Tugas Monitoring dan Evalasi pon

TUGAS TAKE HOME
MATA KULIAH HUKUM DAN HUBUNGAN KETENAGAKERJAAN
MAKALAH OUTSOURCHING
Dosen Pembimbing: Gading Gama Putra, S.AP, MPA

Disusun Oleh :
Briyan Widwin Garnida Rusdiansah
0.1111.204.57

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI “AAN”
YAYASAN NOTOKUSUMO
YOGYAKARTA
2014

BAB I PENDAHULUAN
Hukum pada hakikatnya dibuat manusia berdasarkan kesepakatan bersama untuk
kepentingan bersama. Hukum mengalami dinamika yang selalu bekembang seiring berjalannya
waktu. Salah satu perlindungan hak kaum lemah agar tidak diperlakukan semena-mena adalah
dengan produk hukum. Salah satu produk hukum perlindungan hak tersebut adalah pengaturan
hak, dan kewajiban antara majikan dan bawahan yang lebih familiar disebut perlindungan
ketenagakerjaan.

Hubungan kerja yang terjadi antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya
suatu perjanjian kerja sebenarnya secara teoritis merupakan hak pengusaha dan hak pekerja
untuk memulai maupun mengakhirinya. Akan tetapi bagi pekerja hubungan hukum yang terjadi
dengan pengusaha selalu berada dalam hubungan subordinatif atau hubungan di mana
kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau majikan. Bagi pekerja outsourcing hal
tersebut menjadi semakin parah karena pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan
perusahaan pemberi kerja1.
Outsourcing (Alih Daya) dapat pula diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa
proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses
administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak 2
.

Beberapa tahun setelah diterbitkan undang-undang Nomor 13 tahun 2013 tentang
ketenagakerjaan, pelaksanaan Outsourching masih jauh dari etika secara teoritisnya. Salah satu
penyebabnya adalah kurangnya regulasi penguat dan penjelas undang-undang tersebut. Ditambah
lagi dikarenakan pengusaha dengan berlakunya Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undangundang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melegalkan secara tersirat pelanggaran
etika tersebut.
Persoalan hukum dalam pelaksanaan outsourcing antara lain disebabkan oleh adanya
perbedaan kepentingan oleh para pihak. Pada praktek outsourcing, terdapat tiga pihak yang
berhubungan hukum yaitu perusahaan pemberi kerja, perusahaan penerima kerja dan pekerja

1 PHK dan Perlindungan Negara Atas Hak Pekerja,” diakses dari http://www.pemantauperadilan.com pada 20 Juni
2014

2 Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id,
diakses tanggal 20 Juni 2014

outsourcing itu sendiri. Kepentingan ketiga pihak dalam outsourcing tersebut berbeda-beda.
Pemberi kerja mengharapkan kualitas barang atau jasa yang tinggi dengan harga yang serendahrendahnya. Sedangkan penerima pekerjaan mengharapkan kualitas barang

atau jasa yang

terendah dengan harga yang tertinggi. Pada sisi lain, pengusaha mengharapkan pekerja agar
melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan produksi yang maksimal,
sebaliknya pekerja mengharapkan kerja yang ringan dengan penghasilan atau upah yang tinggi3
Kepentingan yang destruktif satu sama lain jika salah satu kepentingan dominan
dikuatkan. Bisa kita bayangkan kepentingan yang mana yang paling berkemungkinan
terkesampingkan. Ya, kepentingan buruh adalah yang paling berkemungkinan dilemahkan.
Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berupaya
melindungi pekerja dari ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja antara pekerja dengan
perusahaan outsourcing tetap tidak menghentikan masalah pekerja outsourcing, bahkan di satu

sisi semakin menjadi pilihan pengusaha untuk mengatur hubungan kerja dengan pekerja
outsourcing dengan alasan efisiensi biaya, waktu dan tenaga bagi pengusaha.
Tujuan utama dibuatnya makalah ini adalah sebagai kajian tentang Outsourching,
undang-undang pengaturnya dan meneliti lebih lanjut bagaimana ketiga kepentingan tersebut
serta solusi menguatkan kepentingan buruh yang menjadi hakikat hukum yang telah sedikit
disinggung di awal.

BAB II
3Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Jakarta: DSS Publishing, 2007, cet.2, h.95.

2.1 RUMUSAN MASALAH
a) Apakah pengertian Outsourching?
b) Masalah-masalah apa saja di dalam Pelaksanaan Outsourcing Pasca Berlakunya
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?
c) Solusi apa yang mampu menyelesaikan permasalahan Outsourching?

2.2 TUJUAN
a) Mahasiswa dapat mengetahui pengertian Outsourching.
b) Mahasiswa dapat menganalisis dampak UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.
c) Mahasiswa dapat memberikan solusi penyelesaian atas permasalahan outsourching.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Perjanjian Kerja
Manusia adalah makhluk sosial, yang mana dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat
dipisahkan dari sebuah kerjasama satu dengan yang lain. Di dalam sebuah kerjasama dinamika
berkembang dari waktu ke waktu menjadi semakin kompleks. Untuk itu perlulah sebuah alat
yang menjadi kesepakatan antara pihak yang bekerjasama. Integral dari fungsi hukum, yakni
perjanjian, yang dalam hal ini memiliki lokus perjanjian kerja antara majikan dan bawahan agar
terlidunginya kepentingan bersama.
Menurut Subekti definisi Perikatan, adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.4 Hubungan antara
perikatan dengan perjanjian dapat dirumuskan, bahwa perjanjian merupakan sumber utama dari
suatu perikatan, sehingga perikatan itu ada bilamana terdapat suatu perjanjian.5
Dari uraian singkat diatas dapat kita simpulkan hubungan klausatif antara perjanjian dan
perikatan.Perjanjian menjadi sebab yang merupakan suatu peristiwa hukum, sedangkan
perikatan sebagai akibat hukumnya.
3.2 Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu. 6 Definisi lain, Perjanjian merupakan
suatu perbuatan hukum di dalam hubungan hokum diantara individu-individu yang ada dalam
masyarakat dengan tujuan untuk mencapai kepastian hukum. Karena perjanjian yang dibuat
secara sah oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian adalah bersifat mengikat. Hal
tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, sebagai berikut: “Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.

4 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta:,1998, hal 1.

5 Purwahid Patrick. Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju , Bandung:, 1994
hal.12
6 Subekti, Hukum Perjanjian, OP.Cit.hal 1

3.3 Syarat Syahnya Perjanjian
Aturan mengenai syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang
menyebutkan untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, antara lain:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut haruslah

sepakat, setuju dan seia sekata atas hal-hal yang diperjanjikan.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Maksudnya bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut merupakan
orang-orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap oleh atau
menurut hukum. Orang yang diluar ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata dianggap cakap
untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan, tak cakap
untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat
perjanjianperjanjian tertentu.
c. Suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah sesuatu yang di dalam perjanjian
tersebut harus telah ditentukan dan disepakati.sesuai dengan ketentuan yang disebutkan
pada Pasal 1333 KUH Perdata bahwa barang yang menjadi obyek suatu perjanjian harus
ditentukan isinya.
d. Suatu sebab yang halal
Pengertian dari suatu sebab yang halal yaitu, bahwa isi dari perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan undangundang, norma-norma agama, kesusilaan, dan ketertiban umum.


Dua syarat yang pertama adalah syarat yang menyangkut subyek, sedangkan dua syarat yang
terakhir adalah mengenai obyeknya.7
Sedangkan Subekti membagi keempat syarat tersebut menjadi dua kelompok. Syarat
pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif, karena keduanya bersangkutan dengan
para pihak yang mengadakan perjanjian (Subyek dari suatu perjanjian), sedangkan untuk
syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat obyektif, karena keduanya menyangkut
tentang obyek dari suatu perjanjian yang diadakan8
3.4 Perjajian Kerja
Perjanjian kerja merupakan salah satu turunan dari perjanjian pada umumnya,
dimana masing-masing perjanjian memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan
perjanjian yang lain. Namun seluruh jenis perjanjian memiliki ketentuan yang umum
yang dimiliki secara universal oleh segala jenis perjanjian, yaitu mengenai asas hukum,
sahnya perjanjian, subyek serta obyek yang diperjanjikan, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya
Ketentuan dan syarat-syarat pada perjanjian yang dibuat oleh para pihak berisi
hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang harus dipenuhi. Dalam hal ini
tercantum asas “kebebasan berkontrak” , yaitu seberapa jauh pihak-pihak dapat
mengadakan perjanjian, hubungan-hubungan apa yang terjadi antara mereka dalam
perjanjian itu seberapa jauh hukum mengatur hubungan antara para pihak.

3.5 Perjanjian Perburuhan
Perjanjian Perburuhan/ Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) au istilah yang
digunakan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 adalah Perjajian Kerja Bersama
(PKB) dalam bahasa Inggis dikenal sbagai Collective Labur Agreement (CLA) peranjian
ini dikenal dalam khasanah hokum Indonsia berdasarkan ketentuan KUHPerdata.
Dalam KUHPerdata pasal 1601 n disebutkan bahwa Perjajian perburuhan adalah
peraturan yang dibuat oleh seorang atau beberapa majikan yang berbadan hokum dan

7 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hal.127
8 Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hal.20

atau beberapa serikat buruh yang berbadan hukum mengenai syarat yang harus
diindahkan pada waktu membuat perjanjian kerja.9
Dalam Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa
Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaianya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;

c. pekerjaan yang besifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk
tambahan yang masih dalam masa percobaan atau penjajakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah baahwa perjanjian keja untuk waktu
tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.10
3.6 Unsur-unsur Perjajian Kerja
Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja Perjanjian kerja harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:11
1) Adanya orang di bawah pimpinan orang lain
Adanya unsur perintah menimbulkan adanya pimpinan orang lain. Dalam
perjanjian kerja, unsur perintah ini memegang peranan yang pokok sebab tanpa adanya
unsur perintah, hal ini bukan perjanjian kerja.
Dengan adanya unsur perintah dalam perjanjian kerja, kedudukan kedua belah
pihak tidaklah sama yaitu pihak yang satu kedudukannya diatas (pihak yang
memerintah), sedang pihak lain kedudukannya dibawah (pihak yang diperintah).
Kedudukan yang tidak sama ini disebut hubungan subordinasi serta ada yang
menyebutnya hubungan kedinasan.
9 Husni Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003 , edisi revisi h
75
10 Husni Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003 , edisi revisi

h 71

11 Much.Nurachmad, Tanya Jawab Seputar Hak-Hak Tenaga Kerja Kontrak (Outsourcing), Visimedia,
,Jakarta: 2009, hal. 2

2) Penunaian Kerja
Penunaian kerja maksudnya melakukan pekerjaan. Disini, tidak dipakai istilah
melakukan pekerjaan sebab istilah tersebut mempunyai arti ganda Istilah melakukan
pekerjaan dapat berarti persewaan tenaga kerja atau penunaian kerja. Dalam persewaan
tenaga kerja yang tersangkut dalam kerja adalah tenaga manusia, sehingga upah sebagai
kontraprestasi dipandang dari sudut ekonomis. Dalam penunaian kerja, yang tersangkut
dalam kerja adalah manusia itu sendiri sehingga upah sebagai kontraprestasi dipandang
dari sudut sosial ekonomis.
3) Adanya upah
Upah menurut Pasal 1 angka 30 Undang-undang Ketenagakerjaan adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan
menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau
jasa yang telah atau akan dilakukan. Jadi, upah adalah imbalan termasuk tunjangan.


3.7 Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Core Business)
dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing.
1. Pasal 66 Undang-undang Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja
untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak
berhubungan langsung dengan prosesproduksi. Perusahaan penyedia jasa untuk
tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus
memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
 adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa


tenaga kerja;
perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa
tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu

yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang


timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia

jasa

pekerja/buruh

dibuat

secara

tertulis.

Penyedia

jasa

pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki
izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dalam
hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan
perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa pada pekerjaan yang
berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan
langsung

dengan

proses

produksi,

pengusaha

hanya

diperbolehkan

memperkerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Yang dimaksud dengan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan
diluar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain
usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi
pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan),
usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan
angkutan pekerja/buruh. Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat
terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan
outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.

BAB IV PEMBAHASAN
A. Pengertian Outsourching

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai
contract (work out) seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara
mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut: “Contract to enter into or make a
contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together,
bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary). Outsourcing
(Alih Daya) dapat pula diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses
bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan
proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah
disepakati oleh para pihak12
Menurut Maurice Greaver yang dikutip oleh Indrajit, outsourcing (alih daya)
dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak
pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini
terikat dalam suatu kontrak kerjasama.13
Yang dimaksud dengan praktek outsourcing Menurut Hidayat Muharam, yaitu:14
a. Penyerahan sebagian pelaksanaan dari suatu perusahaan kepada
perusahaan lain melalui perjanjian pemboronganpekerjaan;
b. Penyediaan Jasa Pekerja.
Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya)
dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain
menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia
disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen
harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa
outsourcing).15

12 Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id,
diakses tanggal 30 September 2009
13 Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, (Jakarta:Grasindo, 2003), hal 3

14 Hidayat Muharam, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya Di
Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2006), hal 12

15 Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek hukum
ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial, http://www.nakertrans.go.id/arsip
berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei 2005.

B. Masalah-masalah di dalam Pelaksanaan Outsourcing Pasca Berlakunya Undangundang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

1. Outsourching Mengabaikan Pemanusian Manusia
Sebelum

berlakunya

Undang-undang

No.

13

Tahun

2003

tentang

Ketenagakerjaan, praktik penyediaan jasa pekerja untuk dipekerjakan di perusahaan
lain sudah terjadi. Bidang-bidang pekerjaan seperti satuan pengamanan (satpam),
sekuriti dan cleaning service merupakan pekerjaan yang diserahkan perusahaan untuk
dikerjakan oleh tenaga kerja dari perusahaan lain. Praktik pelaksanaannya pun tidak
berbeda dengan yang diatur dalam Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Praktek outsourcing di Indonesia ditilik dari sejarahnya telah
dilakukan bertahun-tahun yang lampau. Pada Putusan P4P Nomor 65/59/II/02/c 5
Agustus 1959 mengenai tuntutan pekerja kontrak dari Kontraktor Firma Semesta
yang bekerja di Pacific Bechtel. Pekerja dipekerjakan dengan sistem seperti yang
dilakukan pada pekerjaan outsourcing, sehingga pada saat kontrak diputus begitu saja
antara kontraktor Firma Semesta dengan Pacific Bechtel, pekerja outsourcing tidak
dapat menuntut hak-haknya kepada kedua perusahaan tersebut.16 Namun demikian,
ketiadaan perlindungan bagi pekerja telah membuat pandangan masyarakat menjadi
negatif. Pekerja dianggap sebagai barang komoditi yang dapat dijual, dipindah
tangankan, ditukar, yang hanya diperhatikan apabila pengusaha menganggap dapat
mempekerjakan pekerja yang bersangkutan dan dapat disingkirkan begitu saja apabila
pengusaha tidak memerlukannya lagi. Pada kenyataannya hingga masa-masa
sekarang ini di mana pekerja kesulitan mencari pekerjaan, pekerja dihadapkan pada
pilihan take it or leave it terhadap tawaran peluang pekerja outsourcing atau tidak
bekerja sama sekali.

2. Beralihnya Hubungan Hukum dalam Outsourcing Merugikan Pekerja
16Andari Yurikosari, Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta 2010, h. 83-84.

Hubungan hukum dalam outsourcing bagi pekerja dan perusahaan penerima
pekerjaan menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bisa
beralih menjadi hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan pemberi kerja
untuk pekerjaan yang sifatnya berlangsung terus

menerus dalam hal terjadi

pergantian perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Hubungan hukum yang dimaksud
tidak terbatas pada pemberian upah dan pesangon ketika pekerja diputus hubungan
kerjanya melainkan juga perlindungan hak-hak pekerja, di antaranya keikutsertaan
pekerja dan keluarganya dalam program Jamsostek, program perlindungan pensiun
dan lain-lain. Menurut ketentuan undang-undang, perusahaan pemberi kerja harus
mengambil alih tanggung jawab terhadap pekerja dalam hal terjadi perusahaan
pemberi kerja telah memberi pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja
yang tidak berbadan hukum.
Akan tetapi masalah yang sering timbul terjadi pada masalah perjanjian kerja
antara pekerja outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang harus
berakhir karena perjanjian kerja sama antara perusahaan pemberi kerja dengan
perusahaan penyedia jasa tenaga kerjanya telah berakhir. Akibatnya perusahaan
pemberi kerja tidak lagi mempekerjakan pekerja outsourcing dan perusahaan
penyedia jasa juga tidak mau membayar sisa upah yang diperjanjikan dalam kontrak
perjanjian kerja sama. Pada banyak kasus seperti yang tersebut di atas bermuara pada
tuntutan di Pengadilan Hubungan Industrial. Akan tetapi hingga tingkat kasasi pun
pekerja outsourcing tidak dapat menuntut hak-haknya yang menurut undang-undang
ketenagakerjaan kedudukannya beralih dari menjadi pekerja di perusahaan pemberi
kerja apabila perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak melakukan kewajibannya
sesuai dengan hubungan kerja yang terjadi antara perusahaan dengan pekerja. Kasus
karyawan koperasi Setia Kawan melawan PT Bakrie Tosan Jaya karena buruh
menuntut agar dibayarkan upah pesangon sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan kepada PT Bakrie Tosan Jaya oleh karena hubungan
kerja diputus secara sepihak oleh perusahaan penyedia jasanya yaitu Koperasi Setia
Kawan. Dasar pemikiran para karyawan tersebut yang berjumlah 60 orang adalah
karena diatur bahwa buruh yang dipekerjakan melalui perusahaan penyedia jasa

berubah status hukumnya menjadi pekerja di perusahaan pengguna dengan segala
hak dan kewajibannya. Kelemahan kedudukan dan hak pekerja outsourcing tersirat
dalam Putusan Kasasi No.192 K/PHI/2007 yang memenangkan PT Bakrie Tosan
Jaya oleh karena pada dasarnya buruh outsourcing tersebut tidak mempunyai
hubungan hukum dengan perusahaan pengguna, sehingga tidak mendapat
perlindungan karena terjadi pengakhiran hubungan kerja.17
3. Pekerja Kontrak dan Rendahnya Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing
Masalah-masalah mengenai pelaksanaan outsourcing sebenarnya dalam penerapannya
banyak terkait dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan bidang hukum
ketenagakerjaan. Bidang hukum ketenagakerjaan berlaku untuk mengatur hubungan
antara pengusaha dan pekerja pada saat mereka sepakat untuk melakukan suatu
pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan fungsi Hukum Perdata
terutama menata hubungan antara perusahaan dengan perusahaan dalam perjanjian
kerja sama. Oleh karena perjanjian kerja yang bersifat waktu tertentu (PKWT) antara
pemberi kerja dengan penerima kerja pada umumnya dibatasi masa berlakunya, maka
tidak ada kepastian kesinambungan dalam pekerjaan sehingga pekerja merasa
terancam. Persoalan yang muncul adalah bahwa setelah pekerjaan yang diperjanjikan
selesai, maka otomatis para pekerja akan berhenti bekerja. Oleh karena itu untuk
menghindar dari kewajiban membayar gaji kepada pekerja dalam hal tidak ada
pekerjaan bagi pekerja, pengusaha mensyaratkan kontrak kerja. Pada pelaksanaannya
kontrak kerja dapat berlangsung secara bertahun-tahun dan walaupun hal tersebut
bertentangan dengan undang-undang, pengusaha menempuh jalan pekerja yang
selesai masa kontraknya diistirahatkan dulu selama beberapa bulan, kemudian masuk
kembali ke perusahaan yang sama dengan status sebagai pekerja baru dari perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja. Pekerja dalam hal ini tidak dapat menentukan penawaran
dan mengajukan persyaratan kepada pengusaha oleh karena sempitnya lapangan kerja
yang tersedia. Pengusaha dengan mudah dapat menolak pekerja outsourcing yang
menuntut haknya terlalu banyak oleh karena masih banyak pelamar lain yang

17Ibid., h.360-361.

bersedia bekerja dengan syarat-syarat yang memberatkan pekerja yang ditetapkan
oleh pengusaha.
4. Rendahnya Hak-hak Pekerja Outsourcing
Pada kegiatan outsourcing, perjanjian kerja sama bukan ditandatangani oleh pekerja
dengan perusahaan pemberi kerja, akan tetapi antara perusahaan pengguna dengan
perusahaan pemberi kerja, maka negosiasi mengenai upah dan hak-hak pekerja
outsourcing lainnya hanya diperjanjikan di antara kedua perusahaan tersebut tanpa
diketahui oleh pekerja. Oleh karena bisnis perusahaan penerima pekerjaan adalah
dengan mempekerjakan pekerja untuk kepentingan perusahaan lain, maka dari jasa
tersebut perusahaan pemberi kerja memperoleh keuntungan. Keuntungan perusahaan
penyedia jasa tersebut diperoleh dari selisih antara upah yang diberikan perusahaan
pengguna dengan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja outsourcing. Oleh
karenanya upah yang diterima oleh pekerja outsourcing biasanya sangat kecil dan
paling tinggi hanya untuk memenuhi ketentuan upah minimum. Berdasarkan hal
tersebut pula, maka banyak perusahaan penyedia jasa yang semakin kaya raya dan
para pekerja tetap hidup dengan upah di bawah standar atau maksimal dengan upah
sesuai dengan ketentuan mengenai upah minimum. Beberapa kasus menggambarkan
hal tersebut seperti kasus petugas kebersihan atau cleaning service dari Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta hanya menerima upah antara Rp 460.000,- sampai Rp 700.000,perbulan yang jauh lebih rendah dari upah minimum provinsi DKI tahun 2006 yang
mencapai Rp 819.000,- perbulan untuk pekerja lajang.18 Para pekerja outsourcing
dalam hal upah ini tidak dapat berbuat banyak untuk menuntut pengusaha. Sebab
pada satu sisi upah yang diberikan telah memenuhi ketentuan mengenai upah
minimum, akan tetapi di sisi lain pengusaha tidak akan menerima tuntutan pekerja
outsourcing untuk disamakan kedudukannya dalam menerima upah dengan pekerja
yang lain, karena status dan kedudukannya hanya tergantung kepada perusahaan
pemberi kerja.
C. Solusi Penyelsaian
18 Kompas, 27 Mei 2006, h. 27.

Dalam setiap perjanjian, sering terjadi perselisihan antara para pihak yang membuat
kesepakatan, apalagi dalam perjanjian yang para pihak berdiri saling berhadapan. Hak
pihak yang satu menjadi kewajiban pihak yang lain. Demikian juga dalam perjanjian
kerja antara pengusaha dan pekerja. Perjanjian kerja menimbulkan suatu hubungan kerja
dan hak pekerja berupa upah merupakan kewajiban dari pengusaha. Demikian juga hak
pengusaha berupa hasil kerja merupakan kewajiban pekerja. Perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja
atau serikat pekerja/serikat buruh disebut dengan perselisihan industrial (PHI)19
Jenis PHI meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan. Perselisihan hak merupakan perselisihan yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak normatif, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap
ketentuan peraturaturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.20
Pengaturan mengenai Penyelesaian Hubungan Industrial terdapat dalam Undangundang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Undangundang ini digunakan bukan hanya untuk perusahaan yang berorientasi
keuntungan, tetapi dapat juga diberlakukan bagi usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain
yang tidak berbentuk perusahaan tetapi memiliki pengurus dan memperkerjakan orang
lain dengan membayar upah.
Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial terdapat beberapa cara
penyelesaian, antara lain:21
a. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartite.
Perundingan bipartit merupakan perundingan antara pekerja atau serikat
pekerja/serikat buruh dan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial.

b. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi.
19 Much.Nurachmad, Ibid, hal. 105
20 Ibid, hal. 106
21 Ibid, hal. 107-119

Mediasi merupakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator
adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syaratsyarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh
menteri tenaga kerja untuk bertugas melakukan mediasi dan memiliki kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial.
c. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi.
Konsiliasi merupakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai
konsiliator yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang
bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih. Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa
berdasarkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dibebankan kepada
Negara.
d. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase.
Secara umum, penyelesaian perselisihan melalui arbitrase telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu, arbitrase
hubungan industrial yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan pengaturan khusus bagi
penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial. Disini berlaku asas lex specialis
derogate legi general (hukum yang bersifat khusus mengalahkan peraturan yang
bersifat umum).
Arbitrase merupakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar
pengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

e. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial.
Jika penyelesaian melalui mediasi dan konsiliasi tidak memberikan hasil yang
memuaskan, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan
hubungan industrial, yaitu pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan
negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap
perselisihan hubungan industrial. Pengadilan ini di bentuk untuk menjamin
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah.
Sementara itu, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase
tidak dapat diajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial karena putusan
arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan
pembatalan ke Mahkamah Agung.

BAB. VI KESIMPULAN
Dari ulasan diatas dapat disimpulkan:

a. Outsourching adalah alih daya, atau pengalokasian tenaga. Pada dasarnya buruh
outsourcing tersebut tidak mempunyai hubungan hukum dengan perusahaan
pengguna, sehingga tidak mendapat perlindungan karena terjadi pengakhiran
hubungan kerja
b. Permasalahan pelaksanaan outsourcing Pasca Berlakunya Undang-undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:
 Implementasi yang kurang memanusiakan manusia sebagai pekerja
 Kurangnya perlindungan hak pekerja
 Kurangnya perlindungan hukum pekerja
c. Solusi dari permasalahan tersebut adalah:
 Melalui bipartite (Perundingan dua kubu Serikat Pekerja dan Pengusaha)
 Melalui Mediasi (Peundingan dua kubu, ditengahi pihak netral)
 Melalui Konsiliasi (Perundingan yang dipimpin konsiliator yang ditunjuk


badan berwenang)
Melalui Arbitrasi( Perundingan dipimpin Arbitrator dengan kesepakatan



tertulis diluar regulasi, bersifat memaksa)
Pengadilan Hubungan Industrial( Cara
pengadilan)

DAFTAR PUSTAKA


Kompas, 27 Mei 2006, h. 27.

terakhir

pemutusan

melalui



Andari Yurikosari, Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum



Universitas Indonesia, Jakarta 2010,
Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-undang No. 13



Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: DSS Publishing, 2007, cet.2,
Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi



http://www.apindo.or.id,
Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, Grasindo ,Jakarta:,



2003
Hidayat Muharam, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya



Di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung: 2006
Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek
hukumketenagakerjaan





tidak

mengaburkan

hubungan

kerja”,

industrial,

http://www.nakertrans.go.id/arsipberita/naker/outsourcing.php
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta:,1998, hal 1.
Purwahid Patrick. Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju , Bandung:, 1994
PHK
dan
Perlindungan
Negara
Atas
Hak
Pekerja,”
diakses

dari

http://www.pemantauperadilan.com


Artikel

“Outsource

dipandang

dari

sudut

perusahaan

pemberi

kerja”,

http://www.apindo.or.id,


Husni Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,



Jakarta: 2003 , edisi revisi h 75
Much.Nurachmad, Tanya Jawab Seputar Hak-Hak Tenaga Kerja Kontrak (Outsourcing),
Visimedia, ,Jakarta: 2009, hal. 2