Desa Pakraman dan Kekuasaan terhadap Warga Masyarakat.

DESA PAKRAMAN DAN KEKUASAAN
TERHADAP WARGA MASYARAKAT
Oleh: I Gst. Pt. Bagus Suka Arjawa
Abstrak
Desa Pakraman di Bali sering mendapatkan sorotan atas keputusan-keputusannya yang
kontroversial, seperti misalnya mengucilkan warga atau melarang jenazah di kubur di kuburannya desa.
Ini dipandang tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perkembangan jaman. Tulisan ini berangkat dari
kenyataan demikian, dan penelitian dilakukan secara kualitatif di desa pakraman yang melakukan
tindakan demikian. Diantara desa itu adalah Desa Sinjuana, Desa Pesagi di Tabanan. Adapun yang terjadi
di Desa Selingsing dan Pangkungkarung, dilakukan lewat penelusuran media.
Teori-teori tentang kekuasaan dan sumber daya dipakai untuk menganalisis peristiwa yang
terjadi. Dengan pendekatan itulah kemudian bisa dilihat bahwa kekuasaan yang ada di desa pakraman
bersumber dari sumber daya yang dimilikinya. Tetapi dengan pengetahuan aparat desa yang kurang
modern dan kurang profesional, mengakibatkan kekuasaan berupa keputusan-keputusan yang dibuat
menyimpang dari kepatutan sosial dan perkembangan sosial. Pejabat dan aparat desa pakraman yang
pengetahuannya kurang justru menjalankan tugasnya yang membuat kerugian kepada warga masyarakat,
anggota dari desa pakraman tersebut.

Kata Kunci: desa pakraman, awig-awig, kekuasaan, sumberdaya, kesepekang.

Abstract

Custom villages in Bali often get criticism on their contoversial decisions such as isolating the villagers or
forbidding the corpse burrial in the village‟s cemetery. These practices have been regarded as inhuman
and out of date. This research was based on the reality ans was conducted by qualitatif research in two
custom villages that conducted these practises i.e. Desa Sinjuana, Desa Pesagi, Desa Selingsing and
Pangkungkarung. The theories of power and resources management were used in this research. Those
theories explained that power ini the custom village originates from the resources that it has. However,
the lack knowledge and lack of professionalism of the custom village authorities contributes to the power
exercises which violate the social norms and social development. The incapable village authorities have
causes disadvanteges to the villagers of those custom villages.

Keyworlds: custom village, custom village rule, resources, kesepekang

Pendahuluan
Komunitas tradisional masyarakat Bali, secara faktual bisa dibedakan menjadi dua, yakni desa
adat dan banjar adat. Keterikatan sosial masyarakat Bali, terlihat pada dua wilayah tersebut. Desa adat
dalam perkembangan sekarang disebut sebagai Desa Pakraman. Perubahan ini bertujuan untuk lebih
menonjolkan unsur daerah ke dalam penamaan itu. Pakraman berasal dari kata ”krama” yang dalam
pengertian umum di Bali disebut dengan penduduk atau warga.
Perkembangan mutakhir yang terjadi di Bali, sering terjadi konflik internal antara warga dengan
lembaga desa pakraman. Artinya perselisihan dan perbedaan pendapat terjadi antara lembaga dengan

warga yang seharusnya dilindungi. Sebagian hasil dari perbedaan pendapat itu justru menjadikan korban
kepada anggota desa pakraman. Kasus-kasus kesepekang (dikucilkan), diusir dari

wilayah desa

pakraman, atau tidak diberikan hak untuk memakai kuburan, menjadi beberapa contoh dari akhir kasus
demikian. Peristiwa ini tidak hanya terjadi di satu kabupaten, tetapi di banyak kabupaten.
Di Desa Pakraman Selingsing, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, jenazah Pan Darna
(bukan nama sebenarnya), tidak diijinkan dikuburkan di kuburan desa pakraman setempat karena anak
menantunya dipandang mengkorupsi uang Lembaga Perkreditan Desa. Meski kesalahan ada pada
menantu tetapi ketika mertuanya meninggal, Desa Pakraman tidak memberikan ijin untuk penguburan.
Sang menantu tinggal bersama mertua. Ini merupakan bentuk hukuman kepada keluarga yang
bersangkutan sebagai akibat tuduhan telah melakukan korupsi di LPD setempat. Karena tidak dijinkan
dikuburkan di kuburan setempat, akhirnya jenazah di kremasi di Krematorium Santayana, Peguyangan
Kangin pada pertengahan bulan Maret 2012 yang lalu.

Bersebelahan dengan

Desa Pakraman Selingsing, di Desa Pakraman Pangkungkarung juga


terjadi peristiwa yang hampir sama. Dalam konteks

pengakuan dari lembaga adat atau provinsi,

Pangkungkarung ini belumlah desa pakraman dan dipandang masih bergabung dengan Desa Pakraman
Bedhe. Akan tetapi karena telah mempunyai Pura Khayangan Tiga, sebagian besar masyarakat di
Pangkungkarung telah menyatakan diri sebagai desa pakraman. Dalam kasus ini, masyarakat terpecah
dua. Mayoritas masyarakat menanggap diri berdikari dan sebagian kecil menyatakan masih bergabung
dengan Desa Pakraman Bedhe. Inilah yang memicu konflik di desa pakaraman tersebut.
Akhir tahun 2011, seorang anggota kelompok kecil (yang menyatakan diri masih tetap bergabung
dengan Desa Pakraman Bedhe) meninggal dunia. Meskipun tidak menyatakan melarang penguburan di
kuburan Pangkung Karung, tetapi upacara terhadap jenazah ini dilakukan di Krematorium Santayana,
Peguyangan Kangin. Sebelumnya, selama kurang lebih dua hari terjadi semacam penyanderaan terhadap
jenazah ini karena dihalang-halangi keluar dari rumah duka oleh anggota kelompok besar yang
mendukung berdirinya desa pakraman secara mandiri. Peristiwa menghalangi jenazah ini nampaknya
tidak hanya mempunyai tujuan untuk menekan pihak keluarga duka yang masih tetap kukuh bergabung
dengan Desa Pakraman Bedhe, akan tetapi juga nampak ditujukan kepada pemerintah dan majelis desa
pakraman, baik tingkat propinsi dan kabupaten yang dipandang

menghalangi keinginan mayoritas


masyarakat Pangkungkarung untuk mendirikan desa pakraman tersendiri. Sekitar dua tahun sebelumnya,
salah satu anggota kelompok kecil juga tidak berani dikuburkan di kuburan setempat dan memilih
dikremasi di Krematorium Santayana.
Desa Pakraman Pesagi, Kecamatan Penebel, Tabanan, orang tua dari I Putu Darna (bukan nama
sebenarnya), terpaksa dikremasi di Krematorium Mumbul, Badung. Desa Pakraman setempat tidak
memberikan jenazah diupacarai di kuburan wilayah itu karena anaknya, I Putu Darna, dipandang tidak
pernah memenuhi kewajibannya sebagai anggota Desa Pakraman. Meski orang tua yang bersangkutan
pernah menjadi seorang petugas di pura setempat, hal itu tetap tidak memungkinkan bagi jenazah
diupacarai di kuburan itu.

Di Banjar Sinjuana, Kediri, Tabanan juga terjadi hal yang sama dimana jenazah I Tumpuk yang
meninggal karena tabrakan tidak dibolehkan diupacarai di kuburan setempat. I Tumpuk, dipandang telah
melanggar ketertiban desa. Semasih hidup ia telah dikucilkan dari desa karena sering membikin ribut dan
mengancam anggota masyarakat. Ketika meninggal, masyarakat tidak memberikan toleransi untuk
diupacarai di kuburan setempat. Akhirnya jenazah dikrematorium di Kuburan Mumbul, Badung.
Tentu masih banyak lagi kasus-kasus seperti ini yang terjadi di berbagai tempat di kabupaten di
Bali. Tetapi hal ini mencerminkan bagaimana kuat dan berkuasanya Desa Pakraman terhadap anggota
masyarakat.
Dalam tulisan ini, penting untuk melihat kasus dicabutnya hak warga untuk memakai kuburan.

Kasus ini merupakan fenomena mendasar bagi kemanusiaan karena manusia pasti akan mati dan haruslah
mendapat penguburan. Dalam masyarakat Hindu di Bali disamping penguburan, kuburan juga tempat
untuk melakukan upacara ngaben atau kremasi. Adanya tindakan berupa tidak memberikan hak untuk
memakai kuburan, berarti pengingkaran terhadap hak asasi manusia. Kenyataan bahwa sebuah lembaga
tidak memberikan hak tersebut, mengindikasikan lembaga itu kuat, mempunyai kekuasaan. Dan dengan
demikian, anggota lembaga itu juga mempunyai sikap yang sama.

Perumusan Masalah
Apakah yang menjadi kekuatan dari desa pakraman tersebut?

Kerangka Teori
Kekuasaan adalah hubungan prosesual antara dua pihak yang mempunyai ciri-ciri pengaruh
asimetris, dengan kemungkinan pengambilan keputusan ada pada salah satu pihak, walaupun pihak lain

menentangnya; penggunaan sanksi-sanksi negatif sebagai perilaku menonjol dari pihak yang dominan
(Soekanto, 2002: 488).
Dengan demikian, kekuasaan itu akan muncul pada dimensi hubungan yang menyangkut
perilaku, yakni
Perilaku seseorang dapat mempengaruhi perilaku orang lain,
Perilaku seseorang dapat mempengaruhi kelompok

Perilaku kelompok dapat mempengaruhi seseorang
Perilaku kelompok dapat mempengaruhi kelompok (Soekanto, 2002: 491).
Robert Bierstedet menybutkan bahwa sumber-sumber kekuasaan tersebut ada pada sejumlah
manusia, organisasi sosial dan sumber daya (Soekanto, 2002: 492). Sebagai sebuah lembaga tradisional,
lembaga desa pakraman itu sendiri merupakan sumber daya yang merupakan sumber kekuasaan.
Sedangkan personil-personil yang ada di dalamnya seperti prajuru serta penasihatnya (seperti pemangku),
adalah sumber kekuasaan yang bersifat kharismatis.
Sumber kekuasaan yang berasal dari sumber daya, dalam pandangan Bierstedt, adalah:
1. Kekuasaan militer, polisi atau kriminal untuk mengendalikan kekerasan,
2. Kekuasaan ekonomi untuk mengendalikan tanah, tenaga kerja, kekayaan maupun produksi,
3. Kekuasaan politik untuk mengendalikan pengambilan keputusan yang sah (atau resmi),
4. Kekuasaan tradisional atau ideologis untuk mengendalikan sistem kepercayaan dan nilainilai, agama, pendidikan, pengetahuan khusus dan propaganda,
5. Kekuasaan devisioner untuk mengendalikan kepentingan hedonis, rekreasi dan pemenuhan
kebutuhan sekunder.
Seluruh sumber daya itu dapat dipunyai individu maupun kelompok, dan sumber

Daya tersebut bisa diteraapkan secara sosial (Soekanto, 2002: 493).
Desa Pakraman adalah wilayah otonomi yang dilandasi oleh agama Hindu.

Istilah otonomi pada


awalnya mempunyai arti sebagai wilayah yang mempunyai peraturan sendiri. Tetapi kemdian istilah ini
berkembang menjadi mempunyai hak/kewenangan/kekuasaan untuk membuat peraturan sendiri
(mempunyai badan legislatif sendiri). Kemudian istilah ini berkembang menjadi pemerintahan sendiri
yang meliputi pengaturan atau perundang-undangaan sendiri dan dalam batas-batas tertentu juga
mempunyai pengadilan dan kepolisian sendiri (Dharmayuda, 2001: 70). Desa adat sebagai desa otonomi,
mempunyai karakteristik seperti itu. Desa adat mempunyai wilayah sendiri, penduduk sendiri, membuat
peraturan yang disebut awig-awig, melaksanakan awig-awig tersebut, mempunyai polisi yang disebut
dengan pacalang serta pengadilan yang biasanya, jika tidak dilakukan oleh aparat adat, juga dilakukan
dalam paruman (rapat) bersama. Dalam Peraturan Daerah No. 3 tahun 2001,. Tugas dari Desa pakaraman
adalah
-membuat awig-awig
-mengatur Krama Desa
-mengatur pengelolaan harta kekayaan desa,
-bersama-sama pemerinah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang
keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.
-Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan
dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya
berdasarkan paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung sabayantaka.
-mengayomi krama desa.

Wewenang dari Desa pakraman adalah

-Menyelesaikan sengket adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina
kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat.
-Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang

ada di

wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana
-melakukan perbuatan huum di dalam maupun di luar Desa Pakraman.
Dalam pandangan Surpha, fungsi Desa Pakraman (Adat) itu adalah
-Mengatur hubungan karama desa dengan Kahyangan
-Mengatur pelaksanaan Panca Yadnya agama Hindu dalam masyarakat.
-Mengatur penggunaan kuburan,
-Mengatur hubungan antara sesama kerama desa
-Mengurusi tanah, sawah dan barang-barang lainnya milik desa adat,
-Menetapkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran terhadap hukum adat,
-Menjaga keamanan, ketertiban, dan kedamaian dalam masyarakat,
-Memberikan perlindungan hukum terhadap krama desa,
-Mengikat persatuan dan kesatuan antar sesame kerama desa dengan cara gotong royong dalam

bidang ekonomi, teknologi, kemasyarakatan dan keagamaan,
-menunjang dan mensukseskan program pemerintah dalam memajukan desa, pendidikan dan
perekonomian (Surpha, 2002: 70)

Keberadaan dan Sumber Daya Desa Pakraman

Desa adat yang ada di Bali, memperlihatkan bentuk yang lebih banyak bertanggung jawab pada
ritual ketimbang dari pengelolaan administrasi. Geertz menyebutkan bahwa pada tempat tinggal yang
disebut desa tersebut, bisa

dijumpai komponen pusatnya dimana tempat tinggal terkosentrasi lebih

banyak di banding dengan sisi-sisi desa yang lain. Ada wilayah di dalam desa itu yang terkomposisi
penduduk paling banyak. Geertz menyebutkan bahwa desa itu bukan sekedar entitas yang mengelompok
seperti di pusat tadi, tetapi tetap ada kelompok-kelompok lain yang lebih luas.
Apa yang dikatakan Geertz ini, sesungguhnya merupakan konsep dan pengertian dari desa adat.
Enklave-enklave kecil yang ada di desa tersebut adalah banjar , yakni komunitas yang oleh Warren

disebut dengan hamlet. Dalam sistematika pemukiman masyarakat di Jawa perkotaan, hamlet ini bisa
disebut identik dengan rukun tetangga sedangkan desa itu adalah rukun warga. Desa adat dalam

pandangan Warren adalah pelindung dan penjaga tradisi-tradisidan kebiasaan masa lalu Bali secara
formal. Dan banjar merupakan implemetasi lokal dari adat atas nama desa. Pada banjar inilah komunitas
tersebut secara nyata diorganisasikan (Warren, 1993: 28).
Desa adat di Bali, adalah pemukiman yang dikarakteristikkan oleh Khayangan Tiga , yakni tempat
persebahyangan umat Hindu yang diciptakan dan dikonsepkan sejak abad ke-11 oleh Mpu Kuturan,
seorang brahmana dan panglima perang (senapati) dari Kerajaan Airlangga, Jawa Timur (Titib 2001).
Mpu ini datang menuju Bali pada tahun 1019 Penduduk yang terikat di dalam kesatuan tempat
persembahyangan Khayangan Tiga tersebut, masuk ke dalam Desa Adat. Pura Khayangan Tiga itu
merupakan pengikat kohesivitas dari desa adat, dimana di tempat ini anggota masyarakat menyembah
Tuhan dalam wujud tiga manifestasi yang dipercaya umat Hindu, yaitu Brahma sebagai pencipta, Wisnu
sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pelebur.
Michael Pichard, dalam Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (2006) menyebutkan
bahwa Di Bali, “desa” tersebut tidak tidak semata merupakan kesatuan sosio-politik ataupun territorial,
meski menempati wilayah tertentu. Desa tersebut adalah perkumpulan keagamaan, mempersatukan semua

penduduk yang terkait secara kolektif dengan tiga pura desa atau Kahyangan Tiga, yaitu Puseh (tempat
diadakannya upacara dewa-dewa pelindung dan leluhur-leluhur pendiri desa), Pura Desa (tempat rapat
dewan desa yang terkait dengan ritual-ritual kesuburan) dan pura dalem (tempat pengaruh negatif arwah
leluhur yang belum bersih dihilangkan dan dewa penguasa maut dipuja. Dengan demikian, masuknya
warga pada sebuah desa lebih didasarkan pada keterkaitan vertikal dengan suatu jaringan pura daripada

hubungan horizontal diantara sesame anggota komunitas (Pichard, 2006: 17). Covarubias (1973: 58)
menyebutkan bahwa desa di Bali adalah mandiri yang memiliki warganya sendiri, seperti sebuah repbulik
kecil yang diperintah oleh dewan (council) perwakilan dari penduduk, ddimana setiap orang mempunyai
hak dan kewajiban yang sama. Desa yang komplit tersebut mempunyai tiga puram yaitu pura Desa,
Puseh dan Dalem.
Sejak tahun 2001, dengan keluarnya Peraturan daerah Propinsi Bali No. 3 Th. 2001 tentang Desa
Pakraman, sebutan Desa Adat tersebut diubah menjadi Desa Pakraman. Dalam peraturan tersebut, yang
dimaksudkan dengan Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang
mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun
temurun dalam ikatan Khayangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Sebutan Pakraman ini dipandang lebih
pantas mengingat dalam sejarahnya, kata pakraman itu telah dipakai sejak adanya desa di Bali.
Sejak abad ke-9, masyarakat Bali telah mengenal masyarakat desa yang disebut dengan kraman.
Tempat atau wilayah dimana kraman tersebut berada disebut desa atau Desa Pakraman (Suasthawa
Dharmayuda, 2001: 1) . Sebutan desa pakraman ini dipakai untuk menggantikan kata adat yang asalusulnya dipandang bukan dari kultur dan tradisionil Bali, yaitu dipandang berasal dari bahasa Arab.
Desa pakraman mempunyai wilayah tanggung jawab yang luas. Rentang pengaruh kekuasaan
otonom ini tidak saja meliputi hubungan antara manusia dengan manusia (yang disebut dengan istilah
pawongan) tetapi juga antara manusia dengan Tuhan (yang disebut dengan istilah parhyangan) dan antara

manusia dengan lingkungan yang disebut dengan palemahan. Wujud interaksi sosial ini sangat besar
yang bisa menimbulkan tidak saja kerjasama tetapi juga persaingan dan konflik dari masing-masing
hubungan tersebut. Persoalan adat dan agama yang muncul dari tiga dimensi hubungan itu menjadi
tanggung jawab desa pakraman untuk menyelesaikannya. Pasal 6 ayat “a” dari Peraturan Daerah No. 3
Tahun 2001 menyebutkan bahwa Desa Pakraman mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa
adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antarkrama
desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat.
Budaya Bali sangat dipengaruhi oleh Agama Hindu. Salah satu tugas dari desa pakraman adalah
membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan
mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya
berdasarkan “paras-paros”, sagilik-saguluk, salunglung sabayantaka (musyawarah-mufakat) (ayat e pasal
5 Perda No. 3/2001). Dharmayuda menyebutkan bahwa

hubungan sosial antara masyarakat Desa

Pakraman diwujudkan dengan pedoman kekerabatan seperti kerukunan (saling asah, saling asuh, saling
asih, salunglung sabayantaka), keselarasan (sagilik saguluk, briuk sapanggul), dan kepatutan (paras-paros,
ngawe sukaning won glen). Dengan melihat tugas dari desa pakraman seperti itu, maka wewenang yang
menyangkut persoalan agama dan adat akan menjadi tanggung jawab adat untuk menyelesaikannya (Suka
Arjawa, 2010: 110).
Banjar Pakraman
Banjar pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari desa pakraman.
Meskipun definisi desa pakraman yang diberikan oleh Perda Nomor 3 Tahun 2001 tidak memberikan
pengertian demikian, tetapi pengertian desa pakraman yang ada dalam perda ini memberikan gambaran
bahwa desa pakraman tersebut merupakan komunitas yang dibentuk oleh beberapa banjar pakraman. Di
masa lalu, seperti yang dijalskan oleh Geertz, desa adat adalah komunitas yang terdiri dari kumpulan
banjar adat. Perkembangan sekarang memperlihatkan bahwa banjar pakraman pun akan bisa menjadi

desa pakraman apabila banjar yang bersangkutan mampu mendirikan Pura Khayangan Tiga. Hal ini
misalnya terlihat di Tabanan. Seluruh banjar yang membentuk Kebendesaan Samsam, menjadi Desa
Pakraman. Desa Pakraman tersebut adalah Desa Pakraman Penyalin, Kutuh Kelod, Kutuh Kaja, Samsam
dan Lumajang.
Dalam hal desa pakraman yang terkomposisi atas banjar-banjar pakraman, Peraturan daerah
yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Propinsi Bali tahun 2001 tersebut tidak menyebutkan
bagaimana fungsi, tanggung jawab vertikal serta posisi dari banjar pakraman terhadap desa pakraman
induk. Akan tetapi hanya disebutkan bahwa dimungkinkan banjar pakraman tersebut membuat awig-awig
yang dipakai sebagai pedoman untuk melaksanakan Tri Hita Karana di lingkungan banjar pakraman yang
bersangkutan. Warga banjar pakraman juga

pangemong dan penyungsung kahyangan yang ada di

wilayah banjar pakraman tersebut. Banjar pakraman juga mempunyai prajuru tersendiri.
Di masa lalu, hubungan antara desa adat dengan banjar adat berbetuk subordinasi. Warren
menyebutkan bahwa banjar itu dicirikan oleh wilayah populasi yang paling dekat dengan masyarakat.
Desa adat merupakan organisasi penjaga segala tradisi dan keagamaan yang ada di Bali, dimana secara
sosial pelaksnaan penjagaan terhadap tradisi tersebut akan terlihat pada banjar-banjar (Warren 1993: 28).
Jika desa adat melaksanakan kegiatan dalam rangka melestarikan tradisi tersebut, misalnya dalam upacara
keagamaan, maka konsultasi akan dilakukan dengan banajar-banjar pendukung desa adat tersebut. Wujud
konsultasi tersebut dilakukan oleh bendesa adat dengan kelihan banjar adat.

Banjar merupakan

representasi dari desa adat. Solidaritas yang muncul pada tingkat banjar lebih banyak mempunyai akar
pada kesadaran kultural dan sosial dibandingkan dengan kesadaran pada tingkat produktifitas, mislanya
pada pertanian (Warren, 1993:28).
Picard menyebutkan bahwa komunitas sesungguhnya ada di banjar, yang merupakan suatu
kesatuan sosial berdasarkan temat tinggal yang tidak hanya memiliki otonomi yang luas terhadap desa,
tetapi juga berwewenang dalam hal hukum, pajak, dan ritual. Banjar terutama mengutus hal-hal yang

berkait dengan kontrol sosial, ketertiban umum, dan jenis kerjasama antar warga yang berkenaan dengan
kepentingan umum dan kewajiban agama. Banjar khususnya berwewenang untuk penguburan dan
pembakaran mayat (Picard, 2006: 17).
Hubungan sosial yang lebih intens sangat terlihat di banjar-banjar. Banjar menonjolkan kerjasama
atau gotong royong dalam interaksinya. Covarrubias menyebutkan bahwa pada komunitas banjar ini
dibatasi oleh saling bantu ketika ada pernikahan, upacara rumah tangga, atau upacara yang paling besar,
yaitu kremasi (Covarrubias, 1973: 61). Setiap lelaki yang sudah menikah, akan ditawari untuk menjadi
anggota banjar dalam periode waktu tertentu. Apabila dalam tiga kali penawaran tersebut, pasangan ini
tidak menentukan jawaban atau menolak untuk menjadi anggota banajar, maka pasangan tersebut akan
dipandang meninggal. Mereka tidak akan mendapat hak untuk menggunakan kuburan dan akan diboikot
dari seluruh kegiatan banjar.
Seperti halnya desa, banjar dipimpin oleh kelian banjar yang dipilih oleh warganya tetapi pilihan
itu didahului oleh “petunjuk” Tuhan melalui sebuah media (trans). Kelihan banjar ini tidak mendapatkan
upah formal dalam menjalankan tugasnya yang berat. Tetapi dibolehkan untuk meminta upah atas
pemberian dari mereka-mereka yang sedang melakukan upacara dan dibantunya dalam mengorganisir
pekerjannya. Kelian banjar juga tidak bisa mundur tetapi bisa dimundurkan apabila ketahuan
berkelakukan jelek.
Banjar juga memiliki

hak milik seperti misalnya, bale banjar, klub-klub tari termasuk juga

dengan berbagai seragam yang dimiliki, kulkul yang digunakan sebagai siyarat untuk memanggil
seseorang untuk berkumpul. Yang paling penting dari kepemilikan banjar adalah pura pamaksan
(semacam pura kecil untuk tempat persembahyangan warga banjar). (Covarrubias, 1973: 62). Ketika Bali
jatuh dalam kolonial Belanda, kolonialis ini menemukan tiga pengaruh dalam desa, yaitu raja, pejabat
desa dan pejabat banjar. Raja mengirimkan perbekel atau punggawa untuk melihat apakah pajaknya telah
dibayar atau tidak.

Fungsi dan Kekuatan Banjar
Di Bali Selatan, banjar mempunyai fungsi ritual, sosial dan administrasi masyarakat. Banjar
mempunyai tugas dalam melaksanakan upacara ritual pada pura pamekasan, dan yang paling utama
adalah tentang upacara kematian sampai dengan pengabenan.

Banjar juga menjadi saksi jika ada

pernikahan dan menentukan tentang siapa yang berhak soal warisan termasuk juga mempunyai kekuasaan
menentukan siapa yang seharusnya menempati tanah pekarangan. Karena begitu padatnya jalinanan
sosial dan padatnya solidaritas di dalam banjar, maka banjar menjadi fokus pada aktivitas sosial dan
aktivitas ekonomi (Warren, 1993: 11). Dalam masyarakat Hindu Bali, banjar sering disebut dengan
banjar suka duka. Artinya baik di dalam suka maupun duka harus bersama-sama. Salah satu yang menjadi
simbol dari konsensus adalah kulkul. Suara kulkul (kentongan) ini adalah suara banjar (Suka Arjawa,
2010: 118)
Sebagai kesatuan komunitas yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, banjar mempunyai
power yang kuat. Fokus kekuatan dari pada desa adalah kuburan dan tempat persembahyangan yang
disebut dengan Khayangan Tiga.
pelaksanaan ada pada banjar.

Dalam hal upacara kematian, tanggung jawab utama dalam

Seseorang yang tidak menjadi anggota banjar, familinya tidak akan

dibolehkan menggunakan kuburan. Banjar juga mempunyai patus sebagai simbol keterikatan antara satu
dengan keluarga yang lain. Patus mencerminkan bantuan kepada sesama.

Awig-Awig
Awig-awig merupakan

norma yang merupakan hasil kesepakatan dari seluruh warga desa.

Salah satu dari tugas desa pakraman adalah membuat awig-awig. Dengan demikian, awig-awig tersebut
sebenarnya berlaku untuk wilayah desa adat. Akan tetapi di Bali juga dikenal awig-awig banjar yang

biasa disebut dengan sima, yang berupa kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung di satu banjar. Di tingkat
desa, awig-awig merupakan aturan moral manusia, yang tidak saja berhubungan antar manusia dengan
manusia tetapi juga berhubungan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan lingkungan.
Terbentuknya banjar atau sekehe juga dilengkapi dengan aturan yang harus ditaati oleh para
anggotanya dan para anggota ini juga wajib mempertahankan aturan-aturan tersebut. Aturan inilah yang
disebut dengan awig-awig. Boleh dikatakan bahwa banjar dan sekehe tersebut dibatasi oleh awig-awig.
Namun demikian, awig-awig di tingkat ini lebih banyak mengatur aturan moral secara sosial,
berhubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan.

Awig-awig yang

berhubungan vertikal pada tingkat banjar, secara kuantitas tidak terlalu banyak seperti halnya yang ada
pada tingkat desa
Awig-awig berasal dari kata daerah, weg yang artinya rusak. Dengan ditambah vokal „a‟ menjadi
„aweg’ diartikan sebagai tidak rusak. Aweg inilah yang kemudian berkembang menjadi awig-awig, yang
artinya tidak rusak. Tata kampung diharapan tidak rusak karena telah ada awig-awig ini.
Awig-awig ini memuat tentang berbagai kewajiban dan aturan yang harus dipatuhi oleh anggota
banjar . Isi yang terkandung di dalam awig-awig banjar itu, tidak dibolehkan bertentangan dengan awigawig yang mengatur desa adat, sebagai sebuah „induk‟ dari banjar adat. Akan tetapi, dalam beberapa hal,

terutama di Bali Selatan, awig-awig

banjar tersebut diperkenankan berkembang sesuai dengan

perkembangan jaman. Karena itu ada awig-awig yang berlaku di banjar tertentu akan berbeda dengan
awig-awig yang berlaku di banjar lain, meski kedua banjar tersebut berada di dalam satu desa pakraman.
Awig-awig di Bali bisa digolongkan menjadi 2, yakni yang tidak tertulis dan yang tertulis. Awigawig tidak tertulis ini cukup banyak dipakai, terutama bagi banjar-banjar yang ada jauh dari kota. Akan

tetapi di desa-desa tertentu, waig-awig ini telah ada yang ditulis, dan menggunakan huruf Bali dan
kemudian disakralkan. Upaya penyakralan ini mempunyai tujuan agar aturan tersebut dipatuhi oleh
seluruh anggota banjar . Karena itu, sebelum awig-awig itu diterapkan aturannya kepada masyarakat, akan

ada upacara pasupati yang diselenggarakan di pura tempat persembahyangan banjar dan harus diikuti
oleh seluruh warga banjar .
Awig-awig tertulis yang dipakai oleh masyarakat banjar di Bali, Hindu,

banyak yang

berhubungan dengan awig-awig yang pernah ada di jaman kerajaan di masa lalu. Karena masih ada
kelihatan unsur campur tangan antara pemerintah (raja) dengan aturan awig-awig tersebut, terlihat bahwa
hal ini sesuai dengan ungkapan Jawa yang sering juga dipakai di Bali, yakni desa mawa cara, negara
mawa tata, yang artinya kebiasan-kebiasaan itu ada di desa tetapi pemerintah yang kemudian membuat
aturan hukumnya (berdasarkan tata cara yang dipakai oleh masyarakat setempat). Jadi, bisa dikatakan
hukum-hukum kebiasaan yang diterapkan oleh pemerintah, diadaptasi dari kebiasaan-kebiasaan yang ada
di desa. Kesan yang muncul adalah otonomi yang ada dii desa masih sebatas kebiasaan-kebiasaan
tersebut.
Bahaya dari penerapan dan orientasi awig-awig ke masa lalu, adalah kekakuan dari awig-awig itu
sendiri. Salah satu dari bahaya itu adalah hukuman kesepekang yang diterapkan di banjar terhadap ia yang
melanggar aturan awig-awig. Di beberapa banjar yang ada di Bali, saat ini masih dijumpai adanya
ketentuan awig-awig yang menerapkan aturan tersebut. Kesepekang adalah jenis hukuman yang tidak
membolehkan siapapaun anggota banjar (komunitas) untuk berbicara dengan ia yang

dipandang

melakukan pelanggaran terhadap awig-awig. Ketentuan ini dijalankan dengan alasan untuk melestarikan
masa lalu.
Sanksi yang muncul sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh anggota, esensinya
bukan karena aturan yang terlihat di dalam awig-awig tersebut, tetapi lebih kepada tanggung jawab
kepada Tuhan, dengan tujuan untuk mempertahankan keharmonisan dari banjar.

Analisis

Dalam hubungannya dengan lembaga desa atau banjar pakraman, kekuasaan tersebut bisa saja
muncul dari perilaku seseorang dan bisa juga dari kelompok. Adat, dalam arti aturan kebiasaan yang
diatur secara turun-temurun, posisi tetua sangat menentukan dalam menjelankan aturan. Sebutan untuk
pemimpin lembaga adat adalah kelihan (Dharmayuda, 2001). Pengormatan terhadap tetua ini sangat
mempengaruhi pembuatan keputusan, baik yang mempunyai fungsi kebijakan umum maupun dalam
fungsi keputusan sebagai sanksi. Dengan demikian, perilaku seseorang sangat mempengaruhi perilaku
seluruh anggota desa pakraman dalam pembuatan keputusan. Dari sini, unsur mikro tersebut bisa
mempengaruhi makro. Keputusan-keptusan dalam ritual upacara keagamaan sangat dipengaruhi oleh
unsure mikro seperti ini.
Kepercayaan terhadap orang yang dituakan tersebut merupakan tesis dari kearifan lokal yang
menyebutkan bahwa tujuan terbentuknya lembaga pakaraman tersebut adalah adanya harmonisasi yang
berasal dari kekuatan yang besar, yaitu Tuhan. Para tetua dipandang sebagai orang yang telah
berpengalaman dalam kehidupan sehingga mampu menciptakan harmoni tersebut. Awig-awig, baik yang
dibentuk di dalam desa maupun banjar, mempunyai landasann falsafah untuk mengatur harmonisasi
tersebut lewat Tri Hita Karana, yakni harmonisasi hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan
dengan lingkungan. Pemangku dan tetua dalam desa pakraman merupakan sumber-seumber kekuasaan
yang bersifat tradisionil dan menitikpusatkan kepada charisma. Usia dan pengalaman hidupnya dipandang
sebagai kharisma sehingga mampu mempengaruhi perseorangan maupun perilaku kelompok. Pada
masyarakat tradisionil, pemangku mempunyai kekuasaan karena sumber dayanya, yaitu menegetahui
cara-cara pelaksanan ritual keagamaan.
Pengaruh individu terhadap individu lain dalam desa pakraman yang memperlihatkan kekuasaan
terhadap individu lain, bisa terjadi di dalam perdebatan-perdebatan ketika berlangsung rapat pertemuan
desa pakraman atau pada lobi-lobi yang berlangsung sebelum acara pertemuan dilakukan.

Disamping sebagai sebuah peristiwa prosesual yang memperlihatkan kemampuan pengaruh
terhadap pihak lain, secara tradisional kekuasaan juga bisa berarti wasit, perwujudan keadilan, pelindung
bagi organisasi dan menjaga kepentingan umum (Duverger, 2003: 325). Dalam menjaga fungsinya
sebagai penjaga harmoni, lembaga desa pakraman akan menjadi penengah dan menjadi wasit apabila
terjadi perselisihan antara warga baik yang menyangkut pelaksanaan upacara agama maupun adat. Perda
No. 3 Tahun 2001 menyebutkan bahwa desa pakraman mempunyai wewenang menyelesaikan sengketa
adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antarkrama
desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat. Tugas-tugas untuk mengusahakan
perdamaian antar warga ini juga dimiliki oleh prajuru desa pakraman.
Lembaga desa pakraman mempunyai hampir seluruh sumber daya tersebut untuk menjalankan
kekuasannya. Sebagai lembaga yang mempunyai fungsi untuk menjaga harmoni dan ketertiban, seperti
yang dimuat dalam peraturan daerah, desa pakraman mempunyai alat yang disebut pecalang. Pecalang ini
bertugas menjaga ketertiban masyarakat. Pecalang juga akan menjaga masyarakat dari upaya-upaya
kriminal yang mengancam warga dan wilayahnya. Lembaga Desa pakraman juga mempunyai hak milik
seperti lembaga simpan pinjam yang disebut dengan Lembaga Perkreditan Desa. Melalui lembaga ini
desa pakraman mempunyai sumber daya untuk mengedalikan perekonimian uang secara langsung. Desa
pakraman mempunyai tanah yang disebut dengan tanah desa pakraman atau tanah laba pura yang menjadi
miliknya. Demikian juga dengan pasar desa yang didbentuk oleh lembaga desa pakraman. Dengan
kepemilikan tersebut secara tidak langsung lembaga ini mampu mengendalikan tenaga kerja maupun
produksi.
Paruman desa adalah kekuasaan tertinggi dari desa pakraman. Hasil keputusannya mengikat dan
harus dilaksanakan oleh selutuh warga. Melalui sumber dayanya yang lain, yaitu kepemilikan awig-awig,
hasil keputusan ini mempunyai legitimasi untuk dilaksanakan dan dipaksakan. Pecalang sebagai alat
petugas penjaga keamanan akan membantu penerapan pelaksanaan peraturan tersebut dan awig-awig

akan mengenakan sanksi bagi pelanggar terhadapp hasil keputusan. Dengan demikian, desa pakraman
juga merupakan lembaga yang bersifat politis.
Satu sumber daya yang paling kuat dari desa pakraman adalah perangkat hukum yang disebut
dengan awig-awig. Melalui awig-awig ini aturan, norma yang bersifat moral dengan lingkup hubungan
manusia kepada Tuhan, hubungan dengan sesama dan hubungan mansia dengan lingkungan, ditetapkan
baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa
pakraman dan atau banjar pakraman yang dipakai sebagai pedomann untuk melaksanakan Tri Hita
Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masingmasing (Perda Bali No. 3/ 2001)
Baik Desa Pakraman maupun banjar pakraman mempunyai sumber daya seperti itu sebagai
sumber kekuasaan yang dimilikinya. Jenis sumber daya yang dimiliki olh banjar pakraman lebih beragam
lagi dan langsung menyentuh sektor sosial. Banjar pakraman juga mempunyai kuburan, pasar, jalan,
bangunan publik (bale banjar), lapangan olahraga, alat musiik seperti gong dan sejenisnya, berbagai
kelompok seperti perkumpulan nyanyi, kidung dan sebagainya. Masyarakat yang tidak mau ikut dalam
aturan yang ditentukan oleh awig-awig akan dihukum dengan sanksi berupa tidak diperbolehkan untuk
memanfaatkan fasilitas-fasilitas tersebut.
Keputusan yang membuat I Tumpuk tidak bisa dikuburkan di Kuburan Sinjuana merupakan hasil
rapat dari krama banjar yang telah memberikan kesepakatan. Demikian poula halnya dengan penguburan
orang tua dari I Putu Darna di Banjar Munduk Juwet, Desa Pesagi. Di Desa Selingsing, keputusan tidak
melarang penguburan dilakukan dengan mengadakan rapat-rapat anggota desa pakraman sebelumnya.
Fenomena ini menandakan bahwa desa pakraman itu mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk
mengatur segala daya yang ada di wilayah desa pakraman. Kekuatan ini muncul sebagai akibat sumber
daya yang dimiliki oleh desa pakraman itu termasuk mengelola konflik. Lembaga ini mempunyai
perangkat lengkap untuk mengatur warganya.

Akan tetapi, kekurangan dari perangkat desa pakraman ini adalah tidak mampu mengembangkan
fungsi dan peranannya itu secara lebih baik. Kekurangan yang pertama adalah soal keluwesan dalam
mengabil sikap. Disini tidak saja terlihat dalam menafsirkan perangkat aturan (awig-awig) ke dalam
konteks masyarakat, tetapi dalam mengungkapkan argumentasi pendapat juga tidak mampu
mengakumulasikan secara lebih baik. Dalam rapat banjar misalnya, selalu suara yang paling keras paling
ngotot, meski tanpa argumentasi, yang mendapatkan perhatian. Akibatnya, mereka yang tidak
mempunyai pendapat menyetujui dengan keputusan. Inilah yang dinamakan dengan fenomena suryak siu
dalam masyarakat Hindu Bali. Padahal suryak siu tersebut cenderung tidak mempunyai argumentasi baik.
Kedua, kelemahannya sumber daya yang dimiliki oleh desa pakraman tidak mampu diaplikasikan
dengan konteks perkembangan jaman, termasuk pula hal ikhwal tentang kemanusiaan. Para prajuru dan
tetua desa pakraman merupakan sumber daya yang dimiliki desa pakraman. Akan tetapi keterikatan
prajuru ini terlalu kuat kepada para tetua. Padahal, sampai saat ini, tetua itu banyak yang belum
mempunyai pengalaman keluar dan belum mempunyai pengalaman dalam menafsirkan ajaran agama agar
sesuai dengan perkembangan jaman. Juga banyak tidak mempunyai kemampuan dan pengalaman lintas
wilayah keagamaan Hindu yang berakibat pola pikirnya masih terlalu tradisionil. Inilah yang membuat
penafsiran sempit terhadap masalah kemanusiaan. Prajuru dan anggota masyarakat desa pakraman sering
kali terjebak dengan hal tersebut sehingga suara-suara dari tetua ini dipakai patokan. Inilah yang membuat
hukuman seperti kesepekang, tidak boleh menguburkan jenazah di kuburan sendiri terjadi. Padahal ini
sanagat melanggar hak asasi manusia.
Kelemahan ketiga, orientasi menjaga harmonisasi yang tercantum dalam awig-awig, ditafsirkan
terlalu sempit. Harmonisasi, paras-paros, segalak seguluk salunglung sebayantaka itu, bukan berarti tidak
boleh adanya perbedaan pendapat. Bahkan, harmonisasi tersebut akan bisa didapatkan apabila terjadi
diskusi dan perdebatan sebelumnya. Inilah yang membuat keputusan yang dibuat desa pakraman terlalu
prematur dan terkadang jauh dari jangkauan nalar manusia. Melarang penguburan jelas di luar nalar
karena orang mati harus dikubur. Seharusnya, apabila diberikan pelaung untuk berdebat, akan ada solusi

seperti memberikan ijin penguburan dengan denda, memberikan ijin penguburan tanpa dibantu dan
dihadiri oleh seluruh anggota banjar pakraman, atau memberikan ijin penguburan apabila yang
meninggal bukan obyek langsung yang berselisih dengan desa pakraman. Peristiwa yang terjadi di Desa
Pakraman Selingsing atau di Munduk Juwet, Pesagi misalnya, yang dilarang dikubur adalah orang tua
dari obyek yang mempunyai sengketa. Padahal orang tua ini tidak mempunyai kesalahan apa-apa.
Orientasi tradisional juga masih sangat mendominasi pemikiran-pemikiran dari desa pakraman.
Pemikiran ini cenderung mengarah ke masa lalu. Praktik-praktik kesepekang, pelarangan penguburan itu
pernah dipraktikkan di jaman dahulu. Paling tidak tahun 1960-an di kabupaten Gianyar, pernah terjadi
pelarangan penguburan terhadap salah satu warga di Desa Getas Kawan. Bukan tidak mungkin hal ini
ikut mempengaruhi pemikiran-pemikiran untuk menerapkan praktik tersebut saat ini.

Kesimpulan
Kekuasaan desa pakraman yang terlalu kuat tanpa diikuti oleh pengembangan pemikiran yang
sesuai dengan perkembangan jaman, membuat praktik sosial di desa pakraman menyimpang dari hal-hal
yang bersifat kemanusiaan. Kekuasaan itu muncul karena desa pakraman mempunyai perlengkapan yang
hampir komplit layaknya sebuah negara. Alat-alat itu bisa dipandang sebagai sumber daya dari desa
pakraman seperti pecalang, awig-awig, wilayah dan penduduk. Disamping itu kekuatan desa pakraman
juga ditunjang oleh fungsinya yang memungkinkan bagi mereka untuk menjaga ketertiban, mengatur
kegiatan keagamaan dan kebudayaan masyarakat.
Kekuasaan yang besar tanpa diikuti oleh kemampuan pengelolaan administarasi yang profesional
dan modern, membuat sering kali terjadi penyimpangan sosial yang disetujui oleh desa pakraman.
Penyimpangan sosial itu misalnya keputusan-keputusan yang di luar kepatutan di jaman sekarang, seperti
kesepekang atau pelarangan penguburan. Keputusan desa pakraman merupakan cerminan dari kekuasaan
yang dimiliki oleh desa pakraman tersebut. Kekurang profesionalan itu disebabkan oleh sikap aparat yang

masih tradisionalis, bersikap ke masa lalu dan kurang adanya sosialisasi tentang perkembangan dan
perubahan sosial dari para elit dan atasan. Atasan dimaksud disini adalah majelis desa pakraman dari
tingkat kabupeten sampai ke pusat. Termasuk juga pembaruan-pembaruan dari tikoh agama.

Saran
Di jaman post modern ini, para pejabat desa pakraman haruslah semakin memahami
perkembangan jaman. Karena itu orientasi kepemimpinan tidak harus kepada tetua atau orang yang
dituakan saja tetapi mereka yang mempunyai pengetahuan dan mampu membaca perkembangan jaman.
Jadi, orang yang masih muda pun boleh memangku jabatan sepanjang dia bisa mengerti perkebangan
jaman. Cara ini bertujuan untuk mencegah adanya tindakan yang menyimpang dari hak asasi manusia
atau di luar kepatutan.
Pemerintah sebagai kelanjutan dari pemerintah pusat di daerah Bali, harus mempunyai kebijakan
dalam hal memberikan sosialisasi, pembekalan pengetahuan terhadap para pejabat desa pakraman.
Pembekalan ini perlu agar pengatahuan mereka tentang perubahan sosial dan perkembangan jaman
bertambah sehingga pola kepemimpinan dan pembuatan keputusan menjadi adil dan manusiawi.

Daftar Pustaka
Covarrubias, Miguel, 1973, Island of Bali, Singapore, Bil Baird.
Duverger, Maurice, 2003, Sosiologi Politik, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Picard, Michael, 2006, Bali: Pariwisata Budaya dan BudayaPariwisata, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Soekanto, Soerjono, 2002, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama

Suasthawa Dharmayuda, I Made, 2001, Desa Adat: Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
di Propinsi Bali, Denpasar, Upada Sastra.
Suka Arjawa, GPB, 2010, Disertasi, ‟Pergeseran Pelaksanaan Ritual Ngaben di Bali‟,
Surabaya, Universitas Airlangga.
Surpha, I Wayan, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Denpasar, Bali Post.