UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN GENDER MELALUI MODEL ROLE PLAYING PADA SISWA KELAS VII SLTP LAB SCHOOL UPI.

(1)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN UUCAPAN TERIMAKASIH

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI………...iii

DAFTAR TABEL DAN BAGAN...v

DAFTAR DIAGRAM...vi

DAFTAR GAMBAR...vii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Rumusan Masalah...14

C. Batasan Istilah...14

D. Tujuan Penelitian...15

E. Manfaat Penelitian...15

F. Metode penelitian...16

G. Lokasi dan Sampel Penelitian...17

BAB II LANDASAN TEORETIS...20

A. Penelitian Terdahulu………...20

B. Teori yang Digunakan...23

C. Model Pembelajaran...38

D. Pendidikan Bagi Anak Usia Sekolah Menengah………....49

BAB III METODE PENELITIAN...63

A. Metode Penelitian...63

C. Teknik Pengumpulan Data...64

D. Teknik Pengolahan Data...71

E. Lokasi, Populasi dan Sampel...72


(2)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...78

A. Obsevasi Awal...78

B. Penerapan Model Role Playing………...83

C. Pembahasan...115

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI...137

A. KESIMPULAN...137

B. REKOMENDASI...143

DAFTAR PUSTAKA...145

LAMPIRAN-LAMPIRAN CURICULUM VITAE...147


(3)

BAB I PENDAHULUAN

I.Latar Belakang Masalah

Fenomena bias gender sangat ramai dibicarakan dalam berbagai waktu dan kesempatan. Gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam berbagai kamus bahasa, pengertian seks (jenis kelamin) dan gender tidak dibedakan secara jelas. Padahal pengertian dan istilah harus betul-betul dibedakan. Jenis kelamin adalah pembagian dua jenis kelamin manusia, yang mengacu pada ciri-ciri biologis. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada laki-laki dan perempuan selamanya serta tidak dapat dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan Tuhan yang disebut kodrat, sedangkan gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Lebih jelasnya gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, bukan kodrat (ketentuan Tuhan), melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial kultural yang panjang (Howard, Judith A & Jocelyn Hollande, 1997: 1-25 )

Gender dikonstruksi oleh masyarakat, sehingga memunculkan pula pengkategorian peran ataupun pekerjaan yang didasarkan atas pertimbangan gender. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam dibenak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan. Sementara itu laki-laki selalu


(4)

2

dikaitkan dengan tugas-tugas di ruang publik. Dalam masyarakat, pengkategorian ini, seolah harga mati, sehingga apabila ada pertukaran peran ataupun tugas antar gender seringkali menimbulkan konflik. Konstruksi gender dalam masyarakat ini berlaku hampir di sebagian besar aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Gender tidak akan diperdebatkan apabila dalam pelaksanaannya, keduanya tidak saling merugikan. Namun apabila ada satu pihak yang merasa dirugikan, maka hal ini akan mengakibatkan konflik.

Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam bukunya yang berjudul ”Bias Gender dalam Pendidikan”, ternyata sarat dengan bias gender. Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki. Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut seolah ingin dikatakan bahwa sifat feminim dan kerja domestik diperuntukkan bagi perempuan, sementara itu sifat maskulin dan kerja publik diperuntukkan bagi laki-laki.


(5)

3

Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis, laki-laki kan nggak boleh cengeng kayak

perempuan". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya,

ia akan mengatakan " Anak perempuan kok naik meja kayak laki-laki, tidak tahu sopan

santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang

boleh menangis, sementara itu hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.

Di beberapa sekolah, saat upacara bendera selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan ditingkat nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah: laki-laki yang membawa bendera pusaka itu.

Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalam upacara resmi sudah selayaknya menjadi tugas perempuan. Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan. Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran


(6)

4

sosial mereka di masa datang. Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut atau bukan laki-laki sejati.

William Pollacek dalam Real Boys (Suciati; Suara Merdeka, Online) menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya. Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami". Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas. Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya. Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang


(7)

5

diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih nan cantik, kulit halus dan lain lain. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya. Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca buku.

Dalam teori Nature atau Kodrat Alam secara biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, rahim, sel telur dan air susu. Apa yang dimiliki laki-laki tersebut tidak dimiliki oleh perempuan demikian sebaliknya. Kodrat fisik yang berbeda berpengaruh pada kondisi psikis masing-masing. Perempuan dengan kodrat untuk melahirkan tersebut berakibat pada perkembangan perangai psikolgis yang dibutuhkan untuk mengasuh anak yang dilahirkan, seperti perangai keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, kasih sayang dan sebagainya. Laki-laki dengna kodrat fisik yang dimilikinya, penis dan produksi sperma yang dapat membuahi indung telur dengan jumlah banyak dengan waktu yang relatif singkat dipandang mempresentasikan fisik laki-laki yang kuat. Kodrat fisik yang kuat berperangai pada psikologi yang tegar dan bahkan kasar. Dengan kodrat fisik dan psikologis tersebut, laki-laki berperan di sektor publik yang keras, sekaligus memberikan perlindungan terhadap pihak yang lebih lemah yaitu perempuan (Budiman, 1985: 14).

Pandangan tersebut diatas terlihat dalam perlakuan siswa-siswa di sekolah ketika dalam upacara bendera, biasanya barisan siswa perempuan selalu berada didepan barisan laki-laki yang menganggap bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki.


(8)

6

Berbeda denga teori Nurture yang merupakan ”bantahan” dari teori nature. Teori ini tidak setuju bahwa pemilahan posisi dan peran laki-laki-perempuan merupakan kodrat alam. Faktor biologis tidak menyebabkan keunggulan laki-laki terhadap perempuan, pemilahan sekaligus pengunggulan laki-laki disebabkan elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing-masing (Sanderson, 1995: 409). Dengan demikian apa yang disebut dengan sifat kelelakian dan kewanitaan merupakan hasil pemupukan melalui kebudayaan, lebih khususnya pendidikan.

Menurut teori kebudayaan dengan perspektif materialis, terjadinya keunggulan laki-laki terhadap perempuan karena dikonstruksi oleh budaya karena pemilikan benda yang bersifat komunal menajdi milik pribadi. Menurut Sanderson, (1995: 412), rumah tangga dan hak milik yang ada didalamnya menjadi milik dan tanggung jawab bersama. Perempuan memiliki hak dan kontribusi yang sama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Namun dalam berkembangnya hak milik pribadi, kesetaraan tersebut bergeser. Laki-laki memiliki peluang untuk memiliki hak milik pribadi, karena laki-laki tidak disibukkan oleh tanggung jawab mengandung dan mengurus anak, akibatnya laki-laki lebih leluasa meraih dan memilikinya.

Menurut Faqih, (1999: 7-8) yang dikutip oleh Darma, (2006: 6) gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Lebih jelasnya gender adalah perbedaan perilaku atau behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, bukan kodrat atau ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui suatu proses kultural yang panjang.


(9)

7

Gender, sebagaimana teori yang dikemukakan diatas melahirkan atau memunculkan dikotomi sifat dan peran antara laki-laki dan perempuan. Dikotomi tersebut bersifat feminin untuk perempuan dan mskulin untuk laki-laki. Perbedaan sifat ini diakibatkan oleh kondisi fisik laki-laki dan perempuan yang berbeda sehingga memunculkan sifat-sifat diatas yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Peran domestik untuk perempuan dan peran publik untuk laki-laki (Mosse, 1996 dalam Muthli`in, 2001: 30). Pemilahan peran domestik dan publik merupakan kelanjutan dari sifat feminin dan maskulin tersebut disosialisasikan sejak dini di lingkungan keluarga. Sifat dan peran tersebut saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya dan sulit dipisahkan secara tegas.Selanjutnya Faqih dalam Darma, (2006: 7) menguraikan bahwa perempuan di masyarakat terkenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sedangkan laki-laki dikenal kuat, jantan, rasional dan perkasa. Perbedaan ciri-ciri dan sifat-sifat ini dapat terjadi dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain. Hal inilah yang dikenal dengan konsep gender. Jadi, gender bukanlah kodrat, melainkan peran yang ditampilkan oleh budaya yang menempatkan laki-laki menjadi feminin dan maskulin. Konsep ini sesuai dengan pengertian gender menurut Mosse (1996: 3) dalam Darma (2006: 6), yang membatasi pengertian gender sebagai seperangkat peran.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada diri laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural. Gender dalam hal ini didefinisikan dari sudut nonbiologis antara laki-laki dan perempuan. Gender merupakan kondisi sosiokultural atau kategori sosial yaitu maskulin dan feminin yang tercermin dalam perilaku, keyakinan dan organisasi sosial, oleh karena itu gender merupakan konsep sosial.


(10)

8

Problem gender yang meliputi peran gender (gender role), kesetaraan gender (gender

equality) dan ketidaksetaraan gender (unequality gender) selalu dibahas, dipertanyakan,

dan diperdebatkan dalam agenda-agenda gerakan feminisme. Diskursus problem ini tidak terletak pada perbedaan maskulinitas dan feminitas (gender difference), tetapi terletak pada suatu kenyataan bahwa perbedaan itu melahirkan sebuah perlakuan yang timpang, yakni yang disebut dengan ketidakadilan gender (Suhendi, 2006: 13).

Ketidakadilan gender (unequality gender) dapat dirasakan oleh siswa laki-laki pada situasi pembelajaran seni tari di sekolah. Di beberapa sekolah, pembelajaran tari hanya diikuti atau diperuntukkan bagi siswa perempuan saja, sedangkan siswa laki-laki tidak mengikuti. Siswa laki-laki cenderung tidak mau menari, karena menganggap bahwa pembelajaran tari feminin. Dengan demikian guru menggantikannya dengan pelajaran lain yang dianggap lebih maskulin. Padahal pembelajaran seni di sekolah diperuntukkan dan harus diikuti oleh seluruh siswa, perempuan maupun laki-laki, yang berminat maupun yang tidak berminat dan yang berbakat maupun tidak berbakat.

Anggapan bahwa pembelajaran seni tari feminin, karena seringkali guru memaksakan salah satu tarian ( yang notabane, tarian putri ) yang dikuasainya untuk diikuti oleh seluruh siswa baik laki-laki ataupun perempuan tanpa penjelasan dan pemahaman terlebih dahulu. Akibatnya siswa menjadi terbebani dan merasa tidak senang dengan pelajaran seni tari. Terlebih lagi siswa laki-laki yang merasa seolah-seolah dipermalukan oleh guru karena harus menari putri. Akibatnya nilai serta manfaat yang terkandung dalam pendidikan seni tari bagi perkembangan siswa akan hilang dan memudar, malah hal tersebut akan memperkuat citra bahwa tari memang identik dengan perempuan.


(11)

9

Pada umumnya siswa laki-laki merasa malu apabila melakukan gerakan-gerakan yang feminim, karena sudah dikonstruksi secara sosial bahwa gerakan-gerakan feminim adalah hanya biasa dilakukan oleh anak perempuan. Siswa laki-laki juga berpandangan bahwa laki-laki harus selalu maskulin, kuat, jantan, perkasa, yang hal itu ditandai dengan sejumlah ciri-ciri fisik tertentu, yakni: mempunyai otot lebih besar, kaki dan tangan yang panjang, serta stamina yang kuat untuk melakukan berbagai macam aktivitas.

Permasalahan inipun dirasakan pula oleh Robbi Hidayat ( 2005, ) yang menegaskan sebagai berikut.

”keberadaan tari di kegiatan intra juga mengeliminir persepsi anak yang mendeskriditkan tari sebagai kegiatan wanita, jika anak laki-laki menari maka akan dicemooh sebagai ”banci”. Soedarsono mengamati, seni tari umumnya lebih banyak diminati oleh wanita dibanding laki-laki. Ternyata Soedarsono menemukan jawaban setelah melontarkan pertanyaan tersebut pada John Martin, seorang penulis dan kritikus terkemuka di Amerika. Kenyataan ini yang sama sekali tidak pernah diperhatikan oleh banyak guru, membiarkan kondisi tersebut berjalan dengan tidak ada upaya pemberian pengertian . Akibatnya, sifat maskulin anak laki-laki akan mendominasi diri mereka dan bahkan diperkuat dengan olahraga yang keras, seperti karate, sepak bola dan kegiatan yang dirasakan lebih jantan. Anak-anak wanita mencari kegiatan-kegiatan yang cenderung mengukuhkan dirinya femininnya dalam kegiatan menari. Menyimak hal tersebut, pendidikan tari memiliki relevansi sebagai media pendidikan yang memberikan pemahaman gender. Bahwa seni tari sebagai pengalaman estetik melalui gerak tubuh tidak membedakan laki-laki dan wanita. Tujuan seni tari yang mendasar adalah tidak untuk memutrikan laki-laki atau memutrakan wanita, akan tetapi sebagai media untuk memberikan keseimbangan emosional yang dimiliki oleh laki-laki atau wanita. Agar laki-laki dan wanita mampu berkomunikasi secara wajar, tidak memiliki jarak emosional yang berlebihan ”.

Dari masalah yang dikemukakan oleh peneliti serta diperkuat dengan pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dari sudut psndsng sisws laki-laki terdapat ketidakadilan gender dalam pembelajaran pendidikan seni tari di sekolah formal.

Ketidakadilan gender dalam pembelajaran seni tari di sekolah formal berbanding terbalik dengan ketidakadilan gender yang sering ditemukan di masyarakat. Dimana


(12)

10

kenyataan di masyarakat biasanya kaum perempuan yang mengalami diskriminasi dalam berbagai hal, tetapi dalam pembelajaran seni tari di sekolah formal siswa laki-lakilah yang mengalami diskriminasi. Siswa laki-laki tidak mendapatkan hak yang sama dalam menerima pembelajaran seni tari karena anggapan bahwa seni tari adalah milik perempuan.

Apabila peneliti lihat lebih jauh, sebenarnya dalam seni pertunjukan tradisional seringkali terdapat pergantian peran anatara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki sering membawakan tarian putri dan perempuan membawakan tarian putra. Sebagai contoh dalam pertunjukan wayang orang, peran Arjuna atau Sri Rama sering sekali dibawakan oleh penari putri, kareana karakter serta geraknya yang begitu lembut hampir menyerupai perempuan. Demikian pula dengan pertunjukan tari topeng Cirebon, dimana dari sekian banyak dalang topeng yang ada, yang sering muncul dan dikenal namanya, bahkan sampai diberikan penghargaan adalah dalang-dalang topeng perempuan seperti Mimi Sawitri, dan Mimi Rasinah. Mereka merupakan jawara-jawara panggung ketika menarikan tari topeng, terlebih lagi ketika menarikan tari topeng Klana, yang memiliki karakter sangat gagah (Danawa), sifat perempuannya hilang, tuanya hilang, rentanya hilang, dan berubah menjadi sosok karakter laki-laki yang luar biasa bengis. Lain halnya dengan pertunjukan Opera Beijing, dimana Meifang, seorang putri yang diperankan oleh laki-laki. Kemudian dalam tari Umbul di Sumedang, laki-laki yang berperan menjadi wanita dalam menari, serta penari jaranan pada pertunjukan Reog Ponorogo penari laki-laki yang dirias cantik menyerupai wanita. Kenyataan tersebut merupakan sebuah fenomena yang perlu dipikirkan dan dicari alternatif jawabannya, bagaimana terwujudnya


(13)

11

kesadaran pemahaman gender dalam pembelajaran seni tari di sekolah formal, yang dirasakan oleh seluruh siswa baik siswa laki-laki ataupun siswa perempuan.

Untuk menyikapi permasalahan di atas seorang guru atau pendidik seni diharapkan memiliki kemampuan untuk menyampaikan, menjelaskan dan menjadikan pembelajaran tari lebih menarik, menyenangkan, kreatif, dan dapat diikuti oleh semua siswa tanpa adanya ketidakadilan gender, atau dengan kata lain pembelajaran seni tari ini berwawasan gender, sehingga manfaat dan nilai yang terkandung dalam pembelajaran seni tari dapat di rasakan secara nyata oleh seluruh siswa. Salah satu upaya guru untuk mewujudkan harapan tersebut adalah dengan strategi pembelajaran yang tepat, dan didukung oleh model pembelajaran yang sesuai. Model pembelajaran merupakan suatu hal yang penting dalam proses belajar mengajar, dan dapat diartikan sebagai bagian dari strategi belajar mengajar. Pernyataan di atas senada dengan pendapat Oemar Hamalik (1993 : 79 ) sebagai berikut.

”Strategi pembelajaran merupakan pola umum untuk mewujudkan proses belajar mengajar dan siswa serta guru terlibat didalamnya secara aktif. Pola umum dapat juga disebut model pembelajaran. Model adalah barang tiruan dari gejala atau hidup yang nyata. Berfungsi untuk mencoba meningkatkan gejala yang nyata dalam kehidupan yang sangat kompleks”.

Oleh karena itu guru perlu mengetahui sekaligus menguasai model-model pembelajaran, guna mempermudah penyampaikan materi atau bahan pelajaran pada siswa.

Permasalahan di atas menarik perhatian peneliti untuk mengkajinya lebih mendalam. Salah satu cara atau strategi yang akan peneliti lakukan adalah dengan menerapkan salah satu model, yakni model Role Playing ( Bermain Peran ) .


(14)

12

Role playing pada awal mulanya dipergunakan bagi kepentingan layanan bimbingan

dan psioterapi. Akan tetapi model ini dapat juga diterapkan dalam pendekatan pengajaran. Sejumlah ahli telah mengujicobakannya secara berhasil. Diantara ahli-ahli itu yang karyanya menjadi acuan utama model mengajar ini ialah Fannie Shaftel dan George Shafel. Dari beberapa referensi yang peneliti temukan baik di internet maupun dalam bentuk buku, makalah ataupun karya tulis lain, model ini biasa digunakan dalam mata pelajaran sosial, seperti sejarah, geografi, juga bahasa. Proses singkatnya yakni, mengidentifikasi masalah, menentukan peran, membagi peran, kemudian bermain peran. Setelah pemeranan selesai maka siswa dan guru melakukan diskusi atas pemeranan yang telah dilakukan. Diskusi tersebut membahas dua hal, yang pertama kesesuaian peran, dan yang kedua alternatif jawaban dari masalah yang diajukan, ini berhubungan dengan skenario yang dibuat. Apakah alur cerita mendukung terhadap masalah yang diajukan atau tidak. Setelah diskusi, maka pertunjukan dimulai kembali dengan pemeran yang berbeda dan diakhiri dengan diskusi kembali. Hal tersebut dilakukan agar siswa menemukan berbagai alternatif jawaban dari suatu masalah yang diajukan. Demikian langkah- langkah singkat dalam pelaksanaan model role playing yang biasa dilakukan pada mata pelajaran umum di sekolah.

Dalam mata pelajaran seni tari model ini perlu diadaptasi, dan disesuaikan dengan karakteristik pembelajaran seni tari namun tetap mengacu pada syntax yang telah di tepatkan. Mengingat bahawa substansi baku dari tari adalah gerak, maka pemeranan yang biasanya menggunakan bahasa lisan saja, kini lebih didominasi dengan bahasa gerak. Artinya, dalam melakukan pemeranan siswa dituntut untuk berekspresi melalui gerak.


(15)

13

Peneliti memilih model role playing untuk dijadikan salah satu alternatif jawaban dari masalah di atas. Adapun dasarnya, pertama, poin terpenting dari model pembelajaran

role playing adalah pemeranan. Siswa diajak untuk bermain peran menjadi orang lain,

baik peran yang sesuai dengan jenis kelaminnya ataupun yang tidak sesuai, dan untuk itu siswa dituntut harus bersungguh-sungguh memainkan perannya sebaik mungkin agar terlihat bagus dan sesuai dengan apa yang diperankannya. Saat siswa berusaha untuk memerankan sesuatu, sesungguhnya ia dalam proses memahami peran yang dibawakannya. Proses pemahaman peran ini sangat berharga, karena melalui kegiatan ini secara tidak langsung siswa dilatih untuk mencermati peran tersebut. Hasil yang diharapkan dari siswa setelah memahami peran tersebut, ia dapat lebih menghargai tentang peran tersebut.

Apabila peneliti perhatikan, ketika siswa menarikan salah satu tarian secara tidak langsung ia sedang bermain peran. Ia memainkan peran sesuai dengan tema tarian yang dibawakan, sebagai contoh, ketika siswa membawakan tari merak, maka siswa tersebut sedang memerankan burung merak. Itu berarti model role playing memiliki hubungan yang dekat dengan kegiatan menari, sehingga peneliti akan lebih mudah dalam menerapkan model tersebut. Dasar kedua adalah dengan proses pemeranan siswa tidak merasa terbebani untuk menari, terlebih lagi siswa laki-laki ketika melakukan gerakan yang lembut, karena fokus yang mereka perhatikan adalah pemeranannya dan bukan menari. Ini merupakan strategi yang baik agar siswa mau melakukan proses kreatif dalam eksplorasi geraknya serta merangsang tumbuhnya pemahaman kesadaran gender dalam dirinya. Dalam seni tari, gender dikonstruksi oleh gerak, rias dan busana, properti, dan dialog yang dilakukan. Untuk ini, pemahaman kesadaran gender bagi siswa dalam


(16)

14

pembelajaran seni tari, semestinya dapat dicapai dengan metode role playing. Melalui metode role playing perubahan ataupun peningkatan pemahaman gender siswa dicermati baik dari sisi pikiran, sikap, maupun perilakunya.

Kedua dasar tersebut menjadi pegangan peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul ” Upaya Peningkatan Pemahaman Gender melalui Model Role playing Dalam

Pembelajaran Seni Tari pada Siswa Kelas VII SLTP LAB SCHOOL UPI ”

II. Rumusan Masalah

Dari permasalahan yang muncul, peneliti menghimpun serta merumuskannya sebagai berikut

1. Bagaimana tahapan model role playing untuk mningkatkan pemahaman gender dalam pembelajaran seni tari pada siswa kelas VII SLTP Lab School UPI ?

2. Bagaimana siswa menyikapi persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran tari di kelas VII SLTP Lab Scool UPI ?

III. Batasan Istilah A. Model Role Playing

Role playing ini pada awal mulanya dipergunakan bagi kepentingan layanan bimbingan dan psikotherapi. Akan tetapi model ini dapat juga diterapkan dalam pendekatan pengajaran. Sejumlah ahli telah mengujicobakannya secara berhasil. Diantara ahli-ahli itu yang karyanya menjadi acuan utama model mengajar ini ialah Fannie Shaftel dan George Shafel. Model role playing membawa siswa untuk belajar melalui pemeranan atau peragaan dalam memecahkan sebuah masalah ( problem solving ) dan hasil dari


(17)

15

pemeranan tersebut didiskusikan untuk mendapatkan berbagai alaternativ jawaban. Dalam penelitian ini model tersebut diadaptasi sesuai dengan kebutuhan penelitian dalam bidang pendidikan seni tari.

B. Pemahaman Gender

Pemahaman gender dalam penelitian ini adalah pemahaman persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajarn seni tari yang tercermin melalui pola pikir, sikap, dan prilaku motorik,

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana model role

playing dapat menumbuhkan pemahaman gender pada siswa dalam proses pembelajaran

seni tari pada kelas VII SLTP Lab School UPI.

1. Memahami mengenai tahapan pembelajaran model role playing untuk memberikan pemahaman gender pada siswa kelas VII SLTP Lab School UPI 2. Memahami tentang sikap, pola pikir, serta prilaku motorik siswa dalam

menyikapi perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran tari di kelas VII SLTP Lab Scool UPI

IV. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu alternatif dalam melaksanakan penbelajaran pendidikan seni tari. Secara khusus penelitian ini pun dapat bermanfaat bagi:


(18)

16

A. Guru

a. Sebagai salah satu model pengajaran bagi para pendidik seni tari dalam melaksanakan pembelajan seni tari di sekolah.

b. Sebagai sumber acuan dalam melaksanakan model role playing pada proses pembelajaran seni tari.

B. Peneliti

a. Memberikan pengetahuan mengenai dampak penerapan model role

playing pada pembelajaran seni tari.

b. Memahami lebih mendalam mengenai penerapan model role playing, dalam proses pembelajaran seni tari.

c. Sebagai upaya nyata dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki keseimbangan emosional yang matang melalui pembelajaran seni tari.

V. Metode Penelitian

Penelitian ini berupaya untuk membahas dan memaparkan tentang perubahan kualitas pemahaman gender siswa dalam pembelajaran seni tari melalui role playing. Dengan demikian penelitian ini termasuk pada penelitian kualitatif, meskipun dalam mengamati perubahan perilaku siswa digunakan diagram perkembangan pemahaman gender siswa yang menggunakan prosentase sebagai penanda adanya perkembangan tersebut. Prosentase ini digunakan untuk memperjelas adanya perubahan pemahaman siswa tentang gender. Prosentase ini didasarkan atas indikator-indikator perubahan pemahaman siswa baik dari aspek pikir, sikap, maupun perilaku. Namun demikian, pada pembahasan


(19)

17

hasil penelitian, prosentase tersebut akan diuraikan sesuai dengan indikator yang termuat dalam diagram tersebut.

Untuk pemaparan data-data hasil penelitian, maka peneliti akan menggunakan metode deskripsi analisis. Data penelitian mengenai tahapan pembelajaran role playing yang dapat meningkatkan pemahaman gender akan dipaparkan dan diuraikan secara rinci. Selanjutnya data mengenai perubahan pemahaman kesadaran gender yang dialami oleh siswa selama proses pembelajaran seni tari juga akan diungkapkan secara terinci. Pemaparan dan penggambaran proses pembelajaran role playing akan dilakukan setiap pertemuan. Dengan demikian data-data yang berkaitan dengan proses perubahan pikiran, sikap, dan perilaku siswa tentang pemahamannya terhadap gender dapat digambarkan secara jelas dan rinci. Hasil deskripsi tersebut kemudian diolah dan dianalisis dengan beberapa teori gender, dan pendidikan untuk mendapatkan satu kesimpulan.

Teknik pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah, observasi, wawancara studi dokumentasi, studi literatur, diagram perkembangan, dan angket. Seluruh data yang berhasil peneliti kumpulkan akan diolah melalui reduksi data, display data atau penyajian data, pengambilan kesimpulan dan verifikasi data. Untuk lebih jelasnya peneliti akan membahas mengenai metode penelitian dalam bab yang terpisah, yakni bab tiga.

VI. Lokasi dan Sampel Penelitian A. Lokasi Penelitian

Konteks penelitian mencakup situasi dan kondisi obyektif yang terjadi di lapangan, dalam hal ini iklim pembelajaran seni tari diSLTP Lab Scool UPI. Adapun yang menjadi


(20)

18

pertimbangan peneliti memilih SLTP Lab Scool UPI ini, sebagai lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

1. Setelah peneliti melakukan observasi awal ternyata peneliti melihat bahwa siswa kelas VII di SLTP Lab Scool masih memilki pandangan bahawa pembelajaran seni tari untuk siswa perempuan saja.

2. Peneliti memilIki pemikiran bahwa Lab Scool UPI harus menjadi contoh bagi SLTP yang lain dalam setiap pembelajarnnya, termasuk pendidikan seni tari, karena Lab Scool terletak di UPI yang nota bene para peneliti dan praktisi pendidikan.

3. Salah satu prinsip penelitian adalah efektif dan efesien. Lab scool terletak di lingkugan kampus UPI satu lokasi dengan tempat kuliah peneliti dan pembimbing peneliti berada, sehingga dapat memudahkan peneliti dalam melakukan bimbingan dan konsultasi kepada pembimbing dalam melakukan penelitian. Berdasarkan pertimbangan di atas maka peneliti merasa tepat untuk mengadakan penelitian di sekolah tersebut .

B. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh siswa - siswi kelas VII, dalam hal ini peneliti mengambil kelas VII dengan alasan bahwasannya materi yang akan dipeneliti sampaikan adalah untuk siswa kelas VII , alasan lainnya adalah pertimbangan perkembangan gender remaja awal yang baru mulai, sehingga siswa akan terlebih dahulu paham akan gender. C. Sampel

Peneliti mengambil sampel untuk penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII (b) sebanyak 31 siswa yang terdiri dari 18 siwa laki – laki dan 13 siswa perempuan, dengan


(21)

19

alasan yakni sesuai dengan kebutuhan penelitian, dimana siswa di kelas VII (b) lebih banyak siswa laki-laki dibandingkan dengan kelas lainnya, teknik yang digunakan adalah teknik purposive sampling teknik ini digunakan apabila peneliti punya pertimbangan tertentu dalam menetapkan sampel sesuai dengan tujuan penelitian ( Satori dan Komariah, 2009 ,48 ).

Tujuan peneliti adalah ingin melihat tumbuhnya pemahaman gender paad siswa melalui model role playing dalam proses pembelajaran seni tari, karena yang mendapat perlakuan adalah seluruh siswa kelas VII (b), maka peneliti ingin melihat perkembangan siswa secara keseluruhan. Sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa – siswi kelas VII (b) dengan jumlah 31 siswa.


(22)

BAB III

METODE PENELITIAN

I. Metode Penelitian

Penelitian ini berjudul “Upaya Peningkatan Pemahaman Gender melalui model

role playing Pada Pembelajaran Seni Tari bagi Siswa Kelas VII (b) SLTP Lab. School

UPI”. Penelitian ini berupaya untuk membahas dan memaparkan tentang perubahan kualitas pemahaman gender siswa dalam pembelajaran seni tari melalui role playing. Penelitian ini termasuk pada penelitian kualitatif, meskipun dalam mengamati perubahan perilaku siswa digunakan diagram perkembangan pemahaman gender siswa yang menggunakan prosentase sebagai penanda adanya perkembangan tersebut. Prosentase ini digunakan untuk memperjelas adanya perubahan pemahaman siswa tentang gender. Prosentase ini didasarkan atas indikator-indikator perubahan pemahaman siswa, baik dari aspek pikir, sikap, maupun perilaku motorik. Indikator tersebut ditetapkan berdasarkan hasil panduan dari survei awal dan indikator capaian selama proses pembelajaran. Namun demikian, pada pembahasan hasil penelitian, prosentase tersebut akan diuraikan sesuai dengan indikator yang termuat dalam diagram tersebut.

Untuk pemaparan data-data hasil penelitian, maka peneliti akan menggunakan metode deskripsi analisis. Data penelitian mengenai tahapan pembelajaran role playing yang dapat meningkatkan pemahaman gender serta perubahan pemahaman kesadaran gender yang dialami oleh siswa selama proses pembelajaran seni tari akan dipaparkan dan diuraikan secara rinci. Pemaparan dan penggambaran proses pembelajaran role playing akan dilakukan setiap pertemuan. Dengan demikian data-data yang berkaitan dengan


(23)

64

proses perubahan pikiran, sikap, dan perilaku siswa tentang pemahamannya terhadap gender dapat digambarkan secara jelas. Hasil deskripsi tersebut kemudian diolah dan dianalisis dengan beberapa teori gender, dan pendidikan untuk mendapatkan satu kesimpulan.

II. Teknik Pengumpulan Data A. Observasi

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan dua jenis observasi. Pertama, yakni observasi yang dilakukan sebelum perlakuan atau pembelajaran dilakukan. Kedua, observasi yang dilakukan selama perlakuan berlangsung atau selama proses pembelajaran.

Observasi sebelum perlakuan ditujukan kepada: (1) siswa kelas VII b SLTP Lab School UPI, (2) pembelajaran seni tari di SLTP Lab Scholl UPI, (3) guru pembelajaran seni tari, dan (4) lokasi sekolah.

`Observasi yang ditujukan bagi siswa, dilakukan untuk mengamati kondisi awal keadaan siswa. Dalam hal ini peneliti mengamati sikap dan perilaku siswa tentang pemahaman gender. Berdasarkan hasil observasi ini diperoleh data bahwa pemahaman gender siswa pada pembelajaran seni masih dipengaruhi oleh konstruksi gender yang berlaku di masyarakat umum. Anggapan awal siswa, pembelajaran seni tari hanya berlaku untuk siswa perempuan.

Observasi tentang pembelajaran seni tari dilakukan untuk melihat proses pembelajaran seni yang berlangsung di sekolah tersebut. Berdasarkan hasil observasi, didapat data bahwa pembelajaran seni tari yang berlaku di sekolah ini masih


(24)

65

menggunakan materi yang tidak dapat mengakomodir kemampuan siswa perempuan dan laki-laki.

Observasi mengenai lokasi penelitian dilakukan untuk mengetahui letak sekolah, dan sarana dan prasarana yang dipunyai oleh sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran seni tari. Berdasarkan hasil observasi, SLTP Lab School mempunyai sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran seni tari.

Observasi yang ditujukan untuk guru seni tari di SLTP Lab School UPI dilakukan untuk mendapatkan data mengenai: materi yang digunakan dalam pembelajaran, metode yang digunakan guru dalam pembelajaran, media pembelajaran yang digunakan guru. Berdasarkan data yang diperoleh dalam observasi ini, maka guru seni tari di SLTP Lab School telah melaksanakan pembelajaran seni tari yang sesuai dengan tuntutan KTSP. Namun demikian, pembelajaran seni tari yang ditujukan untuk peningkatan pemahaman gender, ataupun pembelajaran seni tari yang menggunakan metode role playing belum pernah diterapkan di sekolah ini.

Adapun observasi yang dilakukan selama perlakuan berlangsung lebih ditujukan kepada siswa SLTP Lab School UPI. Pengamatan ditujukan pada perkembangan kesadaran pemahaman gender siswa melalui berbagai tahapan pembelajaran role playing. Dalam setiap pertemuannya perubahan pikir, sikap, dan perilaku siswa tentang gender akan dicatat secara rinci.

Jenis observasi yang peneliti lakukan adalah observasi berperanserta ( participant

observation ). Dalam observasi ini peneliti berperan serta dalam memberikan treatment.

Peneliti berperan sebagai peneliti sekaligus guru kelas. Dasar pertimbangan peneliti menjadi participant observer yakni peneliti dapat mengamati secara langsung respon


(25)

66

serta perkembangan siswa secara detil disetiap pertemuan. Selanjutnya, hasil perkembangan siswa setelah selesai pembelajaran dapat dijadikan data untuk menyempurnakan tahapan pembelajaran selanjutnya.

B. Studi Literatur

Untuk menganalisis data-data hasil penelitian, peneliti mencari beberapa literatur yang terkait dengan judul penelitian ini. Studi literatur yang dilakukan peneliti antara lain: (1) mempelajari beberapa buku yang terkait dengan permasalahan gender di masyarakat, (2) mempelajari buku-buku yang memaparkan berbagai persoalan gender yang terjadi di dunia pendidikan, dalam hal ini buku yang mengupas tentang persoalan gender di pembelajaran seni tari agak sulit untuk ditemukan, (3) mempelajari role

playing, (4) mempelajari beberapa buku yang terkait dengan metodologi penelitian

kualitatif, dan (5) beberapa buku seni dan pendidikan seni yang terkait dengan gender dan

role playing. Selain buku, digunakan pula data bandingan untuk melengkapi analisis yang

terdapat dalam beberapa sumber seperti: majalah, koran, tesis, artikel, jurnal, internet dan berbagai buku pelajaran sekolah yang berkaitan langsung dengan masalah pendidikan kesenian dan konsep-konsep pendidikan seni dan pendidikan kesenian secara universal.

C.Wawancara

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti ditujukan kepada seluruh siswa kelas VII b SLTP Lab School UPI sebagai objek penelitian. Kegiatan wawancara ini ditempuh melalui dua cara yakni: (1) tanya jawab langsung, dan (2) pemaparan oleh siswa sendiri berupa tulisan tentang kesan-kesannya dalam mengikuti proses pembelajaran yang


(26)

67

peneliti lakukan. Wawancara untuk siswa difokuskan untuk menjaring data mengenai tanggapan siswa mengenai pemahaman gender dalam pembelajaran seni tari. Wawancara kepada siswa dilakukan pada pertemuan awal dan pertemuan yang terakhir. Dari hasil yang didapat dari wawancara dengan siswa, didapatkan data bahwa sebagian besar siswa mengalami perubahan pemahaman gender setelah mengalami pembelajaran tari yang menggunakan role playing.

Wawancara pada guru seni tari dimaksudkan untuk mengetahui gambaran secara jelas mengenai pemahaman gender siswa sebagai sasaran penelitian, baik ditinjau dari pikiran, sikap, dan perilakunya. Wawancara ini digunakan sebagai data awal tentang pemahaman gender siswa kelas VII b SLTP Lab School UPI.

Wawancara pada kepala sekolah ditujukan untuk mendapat data mengenai tanggapan dari pihak-pihak berkepentingan di atas terhadap hasil penelitian ini. Data ini digunakan sebagai pelengkap analisis tentang pemahaman gender siswa kelas VII b SLTP Lab School UPI.

D. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi yang peneliti lakukan dalam penelitian ini diantaranya: (1) melakukan pengambilan gambar pada saat pembelajaran berlangsung berupa foto, dan (2) melakukan perekaman video saat pembelajaran. Studi dokumentasi melalui video ini sangat dibutuhkan oleh peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti berlaku sebagai guru yang menerapkan pembelajaran sekaligus juga pengamat. Oleh karena itu konsentrasi peneliti akan terpecah, sehingga tidak semua peristiwa yang terjadi selama proses pembelajaran dapat dicermati dan diingat dengan baik oleh peneliti. Memahami keterbatasan ini, maka


(27)

68

perekaman video dilakukan dalam setiap pertemuan. Dengan demikian perubahan pikir, sikap dan perilaku siswa tentang pemahaman gender dapat lebih dicermati dengan seksama.

E. Diagram Perkembangan Siswa

Salah satu bentuk pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah melalui diagram perkembangan siswa, yang peneliti tentukan berdasarkan rata-rata perkembangan kemampuan siswa dan berpedoman pada kriteria-kriteria pemahaman gender yang peneliti buat. Adapun kriteria ataupun indikatornya meliputi perkembangan pemahaman gender siswa baik ditinjau dari pikiran, sikap, dan perilaku. Setiap aspek dari indikator bernilai 33 % , sehingga jumlah dari ketiga aspek tersebut yakni 100%. Diagram tersebut sebagai gambaran nyata perkembangan siswa dalam bentuk angka presentasi dalam setiap pertemuan. Adapun kriteria yang diukur dan bentuk diagramnya sebagai berikut.

Diagram I Observasi Awal

Rata-rata Perkembangan Siswa 10

5 5

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1 2 3 4

Observasi Awal

Pikir Sikap


(28)

69

F. Indikator Pemahamn Gender Siswa 1. Pikir (Kognitif)

Pengetahuan, Aplikasi, dan Analisis

a. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu menjelaskan dan mengemukakan ide atau gagasannya mengenai persamaan dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari .

b. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu menerapkan ide serta gagasan mengenai persamaan dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari.

c. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu membedakan peran yang dibawakan, sesuai dengan karakter yang dibangun dan mampu memberikan argumentasi denagan apa yang mereka lakukan .

2. Sikap (Afektif)

Penerimaan, Tanggapan dan Penghargaan

a. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu menerima persamaan dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran tari.

b. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu memberikan respon serta tanggapannya terhadap persaman dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari.

c. Siswa laki-laki dan siswa perempuan menghargai persamaan dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari.


(29)

70

3. Prilaku Motorik ( Psikomotor )

a. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu memahami persamaan dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dengan melakukan gerak halus dan kasar secara bersama-sama dalam pembelajaran tari.

b. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu memahami persamaan dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dengan melakukan gerak lembut dan kuat secara bersama-sama dalam pembelajaran tari.

c. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu membawakan peran yang sama dan berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari

G. Angket

Pada pertemuan terakhir, sekaligus sebagai evaluasi hasil pembelajaran, peneliti membagikan angket pada siswa. Angket ini terdiri dari lima soal pilihan ganda dan empat buah soal uraian. Pertanyaan yang diajukan peneliti pada siswa menitikberatkan pada pemahaman gender siswa. Pemahaman gender yang dimaksud dalam angket ini meliputi perubahan pikiran, sikap, dan perilaku siswa setelah mengalami pembelajaran seni tari yang menggunakan role playing. Dari hasil angket, didapatkan data bahwa sebagian besar siswa mengalami peningkatan pemahaman gender. Hasil angket ini digunakan pula untuk mengisi diagram perkembangan pemahaman gender.


(30)

71

III .Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data bertujuan untuk mendaptkan suatu informasi yang akurat dan valid, sehingga dapat digunakan untuk menentukan suatu keputusan. Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam mengolah data yakni:

A. Reduksi Data

Data hasil penelitian yang didapat dari wawancara, observasi, dan angket selanjutnya diidentifikasi dan dikategorikan, kemudian direduksi. Adapun aspek-aspek permasalahan yang direduksi dalam penelitian ini didasarkan pada rumusan masalah, yakni (1) tahapan pembelajaran role playing untuk meningkatkan pemahaman gender siswa, dan (2) tanggapan siswa dalam menyikapi perbedaan peran dalam pembelajaran seni tari.

B. Display Data atau Penyajian Data

Data yang didapat dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi kemudian dikategorikan, dianalisis, dibahas sesuai dengan rumusan masalah. Pemaparan data dimulai dari tahapan pembelajaran role playing yang dapat meningkatkan pemahaman gender siswa, selanjutnya dipaparkan mengenai perubahan pemahaman siswa tentang gender dalam pembelajaran seni tari baik ditinjau dari pikiran, sikap, maupun perilaku siswa.

C. Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi Data

Setelah membahas rumusan masalah tahapan pembelajaran role playing yang dapat meningkatkan pemahaman gender siswa, selanjutnya dipaparkan mengenai


(31)

72

perubahan pemahaman siswa tentang gender dalam pembelajaran seni tari baik ditinjau dari pikiran, sikap, maupun perilaku siswa, kemudian peneliti membuat benang merah dari kedua rumusan masalah tersebut.

Dalam penelitian ini seluruh data yang berhasil dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi, hasil angket serta diagram perkembangan siswa, kemudian dikaitkan dengan teori yang peneliti gunakan diolah dengan menggunakan metode deskripsi analisis. Hasil yang didapat adalah berupa gambaran hasil penelitian dalam bentuk pemaparan secara deskripsi yang kemudian dianalisis berdasarkan data yang didapat serta teori yang digunakan.

IV. LOKASI, POPULASI dan SAMPEL A. Lokasi Penelitian

Konteks penelitian mencakup situasi dan kondisi obyektif yang terjadi di lapangan, dalam hal ini iklim pembelajaran seni tari diSLTP Lab Scool UPI. Adapun yang menjadi pertimbangan peneliti memilih SLTP Lab Scool UPI ini, sebagai lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

1. Setelah peneliti melakukan observasi awal ternyata peneliti melihat bahwa siswa kelas VII di SLTP Lab Scool masih memilki pandangan bahawa pembelajaran seni tari untuk siswa perempuan saja.

2. Peneliti memilIki pemikiran bahwa Lab Scool UPI harus menjadi contoh bagi SLTP yang lain dalam setiap pembelajarnnya, termasuk pendidikan seni tari, karena Lab Scool terletak di UPI yang nota bene para peneliti dan praktisi pendidikan.


(32)

73

3. Salah satu prinsip penelitian adalah efektif dan efesien. Lab scool terletak di lingkugan kampus UPI satu lokasi dengan tempat kuliah peneliti dan pembimbing peneliti berada, sehingga dapat memudahkan peneliti dalam melakukan bimbingan dan konsultasi kepada pembimbing dalam melakukan penelitian. Berdasarkan pertimbangan di atas maka peneliti merasa tepat untuk mengadakan penelitian di sekolah tersebut .

B.Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh siswa - siswi kelas VII, dalam hal ini peneliti mengambil kelas VII dengan alasan bahwasannya materi yang akan dipeneliti sampaikan adalah untuk siswa kelas VII , alasan lainnya adalah pertimbangan perkembangan gender remaja awal yang baru mulai, sehingga siswa akan terlebih dahulu paham akan gender.

C.Sampel

Peneliti mengambil sampel untuk penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII (b) sebnyak 31 siswa yang terdiri dari 19 siwa laki – laki dan 12 siswa perempuan, dengan alasan yakni sesuai dengan kebutuhan penelitian, dimana siswa di kelas VII (b) lebih banyak siswa laki-laki dibandingkan dengan kelas lainnya, teknik yang digunakan adalah teknik purposive sampling teknik ini digunakan apabila peneliti punya pertimbangan tertentu dalam menetapkan sampel sesuai dengan tujuan penelitian ( Nana Sujana, 2001 ,96 ).

Tujuan peneliti adalah ingin melihat tumbuhnya pemahaman gender paad siswa melalui model role playing dalam proses pembelajaran seni tari, karena yang mendapat


(33)

74

perlakuan adalah seluruh siswa kelas VII (b), maka peneliti ingin melihat perkembangan siswa secara keseluruhan. Sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa – siswi kelas VII (b) dengan jumlah 31 siswa.

V. Langkah-Langkah Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis membagi beberapa tahapan dalam langkah-langkah penelitian, yaitu:

A. Pra Pelaksanaan Penelitian 1. Observasi

Langkah pertama yang peneliti lakukan dalam menyelesaikan laporan penulisan tesis ini adalah observasi tempat, dalam artian meninjau langsung lokasi penelitian yang diinginkan yakni, SLTP Lab Scool Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudhi 229 Bandung.

2. Menentukan Judul dan Topik Penelitian

Setelah melakukan survei tempat untuk dijadikan objek penelitian, selanjutnya peneliti menentukan judul penelitian yang diikuti oleh rumusan masalah penelitian. 3. Pembuatan Proposal

Setelah melalui seleksi judul dan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah menyususn proposal untuk penyususnan sidang proposal. Kegiatan ini dilakukan melalui bimbingan langsung dengan pembimbing penelitian yang ditentukan oleh Ketua Prodi Pendidikan Seni.


(34)

75

4. Menyelesaikan Administrasi penelitian

Persiapan lain yang dilakukan sebelum terjun ke lapangan adalah menyelesaikan masalah administrasi yang berhubungan erat dengan surat perjanjian, berupa:

a. SK pengangkatan Pembimbing I dan Pembimbing II

b. Surat permohonan izin rektor UPI melalui proses dengan bagian Akademik PPS UPI

c. Mengurus surat rekomendasi dari pihak sekolah yang menjadai lokasi penelitian yakni SLTP Lab School Universitas Pendidikan Indonesia.

d. Menentukan Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam suatu penelitian (Suharsimi Arikunto, 1996: 50). Instrumen dalam penelitian ini merupakan alat yang dapat mengumpulkan data-data tentang hasil penerapan model pembelajaran role playing di SLTP Lab Scool Universitas Pendidikan Indonesia

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian kali ini berupa tes dan non-tes. Dalam pembuatan instrumen ini, peneliti menggunakan metode wawancara (interviu), observasi, diagram perkembangan siswa, dan penyebaran angket. Fungsi keseluruhan dari instrumen ini adalah sebagai alat dalam pengumpulan data yang diperlukan.

Dalam pelaksanaannya instrumen ini digunakan sebagai pedoman ketika mengumpulkan data yang diperoleh dari guru pengajar, kepala sekolah dan tentu saja siswa itu sendiri. Setiap siswa yang merupakan variabel penelitian diujicobakan sebuah model pembelajaran dengan tujuan menumbuhkan pemahaman gender. Peneliti melakukan wawancara pula kepada guru dan kepala sekolah untuk lebih mengenal profil


(35)

76

SLTP Lab Scool Universitas Pendidikan Indonesia ini dan tentu saja observasi langsung ke tempat penelitian dan melakukan uji coba.

5. Sistem Penilaian

Penilaian dilakukan ketika awal kegiatan, selama kegiatan berlangsung dan terus diamati sampai dengan akhir kegiatan. Hal yang dinilai oleh peneliti adalah tingkat pemahaman gender siswa baik pikiran, sikap, maupun perilakunya. Kecenderungan dari sistem penilaian dilakukan peneliti adalah untuk mengukur atau menilai secara objektif mengenai hasil pembelajaran yang telah dilakukan peneliti. Kecenderungan dari sistem penilaian yang dipergunakan peneliti adalah untuk mengukur atau menilai secara objektif mengenai hasil pembelajaran yang telah dilakukan oleh peneliti. Mengingat penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif, maka dalam hal ini sisten penilaiannya mengacu pada poin kriteria-kriteria yang dibuat peneliti. Hal ini diungkapkan oleh Suharsimi Arikunto (1996: 346) bahwa “terhadap data yang bersifat kualitatif, maka pengolahannya dibandingkan dengan suatu standar atau kriteria yang telah dibuat oleh peneliti”.

6. Pelaksanaan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti menggunakan prosedur sebagai berikut: a. Pengumpulan Data

Pengumpulan data peneliti dilakukan selama 6 bulan yakni dari bulan Januari 2009 sampai dengan Juni 2009. Hal ini meliputi kegiatan observasi, studi dokumentasi, studi literatur, pemberian perlakuan kemudian evaluasi akhir.


(36)

77

b. Konsultasi dengan Pembimbing

Proses bimbingan dilakukan peneliti dengan Pembimbing I dan Pembimbing II, dimulai dari persiapan awal penelitian sampai dengan akhir penelitian menjelang sidang tesis.

c. Pengolahan Data

Untuk menguji kebenaran informasi, dilakukan pengolahan data dengan cara melengkapi dan memperjelas data yang telah disusun menjadi sebuah tulisan sehingga data yang telah diolah tersebut menjadi akurat dan valid.

7. Penyusunan Laporan Penelitian

Dalam penyusunan laporan penelitian ini tersusun secara lengkap dan benar dari halaman judul, Bab I sampai dengan Bab V termasuk didalamnya lampiran-lampiran. Di dalam penyusunan laporan penelitian ini meliputi proses kegiatan.

a. Penyusunan Data

Penyusunan data atau informasi penelitian dilakukan setelah melalui tahap pengolahan data. Langkah penyusunan data ini dilakukan agar penulisan laporan penelitian menjadi sistematis.

b. Pengetikan Data

Proses ini dilakukan setelah data tersusun dengan sistematis melalui proses bimbingan terlebih dahulu.


(37)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas pada bab IV, peneliti mencoba menyimpulkan proses pembelajaran seni tari sebelum dan setelah perlakuan treatmen dengan model role playing untuk meningkatkan pemahaman kesetaraan gender pada siswa kelas VII SLTP Lab School UPI.

A. Proses Pembelajaran Seni Tari Sebelum Perlakuan

Berdasarkan hasil observasi peneliti bahwa pembelajaran tari di kelas VII b SLTP Lab School UPI, masih bias gender. Hal tersebut terlihat dari anggapan atau pandangan siswa yang masih berpikir bahwa seni tari merupakan milik perempuan, sehingga siswa laki-laki yang belajar tari akan diejek atau dicemooh oleh kawannya dan dikatakan ”banci”. Sayangnya keadaan tersebut tidak mendapat respon yang baik dari guru bersangkutan. Seharusnya guru memberikan penjelasan secara bijak mengenai kedudukan siswa laki-laki dalam pelajaran seni tari. Penjelasan tersebut sangat dibutuhkan oleh siswa, karena para siswa belum memiliki persepsi mengenai konsep gender. Para siswa masih mengikuti anggapan dan pandangan masyarakat yang berpendapat bahwa seni tari adalah milik perempuan .

Disamping itu, guru tari masih melakukan pembelajaran yang dapat dikatakan kurang kreatif, dimana guru tersebut masih mengajarkan para siswa tarian-tarian bentuk yang notabene tari putri yang harus diikuti oleh seluruh siswa, baik siswa laki-laki ataupun siswa perempuan. Hal tersebut berakibat kurang baik bagi siswa laki-laki yang merasa


(38)

138

solah-olah dipermalukan karena menarikan tari untuk perempuan. Guru kurang mengolah metode yang dapat merangsang siswa untuk mengikuti pembelajaran tari. Perlu diingat bahwa pembelajaran tari disekolah formal bertujuan bukan untuk menjadikan siswa sebagai penari yang hebat atau seniman tari, melainkan untuk memberikan pengalaman estetis serta membantu mengasah emosinalnya agar dapat berkomunikasi secara wajar dengan lawan jenisnya.

Pembelajaran seni tari yang dilaksanakan oleh guru di sekolah tersebut, memang tidak sepenuhnya salah, namun alangkah baiknya apabila guru tersebut lebih peka dan cermat dalam memilih materi serta harus senantiasa menggali berbagai macam model pembelajaran, sehingga terwujud suatu kegiatan pembelajaran yang kreatif dan berwawasan gender.

B. Proses Pembelajaran Seni Tari dengan Menggunakan Model Role Playing.

Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti tentukan, dalam poin pertama peneliti ingin melihat tahapan model role playing untuk meningkatkan pemahaman gender dalam pembelajaran seni tari pada siswa kelas VII SLTP Lab Scool UPI dan poin kedu peneliti ingin melihat bagaimana siswa menyikapi persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajran seni tari. Dari data yang berhasil peneliti kumpulkan dan peneliti olah, maka melalui model role playing, para siswa mengalami peningkatan pemahaman gender yang terlihat dalam pola pikir, sikap dan prilaku motorik. Siswa lebih memahami persamaan dan perbedaan peran dalam pembelajaran seni tari. Untuk lebih jelasnya berikut ini peneliti akan menjelaskan tahapan model role


(39)

139

siswa menyikapi persamaan dan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari dalam bentuk bagan.

Bagan VII

Desain Tahapan Pembelajaran Seni TariDengan Model Role Playing untuk Meningkatkan Pemahaman Gender Pada Siswa

Pemahaman Konsep Gender Dalam Seni Pertujukan

Penerapan Model Role Playing Penggunaan Stimulus Pemeranan Tanpa dialog Pemeranan menggunkan dialog Dampak : pemahaman Aspek pikir, dan sikap Dampak : pemahaman Aspek pikir,sikap, dan prilaku motorik Kata benda & Profesi

Merespon kata melalui gerak

Dampak :

Peningkatan aspek pikir, sikap, dan prilaku motorik dalam memahami persamaan dan perbedaan peran

gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari

Pemahaman Gender pada siswa

Dalam pembelajaran seni tari

Merangkai gerak melalui cerita

Proses kreatif dalam pembelajaran tari dengan indikator yang peneliti telah tentukan Cerita Dampak : Pemahaman aspek pikir Masalah


(40)

140

Bagan di atas merupakan desain tahapan penelitian dalam pembelajaran seni tari dengan menggunakan model role playing untuk menumbuhkan pemahaman gender siswa. Desain tersebut menjelaskan mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan oleh peneliti dan dampak yang dihasilkan dari treatment yang peneliti berikan. Adapun

treatment yang peneliti berikan terdiri dari 4 treatment yang memilki pola stimulus

berbeda. Pertama peneliti memperkenalkan konsep gender pada siswa melalui metode ceramah dan tanya jawab. Dalam hal ini peneliti memberikan pengayaan pemikiran pada siswa terkait persamaan dan perbedaan peran gender siswa dalam pembelajaran seni tari. Kedua peneliti mulai menerapkan model role playing melalui stimulus cerita dengan menggunakan dialog. Siswa dibebaskan untuk bermain peran sesuai dengan imajinasinya Dampak yang muncul adalah kemampuan siswa dalam aspek pikir dan sikap. Siswa mampu mengeluarkan ide dan gagasannya serta siswa dapat mengaplikasikan idenya dan terakhir siswa dapat menganalisis pemeranan melalui diskusi bersama. Dalam aspek sikap, siswa mulai dapat menerima persamaan dan perbedaan peran gender dalam pemeranan, kemudian siswapun mampu memberikan tanggapan dan menghargai persamaan dan perbedaan tersebut.

Treatment yang ketiga adalah dengan memunculkan masalah yang sedang hangat

dibicarakan baik di televisi maupun di masyarakat. Masalah atau isu itu diperagakan oleh siswa sebagai salah satu cara untuk mengatasinya, dalam pemeranannya peneliti melarang siswa untuk menggunakan dialog. Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih menekankan kemampuan gerak siswa, serta memberikan kesempatan siswa untuk lebih berekspresi (Fox, dalam Dahlan, 1990:128). Dampak yang didapat adalah kemampuan siswa dalam aspek pikir, sikap dan prilaku motorik muncul dan makin terarah. Melalui


(41)

141

pemeranan tanpa dialog ini siswa dituntut untuk lebih banyak berfikir dalam menungkan ide pemeranan dan ide geraknya agar maksud pemeranan dapat lebih dapat dimengerti oleh penonton. Selain itu aspek sikap yang dapat dilihat adalah penerimaan, respon serta penghargaan siswa dalam pemeranan dan pada saat diskusi. Prilaku motorik siswa mulai muncul walau belum terkoordinasi namun memperlihatkan sebuah awal yang baik untuk pengolahan selanjutnya.

Treatment yang keempat di bagi menjadi dua tahapan dengan stimulus yang sama,

adapun stimulusnya adalah kata benda dan profesi. Tahapan pertama peneliti menentukan beberapa kata benda dan profesi, kemudian siswa diajak untuk merespon kata tersebut melalui gerak sesuai dengan imajinasinya. Gerak tersebut disepakati oleh seluruh siswa, baik siswa laki-laki ataupun siswa perempuan. Untuk awal peneliti memandu siswa dalam mengkordinasikan kata dengan gerak, namun setelah melakukan beberapa kali latihan, peneliti mencoba memeberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan dan memikirkan kata dan respon geraknya. Hasil yang didapat adalah kemampuan prilaku motorik siswa yang meningkat, dimana siswa mampu memahami persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan, dengan cara melakukan gerakkan lembut dan kasar serta gerakan kuat dan lemah. Tahapan yang kedua masih sama dengan pola tahapan yang pertama yakni merespon kata benda atau profesi dengan gerak. Penambahan kegiatan pada tahap ini adalah memasukan unsur cerita kedalam kegiatan tersebut, sehingga siswa setelah merespon beberapa kata benda atau profesi dengan gerak, siswa diinstruksikan untuk merangkai geraknya melalui sebuah cerita sederhana. Damapak dari treatment ke tiga ini adalah kemampuan siswa dalam aspek pikir, sikap dan terutama prilaku motorik. Berdasarkan dampak dari treatment yang


(42)

142 50 50 50 51 50 50 54 50 50 58 52 50 63 55 52 68 60 56 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1 2 3 4 5 6

Rekapitulasi Akhir

Berani Tam pil Berani Melakukan Gerak Berani Merangkai Ge

diberikan, maka desain model pembelajarn role playing ini berhasil mencapai indikator-indikator peningkatan pemahaman gender yang peneliti tentukan. Proses pembelajaran tersebut dapat menjawab rumusan peneliti poin pertama yakni tahapan model role

playing dalam meningkatkan pemahaman gender siswa serta pon kedua yakni cara

menyikapi persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari. Data lain yang peneliti kumpulkan untuk memperkuat temuan peneliti diatas adalah diagram perkembangan kemampuan siswa dalam aspek pikir, sikap dan prilaku motorik.

Dalam penelitian ini, peneliti membuat diagram yang bertujuan untuk memonitor perkembangan siswa secara klasikal. Pegolahan data diagram, menunjukan hasil yang cukup memuaskan dimana pemahaman siswa dalam aspek pikir meningkat 27% - 10% = 17%. Kemudian pemahaman siswa dalam sikap meningkat 20% - 5% = 15%. Selanjutnya pemahaman siswa dalam prilaku motorik mulai muncul sekitar 15% - 5% = 10% . Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa dengan model role playing dapat meningkatkan pemahaman gender siswa dalam pembelajaran seni tari .


(43)

143

Bentuk pemahaman dari persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran tari ini, terlihat juga dari jawaban siswa terhadap pertanyaan peneliti yang peneliti sebar dalam bentuk angket. Angket ini merupakan bentuk evaluasi akhir yang peneliti buat untuk melihat peningkatan pemahaman gender siswa. Dari jumlah 31 siswa yang terdiri dari 18 siswa laki-laki dan 13 siswa perempuan peneliti mendapatkan jawaban yang sanngat membanggakan. Rata-rata siswa laki-laki tidak berfikir lagi, bahwa pembelajaran seni tari milik siswa perempuan saja, dan bila lakilaki belajar seni tari bukan berarti banci. Siswa perempuanpun banyak yang mendukung siswa laki-laki untuk belajar seni tari. Artinya kemampuan siswa dalam memahami persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari mengalami peningkatan yang signifikan, hal tersebut tercermin dari meningkatnya pemahaman gender siswa dalam aspek pikir, sikap dan prilaku motorik.

II. Rekomendasi A. Bagi Sekolah

Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan, peneliti memiliki beberapa catatan bagi pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, sehubungan dengan pembelajaran seni tari. Pertama, peneliti menyarankan untuk adanya sebuah ruang tari yang khusus, dimana siswa serta guru tari dapat melakukan kegiatan pembelajaran dengan maksimal dan penuh kreativitas. Kedua, diharapkan pihak sekolah melalui bagian kurikulum lebih memperhatikan pelajaran seni budaya, berkaitan dengan waktu belajar yang dirasakan begitu sempit, sehingga pembelajaran tidak bisa disampaikan secara makasimal. Ketiga,


(44)

144

berkaitan dengan pemahaman gender pada siswa dalam pembelajaran seni tari, diharapkan pihak sekolah dapat memberikan apresiasi kepada siswa melalui kegiatan-kegiatan kesenian yang melibatkan seluruh siswa baik siswa laki-laki ataupun siswa prempuan.

B. Bagi Guru

Sesuai dengan pembahasan peneliti dalam penelitian ini, seorang guru tari diharapkan dapat terus menggali berbagai macam metode dan model pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran tari. Kemudian, guru tari diharapkan dapat melihat keluhan-keluhan yang disampaikan oleh siswa dalam pembelajaran seni tari sehingga tidak terjadi ketidakadilan gender dalam pembelajaran seni tari. Permasalahan siswa laki-laki tidak mau mengikuti pembelajaran seni tari memang sampai saat ini masih banyak dibicarakan dalam berbagai kegiatan oleh para guru tari. Mudah-mudahan penelitian ini dapat dijadikan bahan apresiasi dan bahan kajian bagi para guru tari yang memilki permasalahan seperti tersebut diatas.

C. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian yang peneliti lakukan ini, hanyalah salah satu dari sekian banyak alternatif untuk menumbuhkan pemahamn gender pada siswa dalam pembelajaran seni tari. Oleh sebab itu diharapkan para peneliti selanjutnya dapat menggali dan melihat lebih dalam mengenai alternatif serta jawaban untuk dapat menjadikan pembelajaran seni tari berwawasan gender.


(45)

145

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar, (2003). Pokoknya Kualitatif, Jakarta: Pustaka Jaya

Budiman, Arief.(1985), Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Psikologi Tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

Dahlan, (1990), Model-model Mengajar, Bandung: Dipenogoro

Darma, Y.a. (2006), Model Pembelajaran Analisis Wacana Kritis Pada Cerpen

Berideologi Gender. Bandung: Forum Ilmiah UPI

Giyartini, Rosarina,(2007). Tari Kreatif : Konsep Pembelajarannya di Sekolah Dasar. (Dari Anak, Oleh Anak, Dan Untuk Anak). Tesis pada Jurusan Pendidikan Seni, Bandung: UPI

Hidayat,Robby. (2005). Menerobos Pembelajarn Tari Pendidikan. Malang: Banjar Seni Gantar Gumelar.

Joyce Bruce and Weil, Marsha .(2000), Models of Teaching, United Statis of America: Allyn & Bacon.

Karyati, Dewi.dkk. (2006). Role Playing Sebagai Gagasan Eksplorasi Gerak Kreatif ” (Penelitian Tindakan Pada Mata Pelajaran Seni Tari di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Garut). Laporan Penelitian Tindakan kelas, Prodi Seni Tari : UPI.

Kartono,kartini. (1996), Pengantar Metodologi Riset Sosdial. Bandung: Mandar Maju Masunah, Juju & Tati Narawati. (2003). Seni dan Pendidikan Seni, Sebuah Bunga

Rampai. Bandung:P4ST

Megawangi, Ratna. (1999), Membiarkan Berbeda ? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi

Gender. Bandung : Mizan

Morris, Desmon. (1977), Manwatching : A Field Guied The Human Behavior. New York: Harry N. Abrams,Inc, Publisher

Muthali’in, Ahmad.(2001), Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: Muhammadiyah University press

Narawati, Tati. dkk. ( 2007). Menumbuhkan Kesadaran Kesetaraan Gender Melalui

pembelajaran Pendidikan Seni Tari Di Sekolah. Penelitian Studi kajian Wanitartikel. FPBS UPI.


(46)

145

Sanderson, Stephen.(1995). Sosiologi Makro, Sebuah Pendektan Terhadap Realitas

Sosial. Jakarta:PT. Rajagarfindo Persada

Sugiyono. (2008), Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung: Alfabeta

Sunaryo, Ayo. (2007). Penggunaan Properti Dalam Pembelajaran Tari Pada Siswa

Kelas Tinggi Di SDN Soka Bandung, Pendekatan Kreatif Untuk Menumbuhkan Kesetaraan Gender”.Tesis pada Jurusan Pendidikan Seni, Bandung: UPI

_____________. (2002). Prespektif Gender dalam Pendidikan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan

Koran dan Internet

IMPLIKASI KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK TERHADAP

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN, tersedia :

http://massofa.wordpress.com/2008/04/10/implikasi-karakteristik-peserta-didik-terhadap-penyelenggaraan-pendidikan/. online

Mudairin, (2008) Role PLAY: SUATU ALTERNATIF EMBELAJARAN YANG

EFEKTIF DAN ENYENANGKAN DALAM MENINGKATKAN

ETERAMPILAN BERBICARA SISWA LTP ISLAM MANBAUL ULUM GRESIK, http://pakguruonline.pendidikan.net. Online

Musdah Mulia Siti, (2008), PENDIDIKAN BERWAWASAN KEADILAN GENDER http://www.icrp-online.org

Siswono, (2007). Perwujudan Kesetaraan Gender Menguntungkan Anak

http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/gender/gender9.htm .online Suciati, Sri. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan, : Suara Merdeka.

http://www. suaramerdeka.com Online

Suherman, Erman.(2008). Model-belajar-dan-pembelajaran-berorientasi-kompetensi-siswahttp://pkab.wordpress.com/2008/04/29/ /. online

Wacana seni tari, tersedia


(47)

(1)

142 50 50 50 51 50 50 54 50 50 58 52 50 63 55 52 68 60 56 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1 2 3 4 5 6

Rekapitulasi Akhir

Berani Tam pil Berani Melakukan Gerak Berani Merangkai Ge

diberikan, maka desain model pembelajarn role playing ini berhasil mencapai indikator-indikator peningkatan pemahaman gender yang peneliti tentukan. Proses pembelajaran tersebut dapat menjawab rumusan peneliti poin pertama yakni tahapan model role playing dalam meningkatkan pemahaman gender siswa serta pon kedua yakni cara menyikapi persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari. Data lain yang peneliti kumpulkan untuk memperkuat temuan peneliti diatas adalah diagram perkembangan kemampuan siswa dalam aspek pikir, sikap dan prilaku motorik.

Dalam penelitian ini, peneliti membuat diagram yang bertujuan untuk memonitor perkembangan siswa secara klasikal. Pegolahan data diagram, menunjukan hasil yang cukup memuaskan dimana pemahaman siswa dalam aspek pikir meningkat 27% - 10% = 17%. Kemudian pemahaman siswa dalam sikap meningkat 20% - 5% = 15%. Selanjutnya pemahaman siswa dalam prilaku motorik mulai muncul sekitar 15% - 5% = 10% . Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa dengan model role playing dapat meningkatkan pemahaman gender siswa dalam pembelajaran seni tari .


(2)

143

Bentuk pemahaman dari persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran tari ini, terlihat juga dari jawaban siswa terhadap pertanyaan peneliti yang peneliti sebar dalam bentuk angket. Angket ini merupakan bentuk evaluasi akhir yang peneliti buat untuk melihat peningkatan pemahaman gender siswa. Dari jumlah 31 siswa yang terdiri dari 18 siswa laki-laki dan 13 siswa perempuan peneliti mendapatkan jawaban yang sanngat membanggakan. Rata-rata siswa laki-laki tidak berfikir lagi, bahwa pembelajaran seni tari milik siswa perempuan saja, dan bila lakilaki belajar seni tari bukan berarti banci. Siswa perempuanpun banyak yang mendukung siswa laki-laki untuk belajar seni tari. Artinya kemampuan siswa dalam memahami persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari mengalami peningkatan yang signifikan, hal tersebut tercermin dari meningkatnya pemahaman gender siswa dalam aspek pikir, sikap dan prilaku motorik.

II. Rekomendasi A. Bagi Sekolah

Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan, peneliti memiliki beberapa catatan bagi pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, sehubungan dengan pembelajaran seni tari. Pertama, peneliti menyarankan untuk adanya sebuah ruang tari yang khusus, dimana siswa serta guru tari dapat melakukan kegiatan pembelajaran dengan maksimal dan penuh kreativitas. Kedua, diharapkan pihak sekolah melalui bagian kurikulum lebih memperhatikan pelajaran seni budaya, berkaitan dengan waktu belajar yang dirasakan begitu sempit, sehingga pembelajaran tidak bisa disampaikan secara makasimal. Ketiga,


(3)

144

berkaitan dengan pemahaman gender pada siswa dalam pembelajaran seni tari, diharapkan pihak sekolah dapat memberikan apresiasi kepada siswa melalui kegiatan-kegiatan kesenian yang melibatkan seluruh siswa baik siswa laki-laki ataupun siswa prempuan.

B. Bagi Guru

Sesuai dengan pembahasan peneliti dalam penelitian ini, seorang guru tari diharapkan dapat terus menggali berbagai macam metode dan model pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran tari. Kemudian, guru tari diharapkan dapat melihat keluhan-keluhan yang disampaikan oleh siswa dalam pembelajaran seni tari sehingga tidak terjadi ketidakadilan gender dalam pembelajaran seni tari. Permasalahan siswa laki-laki tidak mau mengikuti pembelajaran seni tari memang sampai saat ini masih banyak dibicarakan dalam berbagai kegiatan oleh para guru tari. Mudah-mudahan penelitian ini dapat dijadikan bahan apresiasi dan bahan kajian bagi para guru tari yang memilki permasalahan seperti tersebut diatas.

C. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian yang peneliti lakukan ini, hanyalah salah satu dari sekian banyak alternatif untuk menumbuhkan pemahamn gender pada siswa dalam pembelajaran seni tari. Oleh sebab itu diharapkan para peneliti selanjutnya dapat menggali dan melihat lebih dalam mengenai alternatif serta jawaban untuk dapat menjadikan pembelajaran seni tari berwawasan gender.


(4)

145

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar, (2003). Pokoknya Kualitatif, Jakarta: Pustaka Jaya

Budiman, Arief.(1985), Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Psikologi Tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

Dahlan, (1990), Model-model Mengajar, Bandung: Dipenogoro

Darma, Y.a. (2006), Model Pembelajaran Analisis Wacana Kritis Pada Cerpen Berideologi Gender. Bandung: Forum Ilmiah UPI

Giyartini, Rosarina,(2007). Tari Kreatif : Konsep Pembelajarannya di Sekolah Dasar. (Dari Anak, Oleh Anak, Dan Untuk Anak). Tesis pada Jurusan Pendidikan Seni, Bandung: UPI

Hidayat,Robby. (2005). Menerobos Pembelajarn Tari Pendidikan. Malang: Banjar Seni Gantar Gumelar.

Joyce Bruce and Weil, Marsha .(2000), Models of Teaching, United Statis of America: Allyn & Bacon.

Karyati, Dewi.dkk. (2006). Role Playing Sebagai Gagasan Eksplorasi Gerak Kreatif ” (Penelitian Tindakan Pada Mata Pelajaran Seni Tari di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Garut). Laporan Penelitian Tindakan kelas, Prodi Seni Tari : UPI.

Kartono,kartini. (1996), Pengantar Metodologi Riset Sosdial. Bandung: Mandar Maju Masunah, Juju & Tati Narawati. (2003). Seni dan Pendidikan Seni, Sebuah Bunga

Rampai. Bandung:P4ST

Megawangi, Ratna. (1999), Membiarkan Berbeda ? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung : Mizan

Morris, Desmon. (1977), Manwatching : A Field Guied The Human Behavior. New York: Harry N. Abrams,Inc, Publisher

Muthali’in, Ahmad.(2001), Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: Muhammadiyah University press

Narawati, Tati. dkk. ( 2007). Menumbuhkan Kesadaran Kesetaraan Gender Melalui pembelajaran Pendidikan Seni Tari Di Sekolah. Penelitian Studi kajian Wanitartikel. FPBS UPI.


(5)

145

Sanderson, Stephen.(1995). Sosiologi Makro, Sebuah Pendektan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta:PT. Rajagarfindo Persada

Sugiyono. (2008), Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sunaryo, Ayo. (2007). Penggunaan Properti Dalam Pembelajaran Tari Pada Siswa Kelas Tinggi Di SDN Soka Bandung, Pendekatan Kreatif Untuk Menumbuhkan Kesetaraan Gender”.Tesis pada Jurusan Pendidikan Seni, Bandung: UPI

_____________. (2002). Prespektif Gender dalam Pendidikan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan

Koran dan Internet

IMPLIKASI KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK TERHADAP

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN, tersedia :

http://massofa.wordpress.com/2008/04/10/implikasi-karakteristik-peserta-didik-terhadap-penyelenggaraan-pendidikan/. online

Mudairin, (2008) Role PLAY: SUATU ALTERNATIF EMBELAJARAN YANG

EFEKTIF DAN ENYENANGKAN DALAM MENINGKATKAN

ETERAMPILAN BERBICARA SISWA LTP ISLAM MANBAUL ULUM GRESIK, http://pakguruonline.pendidikan.net. Online

Musdah Mulia Siti, (2008), PENDIDIKAN BERWAWASAN KEADILAN GENDER http://www.icrp-online.org

Siswono, (2007). Perwujudan Kesetaraan Gender Menguntungkan Anak

http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/gender/gender9.htm .online Suciati, Sri. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan, : Suara Merdeka.

http://www. suaramerdeka.com Online

Suherman, Erman.(2008). Model-belajar-dan-pembelajaran-berorientasi-kompetensi-siswahttp://pkab.wordpress.com/2008/04/29/ /. online

Wacana seni tari, tersedia


(6)

Dokumen yang terkait

PENINGKATAN KOMUNIKASI DALAM PEMBELAJARAN BAHASAINDONESIA MELALUI METODE ROLE PLAYING PADA SISWA Peningkatan Komunikasi Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Melalui Metode Role Playing.

0 3 16

PENINGKATAN KREATIVITAS BELAJAR DALAM PEMBELAJARANPKN MELALUI STRATEGI ROLE PLAYING PADA SISWA Peningkatan Kreativitas Dalam Pembelajaran PKN Melalui Strategi Role Playing Pada Siswa Kelas III SDN JATIROTO 03 Tahun 2014.

0 1 15

UPAYA PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYAMPAIKAN PESANMELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN ROLE PLAYING Upaya Peningkatan Keterampilan Menyampaikan Pesan Melalui Strategi Pembelajaran Role Playing Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas VI SDN 03 Jati

0 1 15

PENINGKATAN PEMAHAMAN NILAI-NILAI KARAKTER BANGSA MELALUI STRATEGI ROLE PLAYING PADA PEMBELAJARAN Peningkatan Pemahaman Nilai-Nilai Karakter Bangsa Melalui Strategi Role Playing Pada Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Kelas V B SD Muhammadiyah 1 Ket

0 5 19

PENINGKATAN PEMAHAMAN NILAI-NILAI KARAKTER BANGSA MELALUI STRATEGI ROLE PLAYING PADA PEMBELAJARAN Peningkatan Pemahaman Nilai-Nilai Karakter Bangsa Melalui Strategi Role Playing Pada Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Kelas V B SD Muhammadiyah 1 Ke

0 5 13

Upaya peningkatan motivasi belajar siswa melalui peneraan metode pembelajaran role playing pada mata pelajaran akuntansi.

1 16 254

PENINGKATAN PEMAHAMAN KEBEBASAN BERORGANISASI MATA PELAJARAN PKn MELALUI METODE ROLE PLAYING.

0 1 4

PENGEMBANGAN MODEL KOLABORASI JIGSAW ROLE PLAYING SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN BEKERJASAMA SISWA KELAS V SD PADA PELAJARAN IPS

0 0 11

Peningkatan Pemahaman Tata cara pernikahan Melalui Metode Role Playing dan Demonstrasi Pada Siswa Kelas XII

0 0 8

UPAYA PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR SISWA MELALUI PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN ROLE PLAYING PADA MATA PELAJARAN AKUNTANSI

0 1 252