beri mereka mesin jahit, kembalikan hak mereka atas senjata pengetahuan!
***
Tulisan ini sudah diterbitkan di http://islambergerak.com/2017/04/habis-senjata-terbitlah-mesin-jahitperempuan-kombatan-dan-senjakala-gerakan-perlawanan-muslim-bersenjata/
1

Ada enam bidang cakupan proyek MDF (2005-2012): pemulihan masyarakat, pemulihan transportasi
dan infrastruktur skala besar, penguatan tata kelola dan pembangunan kapasitas, pelestarian
lingkungan, peningkatan proses pemulihan secara keseluruhan dan pembangunan ekonomi dan mata
pencaharian.
2

Sembilan target spesifik itu adalah: a) caleg perempuan di tingkat kabupaten/provinsi/nasional, b)
pemimpin perempuan komunitas, c) komunitas pemilih perempuan, d) tokoh agama perempuan, e)
akademisi, f)