Efek Jera Gak Ngefek Berantas Korupsi
Efek Jera „Gak Ngefek‟ Berantas Korupsi
Oleh: Saortua Marbun
Pemberatasan korupsi diharapkan memunculkan efek jera, akan tetapi efek jera itu terancam
kehilangan efeknya alias „gak ngefek‟. Selain itu rasa keadilan masyarakat pun akan terluka bila
penanganan para koruptor terkesan „main-main‟. Pasalnya, dalam periode 2004-2014 menurut ICW
sedikitnya 38 terpidana korupsi telah menghirup nikmatnya udara bebas – berkat pembebasan
bersyarat. KPK dengan bersusah payah menyeret para koruptor masuk bui, lalu pihak lain membuka
pintu keluar dengan sangat „baik hati‟. Sebut saja sebagai contoh, ada terpidana yang mendapat remisi
29 bulan 10 hari. Hitung-punya hitung dengan remisi itu maka sang tahanan dianggap telah menjalani
2/3 masa tahanannya. Lantas dipandang memenuhi „syarat pengajuan‟ untuk mendapat pembebasan
bersyarat.
Menurut Johan Budi Juru Bicara KPK Jumat (19/9), “Ini mencederai rasa keadilan masyarakat dan
tidak sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi yang seharusnya memunculkan efek jera.” Dia
menjelaskan bahwa KPK tidak merekomendasikan Anggodo untuk mendapatkan pembebasan
bersyarat. Johan khawatir akan muncul persepsi bahwa seolah peran KPK sudah tidak mempan lagi
setelah seorang terpidana korupsi mendapatkan rekomendasi untuk pembebasan bersyarat. Dia juga
khawatir bahwa pembebasan bersyarat ini akan menjadi penghalang bagi KPK untuk membuat efek
jera bagi para koruptor dan orang tidak lagi takut korupsi karena mereka akan berpikir ada
pembebasan bersyarat.
Masyarakat awam pun tentu turut merasa kecewa bila mendengar para koruptor dibebaskan.
Kelompok masyarakat yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil anti korupsi menggelar aksi
menolak terpidana korupsi pantas dapat remisi bersyarat, Senin (22/9). Koalisi yang terdiri dari
Indonesia Corupption Watch (ICW) dan lembaga lainnya membawa sejumlah atribut berupa topeng
berwajah gambar para koruptor yang diduga akan dikabulkan permohonan pembebasan bersyarat.
Kelompok masyarkat ini menolak pembebasan bersyarat bagi semua terpidana korupsi dan meminta
agar Pemerintah mempublikasikan seluruh pemberian pembebasan bersyarat yang dikeluarkan
Kementerian Hukum dan HAM sebagai bentuk pertanggungjawaban moral serta menolak seluruh
permohonan pembebasan bersyarat yang sedang diajukan para terpidana kasus korupsi. (Satu
Harapan; Kompas)
Jika efek jera itu „gak ngefek‟ dalam memberantas korupsi, maka pemerintah harus melibatkan Tuhan
Yang Maha Kuasa dalam mengurus para koruptor. Firman Allah berkata, “Sadarlah dan bertobatlah,
supaya dosamu dihapuskan.”(Kisah Para Rasul 3:19) Perilaku korup adalah produk dari hati manusia
yang berdosa, korupsi berakar pada kondisi spiritual yang diperbudak oleh sifat jahat manusia yang
telah jatuh ke dalam dosa. Oleh sebab itu, para koruptor perlu dituntun ke jalan yang benar, kembali
kepada Tuhan, bertobat. Sama seperti seorang anak yang terhilang, yang meninggalkan rumah
ayahnya, demikian pula para koruptor; mereka adalah orang-orang yang terpisah, menyimpang dan
meninggalkan ajaran Tuhan. Sebagaimana seorang ayah menunggu anaknya kembali, demikian pula
Tuhan, Sang Bapa Yang Maha Kasih menanti kembalinya anak manusia yang berdosa. Ketika anak
yang terhilang sadar dan pulang kepada ayahnya; maka tergeraklah hati ayahnya oleh belas kasihan.
Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Sang anak pun berkata,
“Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak
bapa.”(Lukas 15:21) Pemberantasan korupsi bukan saja mengurusi terpidana agar mereka jera. Lebih
jauh, para koruptor perlu pembaharuan bathin, insaflah dan bertobatlah, maka dosamu akan
dihapuskan. Ini baru „ngefek‟.
Harian Pos Bali Kamis, 25 September 2014 http://posbali.com/
Oleh: Saortua Marbun
Pemberatasan korupsi diharapkan memunculkan efek jera, akan tetapi efek jera itu terancam
kehilangan efeknya alias „gak ngefek‟. Selain itu rasa keadilan masyarakat pun akan terluka bila
penanganan para koruptor terkesan „main-main‟. Pasalnya, dalam periode 2004-2014 menurut ICW
sedikitnya 38 terpidana korupsi telah menghirup nikmatnya udara bebas – berkat pembebasan
bersyarat. KPK dengan bersusah payah menyeret para koruptor masuk bui, lalu pihak lain membuka
pintu keluar dengan sangat „baik hati‟. Sebut saja sebagai contoh, ada terpidana yang mendapat remisi
29 bulan 10 hari. Hitung-punya hitung dengan remisi itu maka sang tahanan dianggap telah menjalani
2/3 masa tahanannya. Lantas dipandang memenuhi „syarat pengajuan‟ untuk mendapat pembebasan
bersyarat.
Menurut Johan Budi Juru Bicara KPK Jumat (19/9), “Ini mencederai rasa keadilan masyarakat dan
tidak sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi yang seharusnya memunculkan efek jera.” Dia
menjelaskan bahwa KPK tidak merekomendasikan Anggodo untuk mendapatkan pembebasan
bersyarat. Johan khawatir akan muncul persepsi bahwa seolah peran KPK sudah tidak mempan lagi
setelah seorang terpidana korupsi mendapatkan rekomendasi untuk pembebasan bersyarat. Dia juga
khawatir bahwa pembebasan bersyarat ini akan menjadi penghalang bagi KPK untuk membuat efek
jera bagi para koruptor dan orang tidak lagi takut korupsi karena mereka akan berpikir ada
pembebasan bersyarat.
Masyarakat awam pun tentu turut merasa kecewa bila mendengar para koruptor dibebaskan.
Kelompok masyarakat yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil anti korupsi menggelar aksi
menolak terpidana korupsi pantas dapat remisi bersyarat, Senin (22/9). Koalisi yang terdiri dari
Indonesia Corupption Watch (ICW) dan lembaga lainnya membawa sejumlah atribut berupa topeng
berwajah gambar para koruptor yang diduga akan dikabulkan permohonan pembebasan bersyarat.
Kelompok masyarkat ini menolak pembebasan bersyarat bagi semua terpidana korupsi dan meminta
agar Pemerintah mempublikasikan seluruh pemberian pembebasan bersyarat yang dikeluarkan
Kementerian Hukum dan HAM sebagai bentuk pertanggungjawaban moral serta menolak seluruh
permohonan pembebasan bersyarat yang sedang diajukan para terpidana kasus korupsi. (Satu
Harapan; Kompas)
Jika efek jera itu „gak ngefek‟ dalam memberantas korupsi, maka pemerintah harus melibatkan Tuhan
Yang Maha Kuasa dalam mengurus para koruptor. Firman Allah berkata, “Sadarlah dan bertobatlah,
supaya dosamu dihapuskan.”(Kisah Para Rasul 3:19) Perilaku korup adalah produk dari hati manusia
yang berdosa, korupsi berakar pada kondisi spiritual yang diperbudak oleh sifat jahat manusia yang
telah jatuh ke dalam dosa. Oleh sebab itu, para koruptor perlu dituntun ke jalan yang benar, kembali
kepada Tuhan, bertobat. Sama seperti seorang anak yang terhilang, yang meninggalkan rumah
ayahnya, demikian pula para koruptor; mereka adalah orang-orang yang terpisah, menyimpang dan
meninggalkan ajaran Tuhan. Sebagaimana seorang ayah menunggu anaknya kembali, demikian pula
Tuhan, Sang Bapa Yang Maha Kasih menanti kembalinya anak manusia yang berdosa. Ketika anak
yang terhilang sadar dan pulang kepada ayahnya; maka tergeraklah hati ayahnya oleh belas kasihan.
Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Sang anak pun berkata,
“Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak
bapa.”(Lukas 15:21) Pemberantasan korupsi bukan saja mengurusi terpidana agar mereka jera. Lebih
jauh, para koruptor perlu pembaharuan bathin, insaflah dan bertobatlah, maka dosamu akan
dihapuskan. Ini baru „ngefek‟.
Harian Pos Bali Kamis, 25 September 2014 http://posbali.com/