Hak dan Kewajiban Peserta Didik Menurut
HAK SERTA KEWAJIBAN PESERTA DIDIK
MENURUT SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DAN SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL
Oleh: Redmon Windu Gumati, M.Ag.
Aku mengadukan salahku kepada
guruku
(Imam
Waki’)
karena
kesulitan dalam mendapatkan ilmu
(menghapal).
Guruku
itu
menasehatiku
agar
menjauhi
perbuatan
maksiat.
Waki’
mengatakan
bahwa:
“Ilmu
itu
cahaya, dan cahaya Allah itu tidak
akan diberikan kepada orang yang
berbuat maksiat”.
Imam Syafi’i
A. Pendahuluan
Ilmu pada hakekatnya adalah cahaya dari Allah, dan hal itu
hanya diberikan pada hamba-Nya yang taa’at kepada-Nya. Oleh
karena itu, peserta didik dalam mencari ilmu perlu kesucian jiwa, Ia
perlu melakukan muroqqobah (mendekatkan diri) kepada Allah, karena
ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugrah dari Allah.
Allah lah yang pada hakekatnya membimbing untuk mendapatkan
cahaya-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sebagaimana
difirmankan dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur [24] ayat 35:
Artinya: 35.
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang
yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita
besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon
zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan
tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya
(saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh
api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaanperumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.
[1039] Yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat)
ialah suatu lobang di dinding rumah yang tidak tembus
sampai kesebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat
lampu, atau barang-barang lain.
[1040] Maksudnya: pohon zaitun itu tumbuh di puncak
bukit ia dapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit
maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga
pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang
baik. (Departtemen Agama RI, 2006: 495).
Untuk mendapatkan ilmu dilakukan melalui sebuah proses
belajar kepada guru (untuk selanjutnya disebut dengan pendidik). Hal
ini mengandung makna bahwa seorang peserta didik yang sedang
mencari ilmu memerlukan pertolongan dan bimbingan dari seorang
pendidik. Peserta didik tidak boleh dibiarkan begitu saja untuk tumbuh
dan berkembang dengan sendirinya. Seorang peserta didik yang
dibiarkan tumbuh dengan sendirinya cenderung untuk bertindak
sesuai dengan apa yang dianggapnya benar, walau hal tersebut
sebenarnya keliru.
Bertitik tolak dari alasan tersebut di atas, maka diperlukan etika
pergaulan yang baik yang harus dilakukan oleh seorang peserta didik.
Baik etika dalam muroqqobah (mendekatkan diri) kepada kholik, dan
etika
mushohibah
muroqqobah
dengan
(bergaul)
(mendekatkan
melakukan
apa
dengan
diri)
yang
kepada
makhluk.
kholik
diperintahkan-Nya
Etika
dalam
konsekwensinya
dan
menjauhi
perbuatan yang dilarang-Nya. Sedangkan etika mushohibah (bergaul)
dengan makhluk konsekwensinya melalui kegiatan-kegiatan ibadah,
muamalah, dan akhlak yang baik (akhlakul karimah).
B. Pengertian Hak dan Kewajiban
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai Hak Dan
Kewajiban Pendidik Menurut Sistem Pendidikan Islam serta Sistem
Pendidikan Nasional alangkah baiknya kalau dibahas dulu arti dari hak
dan kewajiban tersebut. Hak adalah kewenangan atau kekuasaan
seseorang dalam melakukan sesuatu hal yang telah ditentukan oleh
hukum.
Hal
ini
sejalan
dengan
arti
hak
menurut
W.
J.
S.
Poerwadarminta, yaitu: “Hak ialah kekuasaan untuk berbuat sesuatu
(karena telah ditentukan aturan, undang-undang dan sebagainya).”
Demikian pula Menurut buku Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, kata ”hak” diartikan sebagai: “Wewenang atau kekuasaan
untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang,
aturan, dan sebagainya.” Ada juga yang mengartikan “hak” itu
sebagai aturan dan segala hal yang mengatur kewenangan atau
kekuasaan seseorang dalam melakukan sesuatu hal. Bahkan dalam
Kamus Ilmiah Populer “hak” diartikan sebagai: “sebagai yang benar
dan tetap; kebenaran; kepunyaan yang syah”.
Secara morpologi kata kewajiban berasal dari bahasa Arab
“wajib”, yang berarti “mesti dilakukan”. Sehingga, kalau kita merujuk
kepada istilah Fiqih, kata “wajib” diartikan sebagai sesuatu yang
apabila dilakukan mendapatkan pahala dan apabila tidak dilakukan
berdosa. Sehingga perbuatan wajib berarti perbuatan yang mesti
dilakukan
dan
ia
akan
mendapatkan
pahala,
sebaliknya
kalau
perbuatan tersebut tidak dilakukan, ia melakukan dosa.
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Van Hoep, 1984:
339).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: 2001: 382).
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Jakarta: T.t., 211).
Said Sabiq, Fiqih Sunnah, (Riyad: Maktabah Islamiyah, 1995).
Menurut W. J. S. Poerwadarminta Kata “kewajiban” berasal dari
kata wajib, yang berarti mesti dilakukan, pekerjaan atau perintah yang
harus dilakukan. Bahkan dalam buku Kamus Ilmiah Populer dengan
tengas diartikan kewajiban itu dengan “perkara yang mesti diikuti
(tidak boleh tidak)”. Hal senada juga terdapat dalam arti kewajiban
menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen
Pendidikan Republik Indonesia yang mengartikan kewajiban dengan
“sesuatu yang harus dilaksanakan”.
Berdasarkan
statemen
di
atas
hak
peserta
didik
adalah
wewenang dan kekuasaan peserta didik dalam melakukan sesuatu
(kegiatan belajar) yang telah ditentukan oleh undang-uundang, aturan,
dan segala hal yang mengatur tentang hak tersebut. Sedangkan
kewajiban peserta didik adalah perkara yang mesti dilakukan atau
dilaksanakan oleh peserta didik, baik perupa perintah atau hal-hal lain
yang berhubungan dengan sesuatu yang harus dilaksanakan, serta
yang harus ditinggalkan sebagai seorang peserta didik.
C. Definisi Peserta Didik
Untuk
mempertegas
pembahasan
kita
tentang
Hak
Dan
Kewajiban Pendidik Menurut Sistem Pendidikan Islam serta Sistem
Pendidikan Nasional alangkah baiknya kalau dibahas juga arti dari
peserta didik dalam tulisan ini.
Istilah “peserta didik” dipakai oleh Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional,
untuk menunjukan orang yang mengikuti suatu pendidikan pada
jengjang tertentu, baik pada tingkat anak-anak sampai dewasa. Istilah
“peserta didik” ini dipakai karena merupakan istilah yang memiliki
konotasi lebih umum,
dibandingkan dengan istilah lain, semisal:
murid, siswa, atau anak didik.
Lihat W. J. S. Poerwadarminta, Op. Cit, hal, 145.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan, Op. Cit., hal, 781.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Op. Cit., hal. 126.
Dalam sistem pendidikan islam istilah “peserta didik” sering
digunakan terutama dengan menggunakan istilah—istilah lain yang
sepadan,
terutama
dengan
menggunakan
istilah-istilah
sebagai
berukut:
1. Murid
Istilah “murid” berasal dari bahasa Arab, yaitu: arada, yuridu,
iradatan, muridan, yang artinya: menginginkan (the willer). Istilah
“muridan” yang mengandung arti Maha Menghendaki menjadi
salah satu sifat Allah. Definisi ini dapat dipahami karena seorang
murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang
baik untuk bekal kehidupannya agar bahagia di dunia dan
diakherat dengan jalan belajar dengan sungguh-sungguh. Istilah
“murid” banyak digunakan dalam terminologi ilmu Tasauf, yaitu
sebagai orang yang belajar mendalami ilmu tasauf kepada seorang
guru yang disebut syeikh atau Mursyid. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata murid” diartikan “Orang (anak) yang
sedang berguru (belajar atau sekolah)”.
2. At-Tilmid
Kata “At-Tilmid” adalah isimun jimsiyyah (kata benda) yang
mengandung arti “pelajar”. Dalam penggunaan bahasa Arab kata
at-tilmid ini digunakan untuk menunjuk kepada murid yang belajar
di madrasah (sekolah).
3. Al-Mudaris
Kata “Al-Mudaris” berasal dari bahasa Arab, yaitu: daarosa,
yudaarisu, mudarisan, yang artinya: orang yang mempelajari
sesuatu. Kelihatannya penggunaan kata “al-mudaris” ini dekat
dengan kata “madrasah” (sekolah), dan seharusnya digunakan
untuk arti pelajar pada suatu mmadrasah (sekolah), namun dalam
prakteknya tidak demikian.
4. At-Thalib
Sayyid Khaim Husyain An-Naqawi, 1992, hal, 235.
Lihat Abdurrahman Al-Kholiq, 1986, hal, 316.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Op. Cit., Hal, 765
Kata “At-Thalib” berasal dari bahasa Arab, yaitu: thalaba, yathlubu,
tholiban, yang artinya: orang yang mencari sesuatu. Penggunaan
kata ini dapat dipahami oleh karena seorang pelajar adalah orang
yang
sedang
mencari
ilmu
pengetahuan,
keterampilan,
pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal kehidupannya
agar bahagia di dunia dan diakherat. Kata “Thalib” sering
digunakan untuk menunjukan orang yang belajar diperguruan
tinggi atau mahasiswa. Menurut Nana Saodih Sukmadinata, Istilah
“At-Thalib”
lebih
bersifat
aktif,
mandiri,
kratif
dan
sedikit
tergantung kepada guru. Istilah “At-Thalib” dalam beberapa hal
dapat meringkas, mengkritik, dan menambahkan informasi yang
disampaikan oleh guru/dosen. Mengutif pendapatnya Imam AlGhozali yang mengatakan: istilah At-Thalib bukan ditujukan kepada
anak-anak yang belum dapat berdiri sendiri dan mencari sesuatu,
melainkan
ditujukan
kepada
orang
yang
memiliki
keahlian,
manfaat bagi dirinya. At-Tholib adalah seorang yang sudah
mencapai usia dewasa dan telah dapat bekerja dengan baik
dengan menggunakan akal pikirannya. Ia adalah seseorang yang
sudah
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban
dalam
melaksanakan kewajiban agama yang dibebankan kepadanya
sebagai fardu ‘ain. Dalam kontek ini seorang At-tholib adalah
manusia
yang
telah
memiliki
kesanggupan
memilih
jalan
kehidupan dan menemukan apa yang dinilainya baik.
5. Al-Muta’alim
Kata “Al-muta’alim” berasal dari bahasa Arab, yaitu: allama,
yu’allimu, ta’liman, yang artinya: orang yang mencari ilmu
pengetahuan. Istilah “Al-muta’alim” ini merupakan istilah yang
Lihat Abudin Nata, Filsafat Pendidikan islam, (Jakarta: PT. Rajawali Pres, 1954), hal, 50.
Lebih lanjut menurut Abudin Nata bahwa penggunaan istilah Thalib untuk mahasiswa
sudah memiliki bekal untuk mencari, menggali, dan mendalami bidang keilmuan yang
diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih bahan-bahan bacaan, seperti
buku, majalah, surat kabar, dan bahan bacaan lainnya. Bahan-bahan bacaan tersebut
untuk selanjutnya ditelaah kemudian dituangkan dalam berbagai karya ilmiah.
Nana Saodih Sukmadinata, 1997, hal, 196.
Dalam kontek ini seorang At-tholib adalah manusia yang telah memiliki
kesanggupan memilih jalan kehidupan dan menemukan apa yang dinilainya baik. Abudin
Nata, hal, 151.
populer digunakan dalam karya-karya ilmiah para ahli pendidikan
muslim.1
D. Hak dan Kewajiban Peserta Didik Menurut Sistem Pendidikan
Islam
Hak dan Kewajiban peserta didik menurut sistem pendidikan
islam tercermin dalam hubungan proses pendidikan, yang didalamnya
ada peserta diidik, pendidik, lembaga pendidikan, kurikulum, dan lainlainnya, yang tidak hanya tertuju pada satu aspek, tetapi meliputi
seluruh aspek hubungan, sehingga hak dan kewajiban peserta didik
dapat tercapai. Hak peserta didik meliputi:
1. Peserta didik berhhak untuk memperoleh kemudahan dalam
pasilitas pendidikan agar proses belajar mengajar dapat
berlangsung lebih mudah setiap saat, dan berhak untuk
memperoleh kesempatan belajar, tampa harus dibedakan antara
mereka yang kaya dengan yang miskin, sehingga peserta didik
mendapatkan pelayanan secara wajar.
2. Peserta didik berhak dipenuhinya segala kebutuhan jasmani dan
rohani. Terpenuhinya kebutuhan materil dan moril. Dalam sistem
pendidikan islam kebutuhan materil meliputi: kebutuhan dhoruri,
tahsini, dan takmili. Sedangkan kebutuhan moril meliputi:
kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, harga diri, rasa bebas,
dan bimbingan.
Sedanggkan kewajiban peserta didik dalam sistem pendidikan
islam, para sarjana muslim berbeda-beda, menurut Muhammad
Athiyah Al-Abrasi kewajiban peserta didik meliputi:
1 Istilah “al-muta’alim bukan saja merupakan istilah yang digunakan oleh para
ulama dan ahli pendidikan islam saja tetapi merupakan istilah yang digunakan dalam AlQur’an dan al-Hadist. Misalnya saja terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] ayat
31, yang berbunyi:
Artinya: 31. dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!"
Dan juga terdapat dalam al-Hadist sebagai berikut:
Artinya: Telah berkata Hisam bin ‘Umar, telah berkata Shidqoh bin Kholid, telah berkata
‘Ustman bin abi ‘Atikah, dari ‘Ali bin Yazid, dari Qosim, dari Abi Umamah ia berkata,
Rasulullah Saw bersabda .... (H. R. Ibnu Majah). Lihat Burhanudin al-Zarmuziy, 1962, hal,
13.
Muhammad Athiyah Al-Abrasi, 1989, hal 72.
Ramayulis, 1990, hal, 54.
1. Wajib mensucikan hatii dari sifat kehinaan;
2. Wajib menghiasi jiwa dengan kemuliaan dan dekat dengan Allah;
3. Belajar terus-menerus;
4. Konsentrasi diri pada seorang guru yang mantap;
5. Menghormati dan memuliakan diri karena Allah;
6. Menyenangkan bagi guru;
7. Jangan mencari kesalahan guru;
8. Belajar dengan sungguh-sungguh;
9. Memulai salam ketika bertemu dengan guru;
10. Menciptakan suasana kecintaan dan kesenangan diantara muris;
11. Mengulangi pelajaran di malam hari;
12. Tidak merehmekan ilmu pengetahuan apapun macamnya.
Sedangkan menurut Iman Al-Ghozali kewajiban peserta didik ada
sepuluh, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
Mendahulukan kesucian jiwa dari akhlak tercela;
Menyedikitkan hubungan dengan kesibukan dunia;
Tidak sombong karena ilmu dan tidak menentang guru;
Memelihara pendapat yang berbedda-beda;
Tidak meninggalkan satu bagian dari ilmu-ilmu yang terpuji, dan
lebih mengutamakan ilmu yang lebih penting;
6. Belajar secara tertib dan teratur;
7. Tidak berpindah sebelum menguasai ilmu tersebut;
8. Mengetahui sebab-sebab yang dapat mengetahui semulia—mulia
ilmu, baik dalam dalil maupun dalam buahnya ilmu;
9. Bertujuan untuk menghiasi dan mengindahkan batin dengan
keutamaan;
10.
Mengetahui kaitan ilmu dengan umumnya.
Jika diteliti, pendapat Muhammad Athiyah Al-Abrasi memiliki
persamaan dengan pendapat Imam Al-ghozali tentang kewajiban
peserta didik, substansi mereka berkisar pada tiga orientasi, yaitu:
kualitas dan kesucian hati, proses dan penguasaan ilmu
pengetahuan, serta beramal dan berakhlak mulia.
E. Hak dan Kewajiban Peserta Didik Menurut Sistem Pendidikan
Nasional
Hak dan Kewajiban peserta didik menurut sistem pendidikan
nasional diatur secara khusus (lex specialis) dalam Pasal 12 ayat 4
Muhammad Athiyah Al-Abrasi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, A. Ghani
(Penterjemah), (Jkarata: Bulan Bintang, 1993), hal 73-75.
Dalam Zuhairini, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), hal, 149-164.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional (disingkat menjadi Undang-undang Sindiknas).
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hak peserta didik meliputi:
1. Hak untuk mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agama
yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan
bakat, minat dan kemampuannya;
3. Hak untuk mendapat beasiswa bagi yang berprestasi yang orang
tuanya tidak mampu membiayai pendidikan;
4. Hak untuk dapat pindah ke program pendidikan pada jalur dan
satuan pendidikan lain yang setara;
5. Hak untuk menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan
kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari
ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
Sedanggkan kewajiban peserta didik dalam Pasal 12 ayat 4
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Undang-undang
Sindiknas meliputi:
1. Peserta didik wajib menjaga norma-norma pendidikan untuk
menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;
2. Peserta didik wajib ikut menanggung biaya penyelenggaraan
pendidikan,
kecuali
bagi
peserta
didik
yang
dibebaskan
kewajibannya tersebut sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam penjelasan Pasal 12 Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Undang-undang Sindiknas tersbut dijelaskan bahwa
peserta didik berhak untuk mendapatkan pengajaran agama sesuai
dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama,
berkonsekwensi
sekolah-sekolah
dimana
ada
peserta
didiknya yang memeluk sebuah agama, maka sekolah tersebut wajib
menyediakan
pendidik
(guru)
yang
seagama
dan
mengajarkan
pendidikan agama kepada peserta tersebut. Contoh: pada sebuah
Depdiknas, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: fokus media, 2006, hal, 8-9.
madrasah aliyah ada siswa yang beragama kristen bersekolah
disana,maka madrasah aliyah tersebut wajib menyediakan guru yang
beragama dan mengajarjan agama kristen. Demikian pula jika pada
sebuah
sekolah
jending/kristen
ada
siswa
yang
beraga
islam
bersekolah di sana, maka sekolah jending/kristen tersebut wajib
menyediakan guru yang beraga dan mengajarkan agama islam.
Adapun hak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuan pesrta didik; hak untuk
mendapat beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikan; hak untuk dapat pindah ke program
pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; serta
hak
untuk
kecepatan
menyelesaikan
belajar
program
masing-masing
pendidikan
dan
tidak
sesuai
dengan
menyimpang
dari
ketentuan batas waktu yang ditetapkan, merupakan upaya untuk
membangun peradaban dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
yang
bermartabat.
Lebih
lanjut
merupakan
upaya
untuk
mengembangkan potensi dan kemampuan serta membentuk watak
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Secara historis eksistensi Hak dan Kewajiban peserta didik,
menurut Pasal 12 ayat 4 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Undang-undang Sindiknas, merupakan “revisi” dari Undangundang Nomor 2 tahun 1989, yang menjelaskan bahwa peserta didik
itu
mesti
dikembangkan
daya
nalar
dan
daya
intelektualnya.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, yang
harus dikembangkan pada peserta didikitu bukan hanyadaya nalar dan
daya intelektualnya, tetapi juga seluruh potensi yang dimiliinya.
Semisal daya emosional, daya sosial dan daya spiritual. Adanya
“revisi” terhadap sebuah undang-undang merupakan hal yang wajar,
karena
hakekat
lahirnya
sebuah
undang-undang
adalah
untuk
mengatur setiap hal yang menyangkut kehidupan umum. Disampi itu,
adanya “revisi” diperlukan untuk menjawab tantangan jaman yang
berubah, apalagi kalau kita bicara tentang kehidupan yang pareatif
dan kompetitif.
F. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hak
peserta didik menurut sistem pendidikan islam memliki substnsi yang
sama dengan hak peserta didik menurut sistem pendidikan nasional,
secara garis besarnya meliputi tiga aspek, yaitu: (1). Peserta didik
berhak mendapatkan pengajarran sebaik-baiknya; (2). Peserta didik
berhak mendapatkan pasilitas pendidikan sebagaimana mestinya; dan
(3) Peserta didik berhak mendapatkan pelayanan pengajaran yang
sama dan mendapatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan uuntuk
hidup.
Begitu pula dengan kewajiban peserta didik menurut sistem
pendidikan islam memliki substnsi yang sama dengan kewajiban
peserta didik menurut sistem pendidikan nasional, dapat disimpulkan
memiliki tiga aspek, yaitu: (1). Peserta didik wajib menjaga kualuitas
dan kesucian hati; (2). Peserta didik wajib menguasai ilmu pengetahun
dan keterampilan yang diajarkan; dan (3). Peserta didik wajib
menyebarkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang
dilmilikinya,
baik
untuk
didirinya
sendiri,
maupun
untuk
masyarakat.
G. Daftar Bacaan
Al-Abrasi, Muhammad Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, A.
Ghani (Penterjemah), (Jkarata: Bulan Bintang, 1993)
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam,
Heri Noer Ali (Penterjemah), (Bandung: CV> Diponegoro, 1992),
hal. 23.
DEPDIKBUD,
Kurikulum
Pendidikan
Tenagga
Pendidikan
Sekolah
Mennengah, Program S1, Buku I: Ketentuan Pokok, (Jkarta:
Proyek Pembinaan Kependidikan Pendidik Tinggi, 1993).
Roesyam, Tabrani, Peningkatan Kkemempuan Guru Pendidikan dasar,
(Bandung: Bina Budaya, 1993).
Semiawan, Conny, Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah
Menengah, Petunjuk Bagi guru dan Orang Tua, (Jkarta: PT.
Gramedia, 1987)
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rinekka Cipta, 1990).
Soeryabrata, Soemardi, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pres,
1990).
Sulaiman, Hasan, Alam Pikiran Al-Qur’an Menuju Pendidikan dan Ilmu,
Herri Noer (Penterjemah), (Bandung: CV. Diponegoro, 1986).
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1991).
_______________, Metode Khusus Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1991).
Poerwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: CV. Remaja
Rosda Karya, 1995).
Winkel, W.S., Psikologi Pengajaran, (Jakarta: PT. Grasindo, 1991)
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Buni Aksara, 1985).
_______________, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991).
MENURUT SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DAN SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL
Oleh: Redmon Windu Gumati, M.Ag.
Aku mengadukan salahku kepada
guruku
(Imam
Waki’)
karena
kesulitan dalam mendapatkan ilmu
(menghapal).
Guruku
itu
menasehatiku
agar
menjauhi
perbuatan
maksiat.
Waki’
mengatakan
bahwa:
“Ilmu
itu
cahaya, dan cahaya Allah itu tidak
akan diberikan kepada orang yang
berbuat maksiat”.
Imam Syafi’i
A. Pendahuluan
Ilmu pada hakekatnya adalah cahaya dari Allah, dan hal itu
hanya diberikan pada hamba-Nya yang taa’at kepada-Nya. Oleh
karena itu, peserta didik dalam mencari ilmu perlu kesucian jiwa, Ia
perlu melakukan muroqqobah (mendekatkan diri) kepada Allah, karena
ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugrah dari Allah.
Allah lah yang pada hakekatnya membimbing untuk mendapatkan
cahaya-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sebagaimana
difirmankan dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur [24] ayat 35:
Artinya: 35.
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang
yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita
besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon
zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan
tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya
(saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh
api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaanperumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.
[1039] Yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat)
ialah suatu lobang di dinding rumah yang tidak tembus
sampai kesebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat
lampu, atau barang-barang lain.
[1040] Maksudnya: pohon zaitun itu tumbuh di puncak
bukit ia dapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit
maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga
pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang
baik. (Departtemen Agama RI, 2006: 495).
Untuk mendapatkan ilmu dilakukan melalui sebuah proses
belajar kepada guru (untuk selanjutnya disebut dengan pendidik). Hal
ini mengandung makna bahwa seorang peserta didik yang sedang
mencari ilmu memerlukan pertolongan dan bimbingan dari seorang
pendidik. Peserta didik tidak boleh dibiarkan begitu saja untuk tumbuh
dan berkembang dengan sendirinya. Seorang peserta didik yang
dibiarkan tumbuh dengan sendirinya cenderung untuk bertindak
sesuai dengan apa yang dianggapnya benar, walau hal tersebut
sebenarnya keliru.
Bertitik tolak dari alasan tersebut di atas, maka diperlukan etika
pergaulan yang baik yang harus dilakukan oleh seorang peserta didik.
Baik etika dalam muroqqobah (mendekatkan diri) kepada kholik, dan
etika
mushohibah
muroqqobah
dengan
(bergaul)
(mendekatkan
melakukan
apa
dengan
diri)
yang
kepada
makhluk.
kholik
diperintahkan-Nya
Etika
dalam
konsekwensinya
dan
menjauhi
perbuatan yang dilarang-Nya. Sedangkan etika mushohibah (bergaul)
dengan makhluk konsekwensinya melalui kegiatan-kegiatan ibadah,
muamalah, dan akhlak yang baik (akhlakul karimah).
B. Pengertian Hak dan Kewajiban
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai Hak Dan
Kewajiban Pendidik Menurut Sistem Pendidikan Islam serta Sistem
Pendidikan Nasional alangkah baiknya kalau dibahas dulu arti dari hak
dan kewajiban tersebut. Hak adalah kewenangan atau kekuasaan
seseorang dalam melakukan sesuatu hal yang telah ditentukan oleh
hukum.
Hal
ini
sejalan
dengan
arti
hak
menurut
W.
J.
S.
Poerwadarminta, yaitu: “Hak ialah kekuasaan untuk berbuat sesuatu
(karena telah ditentukan aturan, undang-undang dan sebagainya).”
Demikian pula Menurut buku Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, kata ”hak” diartikan sebagai: “Wewenang atau kekuasaan
untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang,
aturan, dan sebagainya.” Ada juga yang mengartikan “hak” itu
sebagai aturan dan segala hal yang mengatur kewenangan atau
kekuasaan seseorang dalam melakukan sesuatu hal. Bahkan dalam
Kamus Ilmiah Populer “hak” diartikan sebagai: “sebagai yang benar
dan tetap; kebenaran; kepunyaan yang syah”.
Secara morpologi kata kewajiban berasal dari bahasa Arab
“wajib”, yang berarti “mesti dilakukan”. Sehingga, kalau kita merujuk
kepada istilah Fiqih, kata “wajib” diartikan sebagai sesuatu yang
apabila dilakukan mendapatkan pahala dan apabila tidak dilakukan
berdosa. Sehingga perbuatan wajib berarti perbuatan yang mesti
dilakukan
dan
ia
akan
mendapatkan
pahala,
sebaliknya
kalau
perbuatan tersebut tidak dilakukan, ia melakukan dosa.
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Van Hoep, 1984:
339).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: 2001: 382).
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Jakarta: T.t., 211).
Said Sabiq, Fiqih Sunnah, (Riyad: Maktabah Islamiyah, 1995).
Menurut W. J. S. Poerwadarminta Kata “kewajiban” berasal dari
kata wajib, yang berarti mesti dilakukan, pekerjaan atau perintah yang
harus dilakukan. Bahkan dalam buku Kamus Ilmiah Populer dengan
tengas diartikan kewajiban itu dengan “perkara yang mesti diikuti
(tidak boleh tidak)”. Hal senada juga terdapat dalam arti kewajiban
menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen
Pendidikan Republik Indonesia yang mengartikan kewajiban dengan
“sesuatu yang harus dilaksanakan”.
Berdasarkan
statemen
di
atas
hak
peserta
didik
adalah
wewenang dan kekuasaan peserta didik dalam melakukan sesuatu
(kegiatan belajar) yang telah ditentukan oleh undang-uundang, aturan,
dan segala hal yang mengatur tentang hak tersebut. Sedangkan
kewajiban peserta didik adalah perkara yang mesti dilakukan atau
dilaksanakan oleh peserta didik, baik perupa perintah atau hal-hal lain
yang berhubungan dengan sesuatu yang harus dilaksanakan, serta
yang harus ditinggalkan sebagai seorang peserta didik.
C. Definisi Peserta Didik
Untuk
mempertegas
pembahasan
kita
tentang
Hak
Dan
Kewajiban Pendidik Menurut Sistem Pendidikan Islam serta Sistem
Pendidikan Nasional alangkah baiknya kalau dibahas juga arti dari
peserta didik dalam tulisan ini.
Istilah “peserta didik” dipakai oleh Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional,
untuk menunjukan orang yang mengikuti suatu pendidikan pada
jengjang tertentu, baik pada tingkat anak-anak sampai dewasa. Istilah
“peserta didik” ini dipakai karena merupakan istilah yang memiliki
konotasi lebih umum,
dibandingkan dengan istilah lain, semisal:
murid, siswa, atau anak didik.
Lihat W. J. S. Poerwadarminta, Op. Cit, hal, 145.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan, Op. Cit., hal, 781.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Op. Cit., hal. 126.
Dalam sistem pendidikan islam istilah “peserta didik” sering
digunakan terutama dengan menggunakan istilah—istilah lain yang
sepadan,
terutama
dengan
menggunakan
istilah-istilah
sebagai
berukut:
1. Murid
Istilah “murid” berasal dari bahasa Arab, yaitu: arada, yuridu,
iradatan, muridan, yang artinya: menginginkan (the willer). Istilah
“muridan” yang mengandung arti Maha Menghendaki menjadi
salah satu sifat Allah. Definisi ini dapat dipahami karena seorang
murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang
baik untuk bekal kehidupannya agar bahagia di dunia dan
diakherat dengan jalan belajar dengan sungguh-sungguh. Istilah
“murid” banyak digunakan dalam terminologi ilmu Tasauf, yaitu
sebagai orang yang belajar mendalami ilmu tasauf kepada seorang
guru yang disebut syeikh atau Mursyid. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata murid” diartikan “Orang (anak) yang
sedang berguru (belajar atau sekolah)”.
2. At-Tilmid
Kata “At-Tilmid” adalah isimun jimsiyyah (kata benda) yang
mengandung arti “pelajar”. Dalam penggunaan bahasa Arab kata
at-tilmid ini digunakan untuk menunjuk kepada murid yang belajar
di madrasah (sekolah).
3. Al-Mudaris
Kata “Al-Mudaris” berasal dari bahasa Arab, yaitu: daarosa,
yudaarisu, mudarisan, yang artinya: orang yang mempelajari
sesuatu. Kelihatannya penggunaan kata “al-mudaris” ini dekat
dengan kata “madrasah” (sekolah), dan seharusnya digunakan
untuk arti pelajar pada suatu mmadrasah (sekolah), namun dalam
prakteknya tidak demikian.
4. At-Thalib
Sayyid Khaim Husyain An-Naqawi, 1992, hal, 235.
Lihat Abdurrahman Al-Kholiq, 1986, hal, 316.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Op. Cit., Hal, 765
Kata “At-Thalib” berasal dari bahasa Arab, yaitu: thalaba, yathlubu,
tholiban, yang artinya: orang yang mencari sesuatu. Penggunaan
kata ini dapat dipahami oleh karena seorang pelajar adalah orang
yang
sedang
mencari
ilmu
pengetahuan,
keterampilan,
pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal kehidupannya
agar bahagia di dunia dan diakherat. Kata “Thalib” sering
digunakan untuk menunjukan orang yang belajar diperguruan
tinggi atau mahasiswa. Menurut Nana Saodih Sukmadinata, Istilah
“At-Thalib”
lebih
bersifat
aktif,
mandiri,
kratif
dan
sedikit
tergantung kepada guru. Istilah “At-Thalib” dalam beberapa hal
dapat meringkas, mengkritik, dan menambahkan informasi yang
disampaikan oleh guru/dosen. Mengutif pendapatnya Imam AlGhozali yang mengatakan: istilah At-Thalib bukan ditujukan kepada
anak-anak yang belum dapat berdiri sendiri dan mencari sesuatu,
melainkan
ditujukan
kepada
orang
yang
memiliki
keahlian,
manfaat bagi dirinya. At-Tholib adalah seorang yang sudah
mencapai usia dewasa dan telah dapat bekerja dengan baik
dengan menggunakan akal pikirannya. Ia adalah seseorang yang
sudah
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban
dalam
melaksanakan kewajiban agama yang dibebankan kepadanya
sebagai fardu ‘ain. Dalam kontek ini seorang At-tholib adalah
manusia
yang
telah
memiliki
kesanggupan
memilih
jalan
kehidupan dan menemukan apa yang dinilainya baik.
5. Al-Muta’alim
Kata “Al-muta’alim” berasal dari bahasa Arab, yaitu: allama,
yu’allimu, ta’liman, yang artinya: orang yang mencari ilmu
pengetahuan. Istilah “Al-muta’alim” ini merupakan istilah yang
Lihat Abudin Nata, Filsafat Pendidikan islam, (Jakarta: PT. Rajawali Pres, 1954), hal, 50.
Lebih lanjut menurut Abudin Nata bahwa penggunaan istilah Thalib untuk mahasiswa
sudah memiliki bekal untuk mencari, menggali, dan mendalami bidang keilmuan yang
diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih bahan-bahan bacaan, seperti
buku, majalah, surat kabar, dan bahan bacaan lainnya. Bahan-bahan bacaan tersebut
untuk selanjutnya ditelaah kemudian dituangkan dalam berbagai karya ilmiah.
Nana Saodih Sukmadinata, 1997, hal, 196.
Dalam kontek ini seorang At-tholib adalah manusia yang telah memiliki
kesanggupan memilih jalan kehidupan dan menemukan apa yang dinilainya baik. Abudin
Nata, hal, 151.
populer digunakan dalam karya-karya ilmiah para ahli pendidikan
muslim.1
D. Hak dan Kewajiban Peserta Didik Menurut Sistem Pendidikan
Islam
Hak dan Kewajiban peserta didik menurut sistem pendidikan
islam tercermin dalam hubungan proses pendidikan, yang didalamnya
ada peserta diidik, pendidik, lembaga pendidikan, kurikulum, dan lainlainnya, yang tidak hanya tertuju pada satu aspek, tetapi meliputi
seluruh aspek hubungan, sehingga hak dan kewajiban peserta didik
dapat tercapai. Hak peserta didik meliputi:
1. Peserta didik berhhak untuk memperoleh kemudahan dalam
pasilitas pendidikan agar proses belajar mengajar dapat
berlangsung lebih mudah setiap saat, dan berhak untuk
memperoleh kesempatan belajar, tampa harus dibedakan antara
mereka yang kaya dengan yang miskin, sehingga peserta didik
mendapatkan pelayanan secara wajar.
2. Peserta didik berhak dipenuhinya segala kebutuhan jasmani dan
rohani. Terpenuhinya kebutuhan materil dan moril. Dalam sistem
pendidikan islam kebutuhan materil meliputi: kebutuhan dhoruri,
tahsini, dan takmili. Sedangkan kebutuhan moril meliputi:
kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, harga diri, rasa bebas,
dan bimbingan.
Sedanggkan kewajiban peserta didik dalam sistem pendidikan
islam, para sarjana muslim berbeda-beda, menurut Muhammad
Athiyah Al-Abrasi kewajiban peserta didik meliputi:
1 Istilah “al-muta’alim bukan saja merupakan istilah yang digunakan oleh para
ulama dan ahli pendidikan islam saja tetapi merupakan istilah yang digunakan dalam AlQur’an dan al-Hadist. Misalnya saja terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] ayat
31, yang berbunyi:
Artinya: 31. dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!"
Dan juga terdapat dalam al-Hadist sebagai berikut:
Artinya: Telah berkata Hisam bin ‘Umar, telah berkata Shidqoh bin Kholid, telah berkata
‘Ustman bin abi ‘Atikah, dari ‘Ali bin Yazid, dari Qosim, dari Abi Umamah ia berkata,
Rasulullah Saw bersabda .... (H. R. Ibnu Majah). Lihat Burhanudin al-Zarmuziy, 1962, hal,
13.
Muhammad Athiyah Al-Abrasi, 1989, hal 72.
Ramayulis, 1990, hal, 54.
1. Wajib mensucikan hatii dari sifat kehinaan;
2. Wajib menghiasi jiwa dengan kemuliaan dan dekat dengan Allah;
3. Belajar terus-menerus;
4. Konsentrasi diri pada seorang guru yang mantap;
5. Menghormati dan memuliakan diri karena Allah;
6. Menyenangkan bagi guru;
7. Jangan mencari kesalahan guru;
8. Belajar dengan sungguh-sungguh;
9. Memulai salam ketika bertemu dengan guru;
10. Menciptakan suasana kecintaan dan kesenangan diantara muris;
11. Mengulangi pelajaran di malam hari;
12. Tidak merehmekan ilmu pengetahuan apapun macamnya.
Sedangkan menurut Iman Al-Ghozali kewajiban peserta didik ada
sepuluh, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
Mendahulukan kesucian jiwa dari akhlak tercela;
Menyedikitkan hubungan dengan kesibukan dunia;
Tidak sombong karena ilmu dan tidak menentang guru;
Memelihara pendapat yang berbedda-beda;
Tidak meninggalkan satu bagian dari ilmu-ilmu yang terpuji, dan
lebih mengutamakan ilmu yang lebih penting;
6. Belajar secara tertib dan teratur;
7. Tidak berpindah sebelum menguasai ilmu tersebut;
8. Mengetahui sebab-sebab yang dapat mengetahui semulia—mulia
ilmu, baik dalam dalil maupun dalam buahnya ilmu;
9. Bertujuan untuk menghiasi dan mengindahkan batin dengan
keutamaan;
10.
Mengetahui kaitan ilmu dengan umumnya.
Jika diteliti, pendapat Muhammad Athiyah Al-Abrasi memiliki
persamaan dengan pendapat Imam Al-ghozali tentang kewajiban
peserta didik, substansi mereka berkisar pada tiga orientasi, yaitu:
kualitas dan kesucian hati, proses dan penguasaan ilmu
pengetahuan, serta beramal dan berakhlak mulia.
E. Hak dan Kewajiban Peserta Didik Menurut Sistem Pendidikan
Nasional
Hak dan Kewajiban peserta didik menurut sistem pendidikan
nasional diatur secara khusus (lex specialis) dalam Pasal 12 ayat 4
Muhammad Athiyah Al-Abrasi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, A. Ghani
(Penterjemah), (Jkarata: Bulan Bintang, 1993), hal 73-75.
Dalam Zuhairini, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), hal, 149-164.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional (disingkat menjadi Undang-undang Sindiknas).
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hak peserta didik meliputi:
1. Hak untuk mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agama
yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan
bakat, minat dan kemampuannya;
3. Hak untuk mendapat beasiswa bagi yang berprestasi yang orang
tuanya tidak mampu membiayai pendidikan;
4. Hak untuk dapat pindah ke program pendidikan pada jalur dan
satuan pendidikan lain yang setara;
5. Hak untuk menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan
kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari
ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
Sedanggkan kewajiban peserta didik dalam Pasal 12 ayat 4
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Undang-undang
Sindiknas meliputi:
1. Peserta didik wajib menjaga norma-norma pendidikan untuk
menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;
2. Peserta didik wajib ikut menanggung biaya penyelenggaraan
pendidikan,
kecuali
bagi
peserta
didik
yang
dibebaskan
kewajibannya tersebut sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam penjelasan Pasal 12 Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Undang-undang Sindiknas tersbut dijelaskan bahwa
peserta didik berhak untuk mendapatkan pengajaran agama sesuai
dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama,
berkonsekwensi
sekolah-sekolah
dimana
ada
peserta
didiknya yang memeluk sebuah agama, maka sekolah tersebut wajib
menyediakan
pendidik
(guru)
yang
seagama
dan
mengajarkan
pendidikan agama kepada peserta tersebut. Contoh: pada sebuah
Depdiknas, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: fokus media, 2006, hal, 8-9.
madrasah aliyah ada siswa yang beragama kristen bersekolah
disana,maka madrasah aliyah tersebut wajib menyediakan guru yang
beragama dan mengajarjan agama kristen. Demikian pula jika pada
sebuah
sekolah
jending/kristen
ada
siswa
yang
beraga
islam
bersekolah di sana, maka sekolah jending/kristen tersebut wajib
menyediakan guru yang beraga dan mengajarkan agama islam.
Adapun hak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuan pesrta didik; hak untuk
mendapat beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikan; hak untuk dapat pindah ke program
pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; serta
hak
untuk
kecepatan
menyelesaikan
belajar
program
masing-masing
pendidikan
dan
tidak
sesuai
dengan
menyimpang
dari
ketentuan batas waktu yang ditetapkan, merupakan upaya untuk
membangun peradaban dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
yang
bermartabat.
Lebih
lanjut
merupakan
upaya
untuk
mengembangkan potensi dan kemampuan serta membentuk watak
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Secara historis eksistensi Hak dan Kewajiban peserta didik,
menurut Pasal 12 ayat 4 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Undang-undang Sindiknas, merupakan “revisi” dari Undangundang Nomor 2 tahun 1989, yang menjelaskan bahwa peserta didik
itu
mesti
dikembangkan
daya
nalar
dan
daya
intelektualnya.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, yang
harus dikembangkan pada peserta didikitu bukan hanyadaya nalar dan
daya intelektualnya, tetapi juga seluruh potensi yang dimiliinya.
Semisal daya emosional, daya sosial dan daya spiritual. Adanya
“revisi” terhadap sebuah undang-undang merupakan hal yang wajar,
karena
hakekat
lahirnya
sebuah
undang-undang
adalah
untuk
mengatur setiap hal yang menyangkut kehidupan umum. Disampi itu,
adanya “revisi” diperlukan untuk menjawab tantangan jaman yang
berubah, apalagi kalau kita bicara tentang kehidupan yang pareatif
dan kompetitif.
F. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hak
peserta didik menurut sistem pendidikan islam memliki substnsi yang
sama dengan hak peserta didik menurut sistem pendidikan nasional,
secara garis besarnya meliputi tiga aspek, yaitu: (1). Peserta didik
berhak mendapatkan pengajarran sebaik-baiknya; (2). Peserta didik
berhak mendapatkan pasilitas pendidikan sebagaimana mestinya; dan
(3) Peserta didik berhak mendapatkan pelayanan pengajaran yang
sama dan mendapatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan uuntuk
hidup.
Begitu pula dengan kewajiban peserta didik menurut sistem
pendidikan islam memliki substnsi yang sama dengan kewajiban
peserta didik menurut sistem pendidikan nasional, dapat disimpulkan
memiliki tiga aspek, yaitu: (1). Peserta didik wajib menjaga kualuitas
dan kesucian hati; (2). Peserta didik wajib menguasai ilmu pengetahun
dan keterampilan yang diajarkan; dan (3). Peserta didik wajib
menyebarkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang
dilmilikinya,
baik
untuk
didirinya
sendiri,
maupun
untuk
masyarakat.
G. Daftar Bacaan
Al-Abrasi, Muhammad Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, A.
Ghani (Penterjemah), (Jkarata: Bulan Bintang, 1993)
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam,
Heri Noer Ali (Penterjemah), (Bandung: CV> Diponegoro, 1992),
hal. 23.
DEPDIKBUD,
Kurikulum
Pendidikan
Tenagga
Pendidikan
Sekolah
Mennengah, Program S1, Buku I: Ketentuan Pokok, (Jkarta:
Proyek Pembinaan Kependidikan Pendidik Tinggi, 1993).
Roesyam, Tabrani, Peningkatan Kkemempuan Guru Pendidikan dasar,
(Bandung: Bina Budaya, 1993).
Semiawan, Conny, Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah
Menengah, Petunjuk Bagi guru dan Orang Tua, (Jkarta: PT.
Gramedia, 1987)
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rinekka Cipta, 1990).
Soeryabrata, Soemardi, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pres,
1990).
Sulaiman, Hasan, Alam Pikiran Al-Qur’an Menuju Pendidikan dan Ilmu,
Herri Noer (Penterjemah), (Bandung: CV. Diponegoro, 1986).
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1991).
_______________, Metode Khusus Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1991).
Poerwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: CV. Remaja
Rosda Karya, 1995).
Winkel, W.S., Psikologi Pengajaran, (Jakarta: PT. Grasindo, 1991)
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Buni Aksara, 1985).
_______________, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991).