Belajar dari Debat Capres.

.

SgiRA Pi MBAR eMi:
'=-;. "!

,.'

' '" ;

',;

,

,,'

~ i',
If'

:.; l': ,.~.",:
.".(


17

4
18

o Jan

0

S

19

20

Peb

OMar

I'

':.

0
6

21
OApr

i

-'"

'

'-.1

',1 L -'.~
,J
.'


8

Rabu
7
22
OMei

_

'

,,'

;",
',,'

o Senin o Selasa
123

-;--


~

/

;..,i.!'
,

t.,!

'

-,',;

,

,

0


8Jun

10
24

2S

OJul

f '~ '1

'

'

'.'

, 111,111

.

:.. :"~;' .~. ",
L~_.T..Jtrm.:"

Kami~

9

"'-

.'

~,'~./:

Jumat
11
26

I.

~\'.\


~, t/
,'..Jr'"

I

I,

;

~

o Sabtu 0 Minggu
12

13
27

14
28


0 Ags OSep

OOkt

1S
29
ONov

16
30

31

ODes

Belajar dari Debat Capres
JANNUS TH
SIAHAAN


D

cermati ke-3 kriteria tersebut pada debat capres Pilpres 2009. Capres Megawati tampil
datar dan cenderung membosankan. Meskipun pemyataan-pemyataannya amat mudah
dipahami, bahkan oleh kalangan pemirsakelas
E, namun Mega tidak didukung oleh gerak tuboo dan pilihan intonasi. Di samping itu, Mega lebih seririg mengarahkan pandangan ke
pembawa acara dibanding ke kamera.
Meskipun tidak menghibur, namun kriteria atraktif dan terkesan jujur ada pada penampilan capres SBY. Kekuatan citra SBY
justru menjadi kelemahannya, karena dia seperti berada di atas sana dan jarak itu terlalu
jauh dari pemirsa. Entah karena tidak mendapat pasokan informasi dari tim sukses atau
karena tim sukses tidak mampu memahami
pemirsa televisi, SBY lebih dari tiga kali
menggunakan kalimat, yang merepresentasikan kecerdasannya. Padahal, debat tersebut
ditayangkim pada jam tayang utama (pukul
18.00-21.30 WIB) di mana pemirsa terbesar
adalah kelompok ibu-i~u dari kalangan D
dan E. Kalimat SBY terlalu tinggi bagi pemirsa dari kalangan tersebut.
Kemampuan untuk tampil atraktif ada
dalam diri capres Jusuf Kalla. Selain mampu
merighadirkan kejutan dengan atraksi membuka sepatu, JK juga terkesan jujur ketika

menyatakan isi undang-undang bisa diubah
jika perubahan itu menguntungkan rakyat.
Gaya bicara JK, yang tidak seteratur dan serunut SBY,justru menguntungkannya, karena dia jadi tampak menghibur. Kelemahan
JK terletak pada body language yang terkesan tidak hangat dan bum-bum. Di samping
itu, JK tidak mengantisipasi jumlah kamera
yang digrinakan dalam debat tersebut, sehingga ekspresi yang ditampilkannya ketika
kandidat lain bicara (insertion) tidak banyak
menolong dan malah merugikan..

ebat capres-cawapres di berbagai
stasiun televisi pada kampanye Pilpres 2009, temyata memberikan banyak pembelajaran, khususnya dalam mewujudkan model debat politisi yang ideal
untuk pilpres mendatang.
Menilik debat tersebut, keliru mengharapkan program debat capres di televisi me~
rupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat (pemirsa). Di samping kontennya
tidak merepresentasikasn pertukaran gagasan, juga debat capres tidak pertama-tama dimaksudkan untuk debat itu sendiri, melainkan sebagai bagian dari pertunjUkan.
Sistem giliran host broadcast (satu televisi menjadi pelaksana, televisi lain merelai)
juga menunjukkan yang sedang berlangsung
bukanlah perang-tanding gagasan, tetapi perang-tanding stasiun televisi mana yang akan
mendapatkan rating/share terbaik. Tidak
aileh bila Luna Maya mempromosikan (ad

libs) final debat capres di program Dahsyat
RCTI terasa seperti sedang mempromosikan
nanti malam akan ada sinetron baru. Tidak ada kedalaman pada pesan itu.
Kegagalan televisi menghadirkan diskursus publik sesungguhnya sudah dikritisi Neil
Potsman (Amusing Ourselves to Death, NYU,
1985). Televisi, demikian Postman, tidak dimaksudkan untuk mencerdaskan pemirsa,
pasti gagal menjadi babysitter dantidak berfungsi mengubah bergajul menjadi orang ba- Kesan
Penting dipahami para capres dan tim
ik-baik. Media televisi membutuhkantiga kriteria untuk pembawa pesan, yaitu menghibur, sukses bahwa televisi adalah sekumpulan
atraktif, dan terkesanjujur. Sekar~g mari kita kesan, b,!k~ pe~aI!itp~sendiri. Kesan_bis~

I\lIplng

Humos

Unpod

lOO