T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya dan Persepsi Orang Dameka terhadap Gangguan Jiwa T1 BAB IV

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1

Setting Penelitian
Pada bagian ini menjelaskan tentang gambaran umum
lokasi penelitian serta proses pelaksanaan sebelum, selama,
dan sesudah penelitian.

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama ± 1 bulan, penelitian
ini dilakukan di Desa Dameka dengan letak geografi sebagai
berikut, sebelah utara Wailawa, sebelah selatan hutan taman
nasional, sebelah timur desa Wailawa, sebelah barat
Waimanu. Desa Dameka secara administratif termasuk dalam
wilayah kecamatan Katikutan Selatan, kabupaten Sumba
Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Desa Dameka
memiliki luas sebesar 3000m², dengan 3 dusun 6 RW dan 12
RT dan 42 kampung, jumlah penduduk desa Dameka
sebanyak 1.460 jiwa laki-laki 752 jiwa, perempuan 708 jiwa,
dengan jumlah KK 384 jiwa. Secara keseluruhan masyarakat

desa Dameka terdiri dari pemeluk agama Kristen protestan
(906 jiwa), katholik (321 jiwa), Islam (2 jiwa), dan kepercayaan
marapu (31 jiwa). Menurut data dari Kepala Desa Dameka
jumlah penduduk di desa Dameka yang mengalami gangguan
jiwa sebanyak ± 20 orang.
27

28
4.1.2 Proses Pelaksanaan Penelitian
Hal-hal yang dilakukan dalam proses penelitian ini:
1. Sebelum Penelitian
Sebelum mulai penelitian, peneliti meminta surat ijin
penelitian dari Fakultas yang akan digunakan
sebagai surat pengantar untuk untuk mendapatkan
surat ijin penelitian dari Kantor Pelayanan Perijinan
Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kab.Sumba Tengah
dengan tembusan Dinas Kesatuan Bangsa Politik
dan Perlindungan Masyarakat Kab.Sumba Tengah.
Surat ijin yang diberikan oleh KPPTSP Kab.Sumba
Tengah


digunakan

sebagai

pengantar

untuk

mendapatkan ijin penelitian dari Kepala desa

di

desa Dameka. Setelah mendapatkan ijin penelitian,
peneliti

mulai

beradaptasi


dengan

lingkungan

sekitar, berkenalan dengan warga di desa Dameka
bersama

Kepala

desa

dan

aparat

desa

menyampaikan maksud, tujuan, serta lamanya
peneliti melakukan penelitian di desa Dameka.
2. Selama Penelitian

Pada penelitian ini data diperoleh melalui proses
wawancara yang menjadi subjek (partisipan) adalah
8 orang dari 1.460 jiwa sesuai dengan kriteria yang

29
telah ditentukan. Wawancara yang dilakukan kurang
lebih 15 menit sampai 55 menit. Wawancara ini
dilengkapi dengan menggunakan kamera digital
untuk mengambil gambar penelitian dan merekam
suara

hasil

wawancara

serta

via

handphone.


Wawancara disesuaikan dengan kondisi dan situasi
serta kesediaan dan kesiapan dari partisipan sendiri.
Proses wawancara berlangsung lancar dengan
semua

informan

sangat

antusias

dengan

keterbukaan dalam memberikan informasi kepada
peneliti dan memperhatikan setiap pertanyaan yang
diajukan peneliti.
3. Sesudah Penelitian
Setelah melakukan penelitian, peneliti mendapatkan
surat keterangan benar-benar melakukan penelitian

di desa Dameka selama ±1 bulan dari Kepala desa
yang akan digunakan sebagai pengantar untuk
mendapatkan surat selesai penelitian dari KPPTSP
kab.Sumba Tengah. Kemudian, peneliti mengolah
data dengan menyalin hasil rekaman dalam bentuk
verbatim, kemudian menentukan sub tema dan tema
besar hasil penelitian, kemudian membahas tema-

30
tema berdasarkan hasil yang ditemukan pada saat
penelitian berlangsung.
4.2

Hasil Penenilitian
Pada hasil penelitian membahas tentang gambaran
umum partisipan, dan analisa data.

4.2.1 Gambaran Umum Partisipan
Gambaran umum parisipan membahas tentang identitas
partisipan seperti, nama (inisial), umur, pekerjaan, jenis

kelamin, dan waktu wawancara.
4.2.1.1 Partisipan 1
Partisipan bernama Ny. J berumur 37 tahun, partisipan
sudah menikah dan mempunyai 4 orang anak sekarang
sedang

mengandung

anak

yang

ke-5

dengan

usia

kandungan 9 bulan, Partisipan tinggal di dusun 1 RT.01
RW.01 Desa Dameka bersama suami, anak-anak, serta

mama mertua. Partisipan beragama Kristen Protestan,
pendidikan terakhir partisipan adalah D3 Keperawatan dan
sekarang bekerja sebagai perawat di Puskesmas Malinjak
kecamatan Katikutana Selatan. Wawancara dilakukan pada
tanggal 18 Mei 2016 pukul 10.00 WITA. Partisipan tampak
antusias dan begitu semangat dalam menjawab pertanyaan
dari peneliti, wawancara bertempat di rumah partisipan serta
berlangsung sangat lancar dan cukup lama.

31
4.2.1.2 Partisipan 2
Partisipan bernama Tn. N berumur 47 tahun, serta
beragama Kristen Protestan. Partisipan sudah menikah dan
mempunyai 2 orang anak laki-laki serta 1 anak perempuan.
Patisipan merupakan penduduk asli dusun 3 RT.12 RW.06
desa Dameka. Pendidikan terakhir partisipan adalah SMA
dan memiliki jabatan sebagai Sekretaris Desa di desa
Dameka. Wawancara dilakukan pada tanggal 18 Mei 2016
pukul 15.00 WITA yang bertempat di rumah partisipan.
Partisipan tampak sedikit gugup dalam menjelaskan setiap

pertanyaan

yang

diajukan

peneliti.

Partisipan

sedikit

kewalahan dalam mengatur bahasanya agar tidak salah
berbicara, karena sehari-hari partisipan dan keluarga lebih
sering

menggunakan

bahasa


daerah

dari

pada

menggunakan bahasa Indonesia. Wawancara berlangsung
kurang begitu lancar karena adanya tractor keluar masuk
rumah partisipan, sehingga sedikit mengganggu jalannya
wawancara, namun setelah itu wawancara dapat dilanjutkan
kembali dengan lebih santai sambil menikmati kopi dan sirih
pinang yang disuguhkan oleh istri partisipan.
4.2.1.3 Partisipan 3
Partisipan bernama Ny.L berumur 38 tahun, partisipan
sudah menikah dan memiliki 5 orang anak, 4 orang laki-laki

32
dan 1 orang perempuan, yang bersekolah di SMA, SMP,SD,
dan PAUD di sekitar desa Dameka. Partisipan tinggal di
dusun 3 desa Dameka, pendidikan terakhir partisipan

adalah SMA.

Partisipan merupakan majelis di GKS

Waidamisi desa Dameka. Pekerjaan sehari-hari partisipan
adalah bertani. Partisipan tinggal di dusun 3 RT.09 RW.05
Wawancara dilakukan pada tanggal 20 Mei 2016 pukul
11.00 WITA yang bertempat di kantor desa Dameka.
Partisipan tampak santai dan terbuka menjawab pertanyaan
yang diajukan peneliti, wawancara berjalan dengan lancar.
4.2.1.4 Partisipan 4
Partisipan bernama Ny.W berumur 40 tahun, partisipan
sudah menikah dan memiliki 3 orang anak, serta sedang
mengandung anak yang ke 4 dengan usia kandungan 7
bulan. Partisipan merupakan istri dari Kawur (Kepala Dusun)
dusun 1 desa Dameka, dan berdomisili di dusun 1 RT.01
RW.01 desa Dameka. Partisipan bekerja sebagai guru
PAUD Kutarutu desa Dameka dengan pendidikan terakhir
SMA,

dan sedang berkuliah

di

Universitas Terbuka

Kabupaten Sumba Tengah pada jurusan S1 PAUD.
Partisipan tinggal bersama suami, anak-anak, mama
mertua, dan adik ipar. Wawancara dilakukan pada tanggal
25 Mei 2016 pukul 16.00 WITA yang bertempat di depan

33
rumah partisipan sambil melihat pekerja jalan umum yang
sedang melakukan perbaikan jalan di desa Dameka.
Partisipan cukup santai dan tidak terburu-buru menjawab
pertanyaan yang diajukan peneliti, wawancara dilakukan
sambil menikmati segelas kopi dan sirih pinang yang
disuguhkan oleh partisipan. Wawancara berjalan sangat
lancar.
4.2.1.5 Partisipan 5
Partisipan bernama Ny.R, partisipan berumur 44 tahun,
partisipan sudah menikah dengan orang asli desa Dameka
dan memiliki 3 orang anak, pendidikan terakhir partisipan S1
Teologia, partisipan merupakan seorang pendeta di GKS
Waidamisi desa Dameka sejak tahun 2001-sekarang,
partisipan sudah 16 tahun di desa Dameka. Suami partispan
bekerja di Dinas Sosial Kabupaten Sumba Tengah.
Partisipan bersama keluarga tinggal di kampung Galuteku
dusun 3 RT.11 RW. 06 desa Dameka. Wawancara
dilakukan di aula kantor desa pada tanggal 26 Mei 2016
pukul 10.45 WITA. Partisipan sangat aktif dan antusias
dalam menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti, serta
wawancara berjalan dengan lancar.

34
4.2.1.6 Partisipan 6
Partisipan bernama Tn.L berumur 38 tahun, partisipan
sudah menikah dengan 1 istri dan memiliki 4 orang anak.
Partisipan beragama kristen protestan, partisipan dan istri
adalah

petani,

pendidikan

terakhir

partisipan

SMA,

partisipan tinggal di dusun 3 RT.12 RW.06 bersama anak
dan istri. Wawancara dilakukan di halaman kantor desa
ditemani beberapa rekan dari partisipan, karena partisipan
sering berkeliling desa dengan rekannya untuk memastikan
keamanan desa. Wawancara berlangsung lancar karena
partisipan sangat terbuka dan sangat tanggap dengan
pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Partisipan dengan
sangat santai menceritakan kejadian kebiasaan yang terjadi
di desa Dameka. Wawancara di lakukan pada tanggal 22
Mei 2016 pukul 17.30 WITA.
4.2.1.7 Partisipan 7
Partisipan bernama Tn.M berumur 43 tahun, partisipan
sudah menikah memiliki 1 orang istri 2 orang anak laki-laki
dan 1 anak perempuan. Pekerjaan sehari-hari partisipan
adalah wiraswasta dan bertani. Partisipan tinggal di dusun 3
RT.11 RW 06 dan agama Katholik. Wawancara di lakukan di
kios tempat Tn.M sering berjualan ditemani 1 orang anak
perempuan,

wawancara

berlangsung

lancar

karena

35
partisiapn sangat antusias dalam menjawab pertanyaanpertanyaan yang di berikan, wawancara di lakukan pada
tanggal 28 Mei 2016 pukul 18.00 WITA.
4.2.1.8 Partisipan 8
Partisipan bernama Tn.N berumur 49 tahun, partisipan
sudah menikah, dan memiliki 1 orang istri, dan 3 orang
anak. Partisipan merupakan kepala desa di desa Dameka,
partisipan sudah 2 kali menjabat sebagai kepala desa di
desa Dameka, partisipan merupakan kepala desa ke-3 pada
tahun 2003-2008, kemudian partisipan terpilih lagi dalam
pemilihan kepala desa ke-5 periode 2015-2021. Partisipan
tinggal di kampung Tanarara desa Dameka dusun 1 RT.01.
RW.01. Wawancara berlangsung lancar di depan rumah
partisipan, partisipan juga begitu terbuka menjawab semua
pertanyaan yang diberikan peneliti. Wawancara di lakukan
pada hari senin tanggal 30 Mei 2016 pukul 12.30 WITA.
4.2.2 Analisa Data
4.2.2.1 Pemahaman Orang Dameka Terhadap Gangguan
Jiwa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di desa
Dameka

terdapat

±20

orang

yang

mengalami

gangguan jiwa, dan masyarakat memiliki pendapat
masing-masing

tehadap

orang

yang

mengalami

36
gangguan

jiwa.

Menurut

orang

desa

Dameka

gangguan jiwa merupakan gila, dimana orang-orang
normal berubah tingkah laku ketika sudah tiba
waktunya untuk kambuh. Orang yang mengalami
gangguan jiwa adalah orang yang kurang normal,
orang yang agak senu, atau kelainan jiwa.
Uniknya gangguan jiwa yang terjadi di desa
Dameka

bukan

saja

disebabkan

karena

faktor

keturunan atau bawaan sejak lahir, banyak beban
pikiran, dan frustasi, tetapi menurut orang Dameka
gangguan jiwa yang terjadi di desa Dameka karena
menyalahgunakan

barang-barang

keramat

peninggalan nenek moyang, menanggung dosa nenek
moyang, hukuman dari leluhur, dan juga disebabkan
oleh alam, mereka merusak alam, sehingga alam
marah dan membuat mereka mengalami gangguan
jiwa/gila. Hukuman yang mereka terima itu tidak
berhenti sampai 7 turunan, bahkan menurut mereka
gangguan jiwa merupakan hukuman yang masih
tergolong sangat ringan, karena mereka masih bisa
hidup dengan gangguan jiwa sewaktu-waktu, karena
ada beberapa orang yang sampai meninggal.

37
Ungkapan berikut dapat dilihat pada pernyataan
partisipan di bawah ini.
P8 mengatakan orang yang mengalami gangguan jiwa
karena faktor keturunan, tapi tidak sedikit yang
mengalami gangguan jiwa karena faktor kepercayaan
atau belum menganut agama.
“Orang yang gangguan jiwa itu karena faktor
keturunan, tapi tidak sedikit yang mengalami
gangguan jiwa karena faktor kepercayaan atau
belum menganut agama”. (P8Q2A1101)

P1 mengatakan penyebab gangguan jiwa karena alam
marah, ketika mereka tidak menyatu dengan alam
atau tidak bisa menjaga kelestarian alam sekitar, dan
atau merusak alam, maka saat itu alam yang membuat
mereka menjadi gila.
“Karena masyarakat berpikir bahwa, ketika
mereka sudah tidak menyatu dengan alam,
maksudnya dong tidak searah dengan alam
maka saat itu alam yang buat mereka menjadi
gila. Karena mereka berpikir misalnya kaya
ada pohon-pohon yang dihuni oleh nenek
moyang atau arwah-arwah, kalau diganggu
maksudnya kalo su tidak ada keseimbangan
disaat itu mereka ada gangguan jiwa, disaat itu
arwah
mengganggu
mereka
begitu.”
(P1Q2A17-23)
“Iya arwah-arwah nenek moyang begitu, yang
datang untuk ganggu, karena mereka mungkin
merusak alam begitu to, pohon2 yang
sebenarnya
dikeramatkan,
batu-batu
dikeramatkan, trus mungkin saat itu tidak

38
sengaja mereka potong, mereka bikin rusak,
akhirnya alam marah sama dorang.” (P1Q2A25)

P3 mengatakan gangguan jiwa yang terjadi di desa
Dameka di sebabkan karena 2 hal, yaitu faktor
keturunan dan bukan faktor keturunan.
“Ada yang keturunan ada yang tidak”. (P3Q2A482)
“Yang keturunan contohnya: mungkin dari
neneknya yang pernah mengalami itu, kalau
bukan dia punya anak yang mengalami
gangguan jiwa, paling dia punya cucu, kalau
yang turunan”. (P3Q2A484)
“Yang bukan faktor keturunan: mungkin kadang
dalam pemikirannya dia itu mungkin ada hal-hal
yang mau dia ingin capai tapi ketika tidak
tercapai , makanya dia bisa jadi gila”. (P3Q2A488)

P7

mengatakan

gangguan

menyalahgunakan
peninggalan

nenek

jiwa

terjadi

barang-barang
moyang

dan

karena
keramat

juga

karena

keturunan.
“Karena mereka menyalah gunakan barangbarang keramat peninggalan nenek moyang,
bisa juga karena keturunan nona”. (P7Q2A1015)

4.2.2.2 Sehat dan Sakit Jiwa Menurut Orang Dameka di
Kaitkan Dengan Kepercayaan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Masyarakat
desa Dameka memiliki persepsi sendiri terkait sehat
dan sakit jiwa. Sehat dan sakit jiwa di desa Dameka di
lihat dari perilaku yang ditunjukkan sehari-hari. Ketika

39
seseorang mampu bersosialisasi atau berinteraksi baik
dengan orang lain, dan menunjukkan perilaku manusia
pada umumnya maka orang tersebut

dianggap

“Normal”. Sebaliknya orang yang dianggap sakit
jiwanya atau gangguan jiwa menurut masyarakat desa
Dameka memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan
manusia normal, dilihat dari penampilan yang tidak
rapi, pakaian yang kotor, rambut berantakan, mata
merah, cepat marah, suka mengeluarkan kata-kata
kotor, cara berbicara sudah tidak normal, dan jiwa
diajak berkomunikasi tidak nyambung, tingkah lakunya
berbeda dengan manusia yang normal.
Ada beberapa hal yang mendasari terjadinya
gangguan jiwa di desa Dameka, bahwa masyarakat
desa masih percaya dengan penyakit akibat hukuman
leluhur, atau karena menanggung dosa nenek moyang
karena menyalah gunakan barang-barang keramat
peninggalan nenek moyang, juga gangguan jiwa yang
terjadi di desa Dameka karena masyarakat belum
menganut
kepercayaan

agama
marapu,

atau
dimana

masih

mempunyai

orang-orang

yang

memiliki kepercayaan ini meyakini bahwa orang yang

40
merusak alam akan mendapatkan hukuman antara
lain gangguan jiwa/sakit jiwa.
Perlu diketahui bahwa gangguan jiwa di desa
Dameka ada dua macam hanya bersifat sewaktuwaktu atau kambuh pada waktunya saja dan juga
yang secara terus menerus. Biasanya waktu kambuh
orang gangguan jiwa pada saat bulan purnama, atau
awal bulan, dan pada saat mendapatkan bisikanbisikan.

Sehingga

orang

tersebut

hanya

akan

menunjukkan perilaku tidak normalnya itu pada saat
waktunya saja, ketika sudah sembuh orang yang
mengalami gangguan jiwa kembali tenang seperti
biasa, sikapnya sudah mulai berubah, tidak marahmarah, dan perilakunya sudah normal kembali. Orang
normal yang di maksudkan adalah orang yang bisa
diajak berkomunikasi dengan baik, penampilannya
bersih, sehat, dan perilakunya baik. Sedangkan orang
yang mengalami gangguan jiwa secara terus menerus
perilakunya setiap saat tidak normal.
4.2.2.3 Pasung dan Pembiaran Sebagai Treatment Sosial
Orang Gangguan Jiwa
Masyarakat desa Dameka berpendapat bahwa
orang

yang

mengalami

gangguan

jiwa

harus

41
diperhatikan makan minumnya, perlu mendapatkan
perhatian khusus dari keluarga, tenaga kesehatan,
dan pemerintah daerah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perilaku masyarakat di desa Dameka terhadap
orang yang mengalami gangguan jiwa berbeda-beda,
tergantung gangguan jiwa itu seperti apa. Masyarakat
desa Dameka sangat peduli dengan orang yang
mengalami gangguan jiwa, hanya saja mereka tidak
bisa membantu lebih, karena di Sumba khususnya di
desa Dameka belum ada Rumah Sakit Jiwa, sehingga
masyarakat

membiarkan

orang

yang

mengalami

gangguan jiwa begitu saja, namun ada beberapa
orang yang mengalami gangguan jiwa yang dipasung
oleh keluarga, karena jika dibiarkan begitu saja orang
yang mengalami gangguan jiwa tersebut membuat
keributan, mengganggu ketenangan di desa, jalanjalan, bahkan sampai ke luar kota, jadi orang yang
mengalami gangguan jiwa dipasung oleh keluarga
demi kebaikan orang yang mengalami gangguan jiwa
tersebut, karena ada juga yang menghindari orang
yang

mengalami

gangguan

jiwa

karena

takut

kekerasan oleh orang yang mengalami gangguan jiwa.
Namun kebanyakan masyarakat membiarkan orang

42
yang mengalami gangguan jiwa begitu saja, karena
tidak tau harus diperlakukan seperti apa, dan harus di
bawa kemana, masyarakat hanya bisa mendoakan
agar orang yang mengalami gangguan jiwa bisa
kembali pulih.
Menurut partisipan masih kurangnya kepedulian
pemerintah

terhadap

orang

yang

mengalami

gangguan jiwa, sehingga orang yang mengalami
gangguan jiwa di desa Dameka masih berkeliaran dan
tidak

disediakannya

tempat

penampungan

atau

tempat untuk mendapatkan perawatan yang lebih
lanjut.
Ungkapan ini bisa di lihat pada ungkapan
partisipan di bawah ini.
P1 mengatakan yang dilakukan apabila ada keluarga
yang mengalami gangguan jiwa yaitu menghindar atau
menjauh.
“Iya, selama ini kami mungkin menghindar,
karena kita takut kekerasan to, biasanya
larang anak-anak jangan dekat, ketika dia
hanya serangan, tapi kalau dia normal bergaul
biasa saja, kita malah layani makan dan
minum, pokoknya kerja biasa, kalau saat dia
tidak serangan kerja seperti orang sehat, kita
terima, tapi pada saat di kambuh, kita sering
menjauh”. (P1Q7A208)

43
P4 mengatakan yang dilakukan apabila ada keluarga
yang mengalami gangguan jiwa adalah hanya bisa
mendoakan.
“Terutama
mungkin
kita
hanya
bisa
mendoakan dia, kita sebagai orang beriman,
kalau Tuhan berkehendak dia bisa sembuh,
dan juga kita juga sebagai orang mengerti
begitu, apapun yang dia buat kita arahkan
dia”. (P4Q7A655)

P6 mengatakan yang dilakukan apabila ada keluarga
yang mengalami gangguan jiwa adalah tidak pernah
ada kontribusi, dan acuh tak acuh terhadap orang
yang mengalami gangguan jiwa.
“Tapi kalau sepanjang ini secara pribadi nona,
tidak pernah ada kontribusi ke gangguan
jiwa,biasanya acuh tak acuh saja dengan
orang yang mengalami gangguan jiwa”.
(P6Q7A912)

4.2.3 Pembahasan
4.2.3.1

Pemahaman Orang Dameka Terhadap Gangguan
Jiwa.
Berdasarkan Hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 8 orang partisipan, peneliti menemukan di
desa Dameka sebagian masyarakat masih menganut
dan meyakini kepercayaan Marapu, sebagai bagian
yang penting dalam proses kehidupan mereka, salah

44
satunya terkait konsep sehat dan sakit yang
dihubungkan dengan Marapu tersebut.
Menurut Wellem (2004), Marapu merupakan
kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi,
arwah nenek moyang, mahkluk-mahkluk halus (rohroh), dan kekuatan-kekuatan sakti. Mereka (Marapu)
dapat memberikan berkat, perlindungan, pertolongan
yang baik jika disembah. Namun jika tidak mereka
(Marapu)

akan

memberikan

malapetaka

atas

manusia. Malapetaka yang di maksud salah satunya
sakit. Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur
disebut

sebagai

“Marapu”

yang

artinya

“yang

dipertuan” atau “yang dimuliakan” karena itu agama
yang mereka anut disebut marapu pula.
Sakit dalam hal ini termasuk sakit jiwa, dipahami
sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai kebenaran
dalam Marapu seperti hukuman dari leluhur atau
menanggung dosa nenek moyang karena menjual
atau menyalah gunakan barang-barang keramat
seperti emas, perak, guci, patung peninggalan nenek
moyang yang seharusnya tidak boleh di pindahkan
dari tempatnya serta merusak alam.

45
Menurut masyarakat desa Dameka, Seseorang
dianggap gangguan jiwa dilihat dari perilaku berbeda
yang ditunjukkan kepada masyarakat dilihat dari
penampilan yang tidak rapi, pakaian yang kotor,
rambut berantakan, mata merah, cepat marah, suka
mengeluarkan kata-kata kotor, cara berbicara sudah
tidak normal, dan jika diajak berkomunikasi tidak
nyambung,

tingkah

lakunya

berbeda

dengan

manusia yang normal.
Persepsi masyarakat terhadap gangguan jiwa
mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap orang
mengalami gangguan jiwa. Seperti yang di katakan
WHO

(1984),

menganalisis

bahwa

yang

menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah
pemikiran

dan

perasaan

yaitu

dalam

bentuk

pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan
penilaian

seseorang

terhadap

objek

(objek

kesehatan).
Menurut masyarakat desa Dameka gangguan
jiwa merupakan sesuatu yang terjadi pada seseorang
jika sudah tiba waktunya kambuh di tandai dengan
penampilan dan perilaku yang berubah dari normal
menjadi

tidak

normal.

Gangguan

jiwa

juga

46
disebabkan karena faktor keturunan yang di bawa
sejak lahir (Simanjuntak, 2008).
Persepsi masyarakat terhadap gangguan jiwa
di

setiap

daerah

berbeda,

tergantung

dari

kebudayaan yang ada dan berkembang dalam
masyarakat tersebut (Maulana, 2014). Masyarakat
setempat

meyakini

bahwa

gejala-gejala

yang

dianggap aneh dan berbeda dengan orang normal di
anggap gangguan jiwa atau yang biasa disebut gila.
Kebudayaan

sangat

berpengaruh

besar

terhadap persepsi masyarakat terhadap sesuatu.
Seperti

yang

terjadi

bahwa

masyarakat

desa

Dameka percaya, gangguan jiwa terjadi karena
penyakit yang disebabkan oleh kutukan, dan menurut
mereka gangguan jiwa sulit bahkan tidak bisa
disembuhkan.

Di

desa

Dameka

orang

yang

mengalami gangguan jiwa dibiarkan begitu saja. Hal
ini bertolak belakang dengan pernyataan Lambo
(dalam

Foster

mengatakan

and

bahwa

Anderson,
di

daerah

1962)
lain

yang
seperti

masyarakat Afrika bahkan yang menderita psikosis
berat dan cacat mental pun diberi tempat sebagai

47
warga masyarakat yang menjalankan fungsinya
dalam masyarakatnya.
4.2.3.2

Sehat dan Sakit Jiwa Menurut Orang Dameka Di
kaitkan dengan Kepercayaan.
Istilah sehat dan sakit mengandung banyak
muatan kultural, dan pengertian profesional yang
beragam.

WHO

dalam

Maulana

(2014),

mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu
keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun
kesejahteraan sosial seseorang. Sedangkan sakit
berarti suatu keadaan yang memperlihatkan adanya
keluhan dan gejala sakit secara subjektif dan objektif,
sehingga

penderita

tersebut

memerlukan

pengobatan untuk mengembalikan keadaan sehat.
Sehat dan sakit jiwa di desa Dameka dilihat
dari perilaku yang ditunjukkan sehari-hari. Ketika
seseorang mampu bersosialisasi atau berinteraksi
dengan baik terhadap sesama, maka orang tersebut
dianggap normal. Hal ini didukung oleh Dharmabrata
& Nurhidayat (2003), bahwa seseorang dianggap
normal

apabila

kemampuannya

ia
untuk

masih

menunjukkan

beradaptasi

dengan

lingkungannya, serta menunjukkan perilaku yang

48
wajar. Begitu juga sebaliknya orang yang dianggap
sakit

jiwanya

atau

gangguan

jiwa

menurut

masyarakat desa Dameka memiliki ciri-ciri yang
berbeda

dengan

manusia

normal,

dilihat

dari

penampilan yang tidak rapi, pakaian yang kotor,
rambut berantakan, mata merah, cepat marah, suka
mengeluarkan kata-kata kotor, cara berbicara sudah
tidak normal, dan jika diajak berkomunikasi tidak
nyambung,

tingkah

lakunya

berbeda

dengan

manusia yang normal.
Masyarakat desa Dameka memiliki norma dan
nilai yang dapat di pakai sebagai pegangan apakah
perilaku orang tersebut normal atau tidak. Perlu
diingat bahwa norma dan nilai tersebut hanya
berlaku di warga desa Dameka, karena bisa saja
yang

tidak

normal

menurut

masyarakat

desa

Dameka tapi normal bagi masyarakat lain. Hal ini di
dukung oleh Dharmabrata & Nurhidayat (2003)
bahwa walau bagaimana pun tetap ada perilaku
normal atau tidak normal bagi seluruh masyarakat
dimanapun, termasuk di desa Dameka.Sebenarnya
untuk menentukan sesorang normal atau tidak

49
adalah suatu hal yang tidak mudah. Normal tidaknya
seseorang merupakan sesuatu yang bersifat relatif.
Orang yang mengalami gangguan jiwa di desa
Dameka tidak setiap hari mengalami sikap tidak
normal, gangguan jiwa (istilah dalam masyarakat
disebut orang gila) yang terjadi di desa Dameka
sewaktu-waktu, jadi ketika bulan purnama tiba atau
saat orang yang mengalami gangguan jiwa itu
mendapatkan bisikan maka gangguan jiwanya akan
kambuh, perilakunya akan kembali tidak normal. Di
desa Dameka masyarakat mempercayai bahwa
penyakit

yang

dialami

karena

mendapatkan

hukuman dari leluhur dan menanggung dosa nenek
moyang, karena menyalah gunakan barang-barang
keramat peninggalan nenek moyang dan merusak
alam, sehingga alam yang membuat mereka menjadi
gangguan jiwa atau gila menurut masyarakat di desa
Dameka.

Menurut

masyarakat

desa

Dameka

gangguan jiwa merupakan hukuman yang masih
ringan, karena tidak sedikit orang yang di sambar
petir dan meninggal dunia.

50
4.2.3.3

Pasung dan Pembiaran Sebagai Treatment Sosial
Orang Gangguan Jiwa.
Menurut masyarakat desa Dameka orang yang
mengalami gangguan jiwa tidak bisa di sembuhkan
karena penyakit yang dialami merupakan hukuman
dari

leluhur

karena

menanggung

dosa

nenek

moyang, dan merusak alam. Menurut masyarakat
desa Dameka selain mendoakan mereka tidak bisa
berbuat terlalu banyak. Karena di Sumba sendiri
tidak mempunyai rumah sakit jiwa. Sehingga orang
yang mengalami gangguan jiwa hanya di biarkan
begitu saja, tidak diberikan perawatan dan juga ada
yang di pasung oleh keluarganya sampai masa
kambuhnya

berakhir.

Hal

ini

sesuai

dengan

perkataan dr.Latumeten psikiater Indonesia pertama
(1928),

kebanyak

pasien

gangguan jiwa

tidak

mendapatkan perawatan yang layak. Parahnya lagi
orang-orang

pribumi

yang

dianggap

menderita

gangguan jiwa banyak yang dibiarkan dipasung.
Masyarakat desa Dameka mengaku tidak
banyak

berkontribusi

mengalami

gangguan

terhadap
jiwa.

orang

yang

Masyarakat

hanya

memberikan dukungan secara moril, dan doa.

51
Hasil

penelitian

terhadap

8

orang

responden

mengatakan keluargalah yang memiliki peran penting
dalam pengasuhan orang yang mengalami gangguan
jiwa di desa Dameka, yaitu dengan cara pasung.
Ketika sudah kembali normal orang yang mengalami
gangguan jiwa yang dipasung akan dilepaskan dan
kembali beraktivitas seperti biasa. Hal ini bertolak
belakang dengan teori yang dikemukakan oleh
Setiadi (2008), bahwa dengan dukungan emosional
berupa kepercayaan, empati, cinta, simpati, dan
penghargaan yang diberikan sebagai sebuah tempat
yang

nyaman

selama

proses

pemulihan/penyembuhan dapat membuat individu
merasa tidak sendiri, karena masih ada keluarga
yang

mau

keluhannya,

memperhatikan,
membantu

mendengarkan

menyelesaikan

masalah

yang dihadapi, serta memberikan semangat, dapat
membantu individu dalam penguasaan terhadap
emosi dan masalahnya.
4.2.4 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yaitu
target awal partisiapn yang peneliti tetapkan yaitu 10 orang
calon partisipan tetapi pada saat penelitian berlangsung hanya

52
8 partisipan yang berpartisipasi dikarenakan 2 partisipan
lainnya menolak untuk diwawancarai dengan alasan sibuk
panen dan capek mengurus ternak sehingga tidak punya waktu
atau tidak bersedia untuk diwawancarai. Selain itu, susahnya
bertemu

para

partisipan

karena

sementara

penelitian

berlangsung, bertepatan dengan musim panen padi di Sumba,
sehingga penelitian berlangsung cukup lama. Beberapa
partisipan ada juga yang susah membahasakan jawabannya ke
dalam

bahasa

Indonesia,

sehingga

peneliti

harus

menerjemahkan sendiri maksud dari partisipan. Begitu juga
ada yang kurang mengerti dengan maksud pertanyaan yang
disampaikan

sehingga

membuat

peneliti

harus

menginformasikan ulang pertanyaan yang akan diajukan dan
bisa dipahami oleh partisipan.